Hampir dua jam aku menunggu dengan gusar kepulangan Mas Bima. Suasana begitu hening. Malam mulai merayap naik. Jam sepuluh lebih, belum terdengar deru mobil Mas Bima.
Tak ada inisiatifnya untuk menelepon atau mengirimkan pesan untukku. Aku tahu ponsel lamanya memang tertinggal, tapi kenapa dia tak menggunakan ponsel barunya? Atau paling tidak pinjam seseorang untuk sekedar memberi kabar supaya aku tak secemas ini.
Yuki dan Yuka sudah terlelap sejak satu jam yang lalu membuat rumah ini semakin terasa sepi. Kulangkahkan kaki menuju dapur, membuat kopi untuk sekedar menghangatkan badan karena hawa dingin mulai menusuk kulit.
Tak berselang lama, ponselku berdering. Dari nomer tak dikenal.
"Dek, aku pulang agak telat, ya? Lagi kongkow di warung kopi sama temen. Mumpung besok libur. Nggak enak kalau langsung cabut pulang nanti diketawain mereka dikira suami takut istri," ucap Mas Bima lirih.
"Temen siapa, sih, Mas?" tanyaku singkat. Bella bilang nggak ketemu Mas Bima di kantor, lantas ke mana dia? Kongkow sama temen siapa?
"Temen kantor lah. Siapa lagi?" jawabnya santai.
"Bella baru ke sini loh, Mas. Dia bilang nggak ketemu kamu di kantor. Jangan sampai kamu ketahuan bohong, ya, Mas. Karena sekali bohong jadi ketagihan buat bohong lagi dan lagi," ucapku kesal.
"Siapa yang bohong, sih, Dek? Nggak ada gunanya juga bohong. Bella nggak lihat mungkin, karena aku langsung ke ruang manager terus pulang," ucap Mas Bima sedikit gugup.
"Berarti kamu sudah diangkat jadi manager, Mas? Kok nggak bilang-bilang? Sejak kapan?" Cecarku kemudian.
Beberapa bulan lalu Mas Bima memang bercerita akan dipromosikan naik jabatan tapi setelah itu dia nggak pernah cerita apa pun. Nggak tahunya dia sudah jadi manager. Teganya tak memberi tahu istrinya sendiri.
Mas Bima terdengar makin gugup saat aku tahu jabatan di kantornya kini. Apa dia memang keceplosan bicara? Seandainya tak tersudut, mungkin kah dia sengaja menutupi semuanya dariku?
Pikiran aneh mulai merajai otak. Apalagi sikap Mas Bima yang mendadak gugup dan terbata makin membuatku curiga.
"Baru kok, Dek. Baru--
"Kapan, Mas? Kamu mau ngaku sekarang atau aku akan tanya Bella saja," ancamku.
"Sudah empat bulan yang lalu, Dek," jawabnya lirih.
Empat bulan lalu? Dia sengaja menyembunyikan jabatannya? Dia juga tak memberi tambahan belanja sepeser pun untukku. Bahkan aku minta asisten untuk sekedar bantu cuci setrika saja dia nggak mengijinkan dengan alasan pemborosan?
Ke mana saja gajinya selama ini? Biasanya tiap naik jabatan juga dapat bonus. Dia simpan di mana? Nggak mungkin kan ditaruh di bawah bantal.
"Gajimu naik dong, Mas? Tapi kenapa uang bulanan masih sama? Padahal aku sudah bilang kalau kebutuhan si kembar makin banyak apalagi sudah mulai TK bahkan tahun ini sudah masuk SD," ucapku mulai geregetan dan emosi.
"Iya, Dek. Nanti kita bicarakan di rumah, ya? Nggak enak ini ponsel minjem. Lagian temen-temen mulai ngeledek, nih," ucapnya lirik setengah berbisik.
"Temen siapa, sih, Mas? Coba aku mau dengar suaranya?"
"Temen kantor, Dek. Sudah lah, sebentar lagi aku pulang. Kalau kamu sudah ngantuk, tidur dulu aja, ya?" ucapnya lagi sembari menutup telepon.
Gelisah. Hanya itu yang dapat kurasakan. Boro-boro tidur, sekedar memejamkan mata saja rasanya nggak bisa. Bolak-balik melihat jarum jam. Menurutku ini bukan pengaruh kopi, tapi karena hati dan mata nggak sinkron jadilah nggak bisa tidur.
Hampir jam sebelas malam namun Mas Bima belum juga datang. Kutelepon nomer tak dikenal yang dipakai Mas Bima tadi. Sudah nggak aktif. Alisku mulai mengerut, curiga.
Kusesap kopi yang mulai dingin. Deru mobil Mas Bima mulai masuk ke garasi. Syukurlah, akhirnya dia pulang juga.
Kubuka pintu perlahan. Mas Bima tersenyum sembari menenteng map, mungkin berkas yang dia maksud tadi. Apa dia memang benar ke kantor dan Bella tak melihatnya?
"Belum tidur, Dek?" tanyanya pelan. Melepas sandal dan menatanya di rak lalu melangkah ke ruang keluarga.
"Aku ke kantor, Dek. Ini buktinya. Berkas-berkas ketinggalan di sana," ucapnya mencoba meyakinkan. Aku hanya mengangguk pelan. Mungkin dia benar, mungkin juga ingin dibenarkan. Entah!
"Yasudah, aku mau mandi dulu, Dek. Tolong masukkan ke mesin cuci, ya?"
Mas Bima melepas kaosnya dan memberikannya padaku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, mengikuti perintahnya.
"Loh, Mas. Sebelum ke kantor kamu kan sudah mandi. Kok sekarang mandi lagi? Mana sudah malam ini."
Mas Bima sedikit salah tingkah. Aku tahu dia masih mencoba mencari alasan. Bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Sikapnya kali ini benar-benar membuatku semakin curiga.
Rahasia apa yang sedang ditutupinya?Sudah tujuh tahun lebih berumah tangga dengannya, aku cukup tahu jika saat ini dia sedang tak baik-baik saja mendengar pertanyaanku barusan.
"Gerah, Dek. Mandi dulu lah biar seger. Tidur juga nyenyak," ucapnya lagi. Dia tersenyum kecil lalu masuk ke kamar mandi.
Jelas-jelas hawanya begitu dingin sampai aku membuat kopi untuk sekadar menghangatkan badan. Mas Bima bilang justru sangat gerah. Aneh.
Kumasukkan kaos kotor Mas Bima ke dalam mesin cuci. Namun entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kubolak-balik kaos abu-abunya. Bau parfum yang menempel di kaosnya saat ini berbeda, bukan seperti yang biasa dipakai Mas Bima. Kuhirup beberapa kali untuk memastikan. Benar saja, bau parfum perempuan. Tapi ... bau parfumnya juga tak terlalu asing di penciumanku.
Apa Mas Bima memang selingkuh dengan seseorang yang kukenal?
Mas Bima ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.
"Loh, Mas. Ngapain kamu malam-malam keramas segala?"
***
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba