“Lepasin gue, lo mau bawa gue ke mana?” jeritku meronta.
Tapi tidak sedikitpun membuatnya terpengaruh. Dia terlalu kasar dan berkepala batu. Membuatku harus bersusah payah untuk berteriak-teriak agar setidaknya dia lepaskan. Tapi rupanya teriakanku itu gak ada gunanya untuk dia. Sebab sampai saat ini, pergelangan tanganku bahkan masih dikunci oleh cekalan tangannya dengan sangat kuat.
“Gue mau balik ke tenda sekarang juga! Cepet lepasin gue!” rontaku lagi entah untuk yang ke berapa kalinya.
“Lo udah berani ngintip, jadi jangan harap lo gue bebasin gitu aja,” tukasnya datar. Menimbulkan rasa takut yang semakin menjadi menyelimuti diri.
Hingga sampai beberapa saat kemudian, setelah menyeretku penuh paksaan, akhirnya ia pun melepaskanku juga dengan cara diempas kasar.
Jika saja aku tidak pandai menyeimbangkan tubuhku, mungkin aku sudah terpental jatuh ke atas tanah yang dipenuhi oleh ranting-ranting patah dan dedaunan kering. Untuk sesaat, aku menatap ke sekeliling demi memastikan perihal keadaan sekitar yang sedang kulihat ini. Dan ya, ini memang bagian terdalam hutan belantara. Terbukti dari banyaknya pohon yang sama mengeliling. Selain itu, tidak ada tanda-tanda kehidupan pula yang kudengar.
Di tengah rasa takut yang semakin menyergap, aku lantas menatap cowok itu menyalang. “Kenapa lo bawa gue ke sini?” lontarku setengah berteriak.
Kulihat, dia menghela napas pendek. Lalu tatapannya menghunus tajam tepat ke manikku. Aku berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak menangis. Sambil mengelus pergelangan tanganku yang baru saja dilepas olehnya aku pun sekuat tenaga untuk tetap terlihat berani di matanya.
"Lo ngapain tadi ada di sana?" tanyanya mengangkat dagu dan menatap angkuh.
Kualihkan pandanganku ke arah lain, aku tak mau kalau sampai ia melihat rasa takut dari sorot mataku. Jujur, aku memang takut saat ini.
"Heh! Lo gak bisu kan?" sambungnya lagi seraya memperpendek jaraknya denganku.
Dengan lancang, dia lantas menyentuh daguku dan mengarahkan wajahku agar menatap dirinya. Tentu tidak kubiarkan, kutepis cepat tangannya dengan kasar. Aku bahkan tidak sudi disentuh oleh cowok kasar seperti dirinya.
“Jadi, lo mau tetep membisu? Kalo gitu, jaga diri lo baik-baik sampe lo sendiri bisa keluar dari hutan belantara ini!“ tukasnya berkacak pinggang, “Itu pun kalo gak ada macan lapar yang tiba-tiba jadiin lo santapan,” imbuhnya menyeringai.
Lalu dengan kejam dia pun melengos pergi membiarkanku terjebak seorang diri di tempat tak bertuah ini.
***
Senja sudah berlalu. Langit pun mulai menggelap dan aku masih ada di dalam hutan tak bertuah ini sejak tadi. Cowok itu benar-benar manusia kejam yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan seorang gadis sepertiku di dalam hutan sendirian. Dia pikir dia siapa?
Bahkan mamaku saja belum pernah setega ini saat menghukumku ketika bersalah. Sungguh, aku takut berada dalam hutan di gelapnya malam. Berniat untuk menghubungi Viona atau Dirly tapi aku baru ingat kalau ponselku ketinggalan di tenda. Jaket pun lupa kupakai, sementara aku hanya memakai kaus panjang tipis dengan leher dibalut oleh syal yang belum kulepas—untungnya.
"Mamaaaa!! Tolongin Tria!" rengekku dengan wajah yang sudah dibanjiri oleh air mata ketakutan.
Demi Tuhan! Aku takut kalau tiba-tiba ada macan kelaparan yang melintas dan melihatku di sini sebagai santapan lezatnya. Aku bahkan masih belum menggapai semua cita-citaku, tapi apa jadinya jika aku sudah harus mati karena diterkam Macan. Sungguh tragis.
Tidak! Aku tidak rela.
Aku lebih baik dikasih tontonan superhoror di rumah sendirian sambil gelap-gelapan, dibandingkan ditinggal sendiri di dalam hutan dalam keadaan malam dan hanya sendirian.
Ya Tuhan, kirimkanlah malaikat penolong untukku. Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk tetap hidup dan selamat dari ancaman yang mungkin saja sangat mengerikan.
WUSSHH~
Angin malam mulai berembus kencang, membuat tubuhku menggigil kedinginan. Kupeluk tubuhku sendiri, untuk sekadar menghalangi angin agar tidak masuk menerobos ke dalam tubuh.
Aku terperanjat ketika mendengar suara burung hantu yang mendadak bersua, suasana mencekam pun seketika menyergap di sekelilingku.
Krasak, krusuk.
Aku mendengar sebuah suara tak jauh dari tempatku berada sekarang. Sigap, aku pun menolehkan kepalaku untuk melihat keadaan, berwaspada kalau-kalau ada binatang buas yang melintas. Aku mengambil napas dalam-dalam, mengatur detak jantung yang mulai berdegup kencang.
Oh Tuhan, ini sungguh mengerikan. Apakah para pemain film horor itu merasa ketakutan seperti ini juga di kala mereka berada dalam situasi yang menegangkan? Ah tidak, kurasa ini lebih menyeramkan dari yang kulihat di adegan film-film horor itu.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencoba mencari ide supaya aku bisa menemukan jalan keluarnya. Namun di tengah itu, tiba-tiba saja aku mendengar sebuah suara yang menjanggalkan. Sampai ketika aku menolehkan kepalaku secara perlahan, tiba-tiba saja sebuah bayangan hitam muncul tak jauh dari belakangku dan--
"KYAAAAAAA...." jeritku ketika melihat sosok tinggi di depanku. Dan detik itu juga aku pun terkulai lemah sampai tak tahu apa-apa lagi.
***
Kenapa Tuhan harus menciptakan manusia sejenis Esa? Kenapa Tuhan harus mempertemukanku juga dengan manusia menyebalkan seperti cowok itu?
Lihatlah!
Dia membawaku ke hutan, meninggalkanku sendiri sampai aku nyaris mati ketakutan, mengejutkanku sampai aku pingsan dan pada akhirnya, dia juga yang membawaku kembali ke tenda seolah seperti pahlawan. Maunya apa?
Kenapa dia harus bertindak semaunya begitu? Apa dia gak mempedulikan perasaan orang lain? Rasanya, aku ingin sekali mengirimkan sebuah santet ke pada dia. Biar saja aku dianggap menyimpang dari aturan, yang penting, dia bisa merasa jera bahkan segan untuk berlaku sesukanya lagi terhadapku.
Sejak aku tersadar dari pingsanku tadi malam, aku gak berhenti mengumpat bahkan menyumpahi ketua senat resek itu.
KETERLALUAN!
Meskipun Viona gak setuju dengan kekesalanku pada senior menyebalkan itu, tapi tetap saja, walaupun dia juga yang membawaku keluar dari hutan itu saat aku sedang pingsan dan mengembalikan ku ke tenda dengan selamat, tapi dia juga kan yang membuatku sampai tak sadarkan diri seperti itu.
Dan, apa? Viona memintaku agar aku mengucapkan terima kasih kepadanya? Yang benar saja!
Aku sampai mendecih ketimbang menyetujui ucapannya. Dia tidak tahu saja bagaimana teganya cowok itu saat meninggalkanku tak berperasaan. Ucapan terima kasih, ya? Maaf, aku bukan malaikat yang berhati lapang dan juga mudah melupakan kesalahan seseorang.
"Tria, lo yakin gak mau ngucapin terima kasih sama Kak Esa? Dia udah nyelametin lo tau," ujarnya meyakinkan ketika aku baru saja selesai menukar pakaianku.
"Apaan sih, Vi! Masih aja lo bahas soal itu. Kan gue udah bilang bahkan berulang kali sama lo. Gue gak sudi. Lo bilang terima kasih aja sendiri kalo mau!" semburku sarkas dan selalu mendadak sensitif setiap kali mendengar nama kakak tingkat menyebalkan itu disebut.
"Tapi, dia kan—"
"Gue gak peduli!” selaku memotong kalimatnya. “Mau dia nolongin atau enggak sekalipun, gue gak bakalan ngomong apa-apa sama dia. Dan ini udah jadi keputusan yang final buat gue pribadi,” Putusku tak mau dibantah, lalu bersiap-siap untuk keluar tenda daripada terus mendengar ocehan Viona yang selalu memaksaku untuk meminta maaf pada cowok itu.
“Udah deh, gak usah paksa-paksa gue lagi kalo gue udah bilang gak sudi!" omelku ketus saking kesalnya karena Viona terlalu naif menilai ketua senat yang sok pahlawan itu.
Tanpa menunggu lagi Viona berkomentar, aku pun lekas keluar dari dalam tenda. Akan lebih baik jika aku menghirup udara pagi yang ditemani oleh hangatnya sinar mentari daripada harus mendekam di dalam tenda bersama kekesalan yang ikut terpendam.
Kemudian, aku pun mulai merentangkan kedua tangan sambil bersiap untuk memejamkan mata. Namun sebelum itu berhasil kulakukan, aku justru malah sudah mendengar sebuah sapaan dari arah kananku.
"Selamat pagi!"
Sontak, aku pun sigap menoleh dan mendapati senyuman manis milik Dirly yang kini tersungging di bibirnya.
"Eh, hai ... Selamat pagi juga!" balasku ikut tersenyum.
"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" tanyanya sembari menyorotkan tatapan rasa peduli terhadapku.
Sejenak, aku pun mengangguk. "Gue baik, dan akan selalu baik....” tuturku tersenyum tipis. Membuat Dirly lantas mengangguk paham diikuti oleh helaan napas leganya.
“Syukurlah, gue cemas banget sewaktu liat lo dibawa Esa tadi malem dalam keadaan gak sadarkan diri. Gue bahkan sempat ngerasa gak guna karena sebagai panitia acara ini, gue bahkan gak bisa mantau semua peserta camping yang kemungkinan bisa aja mengalami hal serupa seperti yang terjadi sama lo. Sekali lagi, maafin gue ya, Tria. Gue--”
"Its okey. Ini bukan kesalahan lo. Dan seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja kan?" tukasku menghibur. Tentu ini bukan salah Dirly, meskipun dia adalah panitia, tapi tetap ini tidak ada sangkut pautnya dengan Dirly. Yang salah adalah si kakak tingkat itu. Rasa-rasanya, aku bahkan tidak akan sudi jikapun dia datang untuk meminta maaf terlebih dahulu.
"Oh ya, lo udah sarapan?" tanyanya kemudian. Aku senang, setidaknya, Dirly tidak lagi membahas soal kejadian semalam saat aku pingsan.
"Belum. Lo sendiri?" gelengku bertanya balik.
"Kebetulan kalo gitu. Gue ada makanan instan di tenda, lo mau kan sarapan bareng sama gue?" ajaknya menatap teduh. Untuk sesaat, aku sedikit terpana akan tatapan yang disorotkannya itu.
Merasa tidak ada jawaban dariku, Dirly pun menjentikkan jemarinya. Membuatku terkesiap, dan kemudian aku pun mengangguk spontan demi menerima ajakannya sesaat lalu.
Di tengah langkahku dan Dirly yang mulai mengayun beriringan, tiba-tiba saja seseorang yang tak pernah kusangka mendadak muncul menghentikan langkah kami secara spontan. Dalam sekejap, aku pun sempat membelalak ketika mendapati sosok si kakak tingkat yang saat ini sedang menatapku datar.
"Gue bisa bicara berdua sama lo?" lontarnya to the poin.
Sepintas, aku pun menolehkan kepalaku ke belakang. Tapi kemudian, aku pun merasakan sebuah tepukan kecil di bahuku.
"Gue ngomong sama lo. Lagipula gak ada orang di belakang lo. Jadi, apa lo bisa ikut gue?" ujarnya lagi dengan nada yang sedikit penuh penekanan.
"Tria udah ada janji sama gue. Jadi gue pikir, lo bisa bicara sama dia setelah--"
"Gue gak ngomong sama lo! Jadi lo gak usah ikut campur sama apa yang menjadi urusan gue. Paham?" desis si kakak tingkat menatap tajam.
Lalu tanpa kuduga, dia bahkan telah meraih pergelangan tanganku dan menarik diriku supaya ikut dengannya sekaligus menjauhi Dirly yang hanya mampu berdiri di tempat dengan rahang yang mengatup erat.
"I LOVE BEACH!!" teriak Tria penuh bahagia sambil berlompat-lompat girang saat tahu Esa mengajaknya ke pantai.Sepulang kuliah Esa tidak langsung mengantar gadisnya pulang. Justru dia malah membawa sang gadis ke sebuah pantai yang cukup lenggang. Mengingat ini bukan hari libur, jadi tidak banyak orang yang mengunjungi pantai tersebut."Yang!" panggil Esa sedikit menyenggol bahu gadisnya.Yang disenggol pun melirik kesal, "Ih, apa sih senggol-senggol," protesnya lantas mendelik."Hehe maaf, di sengaja...." Kekeh Esa membuat Tria semakin kesal."Kamu nih, ngerusak mood aja," gerutunya. Lalu dengan langkah dientak Tria pun melenggang menjauhi sang pacar yang sudah merusak moodnya."Yang, mau ke mana?" seru Esa tanpa mengejar."Ke mana aja lah, yang penting gak ada kamu!" sahut Tria asal, yang Esa ketahui saat ini gadisnya itu sedang dilanda kekesalan sesaat.Keadaan pantai di sore hari membuat semilir angin berhembus kencang, mene
"YUHUUUU!! AKU BISA NAIK SEPEDA, SAAA!" teriak Tria girang sambil memutari badan Esa dengan kayuhan sepedanya.Akhirnya, setelah hampir berkali-kali jatuh saat diajari bersepeda dan sudah hampir kurang lebih dua jam Esa mengajari tata cara mengayuh sepeda yang baik dan benar. Tria pun bisa juga mengatur keseimbangan tubuhnya dan hal itu membuat ia semakin mudah untuk mengendalikan sepeda yang dinaikinya. Dan kini, Tria benar-benar sudah lancar menggowes sepedanya tanpa harus dipegangi lagi oleh Esa."AKU BISA NAIK SEPEDA YEEE!" sorak Tria lagi membuat semua mata memandang aneh ke arahnya.Meskipun menjadi pusat perhatian, Tria tidak memperdulikan hal itu. Justru dia malah kegirangan sendiri, layaknya anak balita yang baru saja bisa berjalan dengan lancar. Begitupun juga dengan Tria, pada akhirnya dia bisa mengenyahkan rasa takut dan traumanya untuk belajar bersepeda.Hingga kini ia pun bisa mengendalikan kayuhannya dengan baik, dan itu semua berkat
"YUHUUUU!! AKU BISA NAIK SEPEDA, SAAA!" teriak Tria girang sambil memutari badan Esa dengan kayuhan sepedanya.Akhirnya, setelah hampir berkali-kali jatuh saat diajari bersepeda dan sudah hampir kurang lebih dua jam Esa mengajari tata cara mengayuh sepeda yang baik dan benar. Tria pun bisa juga mengatur keseimbangan tubuhnya dan hal itu membuat ia semakin mudah untuk mengendalikan sepeda yang dinaikinya. Dan kini, Tria benar-benar sudah lancar menggowes sepedanya tanpa harus dipegangi lagi oleh Esa."AKU BISA NAIK SEPEDA YEEE!" sorak Tria lagi membuat semua mata memandang aneh ke arahnya.Meskipun menjadi pusat perhatian, Tria tidak memperdulikan hal itu. Justru dia malah kegirangan sendiri, layaknya anak balita yang baru saja bisa berjalan dengan lancar. Begitupun juga dengan Tria, pada akhirnya dia bisa mengenyahkan rasa takut dan traumanya untuk belajar bersepeda.Hingga kini ia pun bisa mengendalikan kayuhannya dengan baik, dan itu semua berkat
Ting tong.Tria terhenyak sendiri di tengah waktu santai dan rebahan nyaman di atas kasurnya ketika dentingan bel terdengar dari balik pintu utama di luar sana.Ia melirik jam bulat yang menempel di sudut dinding kamarnya. Bahkan saat jarum jam masih bertengger di angka 10, rumah minimalisnya malah sudah didatangin tamu saja."Siapa sih, lagi mager gini kok malah ganggu?" gumam Tria mendumel sembari menaruh novel romance yang sedang dibacanya di atas bantal.Lalu dengan malas ia pun beringsut menuruni ranjang dan menyeret kaki cantiknya menuju pintu yang masih menghasilkan bunyi dentingan bel yang entah ditekan oleh siapa.Ting tong—CKLEK.Pintu lalu ditarik terbuka oleh nona rumah, karena sebutan tuan hanya dikhususkan untuk seseorang bergender laki-laki."Morning!" sapa seseorang di balik bucket mawar putih yang sengaja ia tutupkan menghalangi wajahnya."Esa?" tebak Tria langsung tahu, karena mau ditutupi ol
Tubuh Tria diempas kuat ke atas ranjang. Pria hidung belang itu tertawa membahana sembari berkacak pinggang seolah berkuasa. Gadis itu berniat untuk bergerak dalam posisinya, tapi sebelum itu terjadi, si pria bernama Hadi itu sudah lebih dulu melompat naik mengunci pergelangan tangan Tria yang ia rentangkan dua-duanya.“Mau ke mana gadis manis?” tatap Hadi berkilat.Tria menangis. Matanya bergerak liar, berusaha mencari akal agar ia bisa melepaskan diri dari pria tua berbahaya ini. Dia tidak sudi jika tubuhnya tersentuh sedikit pun oleh pria semacam Hadi. Tria lebih memilih untuk mati ketimbang masa depannya yang harus hancur akibat perbuatam Merlin yang melemparkan dirinya ke tangan si hidung belang yang kini tengah menatapnya penuh nafsu.Tidak! Tria takut. Dalam hatinya ia merapalkan sejumlah doa agar dia bisa terselamatkan dari bahaya yang akan segera menyerangnya.Esa.Hanya nama itu yang terucap dalam doanya. Dia berharap lelaki i
BRAK.Dirly berhasil menendang pintu di depannya dengan sangat kencang, sehingga membuat pintu berbahan kayu jati itu terbuka secara paksa hingga menghantam dinding. Dengan cepat ia segera mengajak Esa dan yang lainnya masuk ke dalam ruangan itu, kegelapan seketika menyambut saat mereka menerobos ke dalam ruangan itu."Tria!" panggil Viona langsung, mencari sahabatnya di tengah kegelapan."Dir, sakelarnya ada di mana? Gue mana bisa nyari Tria kalo ruangannya gelap begini," ujar Givo mengeluh.Dirly lantas melangkah ke arah dinding yang ditempeli saklar, lalu tak lama kemudian dia pun berhasil menekan sakelar sehingga ruangan seketika menjadi terang."Loh, Kak Esa, kenapa banyak banget foto lo sama Merlin di sini?" komentar Viona yang pertama kali melihat beberapa foto folaroid tergantung dari langit-langit ruangan.Esa menghampiri tempat di mana Viona berdiri sekarang. Tatapannya ia edarkan ke arah sejumlah foto yang memang benar terisi potr