Share

Bijak

"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.

Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana.

"Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya bisa pura-pura tuli. Lia yang kelaparan sudah berbaur dengan lautan manusia di 'Kantin 2' tadi, bersama Andra tentunya. "Muka pas-pasan aja belagu!" teriak Andra si bibir comel tak henti-hentinya membuat Diana yang sekarang mulai merasa sedih. Anak remaja mana yang tak sedih diledek dan dihina habis-habisan di kantin bersuasana ramai layaknya bazar sembako murah. Bisa dihitung beberapa siswi yang menatapnya iba, dan sayangnya, mereka bukan teman sekelas Diana.

Tino yang melihat dan mendengar kejadian itu lantas geleng-geleng kepala. Sebelum beranjak untuk menghampiri Diana, tangannya sudah dicekal oleh seorang perempuan. "Eh, Kak Jesi? Kenapa?"

Perempuan bak model itu tersenyum manis. "Pulang sekolah jangan langsung pulang." sedikit berdeham untuk melegakan tenggorokan. "Ada yang perlu diomongin, taulah kamu, No... Mau ngebahas seputar OSIS sama anggota OSIS lainnya, apalagi kamu kandidatnya kan? So?"

"Iya aku tau, wajib buat aku  kan?"

"Yap!" sambil mengangguk pasti.

Sebelum si Jesi benar-benar pergi si Tino bertanya lagi, "pulang maghrib nih?"

Dijawab anggukkan kecil, "he-em!" tawa kecil Jesi juga tercipta saat sepasang telinganya menangkap suara decakan Tino yang persis terdengar orang dilanda kesal. Cuma itu yang disampaikan sang wakil ketua OSIS yang tak lama lagi akan lengser, lalu berlari menjauh dari 'Kantin 2' tempat Tino menikmati makan siangnya ditemani Andra si tengil.

Laki-laki berkulit sawo matang itu kembali duduk kala tubuh Diana masuk ke tempat pilihannya. "Gila ya... Cuek banget tuh cewek, udah digodain di kantin aja masih sok-sokan." ucapnya kala menatap Tino. Tino yang malas meladeni teman tak punya hati di sampingnya, lantas fokus lagi mengunyah bakso. "Nggak yang cewek, nggak yang di sini sama aja. Nggak punya suara baru tau rasa!"

Cukup sudah! Tino si tenang merasa terganggu. "Ngaca woiii, Dra-Dra! Suara berisik nan tak punya otak itu kalo diambil malaikat baru tau rasa!" sudut bibir Tino tertarik hingga membentuk senyuman miring. "Mulut cowok tapi persis sama omongan netizen, kadang nggak pake ati! Ati-ati aja tuh, kalau otak sekalian ilang!"

Andra dan pendengar pesan Tino lantas saling pandang dengan orang di masing-masing sisi mereka. Perempuan yang baru saja keluar dari kantin pojok ikut terkejut, bahkan matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ti-Tino?" sambil berjalan pelan ia berkata-kata dalam benaknya, "tumben banget gomong panjang, sepanjang jalan kenangan orang-orang yang punya mantan, hehe. Tino-Tino... Laki-laki penuh misteri." tapi di dalam otaknya, tertancap satu persoalan yang membuat Diana sangat penasaran akan suatu jawaban, "itu Tino lakuin buat dirinya sendiri apa bukan?" sampai tubuhnya melewati tempat duduk kedua laki-laki yang saling tatap itu, Diana berusaha tenang dan menetralkan degup jantung lantaran ditatap puluhan siswa. "Akhirnya..." tuturnya begitu keluar dari wilayah kantin dengan hembusan napas panjang tanda bahwa dirinya benar-benar lega.

Sampai di kelas, Diana cepat-cepat menyantap nasi ayam pedas berbungkus kertas minyak warna cokelat. Di dalamnya sudah tersedia sendok plastik putih, sekali pakai. Masih dengan mulut mengunyah, tangannya bergerak masuk ke dalam tas ransel merah dan mendapatkan buku khusunya. Hari ini dirinya akan menggambar gaun mungil nan cantik, sesuai tema Diana minggu ini : gaun anak. Guru ekstra kurikulerlah yang menyarankan para anak didiknya untuk menentukan tema setiap mereka fokus menggambar. Seperti dijadwalkan agar lebih terstruktur. Tapi, kalau para muridnya lebih suka bebas yaitu sesuai mood, takkan dilarang juga. Karena bagi sang pelatih, seni itu tanpa batas dan pastinya terserah apa kata hati dan imajinasi.

Jari-jarinya mulai menggerakkan pensil di atas kertas putih yang masih nampak kosong. Sesekali berhenti, diselingi dengan kebutuhannya mengisi energi dan nutrisi dalam tubuh agar lebih semangat belajar dan memperhatikan dongengan-dongengan penting para guru yakni : materi pelajaran.

Satu suara berhasil membuat kepala Diana mendongak, "kok kamu nggak ikut makan di kantin dua?"

"Ketinggalan kamu, Li... Kamu aja cepet-cepet, lagian telinga juga pakek disumpelin earphone, mana denger?" jawabnya. "Nggak takut dimarahin guru kalo ketauan?" lanjut Diana lalu menyuapkan nasi serta lauk yang ada ke dalam mulutnya sendiri.

Lia yang biasa saja lantas menyahut, "banyak yang bawa HP kok, ya pinter-pinternya kita kalo ada guru. Lagian tempat makan guru sama murid kan beda. Jadi aman-aman aja!" sambil menempatkan diri di bangkunya sendiri.

"Nggak papa kan, Na?" tanya Tino tiba-tiba. Diana yang nampak bingung hanya mengerutkan dahi. "Andra keterlaluan." lanjutnya menjawab kerutan dahi gadis itu.

"Eh--enggak... Biarin lah, kalo capek kan berhenti sendiri. Males ngeladenin orang-orang nggak penting."

Padahal sejujurnya rasa sakit itu membekas, dan ejekan Andra pastinya akan selalu tepatri di pikiran dan terngiang di telinga Diana Wulan. Bagaimana tidak? Bocah seusianya mudah sekali rapuh kalau tak ada teman untuk diajak berbicara, bahkan dengan orang tuanya sendiri Diana ragu. Ia sadar, anak kebanggan kedua orangtuanya masih jatuh pada si kakak, Arin.

Bersikap masa bodoh mungkin gampang untuk gadis manis itu, tapi cakaran yang terlanjur membekas di hati, siapa yang mampu menghilangkan dengan sekali usapan? Diana masih terlalu dini untuk menerima cercaan dan ejekan, tapi lantaran dia sudah terbiasa menerima, tak sulit baginya untuk bersikap baik-baik saja. Toh goresan pertama kalinya dari orang terdekat, bukankah itu lebih menyakitkan daripada perkataan orang lain yang bukan siapa-siapa Diana? Jadi, biarkan gadis itu berlaku cuek, biarkan dia menutupi lukanya, dengan cara dan gayanya sendiri. Biarkan Diana merepotkan dirinya sendiri. Ya, biarkan saja luka itu menemaninya di masa-masa remaja.

Karena tiap-tiap manusia tak ada yang tahu bagaimana jalan hidupnya, seperti apa alur dan lika-likunya. Begitupun dengan yang dialami Diana. Ia tak pernah tahu rencana Sang Pencipta untuknya, Diana hanya perlu memasang tameng untuk hati dan usaha keras untuk mimpi yang ada. Urusan mewujudkan mimpi-mimpi itu hak Tuhan, kalau mau memberi akan Dia beri, kalau tidak? Tugas Diana mengaca diri. Apa tujuan Tuhan yang lain untuk hidupnya nanti.

"Baguslah, kirain udah nangis sama ngebanting meja kursi." ucapnya santai lalu duduk di kursi nomor empat, tepat di belakang Diana.

Gadis itu sontak terkekeh dan memutar kepalanya sedikit agar bisa menatap Tino, "aku nggak sekuat itu dan nggak berani juga. Nggak siap dipanggil guru sama ngajak ortu ke sekolah."

Kini giliran Tino yang terkekeh kecil. "Siapa tau si gadis kalem berubah jadi si gadis bar-bar." bahunya terangkat.

Suara tawa pelan cewek di depan Tino itu terdengar. "Tck, enggaklah... Jangan sampek! Lebih baik diam menjaga hati diri sendiri daripada banyak bicara menyakiti hati orang lain." tanpa tersadar air matanya tergenang, buru-buru Diana menunduk dan melihat buku gambarnya lagi.

"Bijaknya... Hahahaaa... Bolehlah ditiru." hanya kata iya yang diterima Tino tanpa tolehan kepala sang pemilik kata-kata.

💔💔💔

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status