Selamat membaca :)
đź’” đź’” đź’”
Di malam yang gelap dan tenang seperti sekarang ini, takkan mampu membuat hati gadis yang beranjak remaja itu ikut damai. Sebaliknya, hatinya sangat gelisah akan hari esok. Hari pertamanya untuk menapaki dunia baru. Dunia yang penuh dengan hal-hal yang tidak pernah di alaminya seperti hari-hari lalu.
"Besok kamu pulang naik angkot. Nggak akan dijemput sama Papah."
Seakan takdir tak mau membuatnya bahagia, perintah sang Mama itu pun membuatnya kembali ketakutan. Nampak sekali bahwa sepasang mata bulat itu ingin menangis.
"Besok kan baru MOS pertama kali, Mah...."
"Kamu kan udah besar. Bukan anak SD lagi." Diana menggeleng kecil. "Heeeh... sebentar lagi kamu SMP, Na...!" kesalnya.
Sang Mama tak mau anaknya itu terus-terusan diantar. Tania tidak mau tahu, Diana harus mandiri mulai sekarang. Baginya, keputusan itu adalah keputusan yang terbaik untuk sang putri.
Mata gadis yang baru beranjak remaja itu sudah berkaca-kaca sedari tadi. Ia sungguh merasa takut masuk ke sekolah baru, takut mendapat pengalaman baru, takut masuk ke dalam dunia yang lebih baru, dan bahkan dia takut mendapat teman baru. Tunggu, teman? Dia sangat tidak yakin akan mendapat kenalan baru besok. Sifatnya yang tertutup itu membuatnya sulit membuka hal yang berkaitan dengan kata: baru. Ya, dia gadis yang teramat takut membuka diri untuk orang baru.
"Tapi, Mah... jemput aku pulang sekolah ya. Besok kan hari pertama aku MOS, Mah. Ya, Mah...?"
"Inget ya Na, Mamah pengen kamu mandiri. Mandiri, Na...!"
Diana geleng-geleng kepala. Bahkan kepalanya mulai menunduk, tak kuat menahan tangis. "Turuti kata Mamah."
"Mah...."
"Tidur aja sekarang. Besok pagi kamu udah masuk."
Ia mendongak, matanya yang memerah menatap sang Mama dengan penuh permohonan. "Tapi, Mah..."
"NA!" bentak suara tegas seorang pria yang membuat Diana mau tak mau menuruti perintah Tania tadi.
Untuk suara yang satu itu, beliau ialah Papanya Hendra. Diana tidak akan berani memohon kalau sosok itu sudah ikut bersuara, terlebih memanggilnya seperti tadi. Bahkan koran yang ada di tangan Hendra, sudah diletakkan di atas meja ruang tamu.
"Aku kira Mamah kenal baik sifatnya Diana. Tapi ternyata enggak. Apa giat belajar belum cukup buat Mamah sama Papah seneng? apa rasa syukur Diana karena terlahir di keluarga ini belum cukup juga? Diana cuma pengen diperhatiin aja, Mah, Pah. Apa Diana salah minta itu sama orang tua Diana? kalau Diana salah, Diana minta maaf. Ah iya, apa Kak Arin dulu diginiin? hah... aku rasa enggak," ucapnya pelan setelah masuk kamar.
💔💔💔
Nama lengkapnya adalah Diana Wulan. Gadis remaja yang tengah menginjak usia dua belas tahun itu terlihat polos dengan rambut lurus sebahu. Dikucir satu, rok seragam di bawah lutut, tentunya wajah manis nan polos itu tak terpoles apapun, natural. Sungguh anak remaja yang benar-benar lugu.
Pas dengan kepolosan anak kelas 1 SMP bukan? Ditambah tas ransel merah polos yang melekat tepat di balik punggung berseragam putih itu. Sepatu hitam bertalinya pun mulai melangkah keluar kamar. Menuntun sang empunya untuk berjalan santai ke arah dapur.
"Makan. Habis ini berangkat, udah jam segini," arahan Tania, sang Ibu.
"Iya..." jawabnya mencoba untuk melupakan kejadian semalam.
Kala di mana perdebatan dan emosinya beradu. Dengan hening dan gerakan buru-buru, Diana makan. Suap demi suap ia habiskan dengan penuh kegelisahan. Tak ada meja makan di sana. Bahkan perempuan manis itu hanya duduk beralaskan tikar berbahan kain.
"Berangkat ya, Mah..." pamitnya setelah usai.
Sambil menahan kegelisahan dan jantung yang sejak tadi malam sudah berdegup kencang, diciumnya punggung wanita yang telah melahirkannya itu.
"Ati-ati."
Di luar rumah, Hendra sang Ayah sudah siap. Duduk di atas jok motornya sambil memanasi mesin tua. Motor merah zaman dulu yang entah apa merknya, karena tak ada tulisan yang tertera.
Kendaraan beroda dua warna merah polos dan terlihat lawas yang mereka tumpangi adalah benda bersejarah bagi lelaki berumur empat puluh dua tahun itu. Ada sejak dirinya masih bujang, jauh sebelum mengenal sang istri. "Udah siap?" Diana hanya mengangguk lemah. Tapi ia paksakan seulas senyum untuk terbit di wajah tak bersemangatnya itu.
Motor mulai melaju pelan. Bisa dibilang sangat pelan. Entah berapa kecepatannya, spedometernya bahkan berhenti berfungsi. Mungkin sebatas 20km/jam. Lambat mesinnya seakan membuktikan bahwa benda itu memang sudah lanjut umur. Sudah hampir mendekati ajalnya, alias bisa mogok kapan saja ia mau.
Tak ada percakapan atau apapun di antara Ayah dan anak itu. Suara kendaraan yang ngebut-ngebutan dan saling menyaliplah yang meramaikan suasana pagi ini. Dan sudah tak terhitung berapa kali kendaraan umum atau kendaraan pribadi yang sudah menyalip motor tua milik Hendra.
Tanpa bersuara, Diana langsung menyalimi tangan kanan lelaki berjaket abu-abu, tepat setelah beliau-sang Ayah, mengulurkan tangannya.
Sudah tak terkejut lagi kalau dadanya akan naik-turun dan berkali-kali membasahi tenggorokan. Tangan Diana pun sudah mencengkram erat kedua sisi tasnya. Menyalurkan rasa takutnya pada benda mati tak bersalah itu.
Bisa dilihat jelas di depan sana, siswa-siswi baru berhamburan di tengah-tengah lapangan. Ada yang saling bercengkrama sambil berdiri. Ada juga yang terlihat saling bercerita dan bercanda ria layaknya teman lama.
Di tengah lapangan, ada satu sosok lelaki yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Diana. Lelaki itu selalu mengikuti arah pandang Diana sembari menyunggingkan senyuman tipis. Dia adalah Andra, bocah yang penasaran dengan kepribadian Diana. Hanya sebatas rasa penasaran, karena dia punya sebuah rencana.
Diana melihat seorang siswi yang duduk diam sendirian di pinggir lapangan. Kalau diamat-amati, murid itu mirip dengan dirinya. Suka menyendiri dan pendiam. Hingga mau tak mau Diana menyudahi aksi pengamatannya lantaran suara microphone mulai menginterupsi.
"Tes... satu, dua, tiga...."
Terlihat seorang wanita berseragam menggenggam benda pengeras suara itu dengan wajah cerahnya. "Oke, anak-anak! boleh kita mulai acara hari ini?"
Serempak anak-anak murid mengiyakan. Namun ada juga yang bilang 'enggak' berniat menggoda.
"Sebelumnya, perkenalkan dulu, nama saya Sukma Sabrina. Anak-anak bisa panggil saya dengan nama Bu Sukma. Sesuai pengumuman saat pengukuran dan pengambilan seragam minggu lalu, hari ini adalah hari pertama untuk anak baru SMP-SMA Ibu Pertiwi melaksanakan Masa Orientasi Siswa atau biasa disebut MOS. Dengan itu, saya minta seluruh anak baris di lapangan guna melangsungkan upacara. Saya harap seluruh siswa melaksanakannya dengan penuh khidmat. Saya harap tidak ada yang berisik di saat pidato berlangsung. Buktikan bahwa sekolah kita adalah sekolah baik dan boleh menjadi sekolah terfavorit."
"AMIIIN...!" teriak gerombolan siswa dari lantai dua gedung sekolah itu.
Bisa ditebak bahwa mereka yang menyahut adalah murid yang bukan idaman para guru. Mereka pun bukan dari kalangan murid SMP, melainkan calon kakak kelas jauh Diana.
Siapalagi jika bukan murid SMA Ibu Pertiwi. Ya, di sana, dua jenjang menjadi satu gedung, two in one. SMP dan SMA Ibu Pertiwi digabung jadi satu bangunan.
Diana mendongak sembari menggeleng kuat. "Belum apa-apa udah liat kelakuan buruk kakel. Baru aja dinasehati, udah mulai! Most wanted hoaks mah, kalo bentukannya begitu..." batinnya. Terheran-heran dengan kelakuan kakak kelas di sekolah barunya.
Andra yang memerhatikan arah pandang Diana, terkekeh pelan. "Terlalu polos kalo dia kaget," bisiknya masih dengan memandangi raut wajah Diana. "Jaman sekarang masih ada anak perempuan sekalem itu..." gumam Andra kemudian.
💔💔💔
See you
God bless you :)Gimana? Masih dan terus berusaha untuk menulis :) Makasih udah mampir :* See you...
Selamat membaca ❤💔 💔 💔Sesuai keinginan Bu Sukma, salah satu guru di sana, upacara di sekolah Ibu Pertiwi berjalan lancar. Walaupun di awal sempat mendengar sedikit kerusuhan dari anak didiknya, selebihnya acara itu berlangsung mulus tanpa hambatan. Seperti pesan yang disampaikan di akhir, sekarang adalah waktunya seluruh siswa didik baru untuk memasuki aula.Diana, gadis polos itu kini menggigit bibir bawahnya guna menetralkan rasa gugup yang menyerang usai upacara. Bersama seratus dua puluh lima anak baru sebayanya, mereka berjalan ke lantai dua gedung sekolah di sebelah kanan, di mana letak aula SMP itu berada.Karena perempuan dengan rambut sebahu itu kurang cepat memilih tempat duduk, ia mendapatkan barisan paling depan. Sudah diyakini kalau bangku paling belakang menjadi incaran. Bertambah dinginlah telapak tangan Diana.Ia menunduk seraya menarik bangku coklat yang akan ditempati. Namun ketika seorang perempuan yang memiliki tubuh kurus
Selamat membaca ❤💔 💔 💔Banyak yang bertanya pada sang ketua OSIS ketika rombongan siswa baru jenjang SMP itu sampai di aula. Rata-rata dari mereka pastinya siswi-siswi yang ingin dekat dengan Vian, sang ketua OSIS manis di SMP Ibu Pertiwi. Namun tak seperti pagi tadi, layaknya kedua siswa yang bertanya aneh-aneh, pada Jesi. Kali ini, mereka murni mempertanyakan hal-hal yang berbau SMP Ibu Pertiwi. Dimulai dari sifat guru-gurunya, ekskul yang ada, sampai keingintahuan gadis-gadis itu tentang pencapaian dari sekolahnya. Dengan senag hati Vian membalas pertanyaan mereka, bahkan penuh kesopanan. Sesuai persis sama apa yang diharapkan bocah-bocah lulusan SD itu.Seperti sekarang, Lia mencoba untuk bertanya dengan raut wajah was-was. Tangan kanannya yang terangkat ke atas membuat Vian mengangguk serta bertanya, "ya kamu. Namanya siapa?""Lia Kak," balasnya.Vian yang tengah duduk di kursi depan lantas berdiri dan fokus menatap Lia."Mau tanya
Setelah lima menit berdiri sendirian menunggu angkot di depan pom bensin seberang sekolahnya, Diana akhirnya menaiki angkot yang tak terlalu ramai karena di dalamnya hanya ada dua orang dewasa dan satu anak bayi. Beruntungnya, gadis itu bisa duduk dan mengistirahatkan sepasang lututnya yang memang lemas. Untuk pertama kalinya, ia menaiki mobil pengangkut orang-orang berbagai umur dan pekerjaan itu. Diana duduk persis di belakang sopir angkot, pojokan.Sedangkan di samping kirinya seorang wanita penjual jamu gendong tengah memangku bakul berisi botol-botolnnya dan barang-barang lain. Kulitnya banyak yang telah keriput itu menandakan bahwa umurnya tak muda lagi. Beliau memakai kostum layaknya pakaian zaman dulu, bawahan jarik cokelat tua dengan atasan seperti kebaya putih kusam nan polosan, tanpa adanya manik-manik seperti kebaya modern. Persis pakaian jawa tempo dulu.Seorang wanita berhijab hitam berumur dua puluhan duduk di tengah-tengah ba
Selamat membaca ❤💔Selesai makan malam berdua bersama sang Mama, anak remaja yang mempunyai tubuh berisi itu masuk ke kamar milik Arin dan dirinya. Diana berniat untuk memutar lagu dan menggambar lagi sebelum jam menunjukkan pukul sembilan. Tandanya, ia masih punya waktu untuk menyenangkan diri dan menuang imajinasi ke dalam hobi.Diraihnya benda yang ia letakkan di atas meja sebelum mandi dan mulai mengotak-atik musik di HP. Sambil menduduki kasur kecil dan punggung yang tersandar di tembok putih kamarnya, jari-jari itu kembali menari di kertas. Menyempurnakan gambar yang sudah berbentuk 3D itu agar kian cantik lagi. Meskipun, hanya berwarna hitam putih khas serbuk pensil miliknya.💔Matahari yang teramat cerah menyinari langit pagi ini. Berbanding terbalik dengan semangat seorang anak remaja yang baru turun dari atas motor sang papa. Tak ada yang cerah dari wajah Diana, malah aura keg
Babak pengenalan seluruh anggota OSIS berlangsung tanpa gangguan, dan waktu istirahat selama setengah jam juga sudah mereka lalui. Kini saatnya mereka memasuki acara pentas seni. Di mana seluruh siswa dapat membaur, mengenal lebih dekat lagi, dan unjuk kebolehan dalam diri.Di depan sana, Jesi selaku pemimpin acara tengah berdiri dan mulai bersuara, "oke, jadi sesuai jadwal kemarin yang sempet kutulis di papan tulis... Acara pagi menjelang siang ini adalah pensi." beberapa adik kelasnya mengangguk. Namun banyak yang diam memperhatikan. Ada juga yang fokus dengan kecantikan sang wakil ketua OSIS itu. "Karena kita enggak boleh membuang-buang waktu yang ada, aku akan bagi kalian menjadi dua puluh lima kelompok. Jadi masing-masing kelompok isinya ada lima orang, dan lima kelompok akan didampingi sama dua anggota OSIS. Nah, berarti dua puluh lima anak itu harus nurut sama arahan kedua pendamping. Sampai di sini paham?" rata-rata mengangguk dan mengiyakan. "Oke,
Selamat membaca ❤💔Sekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti