"kabar buruk apa Mas?" tanyaku dengan khawatir.
"Mungkin kamu akan terkejut," ujarnya sambil menunduk. "Apaan sih, ngomong dong Mas," ujarku penasaran. "Aku mendapat kabar kalau Soraya mengalami tabrakan bersama sopir Dan pengacaranya ketika mereka kembali dari kantor polisi, sore tadi," jawab Mas Rafiq. "Nggak mungkin, masa sih Mas?" "Ya, bahkan ceritanya pun masuk koran dan media online kalau nggak percaya lihat aja bawa anak seorang pengasuh pondok pesantren terkenal mengalami kecelakaan," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya. Kuambil ponsel dari tangan Mas Rafiq lalu melihat portal berita online yang menyajikan berita yang terjadi pagi hari ini. Setelah kubaca, ternyata benar bahwa korbannya adalah Soraya Hamid beserta 2 orang penumpang lainnya. "Kok bisa ya Mas?" Aku masih terkejut dan tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi ini. "Katanya sih mobilnya terlalu mengebut di jalan tol, lalu ketika ingin ingin menghindari mobil yang ada di depannya sopir kehilangan kendali dan menabrak pembatas jalan kemudian mobilnya melayang hingga terjatuh dalam posisi terbalik." "Lalu bagaimana keadaannya sekarang,?", Lanjutku. "Menurut cerita yang aku dengar wanita itu mengalami patah tangan dan kaki juga cedera di bagian kepala." "Astaghfirullah, Mas. Berarti kecelakaannya lumayan parah ya?" "Kurasa begitu." Dari rentetan kejadian yang pernah terjadi dan begitu banyak cerita hidup Soraya, aku tidak menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini. Aku tak tahu sebanyak apa kesalahannya selama ini, namun, mungkin Tuhan ingin memberinya sebuah pelajaran dari musibah yang menimpanya. Ada rasa miris sekaligus iba juga mendengar bahwa dia harus mengalami kejadian menyakitkan itu, bisa dibayangkan bagaimana ia menjerit dan menangis, menahan rasa sakit dan pedih akibat cidera. "Jadi di mana dia dirawat sekarang Mas?" "Kamu tidak perlu tahu tidak penting juga untuk pergi menjenguk dan melihat wanita itu." "Tapi ...." "Ingat, dia pernah begitu menyakitimu Jannah, Andai Wira tidak melindungimu mungkin sekarang kamu yang sedang mengalami luka akibat siraman air keras," pungkas mantan suamiku itu. "Iya sih, Mas ... tapi ...." "Kedatanganmu akan membuat orang tuanya murka dan mereka bisa jadi akan menyalahkanmu atas musibah yang menimpa anak mereka." "Itu bukan salahku Mas." "Karena itulah, kamu kan tidak bersalah, jadi jangan terlibat lagi dengannya." Setelah mengobrol beberapa saat dan Mas Raffiq bercengkrama dengan kedua anakku, mantan suamiku itu mohon diri untuk pamit pulang karena hari sudah malam. Aku pun mengizinkan dan mengantarnya sampai ke depan pintu utama hingga mobilnya menghilang dari depan rumahku. ** Matahari seakan tidak pernah absen menyapa penduduk bumi, setiap pagi kedatangannya menghangatkan suasana dan menerangi semua sudut alam raya ini. Begitupun aku yang telah bersiap-siap untuk pergi bekerja. Setelah Kuperiksa pesan yang masuk ke ponsel ternyata ada pesan dari komisaris polisi bahwa investigasi tentang Soraya akan dilanjutkan ketika keadaan wanita itu membaik, sehingga penyelidikan atas kasus ini untuk sementara akan ditunda. "Baik tak mengapa, kita akan ikuti arah takdir ini sesuai dengan kehendak Allah," gumamku sendiri. * Ketika hendak menyalakan mesin mobil tiba-tiba ada seseorang yang menelpon, kusibak resleting tas untuk meraih benda pipih itu. Lalu menggeser layar untuk bicara. "Halo, Rina, ada apa?" "Mbak segera ke toko deh karena Mbak kedatangan tamu," jawabnya. "Siapa?" Aku mulai penasaran. "Nyonya Zahrina," bisiknya. "Ngapaian?" Aku tidak sanggup menyembunyikan rasa penasaran. "Nggak tahu katanya mau bicara sama mbak Jannah." Dia berbisik dan membuatku semakin berdebar-debar saja. "Oke kalau begitu aku ke sana ya," jawabku. Setelah berkendara selama dua puluh menit dengan hati berdebar-debar tidak karuan membayangkan apa yang dia katakan kepadaku akhirnya aku sampai di depan store butik milikku. Kumatikan mobil dan langsung menemui Ibunda Wira di masa ruang tamu tokoku. "Selamat pagi Nyonya." Aku menyapanya lalu mengambil tempat duduk tepat berhadapan dengan wanita bergaya elegan tersebut. "Selamat pagi, Mbak." tidak biasanya dia memanggilku dengan kalimat Mbak biasanya dia memanggilku dengan kata Jeng atau sapaan hangat lainnya. "Apa kabar, boleh saya tahu ada apa Nyonya Zahrina mencari saya ke toko?" Tak segera mengatakan maksud kedatangannya, Nyonya Zahrina sempat menunduk sebentar kemudian mengangkat wajahnya lalu menatapku lekat-lekat. "Kira-kira jika terjadi hal itu kepada anakmu apa yang akan kamu lakukan demi kebahagiaannya?" Tatapan matanya begitu menyiratkan sebuah harapan juga sorot kebingungan yang sulit dijelaskan. "Apa yang harus aku katakan kepadamu, Nyonya?" Tanyaku dengan suara yang tercepat. "Aku tahu, sekali saja kau mengatakan iya kepada dokter itu, kalian bisa menikah kapan saja, bahkan esok hari, tapi bagaimana dengan Wira?" Kali ini bibir wanita yang selalu tampil cantik dan bergaya itu nampak bergetar. "Wira ... Dia yang menyuruhku untuk menjauhinya," jawabku pelan. "Dia memintamu untuk menjauhinya karena dia tahu diri bahwa dia tidak sesempurna dulu untuk bisa bersamamu, anakku minder, Jannah, tapi hatinya terluka!" Nada wanita itu amat emosional. "Lalu apa yang Nyonya inginkan? Apa yang harus aku lakukan?" "Setidaknya jangan lari dari tanggung jawab seperti ini," ungkapnya sambil menyeka sudut mata, "anakku berjuang sendiri dalam kesakitan dan luka yang pedih, kini kau sekolah menyiramkan garam di atas luka anakku dengan pergi meninggalkannya begitu saja." "Ak-aku tidak bermaksud begitu," jawabku. "Tapi kau sudah melakukannya! kau membunuh semua harapan anakku, apa kau pikir ini perbuatan yang bijak?" "Dia memaksaku untuk pergi Nyonya," sanggahku. "Dia juga memaksaku untuk memaafkanmu tapi aku tahu putraku sangat menderita dan itu semua karena kamu!" tudingnya dengan emosi sambil menunjuk kepadaku. "Maaf ... Maafkan aku ... Aku tidak bisa memaksa Wira agar aku tak berada disampingnya karena dia sendiri menolak keberadaanku," jawabku. "Tapi ini tidak adil baginya!" Wanita itu seketika berdiri dan meradang dia mengambil vas bunga yang ada di atas meja lalu melemparnya ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Nyonya tolong tenangkan diri, Nyonya," bujukku. Namun, wanita itu terlanjur meradang ia menghampiri dan menarik-narik bahu pakaianku juga jilbab yang melingkari kepala dan leherku, Aku gelagapan dan sulit bernapas. Bukannya tak bisa melawannya tapi aku menghargai persahabatan kami dan menghargai bahwa dia lebih dewasa dariku. "Nyonya, kendalikan dirimu, ini salah," kataku sambil berusaha menjauhi tangannya. Suasana toko yang sepi karena masih pagi dan saat itu hanya ada Rina, kebetulan dia pun sedang di gudang belakang, jadi tak satupun ada orang datang untuk menolongku dan melerai kami. Dia mendorongku sedang aku menahan tangannya agar tak sampai aku terjatuh menabrak pot bunga besar di sudur ruangan. "Hentikan ini!" Mas Rafiq tiba tiba hadir dan melerai kami. "Oh, dewa penyelamat selalu datang di waktu yang tepat, entah mengapa kau selalu hadir di mana saja Jannah berada, dan selalu tahu waktu yang tepat untuk menyela" desis wanita itu terengah-engah sambil menahan emosinya. "Apa yang Anda lakukan?" "Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan! Kenapa emangnya ada masalah denganmu?!" Wanita itu menyeringai sambil mendelik, aku tahu dia saat ini benar-benar emosi. Tak lama kemudian Paman Wira juga datang dan merangsek ke dalam ruang tamu tokoh ini mereka juga kaget mendapati posisi kami yang sudah berantakan dan dia seolah menangkap bahwa saat ini kami sedang bertengkar. "Mbak Zahrina, ini tidak baik, ayo pergi, kami sudah berfirasat buruk ketika kau mengatakan ingin menemui mbak Jannah," ujarnya sambil meraih kakaknya itu. "Jannah, maafkan aku dan kakakku," katanya sambil menangkupkan tangan di depan dada. "Kau bersikap seolah-olah kau akan menjadi suami Jannah!" Teriakknya meradang. "Memang aku akan menikahinya! memangnya masalah untukmu!" Balas Mas Rafiq membuat wanita itu langsung sesak di dada nyaris pingsan karena tak sanggup menahan emosinya. "Mbak Jannah, tunggu! Tolong hentikan keributan ini." Tiba tiba Rina dan Rudi datang pada kami dengan wajah gugup. "Ada apa?" "Mbak Soraya katanya jatuh koma!" "Apa?!" Ya Allah, haruskah ini masih terhubung denganku, aku harus melepaskan diri dari mereka semua dan melanjutkan hidupku. Harus!Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais