“Apa yang salah dengan kata-kataku?” ia bertanya setengah berbisik.
Min-Hwa tercenung. “Ya sudahlah, kita pergi saja dari sini.”
“Orang pintar memang biasanya aneh. Jangan langsung menyerah begitu saja. Kita teliti saja dulu keadaannya, dan cari celah untuk mengambil hatinya,” Min-Hwa berujar optimis. He Xian mengangguk-angguk setuju.
Iapun kembali mencoba keesokan harinya. Dan keesokan harinya. Dan esoknya lagi. Dan seminggu pun terlewati, namun hasilnya selalu sama. Berbagai taktik dan bujuk rayu telah dilancarkan He Xian, namun hasilnya selalu pemuda itu menutup pintu dengan ekspresi hampa.
Kesabaran He Xian akhirnya mencapai batasnya. Setelah si pemuda menutup pintu di hari ketujuh, He Xian mengentakkan kakinya dengan kesal, mulai merutuk. “Setidaknya ia bisa berbicara dan menjelaskan keengganannya menerima permintaanku, dan bukannya menutup pintu tanpa eks
Hanya ada satu hal yang ingin ia lakukan kini. Mempelajari ilmu pengendalian-chi dengan sungguh-sungguh. Karena ia menemukan, setelah ia menguasai kemampuan tersebut tubuhnya menjadi lebih peka terhadap hal-hal lain yang dulu tidak dirasakannya. Kedamaian, ketenteraman hati, perasaan nyaman dan teduh, gejolak kekuatan yang memuncak dalam ketenangan... semuanya berpusaran membentuk sensasi energi yang pada puncaknya memberikan suatu aura yang tak terdefinisikan, yang sementara ini hanya bisa ia sebut dengan istilah “puncak energi positif”. Entah berapa lama He Xian berlatih ilmu “pengendalian-chi” di bawah bimbingan Xing Long. Mungkin setahun, mungkin dua tahun. Min-Hwa dengan setia menemaninya. Hanya gadis itu yang masih mantap dengan tujuannya balas menyerang negeri Han, mungkin karena ia tidak ikut serta dalam latihan “pengendalian-chi”. Ia pula yang berulang kali mengingatkan He Xian setiap pemuda itu nyaris “terhisap” dan melup
Sore itu, ketika penyambutan telah selesai dilakukan dan mereka kini dapat bersantai, Raja Amanet dan Tuan Fomenko mengajak He Xian, Min-Hwa dan Xing Long beristirahat di salah satu paviliun kecil dalam istana. Raja Amanet memperlakukan mereka bak tamu amat istimewa. Para dayang berseliweran membawa hidangan-hidangan lezat nan menggiurkan, pula menyuguhkan mereka hiburan yang dibawakan seniman-seniman kesohor Tukhestan. Dan sembari memanjakan tamu-tamunya, Amanet mengajak mereka mengobrol santai. “Tuan Sun dan Nona Park, bagaimana keadaan Anda berdua selama ini?” He Xian menjawab, “Lapor Baginda. Kami sangat bersyukur karena berhasil mendapatkan Guru Xing Long sebagai mentor kami. Ini benar-benar merupakan suatu karunia, sebab untuk mencapainya kami harus melewati banyak sekali rintangan...” Iapun menceritakan petualangannya, dimulai dari kisah propagandanya ke Ming dan Tse-Kuan yang gagal, dilanjutkan dengan kedatangannya ke
Selang beberapa waktu kemudian, Permaisuri Yan Xu melahirkan anak keduanya, seorang putri. Pihak Istana merayakan pesta yang sangat meriah selama tiga hari tiga malam lamanya. Mereka juga mengundang para pembesar dan orang-orang penting dari tiap-tiap negeri bagian untuk menghadiri pesta tersebut. “Inilah kesempatan yang sangat baik, Tuan Sun. Anda beserta Yang Mulia Xing Long dapat ikut bersama-sama kami ke Istana Han,” Amanet berujar dengan bersemangat. Tuan Fomenko ikut berujar, “Jadi begini rencana kami, Tuan Sun. Kita masuk ke Istana Han, dan dengan suatu cara kita pancing agar Kaisar Han keluar dari wilayah amannya dan perlindungan para pengawalnya, seorang diri. Sampai di suatu tempat di mana kita telah menyiapkan pasukan dalam jumlah besar yang mampu menghabisinya dalam sekejap. He Xian mengangguk-angguk. “Tapi kurasa akan jauh lebih baik bila kita menyamar sebagai pembesar dari negeri lain.
Xing Long terdiam sebentar. “Dia... orang yang sangat sulit. Sejujurnya, aku sangat heran ada orang yang bisa bertahan hidup dengan menyimpan chi seperti itu.” Alis He Xian berkerut. “Maaf Guru, murid tak mengerti...” Xing Long hanya menggeleng sepintas dan mengalihkan pandangan dari He Xian yang hanya bisa melongo. Di saat bersamaan, ia lekas memasukkan kepalan tangannya yang kini basah oleh keringat dingin ke dalam saku, juga berusaha mati-matian menjaga keseimbangan kedua kakinya yang mulai goyah karena bergetar hebat. Ya, ia tak akan bisa menjelaskan pada siapapun, seberapa mengerikannya chi yang terpancar dari Ming Shi. Chi tersebut pula sangat aneh - tidak sepenuhnya hitam, tapi juga tidak putih. Abu-abu. Chi yang kotor - serta berkekuatan dashyat pula ganas. Dan tiada seorangpun di ruangan ini yang mem
Ming Shi berkelit dengan santai. He Xian menyabetkan pedangnya, Ming Shi kembali berkelit ke kanan. Mimik wajahnya nampak meremehkan. “Cuma segini kemampuanmu, Tuan Sun? Ya ya ya, memang anjing selamanya tak akan pernah melebihi tuannya. Tapi rasanya ini agak kelewatan, ya? Rasanya kau dulu tidak sebodoh ini. Atau guru barumu malah memberimu contoh yang tidak benar?” “Jangan menghina Guru! Ini tidak ada hubungan dengannya!” Di saat bersamaan Xing Long ikut menyerang. “He Xian, tenangkan dirimu! Gunakan ilmu pengendalian-chi yang telah kita latih di Lembah Kedamaian itu!” He Xian mengatupkan bibirnya. Ia memusatkan pikiran untuk membentuk aliran energi, dan pola serangannya pun berubah. Akan tetapi alih-alih menunjukkan perkembangan, pertahanan Ming Shi seakan tak tertembus. Ia masih saja dengan mudahnya berkelit ke sana kemari, dan sekarang mulai m
Baru sedetik ia menarik kekang kudanya, dari dalam hutan keluar ratusan prajurit siap mengepungnya. Ming Shi terhenyak. Cepat-cepat dibelokkannya laju kudanya. Para prajurit mengikutinya. “Percuma saja kau kabur, Kaisar Han! Kau takkan bisa lolos!” memimpin di depan, Amanet berseru penuh kemenangan. Ming Shi memacu kudanya tanpa tahu arah mana yang sedang ia tempuh. Bahkan ia tidak peduli akan ke mana ia berlari, saat ini nyawanya lebih penting dari segalanya. Yang ia tahu, ia kini tengah melintasi area pedesaan yang tampak miskin, dengan jumlah tanaman dan pohon-pohon lebat yang lebih banyak dibandingkan rumah-rumah sederhana di sana. Dan secara tiba-tiba, ia mendapatkan sebuah ide. Dipacunya si kuda menembus rerimbunan pohon yang sangat lebat. Ia celingukan kiri-kanan. Di dekatnya ada tiga sampai empat rumah gubuk kecil. Sembari mengendap-endap, ia mengintip satu persatu jendela g
Mereka pun masuk ke dalam. Istana itu tidak besar dan megah, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan istana miliknya, namun ia memiliki daya tarik tersendiri. Aula istana tempat sang Ratu bertakhta juga sama sekali tidak megah, alih-alih demikian ia tampak sangat menarik, dengan sang Ratu duduk di pusat ruangan. Melihat kedatangan Ming Shi, sang Ratu diikuti orang-orang lainnya berdiri dan menghaturkan hormat, “Selamat datang di Negeri Qi, Tuan yang Terhormat. Sungguh suatu kehormatan bagi kami dapat menerima kedatangan Anda di sini.” Masa mereka telah mengetahui identitas diriku? Ming Shi pun membalas penghormatan mereka. “Juga merupakan sebuah kehormatan besar bagi saya dapat bertemu dengan Paduka Ratu. Negeri Qi sangat indah, sangat damai dan tenteram, dan pula dipenuhi dengan cerdik cendekia yang pandai dan berbakat...” Ya, tentu saja mereka sangatlah pandai bila mereka benar
Berkat petunjuk dari Tuan Liang Junnan - lianxizhe Negeri Qi - Ming Shi tidak menemui kesulitan menemukan jalan pulang ke Han. Tetapi tidak berarti bila telah menemukan jalan pulang lantas tidak akan ada satupun masalah menghadangnya. Gangguan tersebut datang saat ia baru saja keluar dari perbatasan negeri Qi pada malam hari, dan tanpa sengaja bertemu dengan gerombolan besar pasukan Negeri Sutta. Lebih celaka lagi, pasukan itu dipimpin oleh Raja Detrin Songtsen yang sangat terkenal dengan keberanian serta ekstrimismenya. Ming Shi mengenal Detrin Songtsen, dan tentu saja Detrin Songtsen mengenal Ming Shi. Dan mereka berdua kini tengah dalam posisi berhadap-hadapan. Sebuah posisi yang sangat sulit bagi Ming Shi untuk melarikan diri. Detrin Songtsen mengamati Ming Shi dengan saksama. Ia menyeringai, “Jadi, Paduka Penguasa Han yang Agung yang menghilang tanpa sebab tempo lalu itu ternyata malah berada di sini. Padah