Langkah kaki Hera terdengar pelan di lorong hotel. Sepatu hak "mahal" ini sudah terlalu sempit, tapi ia belum punya sepatu pengganti. Bagi orang lain, gaun merahnya mungkin tampak mewah. Tapi bagi Hera, itu adalah seragam kerja
Tangannya menggenggam erat tas Hermes kecil. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, lipstik murahan, dan kartu mahasiswa yang hampir jatuh tempo.
Mahasiswa. Ya, itulah Hera di siang hari. Mahasiswi sastra inggris tahun akhir.
Tentu saja dahulu ia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. Semua karena satu dan lain hal, situasi tidak terelakkan. Hingga pada akhirnya ia bertemu tamu ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 dan pada malam ini, ini adalah tamu ke-9 miliknya.
“Jangan macam-macam. Dia bukan orang biasa.” Ucap manajer berulang-ulang padanya, seperti mengingatkan Hera, bahwa satu kesalahan saja, Hera bisa tiada dari dunia ini.
Pintu kamar 1705 terbuka otomatis.
Sosok pria duduk di kursi dekat jendela, punggungnya menghadap Hera. Gelas anggur di tangannya berkilau diterpa cahaya lampu kristal.
Pria itu bahkan tidak menoleh ketika Hera masuk.
Ini tentu sangat aneh baginya, biasanya tamu akan segera memeluknya, meraba bagian bagian tubuhnya, atau yang paling ekstrim langsung tanpa busana diatas ranjang. Bibir Hera terkatup, kedua alis nya tertaut, ia sedang mencerna keadaan.
"Duduklah" Suara itu begitu dingin dan serak
"Terimakasih" Sahut Hera, ia duduk di kursi bersebelahan dengan pria itu.
Hera memandangi pria disebelahnya, "hmmm lumayan, dia tidak gendut dan botak"
"Apa aku menggangu kamu melamun?" tanya Hera berusaha mencairkan suasana
"Tidak terlalu" Jawab pria itu pendek
Hera berusaha tidak terlalu agresif karena ia juga memiliki harga diri yang tersisa untuk tidak menjadi terlalu betina pada tamu manapun. Ia lebih suka menunggu bola, meski ia ingin semuanya langsung terjadi dan ia bisa pulang cepat ke rumah.
"Tapi instruksi manager memang agak berbeda malam ini, ia tidak bilang ini one night atau..."
Hera berusaha mengingat hal-hal kecil yang mungkin menjawab pertanyaannya ini. Bibirnya yang berisi membuat gerakan gerakan aneh. Sambil menatap jalanan lalu lalang diluar jendela, semuanya tampak dibawah kaki mereka, pikiran Hera melayang layang, terbang kesana kemari, matanya tidak lepas memandang kebawah, disana tampak lampu-lampu rumah yang sangat kecil, bagaikan kotak kotak hitam beraneka bentuk dan ukuran diterangi cahaya bulat kecil yang banyak.
"Ini pasti akan menjadi malam yang panjang!" pikir Hera
Setelah menit menit yang canggung, pria itu akhirnya menoleh. Tatapan matanya menusuk, dalam, seakan menelanjangi jiwa. Ia menatap wajah Hera, mata mereka bertemu, pria itu seperti membaca catatan yang rumit, dan menemukan jawabannya di kening Hera.
"Oh tidak, dia sangat tampan"
Hera merasa sangat gelisah, ia membuang pandangannya keluar jendela.
“Kau Hera?.” tanya pria itu
Hera tersentak. "Ya?" jawabnya pelan dan canggung
Pria itu tersenyum samar, “Mahasiswi sastra inggris. Proofreader sekaligus editor freelance di majalah cetak, Introvert, dan punya satu adik laki-laki".
Napas Hera tercekat.
"Itu… tidak mungkin informasi dari manager kan?" batinnya berkata-kata
Keringat dingin membasahi tengkuknya.
“Aapaa..... maksud... kenapa?” Hera mulai takut.
Pria itu bangkit, langkahnya tenang. Ia mendekat, berhenti tepat satu jengkal di depan wajah Hera. Tidak menyentuh. Namun aura dinginnya sudah cukup menekan dada Hera.
“Aku Ruben.” senyum Ruben merekah indah, sangat indah.
"Sial, kenapa senyumnya begitu mempesona?" Hera menunduk dengan cepat. pipinya terasa panas.
Ia mengerjapkan matanya, perasaannya campur aduk antara bingung, takut dan terpesona. Ya benar, ia sedang terpesona meskipun ia sangat tidak suka mencampur adukkan perasaan dengan pekerjaannya. Hera selalu menjaga profesionalitasnya.
"wanita penghibur tidak di izinkan untuk memiliki perasaan pada klien" ia mengulang ulang kalimat itu didalam hati.
Pria dingin ini, tapi dia sangat sesuai dengan tipe pria yang Hera impikan. Mungkin ini terdengar lucu, tapi sebenarnya Hera juga wanita normal.
Deg.
Jantung Hera berdetak kencang. Ia tidak tahu kenapa, tapi matanya tak bisa lepas dari pria itu. Bukan hanya karena ketampanan Ruben semata, tapi karena tatapan dinginnya… tatapan penuh misteri seolah sedang menyimpan sesuatu. Hera menggilai tatapan itu.
Hera tiba tiba merasa benci pada dirinya sendiri. Ia ingin melawan, namun di saat yang sama, ia merasa tidak berdaya.
“Kalau aku menolak?” suara Hera serak.
Ruben merogoh saku jasnya, meletakkan sebuah amplop di meja. Amplop putih tebal.
“Kalau kau menolak,” Ruben mendekatkan wajahnya ke telinga Hera, ia mulai berbisik, “kau tetap akan kembali padaku.”
Hera berusaha menenangkan diri. Ia duduk tegap dan menunggu instruksi selanjutnya.
Ruben meninggalkan Hera yang duduk di dekat jendela, Hera berbalik menghadap kliennya, yang kini sedang membuka Jas hitamnya, menggantung di lemari, menggulung lengan kemeja hitamnya dan membuka kancing depan sebanyak tiga kancing, itu cukup menunjukkan dada putih Ruben yang bidang.
Hera menelan ludah.
Semua godaan itu tidak berhenti sampai disitu. Ruben kembali membuka tali pinggang ber-merek yang Hera bisa pastikan harga tali pinggang itu bisa membeli sepeda motor baru.
Hera masih mematung disana, duduk manis tanpa bergerak. Tapi matanya menjelajah dan mengukur pria itu.
Kemeja hitam yang digulung sampai siku, dan jam tangan sederhana namun mahal, kontras dengan kulit Ruben yang putih dan tatapan dingin yang mematikan. Bagi Hera, semuanya terasa salah, Ia seharusnya tidak ada di sini. Jelas sekali pria itu tidak ingin menyentuhnya.
Hera memaksa dirinya untuk tenang, tapi tangannya gemetar ketika tatapan Ruben tetap menatap matanya, kupu-kupu terbang di perutnya, ia pernah merasakan ini, tiga tahun lalu. Rasa ini persis sama, seperti perasaannya pada Darma, lelaki yang ia cintai di bangku SMA, kekasih sekaligus rumahnya, tempat ia kembali dan bersandar dari kerasnya beban hidup. lelaki yang kini menghilang entah kemana, lenyap ditelan bumi.
Hera masih membeku. Ruben yang tadinya berdiri di samping ranjang, kini sudah merebahkan tubuhnya yang tinggi diatas kasur.
“A...aku juga tidur disana?" akhirnya suara Hera keluar,cepat dan canggung, sedikit melengking.
Ruben mengangkat bahu, seolah tidak peduli.
Hera menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Akhhh apa sihhh?” pekiknya dalam hati
Dia mendekat. Langkahnya pelan, tapi aura yang dibawa Ruben membuat udara di sekitarnya menegang. Dengan sangat pelan Hera melepas sepatu, satu persatu, lalu menaikkan pantatnya sedikit di atas kasur. Ia berusaha membuat Ruben tidak terganggu. Setelah menahan nafas selama beberapa menit, Ia akhirnya bisa membaringkan tubuhnya disamping pria itu sambil menatur nafas pelan,ia takut suara nafasnya mengganggu Ruben.
Ruben membalikkan tubuhnya menghadap Hera, kedua matanya merah menatap Hera lama, seakan membaca setiap celah pikiran yang ada dikepala Hera. Ini membuat suasana semakin tegang, dan kedua kaki Hera lurus seperti kejang. Ia berusaha bertahan dengan tidur telentang seperti manekin, ia sangat ketakutan bahkan untuk sekedar bergerak.
“tik tik tik tik tik tik”
Suara detik jam yang samar akhirnya memecah kesunyian. Hera memandang langit langit kamar hotel, ia memjamkan matanya, ia ingin segera tertidur agar pagi segera tiba.
"Zzzzzzzzzzz" suara dengkuran pelan terdengar dari sebelah Hera, ia masih terjaga sejak tadi meski matanya dipejamkan secara paksa. Ia melirik ke arah jam dinding, pukul 03.25 dini hari. Hera akhirnya bisa tenang karena mengetahui Ruben sudah tertidur sejak tadi.
"Haahhhhhh" ia menarik nafas panjang.
###
Hera tersentak bangun, otaknya membuat dirinya mengingat cepat kejadian malam tadi yang luar biasa menegangkan. Dibalik kesempurnaan tingkah dan perilakunya, Hera memiliki kelainan yang sering ia kutuk, yaitu kebiasaan bangun telat. Entah kenapa ia selalu merasa ngantuk dan capek di pagi hari.
"Dimana dia?" Hera menyapu pandangannya, berkeliling dengan gerakan kepala yang tersentak sentak.
Ruangan itu kosong, hanya dia seorang. Ruben sudah tidak ada disana.
Hera turun dari kasur, berusaha mendengarkan suara air dari dalam kamar mandi, tapi semuanya senyap. seolah tadi malam keteganan itu hanyalah mimpi
Hera melirik jam dinding, ini sudah pukul sembilan pagi "akhhhh" pekiknya
"Selelap apa aku tertidur tadi, ini memalukan". Hera memegangi kepalanya, menangisi kebodohannya.
"tingggggg................................tingggggggggggggg" suara bel pintu mengejutkan Hera.
Ia membuka pintu hotel sedikit, dan bertanya dengan suara nyaring "ada apa ya?"
"layanan kamar......"
Sebuah Goodie Bag disodorkan ke wajah Hera.
"Baiklah terimakasih" Hera menutup kembali pintu itu.
Hera membuang nafas lega. Membuka paket dan mendapatkan jaket hitam mahal disana. "Wah perhatian sekali diluar nurul" Gumam Hera
Tentu saja jeket itu berguna disaat seperti ini. Mengingat bajunya merah dan sangat tidak pantas dikenakan disiang hari.
Ia tiba-tiba teringat amplop yang diletakkan Ruben di atas meja, tangannya menyambar dan membuka amplop itu tergesa-gesa. Seperti dugaan Hera, uang itu sangat banyak dan ada secarik kertas lusuh bertuliskan nomor handphone.
Hera tidak tertarik dengan kertas itu, ia hanya tertarik dengan uangnya. Itu adalah Dollar, "Oh...my...."
Jantung Hera berdebar tidak beraturan. "Gila ini banyak banget, aku bahkan gak disentuh. apa ini mimpi?"
Hera menggelengkan kepala cepat dan berkali-kali. Tapi semua sangat nyata.
Kini ia merasa sangat senang dan bergegas mandi, setengah jam lagi ia punya mata kuliah "Semantic".
15 menit kemudian, Hera sudah tampil cantik didepan cermin, ia menutupi gaun merahnya dengan jacket hoodie yang entah bagaimana bisa sampai padanya tepat waktu, ia juga memastikan Uber yang dipesannya sejak tadi. Tidak lama telponnya berdering ia segera turun kebawah. Ia buru-buru keluar, meninggalkan kamar hotel dan secarik kertas bertuliskan nomor handphone entah punya siapa.
###
Hera sampai ke kampus tepat waktu, tentu saja dia sudah mengganti kostumnya dengan layak, ini semua berkat uang Dollar yang masih bersisa di dalam tas ransel barunya. Ia sangat bahagia hari ini, seperti anak perempuan yang mendapat mainan pertamanya.
Hera berdiri di depan sebuah ruko tiga lantai yang cat luarnya sudah pudar. Jalan kecil di depannya cukup ramai, dilewati mahasiswa, pekerja, dan pedagang kaki lima. Dari luar, bangunan itu tampak biasa saja. Plang toko lama masih menggantung, bertuliskan “Fotokopi & ATK”. Hera mengusap peluh di dahinya, tangan sebelah kiri masih menggenggam handphone yang diletakkan di telinganya. “Tidak terlalu mencolok, mudah diakses, dan parkiran cukup luas” Hera setengah berbisik. Mata Hera mengawasi tukang cat yang mengecat dinding putih, menukar kaca buram dengan jendela baru, dan pemasangan papan nama besar “LUMINA MAGAZINE” Nama itu dipilihnya dengan hati-hati. Terlihat modern, netral, dan memberi kesan intelektual. Tidak akan ada yang menduga di balik nama itu tersimpan arus uang gelap. “Sudah, meja, komputer dan perangkat lainnya sudah dipesan……iya, baiklah” Hera menatap layar ponselnya, panggilan Ruben sudah diakhiri. Semua renovasi ini, seandainya ini adalah kantor Majalah
Sorak-sorai membuncah, memantul di dinding-dinding gudang tua yang berlumut. Cahaya lampu neon menggantung rendah, menyinari ring darurat yang dikelilingi pagar kawat, Hera tersadar, kepalanya berada dalam pangkuan Ruben, degup jantungnya Hera berdentum seirama dengan teriakan orang-orang dalam gudang itu. Hera berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Ia hendak duduk tapi tubuhnya sangat lemah, nafasnya tersengal sengal. Bau keringat, asap rokok, dan darah bercampur, menusuk hidung hingga membuat perutnya mual. Hera teringat adegan yang membuatnya tak sadarkan diri. Dua pria di dalam ring bertarung tanpa aturan. Tinju mendarat tanpa pelindung. Dan salah satu di antara mereka sudah mati. “Buka matamu, Hera. Jangan lemah,” kata Ruben tenang, seakan pertunjukan brutal itu adalah hal yang biasa. Setelah itu Ruben tampak memberi isyarat kepada seseorang. “Ruben” suara Hera tercekat. “Dia tewas?” Tanya Hera panik Ruben mengangkat alis, lalu menyalakan rokok. Asap putih mengepul
Pagi ini Leli menyalakan mobil Matic miliknya, ia tidak bisa tidur semalaman memikirkan Hera yang memakai jaket hoodie dan gaun warna merah menyala dibaliknya. Mungkin bajunya tidak terlihat tapi rok pendek itu menjawab pakaian yang ia kenakan. Leli mengikutinya dari Lobi hotel, naik Taxi dan singgah kedalam toko besar Fashion lalu membeli alat tulis di pinggir jalan.Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Outfit yang ia kenakan, semuanya baru dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Terlalu mencurigakan! Apakah dia sudah menjadi Lonte?!" Leli bergumamSejak itu hidupnya tidak lagi tenang, Hera adalah sepupu dari paman Adnan, Adik kandung ayahnya, paman Adnan sangat mencintai Hera, tapi sebelum Hera lahir, Leli adalah cintanya yang pertama. Hera dan ibunya adalah perusak, perebut milik orang lain sekaligus pembawa sial.Paman Adnan tentu tidak akan meninggal jika tidak menikah dengan ibu jalang Hera!Kami semua sangat membenci mereka, karena mereka paman menjadi sial dan terbunuh da
Kuliah berjalan lancar, ketika Dosen meninggalkan ruangan kelas, Hera memasukkan buku dan peralatan tulis yang baru dibelinya tadi pagi dengan hati-hati, semua yang ia kenakan hari ini baru dan berbau kekayaan. Dollar itu seperti durian runtuh baginya. "Begini rasanya memiliki uang untuk dihamburkan" Ucapnya pelan pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tidak terdengar."Habis ini kemana Her?" Tanya Davi, ia adalah seorang KOSMA (sebutan untuk ketua kelas dikampus)"Belum tau nih, mau ketemu Rina dulu Dav!" Jawab Hera, bangkit dari kursinya."Habis itu kita kekantin ya?" Bujuk Davi.Hera mengganguk pelan, sudah 2 tahun ini Davi berusaha mendekati Hera. Hera bukannya cewek dingin yang tidak memiliki perasaan, ia hanya merasa kasihan pada Davi, Hera hanya merasa dirinya akan menjadi penjahat jika mempermainkan perasaan tulus Davi, sementara Hera tahu Rina sahabatnya memiliki perasaan suka terhadap Davi. Hera sedang berusaha mendekatkan keduanya dengan menciptakan banyak momen bersama.Her
Langkah kaki Hera terdengar pelan di lorong hotel. Sepatu hak "mahal" ini sudah terlalu sempit, tapi ia belum punya sepatu pengganti. Bagi orang lain, gaun merahnya mungkin tampak mewah. Tapi bagi Hera, itu adalah seragam kerjaTangannya menggenggam erat tas Hermes kecil. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, lipstik murahan, dan kartu mahasiswa yang hampir jatuh tempo.Mahasiswa. Ya, itulah Hera di siang hari. Mahasiswi sastra inggris tahun akhir. Tapi di malam hari… ia menjual dirinya.Tentu saja dahulu ia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. Semua karena satu dan lain hal, situasi tidak terelakkan. Hingga pada akhirnya ia bertemu tamu ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 dan pada malam ini, ini adalah tamu ke-9 miliknya.“Jangan macam-macam. Dia bukan orang biasa.” Ucap manajer berulang-ulang padanya, seperti mengingatkan Hera, bahwa satu kesalahan saja, Hera bisa tiada dari dunia ini. Pintu kamar 1705 terbuka otomatis.Sosok pria duduk di kursi dekat jendela, punggung