Lampu ruang tengah menyala. Aku masih menyeruput teh dengan santai saat Mas Bima ternganga di depan pintu kamar. Kulihat keterkejutannya.
"Am ... Amel?" tanyanya kaget. Aku mencoba untuk tersenyum meski dalam hati rasanya geram.
"Dari mana malem-malem begini, Mas? Nggak nongkrong sama temen lagi dong?" tanyaku santai. Membuat Mas Bima kembali salah tingkah.
"Eh Emmm--
"Dari kantor?" tanyaku singkat, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Aku hanya melihat kebingungannya dari ekor mataku.
"Nggak, kok, Dek. Keluar sebentar buat cari angin," jawabnya kemudian.
"Oohh."
"Tidur, yuk, Dek. Ngantuk banget nih. Besok mulai kerja lagi, takut kesiangan," jawab Mas Bima sengaja tak memberiku kesempatan untuk bertanya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan. Mas Bima membuka lemari dan mengganti kaos sebelumnya dengan koas oblong miliknya.
Dia masukkan kaos kotor itu ke bak cucian kotor lalu melangkah menuju pembaringan. Sebelum menarik selimut, Mas Bima melirikku kembali yang masih duduk di sofa depan kamar kami.
"Kamu mau begadang, Dek?" tanyanya singkat. Aku menoleh pelan.
"Tidur aja dulu, Mas. Aku cuma ingin menghabiskan teh ini dulu, kok," jawabku lagi. Mas Bima mengangguk pelan lalu memejamkan matanya.
Beranjak dari sofa, kumasukkan cangkir teh ke wastafel dan mencucinya. Perlahan kuambil kembali kaos Mas Bima yang baru saja dia masukkan ke bak cucian kotor. Meneliti tiap sudutnya lagi. Bekas bibir dengan lipstik merah menempel di sana. Pantas saja dia tak memintaku untuk memasukkan pakaian kotornya. Ternyata ada udang di balik bakwan.
Kufoto bekas bibir merah itu untuk bukti selanjutnya. Semakin banyak bukti yang kudapat, akan semakin menguatkanku untuk mendapatkan hak asuh si kembar.
Mas Bima tak tahu kalau selama ini aku juga punya penghasilan. Sengaja tak kuambil uang itu dari rekeningku. Biar saja untuk tabungan jika sewaktu-waktu aku membutuhkan.
Mas Bima yang dulu selalu mengejekku saat membuat channel youtube, tak disangka sudah enam bulan terakhir menghasilkan uang yang cukup signifikan. Bulan pertama hanya mendapatkan gaji 1,5 juta, bulan ini cukup lumayan karena mendapatkan hasil tiga kali lipatnya.
Semua hasil itu kusimpan rapat tanpa sepengetahuan Mas Bima. Jikalaupun aku cerita pasti dia hanya mengejek. Dia memang seperti itu dari dulu, selalu meremehkan apa pun yang kulakukan. Seolah hanya dia yang bisa menghasilkan uang.
Kututup pintu rapat dan menaiki ranjang. Mencoba untuk memejamkan mata agar tak telat salat subuh nanti. Mas Bima sudah terlelap hingga dengkurnya mulai terdengar samar.
***
Detik ini aku kembali ke perumahan baru itu. Tempat di mana kemarin Mas Bima dan perempuan itu bertemu dan saling berpelukan begitu mesra.
Kuparkir motor matic di samping pos satpam. Ada seorang satpam yang berjaga di sana.
"Maaf, Pak. Boleh numpang tanya?" tanyaku pada satpam perumahan baru yang kemarin dikunjungi Mas Bima.
"Iya, Bu. Silakan mau tanya apa?" tanya seorang satpam bernama Salim.
"Kemarin saya nggak sengaja lihat suami saya berhenti di depan rumah itu, Pak. Rumah nomer tiga dari sini," tunjukku pada rumah bercat biru itu. Satpam pun mengangguk pelan.
"Nama suaminya siapa, Bu?" tanyanya singkat.
"Bima, Pak," jawabku kemudian.
Pak Salim pun mengerutkan alis pelan lalu menggaruk-garukkan kepala.
"Saya kurang tahu kalau nama Bima, Bu. Mungkin ibu salah lihat," jawabnya lagi. Dia meminta teman yang lain untuk ikut menjelaskan.
"Iya, Bu. Setahu saya yang sering ke rumah itu pak Juna. Suaminya Mbak Andin," jawab Pak Santo meyakinkan.
Pak Juna? Apa memang Mas Bima sengaja memakai nama belakangnya untuk tinggal di sini? Apa sengaja biar nggak ketahuan jika aku mencarinya sewaktu-waktu? Kenapa dia tak nama depannya saja?
Bima Arjuna Wiryawan. Itulah nama panjangnya. Sedangkan perempuan itu bernama Andin? Kepalaku mendadak pening memikirkan siapa dia dan di mana Mas Bima mengenalnya? Apalagi satpam bilang mereka sudah menikah? Rasanya benar-benar sulit dipercaya.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Mungkin saya yang salah lihat. Terima kasih informasinya, ya?" Pintaku untuk mengakhiri obrolan dengan mereka.
Andin dan Juna. Aku akan menyelidiki sendiri masalah ini. Sebelum memutar motor, ponselku bergetar beberapa kali.
[Maaf Mel, bukannya mau ikut campur masalah rumah tangga kamu, tapi kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan suamimu deh. Tadi aku nggak sengaja denger dia telepon sama seseorang, dia bilang akan antar ke dokter kandungan besok sore. Pakai panggilan sayang-sayang segala. Padahal kamu nggak sedang hamil kan?]
Pesan dari Bella masuk ke ponselku. Lagi-lagi membuat hatiku panas seketika.
[Kamu denger Mas Bima nyebut nama perempuan itu nggak, Bel?]
[Nggak sih, Mel. Aku cuma denger dia bilang sayang doang]
Kuhembuskan napas panjang seraya mengucap istighfar berulang kali untuk menenangkan hati. Aku harus bisa mengontrol emosi, jangan sampai aku menghancurkan rencana yang sudah kususun sedemikian rupa. Wajib sabar dan istighfar banyak-banyak sebelum rumah itu jatuh ke tanganku.
Sampai kapan pun aku nggak akan rela jika sebagian hasil tabunganku dulu seenaknya dinikmati oleh Mas Bima dengan perempuan itu.
Segera kututup ponsel dan memasukkannya ke dalam jaket. Aku harus segera sampai rumah sebelum Mas Bima pulang. Aku tak ingin Mas Bima mencurigaiku macam-macam.
***
[Mbak, tiga hari ini aku mau menginap di rumah Mbak, ya? Mau ambil beberapa baju sekalian mengerjakan skripsi di sana biar lebih tenang soalnya kalau liburan di kost terlalu berisik jadi nggak bisa konsen] Pesan dari Dinda, adik angkatku masuk ke ponsel. Tumben dia mau menginap, biasanya dia segan dengan Mas Bima kalau dia di rumah. Apalagi tiga hari besok tanggal merah dan weekend.[Oke, Din. Main saja. Pintu rumah terbuka lebar untukmu] Balasku kemudian. Dinda memang adik angkatku. Masih teringat jelas dalam ingatan 15 tahun lalu ibu memintanya untuk tinggal bersama kami. Saat berziarah ke makam bapak, aku dan ibu melihat Dinda meringkuk di pemakaman ibunya yang masih basah. Tak tega, akhirnya ibu mengajak dia untuk tinggal bersamaku. Ibu merawatnya sepenuh hati hingga tutup usia enam tahun yang lalu. Sebelumnya, ibu sudah berpesan agar Mas Bima mau menerima Dinda untuk tinggal bersamaku di rumah ini. Lagi-lagi ibu tak tega jika meninggalkan Dinda sendirian di rumah sederhana ka
Kuseduhkan jahe hangat untuk Dinda dan Mas Bima. Setelah Dinda selesai mandi dan pakai piyama, dia duduk di sampingku. Mas Bima pun sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah lagi. Hujan masih deras mengguyur tapi anehnya Mas Bima keramas lagi. Dinda juga, tapi dia memang kehujanan dan kuperintahkan untuk mandi sekalian keramas biar nggak masuk angin."Kamu nggak kehujanan kan, Mas? Kok ikutan keramas?" tanyaku santai. Kulihat gerak-gerik mereka dari ujung mataku. Saling salah tingkah. "Iya, Dek. Gerah," jawabnya singkat. Lagi-lagi dengan alasan gerah Mas Bima seolah bisa aman dari kecurigaan. Aku pura-pura tak melihat saat mereka saling lempar senyuman. Aku semakin yakin kalau mereka memang ada hubungan spesial selain ipar. Sakit sekali rasanya jika itu benar-benar terjadi. 15 tahun aku hidup bersama Adinda. Usiaku dan Dinda berjarak 7 tahun. Dia yang sebatang kara, dengan penuh cinta dirawat oleh ibuku. Aku pun sangat menyayanginya bahkan dulu sering mengalah demi d
Suasana begitu hening. Malam semakin larut entah jam berapa. Kubuka mata perlahan. Tak ada Mas Bima di ranjang. Mungkin dia ke kamar mandi. Pikirku. Dengan langkah lesu menahan kantuk, kubuka pintu kamar mandi. Kosong. Mungkin dia ke dapur untuk mengambil minum. Biasanya memang aku sediakan di atas meja kamar sebelum tidur namun tadi memang lupa menyiapkan air minumnya ke botol. Perlahan kubuka pintu kamar. Suara tangis Yuka dari kamarnya tiba-tiba terdengar begitu nyaring. Setengah berlari aku membuka kamar si kembar. Yuki masih mengucek pelan kedua matanya sedangkan Yuka terus menangis sembari melipat kedua lutut. "Bunda ...." Yuka berteriak memanggil namaku saat kunyalakan lampu kamarnya. Bergegas kupeluk si kembar sambil menenangkan Yuka yang terus menangis. "Yuka kenapa, Nak?" tanyaku pada Yuka yang masih terisak. Berkali-kali dia menghapus air matanya."Mimpi buruk, ya?" tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan."Emm ... Yuka lupa baca doa sebelum bobok, ya?" tanyaku lagi. Yuka ha
"Assalamu'alaikum, Bel. Di rumah nggak?" tanyaku pada Bella yang terdengar masih ngobrol dengan seseorang. Sepertinya suara Sarena, anak semata wayang Bella. "Wa'alaikumsalam, Mel. Jadi main ke sini kan hari ini?" tanyanya kemudian. Kemarin aku memang sudah bilang soal rencana ini. Hanya saja sengaja meneleponnya kembali, barang kali dia mau pergi."Jadi dong, Bel. Sebentar lagi kami berangkat. Tunggu, ya," jawabku santai. Bella pun mengiyakan. Kututup telepon saat Mas Bima mulai memanggil dari teras rumah. "Dek, ayo berangkat," panggilnya kedua kali. Kujinjing camilan untuk anak-anak sedangkan mereka membawa tas kecil berisi satu stel baju ganti. "Banyak banget camilannya. Di rumah nggak disisain, Dek? Ada Dinda juga tuh," ucap Mas Bima pelan. Dinda lagi. Cuma dia sepertinya yang ada di pikiran Mas Bima saat ini. "Sudah ada kok, Mas. Di kulkas aku sisain banyak," jawabku sedikit kesal. Mas Bima hanya tersenyum tipis menatapku memanyunkan bibir. Perjalanan ke rumah Bella mema
Saat mobil Mas Bima meluncur ke luar rumah, Bella pun segera menstater motornya mengikuti mobil itu. Aku masih duduk di belakangnya dengan perasaan tak menentu. Semua rasa seolah tercampur menjadi satu. Tak ada pembicaraan cukup serius antara aku dan Bella. Dia masih fokus dengan stirnya, mengikuti jejak mobil Mas Bima. Setelah berjibaku dengan debu dan kemacetan, akhirnya Mas Bima pun membelokkan mobil silvernya ke rumah sakit cukup terkenal di kotaku. Mereka berhenti di rumah sakit ibu dan anak Anindya. Hatiku semakin berdebar tak jelas. Jantung seolah berpacu lebih cepat daripada biasanya. Ketakutan dan kekhawatiranku selama ini mulai lalu lalang di depan mata.Apa benar dugaanku kalau Dinda memang sedang berbadan dua? Anak dari hasil hubungan gelapnya dengan Mas Bima? Tapi sejak kapan mereka berdua mengkhinati kepercayaanku seperti ini?Atau mungkin memang sudah lama mereka melakukan semua ini, hanya saja aku terlalu mempercayai keduanya hingga tak pernah merasa curiga. Ya Allah
Aku dan Bella kembali ke rumah. Bukti-bukti yang ada di ponsel Bella sudah dikirim ke ponselku semuanya. "Bel, punya kenalan notaris nggak? Aku mau urus sertifikat rumah itu. Mau aku bikin status dihibahkan saja biar Mas Bima nggak bisa otak-atik lagi," ucapku pada Bella yang masih sibuk dengan ponselnya. "Foto sama video sudah aku kirim semua kan, Mel?" tanyanya. Rupanya dia tak mendengarkan pertanyaanku justru masih saja sibuk dengan video Mas Bima dan Dinda tadi. "Sudah semua nih. Cuma dua biji kan videonya?" "Iya, sih. Foto-fotonya juga udah?" tanyanya lagi."Udah semua Bella cantik," jawabku gemas. Dia hanya meringis kecil. "Mau aku hapus videonya. Fotonya sengaja aku simpan satu. Pengen banget aku viralin di kantor tapi nggak tega," ucapnya sembari menghembuskan napas pelan. "Besok antar ke notaris dong, Bel.""Eh iya. Tadi kamu nanya soal itu, ya? Lupa mau jawab. Ada tuh teman dekatnya si Ubay. Dia notaris juga," ucap Bella serius. Ubay adalah adik bungsu Bella yang kini
Pagi mulai menjelang. Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara spesial. Meski begitu tak bisa dipungkiri kalau hatiku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar takut kalau Mas Bima tahu apa yang kurencanakan.Sesuai rencanaku dengan Bella kemarin, pagi ini aku harus selesaikan urusan pertanda tanganan. Semakin cepat akan semakin baik, katanya dan aku pun mengiyakan saja. [Bel, nanti kalau aku miscall, kamu langsung telepon Mas Bima, ya? Deg-deg an aku nih]Kukirimkan pesan pada Bella sembari menyiapkan sarapan pagi untuk semuanya. Sedangkan Bik Marni sedang menjemur pakaian di belakang. [Oke. Aku tunggu miscall dari kamu sambil nonton tivi] Kumasukkan kembali ponsel ke saku gamis. Yuka dan Yuki juga sudah siap berangkat sekolah. Formulir dan surat penguasaan sudah ada di atas kulkas. "Sarapan nasi goreng spesial dulu ya, sayang," ucapku pada si kembar yang sudah duduk di kursi makan. Mereka tampak begitu antusias melihatku menyiapkan nasi goreng sosis dengan telur ceplok di
Pov BimaAmelia. Aku mengenalnya saat duduk di bangku perkuliahan. Dia gadis yang baik, sopan, pekerja keras dan keibuan. Semangat dan sikap pantang menyerahnya membuatku semakin kagum. Selain pintar, dia juga murah senyum meski kutahu kehidupan sehari-harinya begitu pas-pasan atau mungkin kekurangan. Aku sering membuntutinya saat pulang kuliah. Dia bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan perawatan ibunya. Apalagi kulihat dia masih memiliki seorang adik perempuan yang masih sekolah juga.Masih ingat bagaimana aku dulu berkenalan dengannya di perpustakaan. Dia terlihat sangat ramah hingga tak butuh waktu lama aku bisa akrab dengannya. Banyak sainganku saat itu. Wajar saja karena Amel memang sosok gadis yang pantas untuk dicintai siapa pun. Namun entah mengapa dia justru menerima cintaku saat itu. Dia bilang merasa nyaman saat ngobrol denganku. Tak butuh waktu lama aku langsung melamar dan menikah secara sederhana dengannya. Apalagi saat itu ayah masih ada, dia juga memintaku unt