Sejak keanehan Mas Bima malam kemarin, aku sengaja meminta Bik Marni untuk menginap di sini satu minggu ini. Meski Mas Bima awalnya menolak karena masalah gaji, namun aku berusaha meyakinkannya kalau gaji Bik Marni aku yang menanggung. Akan kuambilkan dari uang belanja lagipula kerjanya hanya mencuci dan menyetrika saja.
Aku masih pura-pura tidur saat kulihat Mas Bima menyibakkan selimutnya. Berjalan mengendap ke luar kamar. Entah apa yang akan dilakukannya. Begitu mencurigakan. Dia menutup pintu sepelan mungkin agar aku tak terbangun. Kulirik jam beker di atas meja. Hampir pukul sebelas malam.
"Iya, sayang. Aku tahu kamu sedang ngidam tapi ini sudah malem banget. Yang jualan bakmi jawa kesukaanmu itu pasti juga udah siap-siap mau tutup. Besok aja, ya?"
Kudengar Mas Bima mengobrol dengan seseorang lewat ponsel barunya. Gegas kuambil ponsel di atas nakas dan merekam percakapan mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Suara Mas Bima terdengar cukup keras meski dia sudah berusaha bicara sepelan mungkin, heningnya malam membuat suaranya lebih jelas terdengar.
Lagipula dia duduk di kursi ruang tengah yang berhadapan langsung dengan pintu kamarku. Duduk membelakangiku sembari terus membujuk seseorang di sana entah siapa.
"Bukannya males, sayang. Cuma nggak mungkin mas pergi malam-malam begini. Takut Amel curiga," ucapnya lagi. Mas Bima menghela napas berat.
"Kenapa kamu manja begini, sih, sayang? Kamu tahu sendiri kan posisiku sekarang? Aku masih berusaha mencuri hati Yuka dan Yuki. Walau bagaimanapun mereka harus ikut aku jika kedua orang tuanya berpisah nanti. Mau dikasih makan apa mereka kalau ikut dengan Amel, iya kan?"
Tak terasa air mataku menetes mendengar obrolan mereka. Kurang a*ar sekali Mas Bima sudah merencanakan perpisahanku dengannya sampai sedetail itu. Bahkan dia akan merebut anak-anak dariku? Tak akan bisa!
"Rumah ini sudah atas namaku, sayang. Saat ini aku cuma berat di anak-anak saja. Mereka masih kecil." Mas Bima kembali menghela napas panjang.
"Aku tahu, sayang. Kamu juga akan punya anak tapi si kembar tetap anakku juga. Aku harus mengasihi mereka seperti aku mengasihi bayi dalam rahimmu."
"Jangan ngambek dong, sayang. Kalau ngidam emang begitu, ya? Harus dapet dan harus ayahnya yang beliin?"
Mengasihi bayi itu? Ayah katanya? Kekhawatiranku akhir-akhir ini benar adanya. Mas Bima memang selingkuh dan dia akan mempunyai buah hati dari perempuan itu.
Kuseka air mata yang kembali menetes di pipi. Aku harus kuat, tak boleh lemah. Apalagi Mas Bima sengaja ingin memisahkanku dengan anak-anak. Tak akan pernah kubiarkan itu terjadi sampai kapan pun! Saat ini hanya mereka yang bisa membuatku lebih bersemangat untuk hidup ke depan.
"Oke ... oke aku akan membelikannya. Atau pesan gofood aja gimana? Kan sama aja isinya bakmi jawa?"
Entah apa jawaban dari seberang sana yang jelas Mas Bima menyugar rambutnya kasar.
Oke ... oke. Aku akan membelikannya untukmu sekarang juga," ucapnya sedikit kesal sembari menutup ponselnya.
Mas Bima tak melihat ke arahku sedikit pun. Dia buru-buru mengambil kunci mobil dan berjalan menuju garasi. Kututup ponsel dan memasukkannya ke saku jaket. Segera mengambil kunci motor untuk mengikuti Mas Bima.
Yuki dan Yuka sudah terlelap semoga saja tak bangun mencariku. Mau bangunin Bik Marni segan, biarlah. Yang penting mereka tak sendirian di rumah, ada yang menjaga anak-anak jika ada sesuatu atau tiba-tiba bangun dari tidurnya.
Dengan Masker dan jaket baru serta helm baru yang kusiapkan semoga saja dia tak tahu aku sedang membuntutinya. Apalagi Mas Bima tak terlalu hafal plat nomer matic yang kupakai.
Sekitar sepuluh menit aku mengikuti mobil Mas Bima. Dia berhenti di warung pinggir jalan, memesan bakmi jawa seporsi. Tak berselang lama dia membayar pesanannya dan kembali ke mobil.
Dengan jarak beberapa meter kembali kuikuti mobil Mas Bima. Beberapa menit kemudian dia membelokkan mobilnya menuju sebuah rumah minimalis tak jauh dari jalan raya. Sebuah perumahan baru bahkan belum terlalu banyak penghuninya.
Mas Bima masuk begitu saja melewati pos satpam seolah mereka sudah kenal cukup lama. Hanya membunyikan klakson kecil, Mas Bima sudah diijinkan masuk. Aku tak ingin membuat kegaduhan atau kecurigaan jadi kuintip saja mobil itu tak jauh dari pos satpam.
Dia berhenti di rumah nomer tiga. Seorang perempuan menyambutnya di teras, mencium punggung tangannya lalu berpelukan. Benar-benar tak tahu diri!
Kupicingkan mata untuk melihat siapa perempuan yang kini bersama Mas Bima, namun tetap saja penglihatanku tak terlalu jelas. Karena terlalu buru-buru, aku sampai lupa memakai kaca mata padahal mataku rabun jauh.
Ah sudahlah. Besok aku akan kembali ke perumahan ini untuk cari tahu siapa pemilik rumah itu. Untuk bertanya pada satpam sekarang terlalu beresiko. Aku nggak ingin ketahuan Mas Bima. Setidaknya sampai rumah yang aku tempati berpindah atas namaku. Untuk mobil, aku tak terlalu peduli karena itu juga belum lunas.
Kuputar motor untuk kembali ke rumah. Setelah sampai garasi, segera kumatikan motor dan balik lagi ke kamar. Anak-anak tak ada yang terbangun, syukurlah. Membuka jaket dan helm lalu kumasukkan ke kolong ranjang.
Aku sengaja menyeduh teh hangat sembari duduk di ruang tengah dengan gelap-gelapan. Ingin melihat ekspresi Mas Bima saat dia menyalakan lampu nanti. Kaget atau biasa saja saat dia tahu aku sudah duduk santai di sofa untuk menunggunya.
***
Lampu ruang tengah menyala. Aku masih menyeruput teh dengan santai saat Mas Bima ternganga di depan pintu kamar. Kulihat keterkejutannya."Am ... Amel?" tanyanya kaget. Aku mencoba untuk tersenyum meski dalam hati rasanya geram."Dari mana malem-malem begini, Mas? Nggak nongkrong sama temen lagi dong?" tanyaku santai. Membuat Mas Bima kembali salah tingkah."Eh Emmm--"Dari kantor?" tanyaku singkat, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Aku hanya melihat kebingungannya dari ekor mataku."Nggak, kok, Dek. Keluar sebentar buat cari angin," jawabnya kemudian."Oohh.""Tidur, yuk, Dek. Ngantuk banget nih. Besok mulai kerja lagi, takut kesiangan," jawab Mas Bima sengaja tak memberiku kesempatan untuk bertanya lagi.Aku hanya mengangguk pelan. Mas Bima membuka lemari dan mengganti kaos sebelumnya dengan koas oblong miliknya.Dia masukkan kaos kotor itu ke bak cucian kotor lalu melangkah menuju pembaringan. Sebelum menarik selimut, Mas Bima melirikku kembali yang masih duduk di sofa depan kama
[Mbak, tiga hari ini aku mau menginap di rumah Mbak, ya? Mau ambil beberapa baju sekalian mengerjakan skripsi di sana biar lebih tenang soalnya kalau liburan di kost terlalu berisik jadi nggak bisa konsen] Pesan dari Dinda, adik angkatku masuk ke ponsel. Tumben dia mau menginap, biasanya dia segan dengan Mas Bima kalau dia di rumah. Apalagi tiga hari besok tanggal merah dan weekend.[Oke, Din. Main saja. Pintu rumah terbuka lebar untukmu] Balasku kemudian. Dinda memang adik angkatku. Masih teringat jelas dalam ingatan 15 tahun lalu ibu memintanya untuk tinggal bersama kami. Saat berziarah ke makam bapak, aku dan ibu melihat Dinda meringkuk di pemakaman ibunya yang masih basah. Tak tega, akhirnya ibu mengajak dia untuk tinggal bersamaku. Ibu merawatnya sepenuh hati hingga tutup usia enam tahun yang lalu. Sebelumnya, ibu sudah berpesan agar Mas Bima mau menerima Dinda untuk tinggal bersamaku di rumah ini. Lagi-lagi ibu tak tega jika meninggalkan Dinda sendirian di rumah sederhana ka
Kuseduhkan jahe hangat untuk Dinda dan Mas Bima. Setelah Dinda selesai mandi dan pakai piyama, dia duduk di sampingku. Mas Bima pun sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah lagi. Hujan masih deras mengguyur tapi anehnya Mas Bima keramas lagi. Dinda juga, tapi dia memang kehujanan dan kuperintahkan untuk mandi sekalian keramas biar nggak masuk angin."Kamu nggak kehujanan kan, Mas? Kok ikutan keramas?" tanyaku santai. Kulihat gerak-gerik mereka dari ujung mataku. Saling salah tingkah. "Iya, Dek. Gerah," jawabnya singkat. Lagi-lagi dengan alasan gerah Mas Bima seolah bisa aman dari kecurigaan. Aku pura-pura tak melihat saat mereka saling lempar senyuman. Aku semakin yakin kalau mereka memang ada hubungan spesial selain ipar. Sakit sekali rasanya jika itu benar-benar terjadi. 15 tahun aku hidup bersama Adinda. Usiaku dan Dinda berjarak 7 tahun. Dia yang sebatang kara, dengan penuh cinta dirawat oleh ibuku. Aku pun sangat menyayanginya bahkan dulu sering mengalah demi d
Suasana begitu hening. Malam semakin larut entah jam berapa. Kubuka mata perlahan. Tak ada Mas Bima di ranjang. Mungkin dia ke kamar mandi. Pikirku. Dengan langkah lesu menahan kantuk, kubuka pintu kamar mandi. Kosong. Mungkin dia ke dapur untuk mengambil minum. Biasanya memang aku sediakan di atas meja kamar sebelum tidur namun tadi memang lupa menyiapkan air minumnya ke botol. Perlahan kubuka pintu kamar. Suara tangis Yuka dari kamarnya tiba-tiba terdengar begitu nyaring. Setengah berlari aku membuka kamar si kembar. Yuki masih mengucek pelan kedua matanya sedangkan Yuka terus menangis sembari melipat kedua lutut. "Bunda ...." Yuka berteriak memanggil namaku saat kunyalakan lampu kamarnya. Bergegas kupeluk si kembar sambil menenangkan Yuka yang terus menangis. "Yuka kenapa, Nak?" tanyaku pada Yuka yang masih terisak. Berkali-kali dia menghapus air matanya."Mimpi buruk, ya?" tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan."Emm ... Yuka lupa baca doa sebelum bobok, ya?" tanyaku lagi. Yuka ha
"Assalamu'alaikum, Bel. Di rumah nggak?" tanyaku pada Bella yang terdengar masih ngobrol dengan seseorang. Sepertinya suara Sarena, anak semata wayang Bella. "Wa'alaikumsalam, Mel. Jadi main ke sini kan hari ini?" tanyanya kemudian. Kemarin aku memang sudah bilang soal rencana ini. Hanya saja sengaja meneleponnya kembali, barang kali dia mau pergi."Jadi dong, Bel. Sebentar lagi kami berangkat. Tunggu, ya," jawabku santai. Bella pun mengiyakan. Kututup telepon saat Mas Bima mulai memanggil dari teras rumah. "Dek, ayo berangkat," panggilnya kedua kali. Kujinjing camilan untuk anak-anak sedangkan mereka membawa tas kecil berisi satu stel baju ganti. "Banyak banget camilannya. Di rumah nggak disisain, Dek? Ada Dinda juga tuh," ucap Mas Bima pelan. Dinda lagi. Cuma dia sepertinya yang ada di pikiran Mas Bima saat ini. "Sudah ada kok, Mas. Di kulkas aku sisain banyak," jawabku sedikit kesal. Mas Bima hanya tersenyum tipis menatapku memanyunkan bibir. Perjalanan ke rumah Bella mema
Saat mobil Mas Bima meluncur ke luar rumah, Bella pun segera menstater motornya mengikuti mobil itu. Aku masih duduk di belakangnya dengan perasaan tak menentu. Semua rasa seolah tercampur menjadi satu. Tak ada pembicaraan cukup serius antara aku dan Bella. Dia masih fokus dengan stirnya, mengikuti jejak mobil Mas Bima. Setelah berjibaku dengan debu dan kemacetan, akhirnya Mas Bima pun membelokkan mobil silvernya ke rumah sakit cukup terkenal di kotaku. Mereka berhenti di rumah sakit ibu dan anak Anindya. Hatiku semakin berdebar tak jelas. Jantung seolah berpacu lebih cepat daripada biasanya. Ketakutan dan kekhawatiranku selama ini mulai lalu lalang di depan mata.Apa benar dugaanku kalau Dinda memang sedang berbadan dua? Anak dari hasil hubungan gelapnya dengan Mas Bima? Tapi sejak kapan mereka berdua mengkhinati kepercayaanku seperti ini?Atau mungkin memang sudah lama mereka melakukan semua ini, hanya saja aku terlalu mempercayai keduanya hingga tak pernah merasa curiga. Ya Allah
Aku dan Bella kembali ke rumah. Bukti-bukti yang ada di ponsel Bella sudah dikirim ke ponselku semuanya. "Bel, punya kenalan notaris nggak? Aku mau urus sertifikat rumah itu. Mau aku bikin status dihibahkan saja biar Mas Bima nggak bisa otak-atik lagi," ucapku pada Bella yang masih sibuk dengan ponselnya. "Foto sama video sudah aku kirim semua kan, Mel?" tanyanya. Rupanya dia tak mendengarkan pertanyaanku justru masih saja sibuk dengan video Mas Bima dan Dinda tadi. "Sudah semua nih. Cuma dua biji kan videonya?" "Iya, sih. Foto-fotonya juga udah?" tanyanya lagi."Udah semua Bella cantik," jawabku gemas. Dia hanya meringis kecil. "Mau aku hapus videonya. Fotonya sengaja aku simpan satu. Pengen banget aku viralin di kantor tapi nggak tega," ucapnya sembari menghembuskan napas pelan. "Besok antar ke notaris dong, Bel.""Eh iya. Tadi kamu nanya soal itu, ya? Lupa mau jawab. Ada tuh teman dekatnya si Ubay. Dia notaris juga," ucap Bella serius. Ubay adalah adik bungsu Bella yang kini
Pagi mulai menjelang. Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara spesial. Meski begitu tak bisa dipungkiri kalau hatiku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar takut kalau Mas Bima tahu apa yang kurencanakan.Sesuai rencanaku dengan Bella kemarin, pagi ini aku harus selesaikan urusan pertanda tanganan. Semakin cepat akan semakin baik, katanya dan aku pun mengiyakan saja. [Bel, nanti kalau aku miscall, kamu langsung telepon Mas Bima, ya? Deg-deg an aku nih]Kukirimkan pesan pada Bella sembari menyiapkan sarapan pagi untuk semuanya. Sedangkan Bik Marni sedang menjemur pakaian di belakang. [Oke. Aku tunggu miscall dari kamu sambil nonton tivi] Kumasukkan kembali ponsel ke saku gamis. Yuka dan Yuki juga sudah siap berangkat sekolah. Formulir dan surat penguasaan sudah ada di atas kulkas. "Sarapan nasi goreng spesial dulu ya, sayang," ucapku pada si kembar yang sudah duduk di kursi makan. Mereka tampak begitu antusias melihatku menyiapkan nasi goreng sosis dengan telur ceplok di