Bahkan perjalanannya saja sudah membuat pasukan Han teramat lelah. Apalagi anggota pasukan seperti He Xian beserta Letnan Xiang dan Sersan Zhen yang berangkat dari Han. Perjalanan dari Han ke Tukhestan saja sudah memakan waktu seminggu. Ditambah perjalanan dari Tukhestan ke Yeong-Shan yang memakan waktu kurang lebih tiga hari. Manalagi mereka tidak bisa beristirahat barang sejenak pun setelah sampai, karena Teluk Dong-Nal yang menjadi pelabuhan teraman bagi kapal-kapal dari Tukhestan telah dipenuhi armada laut Yeong-Shan.
Takjub juga He Xian melihat kemegahan armada laut Yeong-Shan yang tidak diduganya. Di pihak lain, pasukan Yeong-Shan juga sangat terkejut mendapati armada laut mereka kalah jumlah sangat jauh dari Han. Ditambah lagi reputasi Han menguasai tiga perempat dunia telah sebelumnya menjatuhkan semangat tempur pasukan Yeong-Shan. Betapapun, Jenderal Min-Hwa tidak lantas putus asa. Ia berdiri di dok terdepan kapal, berseru penuh semangat, “Musuh pasti sudah kelelahan karena perjalanan jauh. Kita menang dalam hal stamina. Jadi jangan gentar, kita pasti menang!”
“Wanita sialan!” He Xian bergumam jengkel. Ia memang sangat kelelahan.
Sasha juga ikut berseru keras, “Kita memang lelah! Tapi bertahanlah sobat, karena kita akan bersenang-senang! Wanita-wanita cantik Yeong-Shan bersedia melayani kita, bukankah itu menggiurkan?!?”
Seruannya berhasil membangkitkan semangat pasukan Han. Para prajurit tertawa keras. He Xian memandang lekat-lekat pasukan Yeong-Shan, dan mendapati seruan Sasha memang benar. Walaupun terdapat banyak prajurit pria, namun dominasi prajurit wanita tetap terlihat jelas. Dan mereka sangatlah cantik. Apalagi Jenderal Min-Hwa, dia yang paling cantik.
Merasa dilecehkan, pasukan Yeong-Shan menggerung keras. Min-Hwa berseru marah, “Kurang ajar! Serang mereka!!!”
Pertempuran segera terjadi.
***
Di Istana Hwa-Soon, Ratu Seo-Yu mondar-m****r gelisah. Perdana Menteri Ryu-Na memandanginya dengan cemas. “Jangan khawatir, Kak. Kita telah memohon pada Penguasa Langit, dan kita harus yakin Ia akan memberikan yang terbaik.”
Seo-Yu mendesah. “Bagaimana aku tidak gelisah? Lawan kita adalah Han yang telah menguasai tiga perempat dunia. Kita seperti ikan kecil yang tengah melawan ikan paus. Terlebih aku mengkhawatirkan keselamatan Min-Hwa. Aku tidak ingin ia meninggal sebelum sempat menikah.”
“Adik Min-Hwa wanita yang baik. Langit pasti melindunginya. Juga melindungi kita semua,” Ryu-Na menenangkan. “Langit pasti melindungi kita dari cengkeram setan Han. Karena Ia tahu, bilamana Han menguasai kita, mereka pasti akan merombak habis budaya kita seperti yang mereka lakukan terhadap negeri-negeri taklukan mereka lainnya.”
Terdengar derap langkah mendekat, dan sedetik kemudian seorang prajurit wanita telah membungkuk ke hadapan Seo-Yu. Kedua tangannya menghaturkan segulung kertas.
“Lapor, Yang Mulia Ratu. Kiriman surat dari Khanate telah tiba!”
Seo-Yu mengambil gulungan kertas itu dan membukanya. Ia tersenyum. “Khan Han Hao Shi benar-benar amat bisa diandalkan. Dengan ini, aku bisa merasa tenang.”
***
Pasukan Han bertempur tanpa mengetahui taktik kerjasama yang tengah dijalankan Yeong-Shan. Mereka juga sangat senang hari ini. Karena mereka telah berhasil memukul mundur pasukan Yeong-Shan, cukup jauh. Teluk Dong-Nal beserta kota pelabuhan Parinryu telah berhasil mereka kuasai. Jenderal Min-Hwa terpaksa memimpin pasukannya mengundurkan diri ke Woo-sak, kota di sebelah barat Parinryu.
“Sebetulnya percuma saja mereka kabur. Mereka hanya menghabiskan waktu, karena cepat atau lambat kita akan berhasil menguasai istana mereka,” kata Letnan Xiang sembari meneguk cangkir anggurnya yang ketujuh. Mereka telah menang, inilah saatnya mereka bersantai.
Sasha tertawa. Ia telah mabuk. “Aku suka padamu, Letnan Xiang! Baru pertama kali aku menemukan orang Han yang begitu kuat minum sepertimu! Ayo minum lagi!”
He Xian bangkit berdiri. Pesta anggur begini sangat tidak cocok baginya yang tidak suka minuman berakohol. Pemuda itu melangkah menuju tepi laut, memandangi langit malam yang dihiasi bulan purnama besar serta deburan ombak berwarna hitam pekat di bawahnya. Sungguh indah panorama yang disaksikannya itu. Dan kini, ia akan kembali menghancurkannya, seperti ia dulu menghancurkan budaya cemerlang negeri Chang.
Ia sudah muak terlibat dalam kegiatan menindas si kalah.
Namun, ia tak tahu bagaimana cara menghentikannya.
Mendadak, ia melihat sesosok bayangan tengah duduk tak jauh di dekatnya, memandangi laut. Sosok itu rasa-rasanya sangat familiar bagi He Xian. Dan saat ia menyadari siapa sebenarnya sosok tersebut, He Xian sangat terkejut.
“Jenderal Park!”
Min-Hwa cepat berdiri, menghunus pedangnya dan mengarahkannya ke arah He Xian.
He Xian berdecak. “Ckckck! Harus kuacungkan jempol untuk keberanianmu menyusup ke daerah musuh sendirian, Jenderal!”
“Kalau begitu, tunggu apalagi?! Ayo, serang aku. Kita bertarung!”
“Wah wah wah, jarang benar kutemui wanita segalak dirimu, Nona. Bahkan jenderal tergarang negeri kami pun tidak segalak dirimu. Aku mengaku kalah.”
“Ini perang! Aku tidak ingin bercanda denganmu, Tuan Sun!”
“Tapi ini dalam sikon berhadapan satu-satu. Aku merasa tidak enak menyerang wanita saat malam buta.”
Bibir Min-Hwa terkatup marah. “Aku benar-benar muak dengan kalian yang senantiasa memandang rendah wanita. Baiklah... jika kau bersedia menyerah, itu jauh lebih baik. Sekarang juga aku akan membawamu ke hadapan Yang Mulia Ratu!”
“Hei, menangkapku tidak lantas membuat kami kalah dari kalian. Kalian baru menangkap satu, Kaisar Han masih punya banyak. Apalagi aku dari Ming, tidak cukup berharga baginya.”
He Xian sengaja berkata begitu untuk meredam niat Min-Hwa menangkapnya. Tetapi di luar dugaan, jenderal berparas indah itu balik bertanya, “Tuan Sun. Kau seorang Ming. Memang Ming telah menjadi negeri bagian Han, tetapi mengapa kau masih bersedia bekerja demi Han?”
“Karena aku hanya melakukan kewajibanku sebagai pejabat. Tugas kami adalah bekerja bagi penguasa yang mendedikasikan dirinya untuk rakyat banyak. Sejauh yang kulihat, Kaisar Wen Xing sangat memperhatikan rakyatnya dan berusaha berbuat yang terbaik bagi negerinya.”
Min-Hwa tercegang. “Kau benar-benar beranggapan demikian?!”
He Xian terdiam, bingung harus menjawab jujur atau sebaliknya. “Yah, memang...”
“Tuan Sun. Kau sedang menipu dirimu sendiri.”
He Xian terperangah. Tidak ada yang mengatakan ini padanya sebelumnya. “Mengapa kaukatakan aku menipu diriku sendiri?”
Mendengar He Xian bertanya demikian, Min-Hwa tertawa. “Kau benar-benar lugu, Tuan Sun! Hmm terus terang aku bingung Kaisar Wen Xing yang terkenal sangat cerdik dan penuh tipu daya itu bisa mempercayai orang sepertimu menjadi tangan kanannya. Jangan tersinggung, ya. Aku memang begini, selalu terus terang.”
“Kau belum jawab pertanyaanku Jenderal! Apa maksud kata-katamu itu?”
“Karena orang lain bisa dengan mudah mengetahui apa yang sebenarnya kaupikirkan! Kau bisa menipu dirimu sendiri, tetapi tidak orang lain.” Min-Hwa menatapnya, sangat lama. Dengan serius gadis itu menambahkan, “Orang sangat baik sepertimu, tidak cocok bekerja untuk pemimpin seperti Kaisar Han.”
He Xian merasakan tangan kanannya mencengkeram pedang di pinggangnya kuat-kuat. Ia balas menatap Min-Hwa, berujar penuh keyakinan. “Hanya aku yang paling mengerti apa yang paling pantas untuk kulakukan.” Kemudian, ia berbalik, menyusuri jalan pulang ke kemahnya.
Min-Hwa berseru di belakangnya. “Kapan saja kau menyetujui usulku, katakan saja padaku! Aku akan dengan senang hati membantumu!”
He Xian menoleh. “Aku tak akan bisa dibajak segampang itu, Jenderal!” Ia meneruskan langkahnya.
“Aku tidak berniat membajakmu! Aku serius!”
Pagi-pagi sekali, peperangan telah dimulai. Matahari masih belum sepenuhnya bangkit di ufuk timur. Namun kedua pihak, Han dan Yeong-Shan, telah menyiapkan angkatan militer yang serba canggih dan kini siap berhadapan satu sama lain. Ratusan ribu prajurit berjejer menunggu aba-aba, dan begitu tambur dibunyikan, mereka pun segera berlari menyerang. Pertempuran terjadi begitu dashyatnya selama seminggu lamanya. Karena bagaimanapun Yeong-Shan telah kalah, baik secara jumlah, maupun kualitas prajurit serta teknologi senjata. Han menggilas mereka semua dan menekannya sampai ke ibukota Jeong-Neon. Pasukan Han segera berhasil memasuki ibukota Jeong-Neon. Mereka berlari dengan sangat cepat, dan tepat ke arah Istana Hwa-Soon. Hanya dalam waktu kurang lebih lima belas menit, Istana Hwa-Soon telah berada dalam kepungan erat Pasukan Han.*** Seo-Yu memandang Ryu-Na. “Masih belum ada kabar dari
Tidak ada seorangpun yang lebih terkejut dibanding He Xian sendiri. Tak disangkanya, ia begitu berani menjatuhkan gulungan berisikan titah kaisar itu. Dan ia tahu dengan jelas, nasib apa yang dinantinya setelahnya kini. Tapi, ia sudah bertekad. Ini keputusannya, ia tidak boleh ragu lagi. Ia mengambil gulungan tersebut, menepuk-nepuknya. “Saya rasa ada yang salah dengan isi gulungan ini. Saya akan terlebih dahulu menanyakannya kepada Yang Mulia Kaisar mengenai hal ini. Baiklah sementara ini begitu saja keputusannya.” Kembali tercipta kesunyian. Semua orang di halaman luas tersebut kontan terbelalak. Min-Hwa kini menatap He Xian lekat-lekat. Ada sebersit sinar kagum terpancar dari bola matanya. Bibirnya melengkung ke atas. Ia tersenyum. Namun tak lama, terdengar suara yang sangat janggal memecah kesunyian. Suara derap kaki kuda yang begitu cepat. Seisi lapangan menoleh, dan mendapat
“Hukum mati seluruh pasukan Han!!! “Tunggu sebentar, Yang Mulia!” Seisi lapangan segera mengalihkan pandangan melihat yang barusan berteriak tersebut. Jenderal Park Min-Hwa. “Harap Yang Mulia tidak secara membabi buta mencabut nyawa seseorang. Saya lancang meminta, Yang Mulia mempertimbangkan secara matang baru memutuskan, mana yang pantas dihukum mati, dan mana yang tidak.” Suara Hao Shi keras menggelegar. “Mengampuni mereka?! Tidak mungkin! Aku tak bisa mengampuni siapapun yang bersedia, dan dengan senang hati mengikuti keinginan setan Ming Shi! Apalagi ketika mereka telah melakukan sesuatu yang begitu kejam” “Namun Yang Mulia, perlu Anda ingat. Ada juga pejabat Han yang tidak sungguh-sungguh bersedia mengikuti kemauan kaisarnya, mereka berlaku demikian hanya untuk kelangsungan hidup mereka. Dan, banyak juga pejabat Han yan
He Xian terhenyak. Pertanyaan ini benar-benar di luar dugaannya. “Tetapi Yang Mulia, keluarga dan kerabat saya masih di Ming... maksud saya...” “Itu gampang diatur. Aku akan mengabarkan pada Ming Shi bahwa aku menyanderamu sebagai tawanan. Kuberitahukan padamu, dan pada seluruh orang di ruangan ini.” Ia mengedarkan pandangannya ke arah pejabat Han lainnya. “Tujuanku bukanlah untuk saling menyerang dan menaklukkan seperti yang adikku lakukan selama ini. Aku hanya ingin membantu kalian untuk melepaskan diri menjadi masing-masing negara merdeka. Hanya sesederhana itu. Karena aku yakin, kalian semua, terutama yang merupakan bangsa taklukkan Han, merasakan sakit hati yang amat sangat melihat kenyataan negeri kalian dijajah, dan di beberapa sikon, bahkan diperlakukan semena-mena. Begitu bukan? Ya, tentu saja, karena aku sendiri sangat mengerti akan hal itu. Aku sendiri pernah menjadi korban atas ketamakan adikku itu. &n
Sungguh suatu kesalahan besar bagi Yan Xu bila ia mengira akan bahagia setelah menikah dengan Ming Shi. Dan ia sangat menyesal karena ia baru mengetahui kenyataan itu setelah mereka menikah. Dulu sang puteri selalu berpikir, seorang suami pastilah akan sangat menyayangi dan memperhatikan isterinya. Walau sebanyak apapun gundik yang dimilikinya, tetap saja sang suami tetap akan mencurahkan perhatian terbanyaknya ke isteri sahnya. Apalagi bayangan Yan Xu tentang Ming Shi pada mulanya adalah, pria itu bersedia menyelamatkannya, rela menghukum mati perdana menteri setianya hanya demi seorang puteri negeri bagian yang tentunya kurang berarti. Pikirnya, pastilah sang kaisar muda yang tampan dan mempesona ini begitu peduli dan memperhatikan wanita. Namun kenyataan berkata sangat pahit. Ming Shi benar-benar tidak menghargai wanita. Karena ia tidak pernah menghargai pernikahan dengan permaisurinya itu.
Sangat terpukul atas perlakuan Ming Shi terhadapnya, Yan Xu jatuh sakit. Selama dua hari ia menolak makanan dan obat-obatan yang didatangkan kepadanya. Para dayang dan kasim yang merawatnya sangat cemas. “Kami akan memanggil Yang Mulia Kaisar,” ujar mereka panik. Yan Xu menjawab parau. “Aku tidak mau melihat dia lagi, selamanya...” “Tetapi beliau harus tahu keadaan Anda!” “Jangan-jangan dia malah mengharapku mati, biar bisa bersama perempuan itu.” “Yang Mulia, Anda jangan berkata begitu. Mungkin saat itu beliau sedang khilaf. Hamba dengar, beliau memang tengah menghadapi masalah dengan pemerintahan...” Yan Xu membalikkan tubuhnya, terisak. Para dayang tertunduk lesu. Segala bujuk rayu mereka sia-sia belaka. Tetapi pada malam hari, sebuah kejutan yang tidak ak
Yan Xu berangkat ke Khanate saat pagi buta, kira-kira pukul 3 pagi, dengan menaiki kuda putih miliknya, disertai Fu-ling. Ming Shi turut mengantarnya, tetapi tidak terjadi percakapan yang berarti di antara mereka berdua. Malah boleh dibilang, mereka tidak bertegur sapa barang sedikitpun. Suasana saat itu sangatlah sunyi, dingin, dan menusuk. Kedua wanita itu akan melewati padang datar yang amat gersang dan berangin kencang menempuh perjalanan menuju Sainsbataar, Ibukota Khanate. Pakaian yang mereka kenakan sangatlah tipis dan tidak membantu sama sekali. Ming Shi memang telah mengatur supaya Yan Xu tampak seolah benar melarikan diri, makapula mereka tidak berani mengantar dari Chong Zhou dan hanya berhenti sampai belakang istana saja. Sungguh strategi yang sempurna, betapapun ini hanya menambah kesan buruk Yan Xu terhadap suaminya itu. Karena perjalanan itu memang sangat melelahkan, apalagi bagi Yan Xu yang sud
Hao Shi tak kalah terkejut mendengar berita menghebohkan tersebut. Dan, tepat sesuai dugaan Ming Shi, sang Khan Khanate begitu antusias menerima Yan Xu dan menganggap ini sebagai hukum karma, balasan atas perbuatan adiknya yang telah memanfaatkan isterinya untuk bersama-sama menjebaknya. Pria itu juga memperlakukan Yan Xu dengan begitu baiknya, dan ini hanya membuat rasa bersalah Yan Xu semakin besar. “Jangan terlalu ketakutan begitu, Dik. Kau sudah aman sekarang. Mau seberapa hebat pasukan adikku, ia tidak akan bisa menyerbu ke sini,” kata Hao Shi menenangkan. Bukan begitu, Yang Mulia. Aku merasa sangat risau karena sebentar lagi aku akan melakukan sebuah dosa, yang sangat besar... “Saya mengkhawatirkan keluarga saya yang masih ada di Ming tidak seharusnya saya meninggalkan mereka...” “Oh, untuk soal itu, jangan khawatir! Menteri Sun pun tengah berupay