Ming Shi menatap pemuda yang baru saja berdebat dengannya itu menghilang di balik pintu, wajahnya berkeriut tidak senang.
Bahkan sekarang, anak ingusan itu, yang pula berstatus jauh lebih rendah darinya, pun berani memprotesnya? Padahal ia sudah muak melayani komentar-komentar sok itu. Ia bekerja keras memikirkan yang terbaik buat bangsanya, dan ia sebagai pemimpin tentu saja tahu apa yang terbaik bagi negeri yang dipimpinnya. Tapi, mengapa protes-protes itu tetap saja ada? Bahkan, bukan hanya Chang saja yang melancarkan aksi perlawanan. Banyak negeri-negeri vassal lainnya yang turut memberontak, walaupun masih tidak separah Chang.
Mengapa sulit sekali untuk membimbing mereka - orang-orang rendahan itu - untuk bisa mengerti akan jalan yang benar?
Iapun teringat akan kata-kata salah seorang leluhurnya, “Bila kau tidak bisa menuntut sesuatu dengan kebaikan, maka gunakanlah kekerasan untuk membelenggu sesuatu itu.”
Aku sudah melakukan cara-cara halus, namun kalian sendirilah yang mencari gara-gara. Jangan salahkan aku bila memakai cara ini...
“Nak, Ibu ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Ming Shi menoleh. Ibunya, Ibu Suri Mei telah duduk di salah satu kursi di dekatnya. Ia lantas buru-buru memberi hormat, “Saya tak menduga Ibunda akan berkunjung kemari.”
“Duduklah, Nak. Ibu ingin membicarakan perihal pernikahanmu.”
Ming Shi tertegun. Ia tidak segera duduk.
“Ibunda, berapa kali saya katakan, saya masih muda. Saya bisa menikah kapan saja saya butuhkan. Tetapi pemerintahan, lain lagi kondisinya. Saya tak bisa mengabaikannya begitu saja. Pula, saya memiliki sebuah angan-angan besar. Menciptakan persatuan dunia di bawah panji negeri Han. Tetapi, dengan adanya saya harus mengurusi keluarga, maka semua itu akan jadi kacau balau dan gagallah sudah cita-cita saya.”
Ibu Suri menghela nafas panjang. “Aku tahu kau selalu punya banyak dalih. Sudahlah. Kau pilih saja sesukamu.”
“Maksud Ibu?...” Ming Shi kontan merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada lebih dari enam ratus puteri bangsawan berkumpul di Aula Shun-fang, siap untuk kaupilih sebagai calon permaisurimu.”
Ming Shi terkejut setengah mati. “Tidak mungkin!!!”
“Kau ini benar-benar aneh, Ming Shi! Mana ada seorang pria mengeluh saat diberikan banyak wanita cantik kepadanya.” Ibu Suri geleng-geleng kepala.
Sang kaisar muda mendesah. Sepertinya Ibu Suri mengira ada yang tidak normal dengan jiwa prianya. Ini berbahaya. Ia toh pria sejati, bukan homoseksual. “Oh, tentu saja saya sangat senang dengan pemberian Ibunda. Baiklah kalau begitu, saya akan menaruh mereka semua di Istana Belakang.”
Ibu Suri mendelik tidak senang, “Kau!? Bahkan kau lebih gila dari ayahmu?!?”
“Aaahh Ibunda ini bagaimana? Begini salah, begitu juga salah Sudahlah! Saya akan pergi ke Aula Shun-Fang. Nanti baru kita bicarakan lagi.”
***
Terhenyak juga Ming Shi melihat begitu banyak wanita cantik berdiri di hadapannya. Kesemuanya keturunan darah biru, cantik pula anggun memukau, serta berpenampilan halus dan memikat. Begitu memikatnya hingga Ming Shi hampir tergoda melaksanakan niat isengnya tadi, menaruh mereka semua di Istana Belakang-nya.
Ibu Suri mulai mengenalkan beberapa wanita pilihannya.
“Yang berdiri di depanmu ini adalah Putri Le-chang dari Tse-Kuan.” Sang putri berwajah aristokrat dan kelihatan sangat terpelajar. Ia membungkuk hormat dengan gaya anggun. “Di sebelahnya adalah Putri Qin-mai dari Song.” Seorang puteri dengan lekuk tubuh indah memukau, kelihatan jelas bahwa puteri itu pandai menari. “Putri Zhen-yan, puteri Jenderal senior Wei.” Gadis dengan garis wajah yang persis dengan ayahnya, keras dan berwibawa. “Putri Sangmu dari Sutta.” Gadis berkulit cokelat gelap dan senyum memukau. “Putri Svetlana dari Tukhestan.” Gadis dengan rambut pirang keemasan serta bermata hijau kebiruan itu menatapnya dalam, kemudian membungkuk memberi hormat. Ming Shi memandangnya. Ada sesuatu dari gadis itu yang amat menarik perhatiannya, dan ini bukanlah soal penampilan. Semua orang tahu bangsa Tukhestan adalah bangsa dengan kulit terang, berambut cokelat ataupun pirang cerah pula bermata biru ataupun hijau. Ming Shi seringkali bertemu dengan para pemimpin dari bangsa ini, jadi melihat bangsa Tukhestan bukanlah hal baru baginya. Namun, bertemu dengan seseorang yang memancarkan aura misterius seperti Puteri Svetlana itu, Ming Shi baru pertama kali merasakannya.
Betapapun, rasa ingin tahu berbeda sekali artinya dengan ingin menikah. Namun sepertinya Ibu Suri salah paham menilai kondisi tersebut. “Bagaimana, kau sudah menentukan pilihanmu?”
Ming Shi berbalik menatap ibunya. “Terima kasih banyak Ibunda, telah memberikan saya wanita cantik sebanyak ini. Ya, mereka sangatlah cantik memukau, dan amat menawan hati saya. Karenanya, saya ingin menaruh mereka semua ke Istana Belakang...” Melihat gelagat Ibu Suri yang ingin memprotes, iapun mengeraskan suaranya, “ ... tapi bukan sebagai isteri sah. Saya menginginkan mereka memberi saya kepuasan hanya untuk sehari semalam, titik.”
Seluruh puteri yang ada di sana terhenyak mendengar kata-kata Ming Shi, betapapun mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata bersifat memprotes, dan hanya menunduk dalam diam. Ibu Suri, sebaliknya, berseru, “Aku menyuruhmu mencari isteri, bukan mencari pelacur!”
“Justru itu, yang saya inginkan sekarang adalah pelacur, bukan isteri,” Ming Shi menjawab seenaknya.
Ibu Suri menarik nafas. Betapa sulitnya ia berbicara dengan anaknya yang satu ini. “Baiklah... sesukamulah. Taruhlah mereka semua di Istana Belakang, toh kaisar memang memiliki hak untuk itu. Tetapi minimal, pilihlah salah satu dari mereka sebagai pendamping hidupmu.”
Ming Shi bingung sekali mengapa ibunya tidak bisa memahami keinginannya yang sebenarnya, dan tanpa bosan selalu menyuruhnya melakukan hal yang sama. Berkali-kali ia berdalih dan mengelak, namun sang Ibu masih tetap mengulangi perintah yang itu-itu lagi. Dengan jengah ia memanglingkan wajah ke arah jendela. Secara kebetulan ia melihat Yan Cheng beserta Yan Xu tengah berjalan menuju aula tengah. Pemuda itu datang untuk mendiskusikan urusan ketatanegaraan seperti yang diperintahkan Ming Shi kemarin. Ming Shi termangu. Akhir-akhir ini rasanya sering sekali ia bertemu pandang dengan Yan Xu.
Dan saat itulah, ide tersebut begitu saja muncul.
“Ibunda,” Ming Shi berbalik memandang Ibu Suri. “Saya telah menentukan pilihan saya.”
Ibu Suri pada mulanya tidak mempercayai pendengarannya. “Betulkah itu, Nak?!”
“Ya. Saya berniat menjadikan Ming Yan Xu, adik Raja Ming Yan Cheng, sebagai permaisuri.”
Kembali keterkejutan melanda Ibu Suri, “Ming Yan Xu?!? Apakah anak itu terlalu kekecilan bagimu? Ibu dengar usianya baru lima belas tahun, kalian berbeda sangat jauh. Makanya Ibu tidak mengikutsertakannya dalam seleksi ini.”
“Inilah keputusan saya. Tolong Ibunda jangan memprotes lagi.”
“Baiklah... Ibu menghargai keputusanmu...” Ibu Suri lalu memanggil salah seorang dayang, “Perintahkan Ming Yan Cheng dan Ming Yan Xu untuk segera menghadap ke Paviliun Chun-lue, sekarang juga.”
***
Yan Xu dan Yan Cheng benar-benar terkejut mendengar kabar berita ini, walaupun dengan alasan yang berbeda. Yan Xu diam-diam merasa senang sekali. Sebaliknya Yan Cheng amat terpukul. Pernikahan adiknya dengan Ming Shi adalah hal yang paling tidak diharapkannya terjadi dalam hidupnya.
Ah. Sudahlah, batinnya kelu. Ia mencoba menghibur diri sendiri. Menjadi permaisuri toh jauh lebih baik daripada gundik. Apalagi Han Ming Shi bebas memerintah seenaknya. Sudah bagus ia memilih Yan Xu sebagai permaisurinya. Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padanya. Dan, memintanya menjaga Yan Xu baik-baik.
“Aku sungguh sangat bahagia, Puteri Yan Xu. Akhirnya puteraku memilih pendamping hidupnya dan ibu pewaris keturunannya, hal yang kuharapkan sejak lama. Dan, ia memilihmu. Puteri Yan Xu, kau benar-benar puteri yang istimewa.”
“Terima kasih atas pujian Anda, Paduka Ibu Suri. Saya pun merasa tersanjung diberi kehormatan untuk menjadi permaisuri Kaisar Han,” Yan Xu menjawab sopan. Sebenarnya, Ibu Suri sangat menyukainya. Yan Xu keturunan keluarga kerajaan, berparas cantik pula terpelajar dan anggun. Satu-satunya hal yang dianggap cacat adalah perbedaan usianya dengan puteranya yang terlalu jauh. Tapi mau bagaimana lagi, batinnya pasrah. Inilah pilihan puteraku yang keras kepala itu.
Ibu Suri pula mengirimkan lamaran resmi kepada pihak orangtua mempelai wanita, dalam hal ini adalah Ibu Suri Yin selaku pihak orangtua yang masih hidup. Wanita itu juga merasakan kegembiraan yang sama dengan Ibu Suri Mei, bahagia karena puterinya yang keras kepala itu akhirnya bisa mendapatkan jodoh yang baik, pula sebagai Permaisuri negara yang sangat berkuasa dan bukan sekadar gundik murahan. Sangat sesuai dengan keinginan yang dulu pernah Yan Xu utarakan padanya. Pihak istana kini menjadi sangat sibuk dalam mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan pernikahan agung tersebut.
Dan, ketika pada akhirnya pernikahan itu dilaksanakan, Yan Xu merasa amat bahagia, bisa bersanding dengan pria pujaannya.
Sayang, yang diharapkan Ming Shi justru adalah sebaliknya. Ia menginginkan seorang gadis kecil menjadi pasangan hidupnya adalah karena mengira gadis tersebut tidak mengerti arti “cinta” dan dengan demikian tidak akan mengganggunya mengejar ambisinya. Apalagi terdapat perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka berdua, Ming Shi mengira dirinya yang jauh lebih tua ketimbang Yan Xu akan membuat sang putri tidak menyukainya. Bahkan, semakin Yan Xu tidak mencintainya, semakin kesampaianlah harapan Ming Shi itu. Bagaimanapun, takdir tidak membolehkan keinginannya terwujud.
Pada akhirnya, pernikahan tersebut tidak membawa kebaikan seperti yang diharapkan keduanya.
Masih ada tiga negara yang belum berhasil dikuasai Han. Yeong-Shan, Khanate dan Qi. Ming Shi memastikan ambisinya harus dapat terwujud. Ia harus menguasai ketiga negara itu. Target pertamanya adalah Yeong-Shan. Ia membicarakannya dalam rapat kerajaan. “Sudah tiba waktunya kita mengerahkan pasukan menaklukkan Yeong-Shan. Ada yang mempunyai usul mengenai ini?” Jenderal Wei maju ke depan. “Lapor, Yang Mulia. Pasukan kita berada dalam stamina puncak. Bila kita menyerang Yeong-Shan, kemenangan sudah pasti berada di pihak kita.” Tidak ada tanggapan dari menteri lainnya. Menganggap kebisuan mereka sebagai tanda persetujuan, Ming Shi bangkit berdiri, mengeluarkan titahnya. “Kuperintahkan Menteri Sun memimpin 100.000 pasukan, untuk segera pergi menaklukkan Yeong-Shan!” *** Yeong-Shan terletak
Bahkan perjalanannya saja sudah membuat pasukan Han teramat lelah. Apalagi anggota pasukan seperti He Xian beserta Letnan Xiang dan Sersan Zhen yang berangkat dari Han. Perjalanan dari Han ke Tukhestan saja sudah memakan waktu seminggu. Ditambah perjalanan dari Tukhestan ke Yeong-Shan yang memakan waktu kurang lebih tiga hari. Manalagi mereka tidak bisa beristirahat barang sejenak pun setelah sampai, karena Teluk Dong-Nal yang menjadi pelabuhan teraman bagi kapal-kapal dari Tukhestan telah dipenuhi armada laut Yeong-Shan. Takjub juga He Xian melihat kemegahan armada laut Yeong-Shan yang tidak diduganya. Di pihak lain, pasukan Yeong-Shan juga sangat terkejut mendapati armada laut mereka kalah jumlah sangat jauh dari Han. Ditambah lagi reputasi Han menguasai tiga perempat dunia telah sebelumnya menjatuhkan semangat tempur pasukan Yeong-Shan. Betapapun, Jenderal Min-Hwa tidak lantas putus asa. Ia berdiri di dok terdepan kapal, berseru pen
Pagi-pagi sekali, peperangan telah dimulai. Matahari masih belum sepenuhnya bangkit di ufuk timur. Namun kedua pihak, Han dan Yeong-Shan, telah menyiapkan angkatan militer yang serba canggih dan kini siap berhadapan satu sama lain. Ratusan ribu prajurit berjejer menunggu aba-aba, dan begitu tambur dibunyikan, mereka pun segera berlari menyerang. Pertempuran terjadi begitu dashyatnya selama seminggu lamanya. Karena bagaimanapun Yeong-Shan telah kalah, baik secara jumlah, maupun kualitas prajurit serta teknologi senjata. Han menggilas mereka semua dan menekannya sampai ke ibukota Jeong-Neon. Pasukan Han segera berhasil memasuki ibukota Jeong-Neon. Mereka berlari dengan sangat cepat, dan tepat ke arah Istana Hwa-Soon. Hanya dalam waktu kurang lebih lima belas menit, Istana Hwa-Soon telah berada dalam kepungan erat Pasukan Han.*** Seo-Yu memandang Ryu-Na. “Masih belum ada kabar dari
Tidak ada seorangpun yang lebih terkejut dibanding He Xian sendiri. Tak disangkanya, ia begitu berani menjatuhkan gulungan berisikan titah kaisar itu. Dan ia tahu dengan jelas, nasib apa yang dinantinya setelahnya kini. Tapi, ia sudah bertekad. Ini keputusannya, ia tidak boleh ragu lagi. Ia mengambil gulungan tersebut, menepuk-nepuknya. “Saya rasa ada yang salah dengan isi gulungan ini. Saya akan terlebih dahulu menanyakannya kepada Yang Mulia Kaisar mengenai hal ini. Baiklah sementara ini begitu saja keputusannya.” Kembali tercipta kesunyian. Semua orang di halaman luas tersebut kontan terbelalak. Min-Hwa kini menatap He Xian lekat-lekat. Ada sebersit sinar kagum terpancar dari bola matanya. Bibirnya melengkung ke atas. Ia tersenyum. Namun tak lama, terdengar suara yang sangat janggal memecah kesunyian. Suara derap kaki kuda yang begitu cepat. Seisi lapangan menoleh, dan mendapat
“Hukum mati seluruh pasukan Han!!! “Tunggu sebentar, Yang Mulia!” Seisi lapangan segera mengalihkan pandangan melihat yang barusan berteriak tersebut. Jenderal Park Min-Hwa. “Harap Yang Mulia tidak secara membabi buta mencabut nyawa seseorang. Saya lancang meminta, Yang Mulia mempertimbangkan secara matang baru memutuskan, mana yang pantas dihukum mati, dan mana yang tidak.” Suara Hao Shi keras menggelegar. “Mengampuni mereka?! Tidak mungkin! Aku tak bisa mengampuni siapapun yang bersedia, dan dengan senang hati mengikuti keinginan setan Ming Shi! Apalagi ketika mereka telah melakukan sesuatu yang begitu kejam” “Namun Yang Mulia, perlu Anda ingat. Ada juga pejabat Han yang tidak sungguh-sungguh bersedia mengikuti kemauan kaisarnya, mereka berlaku demikian hanya untuk kelangsungan hidup mereka. Dan, banyak juga pejabat Han yan
He Xian terhenyak. Pertanyaan ini benar-benar di luar dugaannya. “Tetapi Yang Mulia, keluarga dan kerabat saya masih di Ming... maksud saya...” “Itu gampang diatur. Aku akan mengabarkan pada Ming Shi bahwa aku menyanderamu sebagai tawanan. Kuberitahukan padamu, dan pada seluruh orang di ruangan ini.” Ia mengedarkan pandangannya ke arah pejabat Han lainnya. “Tujuanku bukanlah untuk saling menyerang dan menaklukkan seperti yang adikku lakukan selama ini. Aku hanya ingin membantu kalian untuk melepaskan diri menjadi masing-masing negara merdeka. Hanya sesederhana itu. Karena aku yakin, kalian semua, terutama yang merupakan bangsa taklukkan Han, merasakan sakit hati yang amat sangat melihat kenyataan negeri kalian dijajah, dan di beberapa sikon, bahkan diperlakukan semena-mena. Begitu bukan? Ya, tentu saja, karena aku sendiri sangat mengerti akan hal itu. Aku sendiri pernah menjadi korban atas ketamakan adikku itu. &n
Sungguh suatu kesalahan besar bagi Yan Xu bila ia mengira akan bahagia setelah menikah dengan Ming Shi. Dan ia sangat menyesal karena ia baru mengetahui kenyataan itu setelah mereka menikah. Dulu sang puteri selalu berpikir, seorang suami pastilah akan sangat menyayangi dan memperhatikan isterinya. Walau sebanyak apapun gundik yang dimilikinya, tetap saja sang suami tetap akan mencurahkan perhatian terbanyaknya ke isteri sahnya. Apalagi bayangan Yan Xu tentang Ming Shi pada mulanya adalah, pria itu bersedia menyelamatkannya, rela menghukum mati perdana menteri setianya hanya demi seorang puteri negeri bagian yang tentunya kurang berarti. Pikirnya, pastilah sang kaisar muda yang tampan dan mempesona ini begitu peduli dan memperhatikan wanita. Namun kenyataan berkata sangat pahit. Ming Shi benar-benar tidak menghargai wanita. Karena ia tidak pernah menghargai pernikahan dengan permaisurinya itu.
Sangat terpukul atas perlakuan Ming Shi terhadapnya, Yan Xu jatuh sakit. Selama dua hari ia menolak makanan dan obat-obatan yang didatangkan kepadanya. Para dayang dan kasim yang merawatnya sangat cemas. “Kami akan memanggil Yang Mulia Kaisar,” ujar mereka panik. Yan Xu menjawab parau. “Aku tidak mau melihat dia lagi, selamanya...” “Tetapi beliau harus tahu keadaan Anda!” “Jangan-jangan dia malah mengharapku mati, biar bisa bersama perempuan itu.” “Yang Mulia, Anda jangan berkata begitu. Mungkin saat itu beliau sedang khilaf. Hamba dengar, beliau memang tengah menghadapi masalah dengan pemerintahan...” Yan Xu membalikkan tubuhnya, terisak. Para dayang tertunduk lesu. Segala bujuk rayu mereka sia-sia belaka. Tetapi pada malam hari, sebuah kejutan yang tidak ak