Share

Part 2

Hampir dua jam aku menunggu dengan gusar kepulangan Mas Bima. Suasana begitu hening. Malam mulai merayap naik. Jam sepuluh lebih, belum terdengar deru mobil Mas Bima.

Tak ada inisiatifnya untuk menelepon atau mengirimkan pesan untukku. Aku tahu ponsel lamanya memang tertinggal, tapi kenapa dia tak menggunakan ponsel barunya? Atau paling tidak pinjam seseorang untuk sekedar memberi kabar supaya aku tak secemas ini.

Yuki dan Yuka sudah terlelap sejak satu jam yang lalu membuat rumah ini semakin terasa sepi. Kulangkahkan kaki menuju dapur, membuat kopi untuk sekedar menghangatkan badan karena hawa dingin mulai menusuk kulit.

Tak berselang lama, ponselku berdering. Dari nomer tak dikenal.

"Dek, aku pulang agak telat, ya? Lagi kongkow di warung kopi sama temen. Mumpung besok libur. Nggak enak kalau langsung cabut pulang nanti diketawain mereka dikira suami takut istri," ucap Mas Bima lirih.

"Temen siapa, sih, Mas?" tanyaku singkat. Bella bilang nggak ketemu Mas Bima di kantor, lantas ke mana dia? Kongkow sama temen siapa?

"Temen kantor lah. Siapa lagi?" jawabnya santai.

"Bella baru ke sini loh, Mas. Dia bilang nggak ketemu kamu di kantor. Jangan sampai kamu ketahuan bohong, ya, Mas. Karena sekali bohong jadi ketagihan buat bohong lagi dan lagi," ucapku kesal.

"Siapa yang bohong, sih, Dek? Nggak ada gunanya juga bohong. Bella nggak lihat mungkin, karena aku langsung ke ruang manager terus pulang," ucap Mas Bima sedikit gugup.

"Berarti kamu sudah diangkat jadi manager, Mas? Kok nggak bilang-bilang? Sejak kapan?" Cecarku kemudian.

Beberapa bulan lalu Mas Bima memang bercerita akan dipromosikan naik jabatan tapi setelah itu dia nggak pernah cerita apa pun. Nggak tahunya dia sudah jadi manager. Teganya tak memberi tahu istrinya sendiri.

Mas Bima terdengar makin gugup saat aku tahu jabatan di kantornya kini. Apa dia memang keceplosan bicara? Seandainya tak tersudut, mungkin kah dia sengaja menutupi semuanya dariku?

Pikiran aneh mulai merajai otak. Apalagi sikap Mas Bima yang mendadak gugup dan terbata makin membuatku curiga.

"Baru kok, Dek. Baru--

"Kapan, Mas? Kamu mau ngaku sekarang atau aku akan tanya Bella saja," ancamku.

"Sudah empat bulan yang lalu, Dek," jawabnya lirih.

Empat bulan lalu? Dia sengaja menyembunyikan jabatannya? Dia juga tak memberi tambahan belanja sepeser pun untukku. Bahkan aku minta asisten untuk sekedar bantu cuci setrika saja dia nggak mengijinkan dengan alasan pemborosan?

Ke mana saja gajinya selama ini? Biasanya tiap naik jabatan juga dapat bonus. Dia simpan di mana? Nggak mungkin kan ditaruh di bawah bantal.

"Gajimu naik dong, Mas? Tapi kenapa uang bulanan masih sama? Padahal aku sudah bilang kalau kebutuhan si kembar makin banyak apalagi sudah mulai TK bahkan tahun ini sudah masuk SD," ucapku mulai geregetan dan emosi. 

"Iya, Dek. Nanti kita bicarakan di rumah, ya? Nggak enak ini ponsel minjem. Lagian temen-temen mulai ngeledek, nih," ucapnya lirik setengah berbisik.

"Temen siapa, sih, Mas? Coba aku mau dengar suaranya?"

"Temen kantor, Dek. Sudah lah, sebentar lagi aku pulang. Kalau kamu sudah ngantuk, tidur dulu aja, ya?" ucapnya lagi sembari menutup telepon.

Gelisah. Hanya itu yang dapat kurasakan. Boro-boro tidur, sekedar memejamkan mata saja rasanya nggak bisa. Bolak-balik melihat jarum jam. Menurutku ini bukan pengaruh kopi, tapi karena hati dan mata nggak sinkron jadilah nggak bisa tidur.

Hampir jam sebelas malam namun Mas Bima belum juga datang. Kutelepon nomer tak dikenal yang dipakai Mas Bima tadi. Sudah nggak aktif. Alisku mulai mengerut, curiga.

Kusesap kopi yang mulai dingin. Deru mobil Mas Bima mulai masuk ke garasi. Syukurlah, akhirnya dia pulang juga.

Kubuka pintu perlahan. Mas Bima tersenyum sembari menenteng map, mungkin berkas yang dia maksud tadi. Apa dia memang benar ke kantor dan Bella tak melihatnya?

"Belum tidur, Dek?" tanyanya pelan. Melepas sandal dan menatanya di rak lalu melangkah ke ruang keluarga.

"Aku ke kantor, Dek. Ini buktinya. Berkas-berkas ketinggalan di sana," ucapnya mencoba meyakinkan. Aku hanya mengangguk pelan. Mungkin dia benar, mungkin juga ingin dibenarkan. Entah!

"Yasudah, aku mau mandi dulu, Dek. Tolong masukkan ke mesin cuci, ya?"

Mas Bima melepas kaosnya dan memberikannya padaku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, mengikuti perintahnya.

"Loh, Mas. Sebelum ke kantor kamu kan sudah mandi. Kok sekarang mandi lagi? Mana sudah malam ini."

Mas Bima sedikit salah tingkah. Aku tahu dia masih mencoba mencari alasan. Bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Sikapnya kali ini benar-benar membuatku semakin curiga.

Rahasia apa yang sedang ditutupinya?Sudah tujuh tahun lebih berumah tangga dengannya, aku cukup tahu jika saat ini dia sedang tak baik-baik saja mendengar pertanyaanku barusan.

"Gerah, Dek. Mandi dulu lah biar seger. Tidur juga nyenyak," ucapnya lagi. Dia tersenyum kecil lalu masuk ke kamar mandi.

Jelas-jelas hawanya begitu dingin sampai aku membuat kopi untuk sekadar menghangatkan badan. Mas Bima bilang justru sangat gerah. Aneh.

Kumasukkan kaos kotor Mas Bima ke dalam mesin cuci. Namun entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kubolak-balik kaos abu-abunya. Bau parfum yang menempel di kaosnya saat ini berbeda, bukan seperti yang biasa dipakai Mas Bima. Kuhirup beberapa kali untuk memastikan. Benar saja, bau parfum perempuan. Tapi ... bau parfumnya juga tak terlalu asing di penciumanku.

Apa Mas Bima memang selingkuh dengan seseorang yang kukenal?

Mas Bima ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.

"Loh, Mas. Ngapain kamu malam-malam keramas segala?"

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Bima pasti selingkuh
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
punya ota digunakan. makanya jadi istri jaga penampilan dan jgn bisanya cuman jadi babu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status