Share

Teman Kedua

Selamat membaca ❀

πŸ’”

Raja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang  kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya.

"Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan.

"Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket ini...!" serunya saat sampai depan kamar mandi satu-satunya rumah Hendra.

Hendra dari alam kamar mandi dengan santainya menyahut, "salah siapa nggak bilang dari tadi malem!" membuat bibir Diana maju beberapa senti ke depan, bersamaan dengan itu suara gebyuran air berkali-kali terdengar dari dalam sana.

"Sarapan dulu aja, Na... Papah barusan masuk."

Diana berdecak, tapi kemudian tubuhnya berbalik dan menyusul Tania yang sudah meletakkan piring besar berisi nasi goreng. Di tengah-tengah tikar kain abu-abu bergaris-garis hitam tersedia juga 3 gelas bening dari yang terbuat dari kaca dan penampung air putih yaitu 1 teko plastik bertutup merah muda. Duduklah Diana di sana bersama Tania. Posisi mereka saat ini persis di samping kain gorden hijau muda untuk masuk-keluar dapur, karena bagian itu yang tersisa untuk lesehan.

"Nggak ada kendala kan di kelas?" tanya Tania saat tangan sang anak tengah sibuk menyendok panganan buatan dirinya.

Pikirannya lantas memusat pada Andra, laki-laki yang selalu mengganggunya di kelas. Membuat Diana merasa terganggu dan dilanda panas dingin ketika siswa bermata sipit serta memiliki kulit sawo matang itu terus menanyai hal-hal yang menurut Diana tak perlu dijawab. Bahkan Andra sering menyangkutkan nama lengkapnya kala guru yang mengajar memberikan pertanyaan, bermaksud agar Dianalah penjawabnya. Itu berlangsung sampai satu bulanan sejak masuk kelas 7A. "Biasalah, ada yang suka iseng." Tania mengangguk lalu ikut mengambil makan.

"Tapi nggak sampe keterlaluan kan, Na?" jiwa kekhawatiran Tania mulai keluar.

Anak itu hanya tersenyum kecil, sedangkan kepalanya menggeleng. "Maaf Mah, kali ini aku bohong. Kadang keusilan mereka buat Diana sedih tiap malem-malem dengerin lagu. Tapi Diana yakin, mereka yang sering ngejek atau usil sama Diana aslinya anak yang baik. Pergaulannya aja yang salah. Sekali lagi Diana minta maaf udah bohong..."

Tak ada sepuluh menit, anak bungsu Tania itu telah menyelesaikan sarapan dan saat ini tengah meminum air bening sampai tak bersisa. Selang beberapa detik, sang Papa keluar dengan celana pendek di atas lutut dan sehelai handuk ia gosokkan ke rambut yang masih basah. "Udah sana!" suruh pria itu saat pandangannya menangkap sosok sang putri yang tengah menatapnya juga.

"Oke-oke..." Berdirilah tubuh berisi itu lalu berjalan ke ruangan pembersih badan.

"Makan, Pah."

"Ganti dulu lah, Mah..."

Tania menatap heran sang suami, "emang kenapa? Papah kan laki... Aneh-aneh aja." kepalanya sudah menengok kanan-kiri beberapa kali.

"Bukan gimana-gimana... Risih kalo masi--" terpotong.

Karena ulah satu teriakan yang tak terlalu menggelegar, "jangan debaaat...! Waktuku mepeeet, Papaaah...!" siapa lagi kalau bukan Diana?

Terlalu takut kesiangan dan terlalu takut melanggar peraturan. Meskipun cuma peraturan kelas, ia benci yang namanya pelanggaran. Ya, gadis itu ingin sempurna dalam bersikap. Entah dia ada di rumah, di sekolah, dan ada di manapun, gadis berpipi tembam itu ingin selalu melakukan yang terbaik.

"Supirnya siapa?" Tania sedikit menerbitkan senyuman.

Godaan Hendra itu mampu membuat yang di dalam menghela napas kasar lalu dipercepatlah acara menggosok gigi lantaran rasa kesal dalan dada meningkat. Tak kuat menahan, akhirnya Diana membalas godaan Hendra, "nggak bakalan aku buatin kopi lagi! Mamah juga jangan buatin Papah kopi! Titiiiik...!"

"Okeee...!" seru wanita pemakai daster itu sembari tersenyum lebar pada prianya. Kata 'yes' langsung diucapkan lantang nan panjang oleh sang putri yang kini tertawa kecil di dalam sana.

πŸ’”

Cukup banyak siswa-siswi atau pengantar yang kesana-kemari kala sepasang kaki Diana melewati pagar hitam setinggi 5M di depan halaman sekolahnya. Kini tatapan Diana yang semula memandangi banyaknya objek di depan menjadi terfokus pada sosok ketua kelas 7A dan Vian yang menoleh ke arahnya. Tino memberikan secuil senyum, sedangkan Vian masih menabrakkan pandangannya pada mata Diana. Setelah tiga detik, senyuman tipis sang ketua OSIS muncul. Diana yang gelagapan lantas mengangguk, tak tahu pasti anggukannya untuk siapa. Yang jelas, langkah kaki perempuan remaja berbadan setengah gemuk itu itu kian cepat. Ia ingin membuang rasa percaya diri yang besar yaitu, bahwa Tino atau ketua OSIS menyukainya. Tak dipungkiri, mereka memiliki sifat yang sama-sama baik dan otak yang pintar. Diana yakin, dua laki-laki itu diidolakan cewek-cewek sekolahan, bukan cuma siswi SMP-SMAnya, tapi tiap gadis yang mengenal mereka. Dan itu membuat rasa minder Diana Wulan kian menghalang jiwa keberaniannya. "Haaah... Masih SMP juga!" gelengan dan kekehannya menemani perjalanan gadis berkucir itu.

Di dalam kelas, Lia ternyata sudah nangkring di atas mejanya sambil memainkan ponsel yang sengaja disetel mode silent. Diana yang melihat itu hanya bisa membuang muka, percuma saja kalau menasehati pasti jawaban santai Lia yang keluar yaitu 'selama nggak ada guru, nggak masalah', dan itu membuat telinga Diana terlalu bosan menerima. Kata-kata tak bermakna karena menurut Diana kalimat itu terselip maksud yang sangat tidak patut untuk ditiru. "Hai, Na!" sapa gadis yang kali ini dikepang sebagian rambutnya ketika melepas kontak mata dengan benda pipih digenggaman. Ia juga merasakan kehadiran seseorang, berjalan di sampingnya. Dan benar dugaan Lia, gadis berambut lurus tapi terkucir satu rapi itu sudah datang.

"Hai Li, tumben-tumbenan berangkat gasik..." jawab Diana saat meletakkan tas merah itu di bangku yang selalu menopang tubuhnya selama di kelas.

"Iya, baru aja nyalin PR matematika...."

"Pantes..." balasnya terdengar lirih setelah meraih gagang sapu. Sedangkan temannya itu, tetap asik bermain handphone.

Baru seperempat jalan, Diana dikejutkan oleh suara laki-laki yang ia hapal. "Eh, Na... Tolong bantuin Kak Vian sama aku bawa buku-buku yang ada di ruang perpus buat rapat OSIS nanti ya..." pinta Tino dengan napas ngos-ngosan dan salah satu tangannya mengelap keringat di dahi. "...ajak Lia sekalian kalo dia mau. Satu lagi, plis ya Na... Aku tau, kamu orangnya care. Jadi aku minta tolong." lagipula di kelas itu masih ada Lia dan dia, cuma mereka berdua. Entah ke mana yang lain. Memang di situ ada tas-tas, tepatnya tergeletak di delapan bangku selain bangku Diana dan Lia, tapi si pemilik pergi berlayar. Mungkin akan kembali begitu bel masuk SMP mengalun nyaring.

"Tunggu, No! Ini aku masih nyapu!"

Sang calon ketua OSIS sontak mengehentikan laju kaki dan menoleh cepat ke suara pemanggil."Kelarin dulu, abis itu langsung ke perpustakaan." sambil melambai dan mulai berlari, Tino berseru kencang, "MAKASIH...!"

Gagal sudah untuk Diana mencari alasan. Hanya melihat dan saling menatap saja perasaan gadis itu sudah berdegup kencang. Apalagi bertemu, saling sapa, dan berakhir saling tukar cerita. "HAH...! Nggak-nggak! Jangan! Jangan sampek...! Plis, Tuhan... Itu bukan keinginanku... Plis-pliiis, JANGAAAN...!" mengelus dada dengan tangan kiri.

"Gampang, Na... tinggal bawa buku, kasihin ke aula. Tetep pasang muka datar, semua bakalan baik-baik aja. Semangat!" lanjutnya seperti pekikan tertahan. Telinganya saja yang bisa mendengar. Lia masih sibuk menatap HP dan posisi Diana yang masih menyapu di wilayah belakang kelas. "Li, mau ikut ke perpus nggak? Ikut ya? Nemenin aku, bantu bawa buku." ditatapnya Lia penuh harap.

"Enggaklah... kamu sendiri aja, males aku. Lagi seru-serunya maen." jawab perempuan itu santai tanpa menengok yang mengajak bicara. Diana hanya bisa diam sembari melanjutkan aktivitas paginya yang dilakukan seminggu sekali itu. Tapi jauh di dasar hatinya, perasaan si pipi tembam tak bisa diam seperti mulutnya yang otomatis terbungkam. Diana sedikit kecewa.

Tak sampai lima menit Diana menyudahi kerja tangan kanannya. Digabungkan lagi sapu itu ke gantungan peralatan bersih-bersih lainnya, di tembok belakang kelas.

"Eh, Na... eh, nggak jadi."

Hampir saja bola mata Diana keluar saat berhadapan dengan Tino yang tiba-tiba muncul di depan pintu yang baru dibukanya. "Ke-kenapa...?"

Tino mengangkat bahu tak tahu. "Mungkin udah ada yang bantu..." singkatnya. "...permisi." Diana sedikit menyikir setelah memutus pandangannya pada lelaki di depannya.

Sejatinya sikap dan perilaku Tino beda tipis dengan kepribadian Diana. Hanya saja, Tino lebih pandai mengontrol rasa gugupnya daripada siswi berkucir ekor kuda. Terkadang, sifat cuek laki-laki itu lebih banyak muncul dibandingkan suara-suara yang keluar dari mulut.

Bisa dihitung oleh Diana berapa kali dirinya melakukan obrolan ringan bersama Tino. Tapi setelahnya, Tino seolah-olah lupa bahwa mereka pernah dekat beberapa menit lalu. Aneh? Memang, laki-laki itu aneh, sempat terpikir bahwa Tino memiliki penyakit layaknya orangtua pikun, tapi itulah Tino. Dan sikapnya itu tak membuat rasa benci atau kesal di hati Diana hadir, malahan membuatnya tertarik pada sosok bernama Tino Wahyu. Siswa yang pintar, suka bergaul dengan siapa saja, tidak sombong, putih, bertubuh tinggi, idaman sekali di mata Diana.

"Udah buru-buru nyapu, malah enggak jadi. Oke, kayaknya ini pembuat keselku yang kedua waktu masih pagi-pagi gini. Pertama Papah, terus dia. Sabar selalu Diana..." semangatnya sambil memutar tubuh usai Tino menjauh.

Bel berbunyi nyaring kala di luar kelas Diana siswa-siswi berlarian. Terekam jelas di depan mata Diana. Kini seluruh teman sekelasnya banyak yang baru datang sambil menebar sapaan. Para pelajar tadi juga sudah mendaratkan diri di beberapa bangku kosong yang tak ditempati sejak kemarin siang, saat para penghuni kelas beranjak pulang.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status