Share

THE WISDOM OF CROWN PRINCE
THE WISDOM OF CROWN PRINCE
Penulis: Richa Susilo

1. Destiny

Destiny of The Crown Prince

“Oh demi langit, Pangeran Nappy yang budiman. Sampai kapan kau akan terus begini?” Eros, pelayan sekaligus pengasuh Nap menghela napas putus asa seraya meletakkan sepiring salad di hadapan sang pangeran yang tampak menyeringai jahil tak peduli.

“Paling tidak, carilah seorang wanita. Tidak peduli dari golongan jin ataupun manusia. Yang penting wanita,” gumam Eros dengan nada lelah. Lengkap dengan ekspresi memohon yang membuat wajah bulat pria tua itu semakin terlihat seperti balon yang menggelembung. Ini bukan kali pertama Eros membujuk sang pangeran untuk segera menemukan calon permaisuri. Usahanya sudah puluhan bahkan ratusan kali. Dan sialnya, selalu berakhir dengan kegagalan. Mulai saat itu, ia tidak pernah lagi percaya dengan slogan, “Usaha tidak pernah mengkhianati hasil.” Baginya, semua itu hanya omong kosong.

Ia sudah mengerahkan berbagai cara, termasuk mengusulkan pengadaan pesta yang mengundang para gadis cantik keturunan bangsawan. Dan pangeran sinting itu justru memanjat pohon seperti tupai untuk bersembunyi. Menghilang begitu saja. Membuatnya semakin frustrasi.

“Keadaan raja semakin memburuk. Kau harus segera menikah dan naik tahta. Jika tidak, oh … sungguh, aku tidak ingin sakit kepala membayangkan apa yang akan terjadi,” ratap Eros dramatis.

“Dengar, Eros,” bisik Nap, meletakkan tangan kanannya pada sisi wajahnya dengan maksud agar tak seorangpun mampu mencuri dengar apa yang ia katakan, meski hanya dari gerakan bibir. Eros mendekatkan telinganya. “Aku sudah menemukan permaisuriku.” Lanjutnya dengan seringai lebar membuat mata Eros membulat sempurna.

“Sungguh?” Nap mengangguk mantap. “Siapa? Di mana? Kapan?” tanya Eros beruntun. Jelas ini kabar gembira sekaligus mengejutkan. Masalahnya, pangerannya ini tidak pernah sekali pun berinteraksi dengan wanita. Dan lagi, bagaimana mungkin ia bisa tidak tahu? Bukankah hampir 24 jam ia menemani sang pangeran?

“Sesuatu yang bersinar di lautan. Tapi aku sungguh tidak tahu ia makhluk apa.” Lautan? Lipatan di dahi Eros semakin menjadi dan bertambah berkali-kali lipat. Sejak kapan pangeran kerajaan White Kingdom melakukan perjalanan ratusan mil ke Selatan di mana tempat lautan berada? “Satu hal yang pasti, sinar itu terlihat sangat indah. Dan aku langsung jatuh cinta padanya,” gumam sang pangeran yang menarik ujung bibir sewarna cherry miliknya nyaris selebar papan catur. Menatap Eros sendu dengan binar rindu yang memancar kuat dari netra sewarna aquamarine yang mempesona.

Tatapan itu sungguh membuat Eros merinding. Jangan-jangan pangerannya ini tengah demam hingga pada tingkat halusinasi, atau, mungkinkah terkena sihir?

Makhluk tidak terdefinisikan yang bersinar di lautan? Oh, jangan-jangan itu matahari terbenam. Atau ikan anglerfish yang wujudnya seperti monster yang memiliki cahaya itu?

Eros bergidik ngeri. Dengan pertimbangan itu, ia langsung meletakkan punggung tangannya ke dahi sang pangeran. “Aku tidak demam, Eros,” dengus Nap seraya menepis tangan Eros. Menatap pelayan setianya itu dengan tatapan tersinggung.

“Oke, sekarang jelaskan padaku. Kapan kau pergi ke Selatan, Pangeran Nappy? Bagaimana mungkin aku tidak tahu?” tanya Eros memulai interogasinya dengan kedua tangan terlipat di dada. Menuntut penjelasan.

Nap meraih garpu dan mulai menggulung sayuran seraya menyeringai lebar, “Tadi malam. Lewat mimpi,” sahutnya santai sekali. Tanpa menoleh. Dan yang lebih menjengkelkan, yang membuat kedua bola mata Eros membeliak nyaris keluar adalah sikap Nap yang terlihat sangat tidak peduli. Membuat Eros nyaris mati berdiri.

“Oh, sebaiknya kau segera membunuhku dengan sebilah pedang, Pangeran Nappy yang malang,” gumam Eros pelan dengan ekspresi tersedu tanpa air mata, lebih menyerupai bisikan untuk dirinya sendiri.

Nap menyeringai lebar melihat orang yang mengasuhnya sejak kecil, yang menemaninya ke mana pun ia pergi, terlihat sangat frustrasi.

Pangeran itu beranjak berdiri. Mendekati Eros yang sibuk menuangkan air. “Tenang saja, Eros,” katanya seraya menepuk bahu Eros. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cara seperti itu. Itu terlalu mudah untukmu, sama sekali tidak menyenangkan. Lebih baik kau siapkan kuda dan perbekalan selama tiga hari. Besok pagi-pagi aku dan Asta akan melakukan perjalanan ke Selatan,” katanya santai dengan seringai lebar.

Eros mendelik sambil berkacak pinggang, mengangkat sudut bibirnya jengkel, “Kau tidak bisa membodohiku lagi, Panyusup Ulung!” Eros berkata tegas. Ia sudah lelah dengan sikap pangeran yang sering sekali menghilang dari istana secara tiba-tiba. Menyusup keluar istana diam-diam hanya untuk bermain gundu. Membuatnya kalang kabut memutari seluruh istana untuk mencarinya. Dan usahanya─seperti yang sudah-sudah─selalu gagal, karena pangeran susah diatur itu sudah pasti telah meninggalkan istana. Dan yang lebih menjengkelkan, selalu saja berakhir pada kemarahan raja dan senyum sinis para menteri dan pejabat.

“Ayolah, Eros. Aku sungguh-sungguh. Aku berjanji akan membawa pulang permaisuri seperti yang kau harapkan,” pinta sang pangeran memohon.

“Dalam wujud seperti apa? Sinar terang di lautan yang bisa saja berasal dari bokong kunang-kunang?” tanya Eros dengan kedua alis menukik tajam. Segala usahanya untuk mengintimidasi Nap dengan ekspresi kemarahan gagal total. Karena Nap justru terbahak mendengar penuturan Eros.

“Tidak, kunang-kunang terlalu kecil, Eros. Aku tidak bisa menyematkan mahkota permata di atas kepalanya. Mungkin mermaid. Ya, mermaid. Kurasa itu mermaid yang membawa lentera. Bagaimana menurutmu?” Nap tak henti membujuk dengan ekspresi yang membuat orang lain tak mampu menolak permintaannya.

Eros mengamati pemuda 17 tahun di hadapannya dengan saksama. Dilihat dari sudut mana pun, pemuda ini terlihat sangat mempesona. Seperti namanya, Arion. Pria tua yang mengabdikan hampir separuh usianya untuk kerajaan itu mulai mempercayai bahwa nama akan mencerminkan jati diri.

Sayangnya, ia tidak tahu bagaimana otak seorang pangeran Arion Nap bekerja. Apakah ada sambungan otaknya yang terputus, atau ada baut yang terlepas, atau mungkin ada yang kurang? Yang membuat sang pangeran memiliki tingkat halusinasi yang benar-benar mengkhawatirkan. Pasti ada yang tidak beres, pikir Eros. Ia bertekad akan memanggil tabib istana nanti. Ia mengangguk-angguk puas dengan analisisnya, membuat Nap memicingkan mata curiga.

“Eros?” panggilnya.

“Sepertinya kau butuh pengobatan, Pangeran. Setelah selesai makan, kembalilah ke kamarmu. Akan kupanggilkan tabib istana,” sahut Eros dengan nada penuh kekhawatiran. Khawatir jika pangeran kesayangannya mengalami gangguan mental yang sulit disembuhkan. Jika hal itu terjadi, siapa yang akan menggantikan kaisar memimpin White Kingdom? Sementara Nap hanya memiliki dua saudara tiri laki-laki yang masih berusia sepuluh tahun dan delapan tahun. Anak dari selir yang mengambil alih posisi ibunya sebagai permaisuri setelah ibunya meninggal.

“Aku tidak sakit, Eros. Ayolah, kumohon … aku janji akan menulis surat izin untuk Ayah. Kau tidak perlu khawatir, oke?” bujuk Nap.

Eros mengernyit. “Kaisar tidak akan mengizinkan.”

“Kaisar akan mengizinkan jika kau juga mengizinkan, Eros.”

Eros tak menyahut. Ia hanya diam sambil meneliti kesungguhan sang pangeran melalui gestur tubuhnya. Pria tua itu akhirnya menghela napas panjang, “Baiklah. Tapi janji, hanya tiga hari,” tegasnya.

“Janji!” sahut Nap mantap tanpa sedikit pun keraguan. Menarik sudut-sudut bibirnya membentuk garis lengkung yang menawan. Eros bahkan berani bertaruh, dengan senyuman semenawan itu, sejujurnya tidak akan sulit bagi Nap untuk mendapatkan gadis mana pun yang ia sukai. Tapi dasar, pemuda rupawan itu bahkan terlihat sama sekali tidak tertarik dengan gadis-gadis cantik yang tersedia di sekitarnya. Membuat Eros harus bekerja keras membujuknya. Dan selalu gagal. Entah bagaimana, pangerannya itu benar-benar bersikap seperti lelaki yang anti perempuan. Dirinya sungguh khawatir jika ternyata permaisuri yang dijanjikan akan dibawanya pulang nantinya adalah seorang lelaki. Oh tidak!

Eros menggeleng kuat untuk mengusir pikiran buruk itu seraya terus berdo’a.

***

“Paman Leandro,” sapa Nap dengan nada anggun khas bangsawan. Sosok yang sedang melatih prajurit di lapangan itu menoleh dan langsung memberi salam hormat kepada sosok yang memanggil namanya.

“Pangeran Arion, apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Leandro, membelakangi pasukannya dan sepenuhnya terfokus pada sosok putra mahkota di hadapannya.

“Ah tidak ada, aku hanya ingin mengajak Ega dan Egy ke Selatan. Besok pagi-pagi sekali. Apakah Paman lihat mereka?” tanya Nap langsung pada pokok tujuannya. Ia sudah berkeliling istana, tapi tidak menemukan si kembar di mana pun. Mungkin panglima White Kingdom yang merangkap sebagai ayah mereka tahu.

Pria dewasa dengan tubuh kekar yang diselimuti baju putih longgar yang sekarang basah kuyub oleh keringat itu berdeham pelan, “Silakan ikut denganku, Pangeran,” katanya pelan seraya berjalan menjauh. Langkah kaki jenjangnya berhenti di bawah pohon ek besar yang sepi. Membuat Nap mengerutkan kening samar, ia merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Meski demikian, ia menahan diri untuk bertanya. Ia memilih mengikuti saja langkah sahabat baik ayahnya itu.

Setelah memastikan tak seorang pun berada dalam jarak dengar keduanya, Leandro membuka suara. Manik sewarna emerald menatap lurus ke arah Nap. Ia terlihat sangat serius. Dari jarak sedekat itu, Nap menyadari betapa sosok di hadapannya terlihat sangat tegas dan kuat. Membuatnya bertanya-tanya tentang karakter jahil dan konyol kedua putra kembarnya. Ia mulai berpikir, apakah Ega dan Egy adalah produk uji cobanya yang menemui kegagalan? Nap nyaris tertawa membayangkannya ketika sebuah suara peringatan terpaksa mengubah fokusnya.

“Dengar, Pangeran, seharusnya hal ini kubicarakan dengan Kaisar Callister, tapi aku sungguh ragu.” Nap semakin mengerutkan dahi, tak mengerti arah pembicaraan dari panglima yang memiliki reputasi kesetiaan yang tak diragukan lagi itu.

“Katakan saja, Paman. Ada apa sebenarnya?” Putra mahkota White Kingdom itu tidak pernah mau memanggil Leandro dengan panggilan formal. Dengan sangat keras kepala ia selalu memanggil Leandro dengan kata “paman” meski berulang kali ditegur Eros. Namun pangeran itu sama sekali tak mengindahkan, bahkan terkesan sangat tidak peduli. Karena ia sungguh ingin meniadakan jarak akibat sebuah jabatan. Baginya, Leandro adalah keluarga yang penting. Dan ia sungguh tak pernah menganggap lelaki paruh baya itu sebagai bawahan apalagi orang asing.

“Pangeran Arion, aku sungguh berharap padamu. Segera temukan cinta sejatimu dan naik tahta. Dengan begitu, mungkin Pangeran bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,” tutur Leandro dengan mulusnya, membuat Nap nyaris tergelak andai saja ia tak menyadari tatapan serius Leandro. Lagi, seorang Leandro tidak pernah suka bergurau.

“Oh, demi Sang Pencipta yang membuat buah anggur begitu lezat, katakan Paman, ada apa sebenarnya? Kenapa mendadak semua orang memintaku segera menikah?” Nap terkekeh pelan.

Leandro sedikit terkejut mendengar penuturan Nap. Lingkar kementerian kerajaan jelas tidak menginginkan Nap segera naik tahta. Lantas siapa yang menyuruh pemuda susah diatur itu untuk segera menikah? Jika demikian, mungkin masih ada orang istana yang bisa ia percaya. “Maksud Pangeran? Apakah ada selainku yang meminta Pangeran untuk segera menikah?”

“Ya. Setiap hari ia mengulang-ulang permintaan itu. Tanpa bosan. Seperti rapalan mantra sihir,” Nap terkekeh pelan mengingat kelakuan Eros.

“Siapa?” tanya Leandro tak sabar.

“Eros. Siapa lagi? Ah, sudah. Kita tidak perlu membahasnya. Bukankah tadi Paman bermaksud mengatakan sesuatu?”

“Ya. Akhir-akhir ini para pejabat kerajaan dibuat resah oleh kasus pencurian. Mereka mengaku kehilangan emas dan perak dalam jumlah yang besar. Uang apalagi. Dan pencuri itu selalu meninggalkan jejak tinta merah yang bertuliskan “Harta kalian adalah hak rakyat! Kembalikan pada rakyat atau kalian akan menyesal!” di atas kain putih.

Maafkan kelancanganku, Pangeran. Tanpa perintah dan sepengetahuan kerajaan, aku sudah lancang memerintahkan Ega dan Egy untuk menyelidiki kasus ini. Seperti yang bisa Pangeran rasakan, kementerian sudah tidak bisa lagi diandalkan. Karena itulah Pangeran Arion menjadi satu-satunya harapan kami,” tutur Leandro mengutarakan keresahannya.

Nap mengerutkan kening semakin dalam, lantas tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Leandro. “Terima kasih, Paman. Nanti akan aku pikirkan tindakan dan sikap seperti apa yang akan kuambil.” Mendengar itu, Leandro tersenyum tipis dan mengangguk lega. Setelah merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, panglima tertinggi kerajaan itu undur diri untuk kembali menjalankan tugas. Meninggalkan Nap yang menghela napas panjang menatap awan yang berarak bebas di birunya langit.

“Seandainya aku menjadi awan,” gumamnya seraya menyeringai kecut. Berharap kembali ke masa nenek moyangnya yang menciptakan peraturan konyol tentang pernikahan di keluarga kerajaan. Usianya baru 17 tahun, bagaimana mungkin ia sudah harus menikah? Terlebih lagi, saat ini isi kepalanya masih dipenuhi dengan permainan gundu dan serunya bermain ketapel bersama anak-anak dan remaja desa. Kenapa ia harus berpikir tentang pernikahan dan mengurus kerajaan yang sudah pasti sangat melelahkan? Nap menghela napas berat sekali lagi sebelum menuju lapangan tempat berlatih para prajurit pemanah.

***

Suara desingan anak panah yang menggesek udara memaksa Asta menoleh, demi melihat siapa yang sedang berdiri santai di sampingnya, Asta langsung memberi hormat dengan membungkukkan badan. Tersenyum tipis, “Hebat. Seperti apa yang selalu diharapkan dari seorang pangeran,” katanya pelan dengan netra sewarna madu yang menatap lekat tiga anak panah yang saling tertaut pada pusat papan panah.

Nap terkekeh pelan mendapati pujian sahabatnya. “Kau yang mengajarkannya padaku, As,” timpal pemuda bersurai ikal itu santai, kembali mengambil dua anak panah. “Besok pagi kau ada tugas?” tanya Nap tanpa menoleh. Sebelah matanya menyipit. Memfokuskan pandangan dengan tangan kanan menarik tali busur sampai batas bahu kanannya.

“Tugasku adalah menjagamu, Pangeran,” sahut Asta dengan lugas.

“Oh ayolah, bukankah kau sudah berjanji akan memanggilku Arion saat tidak ada orang? Jangan membuatku mengulanginya sampai seribu kali, As,” kekeh Nap dengan kerlingan jahil. Membuat Asta yang memang seorang pemalu menunduk salah tingkah.

Selain itu, Asta merasa tidak pantas diperlakukan sebaik itu oleh pangeran. Ia merasa sangat malu dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Hatinya diliputi kebimbangan. Beberapa hari yang lalu, ayahnya yang seorang perdana menteri telah mengutarakan isi pikiran dan niatannya pada Asta. Membuat pemuda yang sejak bayi tumbuh bersama sang pangeran terbeliak tak percaya. Ia sungguh tak mempercayai kalimat itu keluar dari sosok yang sangat ia kagumi. Membuat Asta merasa malu hanya untuk menatap wajah sang pangeran.

“Asta, besok pagi-pagi sekali kita akan pergi ke Selatan. Sebaiknya kau persiapkan dirimu sekarang,” ujar Nap yang membuat Asta tersadar dari lamunannya.

“Ke Selatan?” Asta mendongak, keterkejutannya membawa refleks mempertemukan manik sewarna madunya dengan  aquamarine milik Nap. Asta tak ingin melihatnya lama-lama. Warna sebiru lautan dalam itu seperti akan menenggelamkannya.

“Ya, ke Selatan,” sahut Nap yang kini telah kembali memfokuskan pandangan pada papan panah.

“Oh baiklah. akan kusiapkan kuda terbaik untukmu,” ujar Asta dengan senyum getir di dalam hati.

“Terima kasih, As. Kau memang yang terbaik,” tukas Nap seiring tiga anak panah yang kembali menancap pada titik fokus papan. Saling berhimpit. Membuat Nap tersenyum puas sebelum mengalihkan pandangan pada Asta. Dan saat itulah, ia tahu sahabatnya itu tengah berada dalam kemelut bathin. Entah apa, ia tidak tahu. Dan jelas tidak ingin bertanya. Biarkan saja waktu yang menjawab. Pikirnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status