Share

Kebenaran Terungkap

Papa Leo keluar dari pintu yang diketuk oleh Mira. “Mira ... sedang apa kamu di sini?” Papa Leo mengingat sesuatu, segera dia tarik tangan Mira untuk masuk ke dalam kamar itu.

“Tunggu sebentar di sini!  Mamanya Leo sedang berada di kamar Leo lantai tiga. Om akan mengamati keadaan di luar, kalau sudah aman, akan om beritahu,” perintah Papa Leo. Setelah itu dia langsung keluar kamar, Mira duduk di ujung tempat tidur untuk menunggu kabar darinya.

Selama menunggu kabar dari Papa Leo, Mira berjalan mondar mandir di kamar itu, terkadang dia meletakkan daun telinganya ke pintu kamar berharap mendengar sesuatu, dan selalu terus bersikap waspada, jikalau tiba-tiba Mamanya Leo muncul dihadapannya. Otaknya dengan sigap sudah menemukan tempat sembunyi yang tepat, kalau memang itu terjadi.

Akhirnya Papa Leo membuka pintu kamar itu, membuat Mira terperanjat. Dia memberi kabar kalau istrinya sudah turun ke lantai satu, jadi Mira bisa segera naik ke lantai tiga ke kamar Leo. Namun, Papa Leo memberi nasehat agar tetap hati-hati, karena dia sendiri memahami, kalau istrinya sudah marah, semua bisa saja terjadi.

Mira kemudian berjalan mengendap-endap menuju lantai tiga, diketoknya pintu kamar yang hanya ada satu di lantai itu.

Tok! Tok! Tok!

“Iya, masuk!”

“Itu suara Leo, memang ini benar kamarnya.” Hati Mira berdebar-debar antara bahagia dan rasa rindu ingin bertemu yang luar biasa.

Pintu kamar pun akhirnya dibuka oleh Mira. “Leo ...”

Leo terperanjat, dia hapal betul suara yang memanggil namanya. Walaupun tubuhnya masih lemah, dia berusaha untuk bangkit dari tempat tidur. “Mira ...” 

Mereka berdua akhirnya bertemu dalam pelukan yang sangat indah. Mira menangis dalam dekapan Leo, mengingat perjuangan untuk bisa menemuinya. Lelaki gagah itu, merasa lega ternyata yang dikatakan mamanya tidak benar. 

Mira melepas dekapannya, wajahnya diangkat, diamatinya wajah Leo dengan penuh haru. Dia menyentuh wajah lelaki gagah bertompel itu dengan kedua tangannya. “Aku sangat merindukan tompel ini.” Dielusnya wajah itu lembut, hingga mata Leo terpejam menikmatinya.

Kemudian tangan Mira berhenti pada bibir indah Leo, dielusnya bibir itu, hingga membuat Leo tidak bisa lagi menahan hasratnya. Kepala gadis manis itu didekatkan ke wajahnya, hingga bibir mereka bertemu. Kedua bibir itu saling beradu dengan lembut dalam balutan kasmaran.

Setelah itu, mereka berpelukan lagi. “Aku kira, kamu tidak akan datang,” kata Leo.

Mereka berdua kemudian duduk di tepi kasur, saling bercerita, bertanya dan menjawab. Mira menceritakan kejadian ketika Mama Leo datang kerumahnya, merayu dia dengan berbagai cara agar menjauh dari Leo, tapi ditolaknya.

“Ternyata mama berbohong padaku,” kata Leo sambil menarik nafas panjang.

Mira kemudian memberanikan diri bertanya kepada Leo tentang cerita yang didengar mengenai keluarganya. Dia penasaran ingin mengetahui kebenarannya.

“Memang saat itu mereka ketakutan setelah didatangi oleh mama, mereka berinisiatif sendiri untuk pindah dari desa ini. Yang meninggal itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami, dia meninggal karena terbawa arus sungai ketika bermain.” Cerita Leo panjang, menghilangkan sedikit ketakutan Mira.

“Bagaimama kabar pembantu itu?” tanya Mira.

“Pembantu yang mana?” tanya Leo balik.

“Pembantu yang membuat minuman buat kami, saat kamu memberiku undangan ke pesta.”

Leo berusaha mengingat kembali. “O ... masih ada bekerja bersama kami.”

“Ternyata itu Cuma pikiran burukku saja,” pikir Mira.

“Sekarang giliranku bertanya. Apakah kamu masih berhubungan dengan Noval?” tanya Leo, membuat Mira terkejut.

Mata Mira membulat. “Kenapa bertanya seperti itu? Tentu saja sudah tidak.” Dia terpaksa berbohong untuk menenangkan kekasihnya itu.

“Aku hanya ingin memastikan saja,” jawab Leo sambil mencium kening Mira dengan lembut.

Leo kemudian menggenggam kedua tangan Mira. “Aku sangat mencintaimu, aku sedikit posesif. Tidak akan kubiarkan siapapun lelaki dekat denganmu.”

Kemudian Leo teringat sesuatu. “O ... dan pemuda-pemuda yang selalu menyapamu, apakah mereka masih menggoda dan merayumu?” tanya Leo.

Mira melepas genggaman Leo, dia sedikit kesal. Dia membuang muka dan menyilangkan tangannya, sambil berkata, “Kamu pikir aku wanita yang suka menggoda.”

Leo menarik kedua tangan Mira, dipegang wajah kecil gadis manis itu dengan kedua tangannya, “Aku bertanya, memastikan mereka tidak berani macam-macam lagi denganmu. Aku tidak menganggapmu begitu.” Kembali Leo mengecup bibir Mira pelan, hingga bibir itu melebar menghasilkan senyuman malu.

Tiba-tiba pintu kamar Leo diketuk, seseorang memanggil namanya.

“Leo!” teriak Mama Leo, membuyarkan acara pertemuan yang penuh kasmaran itu dan merubahnya menjadi penuh kepanikan.

Leo segera meminta Mira untuk bersembunyi, namun gadis manis itu terlanjur panik, tidak ada satupun yang dianggapnya aman untuk bersembunyi di kamar itu.

Kamar itu sebenarnya sangat luas. Namun, tidak ada kolong tempat tidur, tidak ada kolong kursi, lemarinya pun penuh dengan pakaian sehingga tidak ada celah untuk sembunyi. 

Leo kemudian berinisiatif untuk menyembunyikan Mira di bawah selimut tebalnya, salah satu gulingnya dibuang ke lantai namun tersembunyi dari pandangan. Mira menurutinya, dia segera masuk ke dalam selimut.

“Iya, Ma. Masuk saja!” pinta Leo sambil membenahi selimutnya agar terlihat senatural mungkin.

Mama Leo masuk membawa nampan berisi makanan dan minuman buat Leo, memang selama dia sakit, mamanya yang dengan sukarela naik ke lantai tiga, membawakan dia makanan dan minuman atau hanya sekedar mengobrol untuk menghilangkan kepenatan anak satu-satunya itu. Mamanya sangat perhatian dan sayang kepada Leo.

Mama Leo meletakkan nampan itu disebelah tempat tidur, kemudian menempelkan tangannya pada dahi Leo, dia terperanjat. “Sudah dingin, berarti sudah sembuh. Syukurlah, Leo.” Wajahnya terlihat bahagia dan senang sekali.

“Benar juga yang dikatakan dokter, kamu memang lebih baik istirahat tanpa memegang telepon seluler, agar  pikiranmu tenang.” Mama Leo memberikan senyuman manis kepada anak satu-satunya itu.

“Pantas saja, Bibi Jum memintaku untuk menanyakan langsung ke Leo, bukan melalui telepon seluler,” pikir Mira yang masih berada di balik selimut.

“Kamu tidak perlu memikirkan Mira lagi. Gadis itu sudah jauh darimu,” ucap Mama Leo, membuat Mira terperanjat dan sedikit ketakutan dalam selimut.

“Segala upaya yang kamu lakukan dulu untuk mendapatkan gadis itu, memang sia-sia, sampai harus membuat toko bapaknya tidak ramai selama tiga bulan dengan memberikan uang ke pelanggannya.” kata Mama Leo membuat Leo dan Mira sama-sama terkejut, mereka berdua mematung dalam diam.

“Kamu sudah berkorban banyak, tapi jangan sampai mengkorbankan tubuhmu juga.” Mama Leo mengusap kepala anak kesayangannya itu.

“Masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik untukmu, kamu tinggal bersabar saja. Nanti, biar mama yang mencarikan.” 

Mira ingin keluar dari selimutnya, menghardik Leo serta mamanya. Namun, dia teringat kalau Leo masih lemah dan butuh ketenangan jiwa darinya, lagipula dia belum siap untuk meninggalkan Leo saat itu juga. Cintanya mengalahkan logikanya. Gadis itu berpikir, pasti ada alasan dari semua ini, dan dia berniat menanyakannya langsung ke Leo, dari hati ke hati.

“Kenapa aku berpikir kalau guling disebelahmu itu seolah-olah bernafas?” tanya Mama Leo, membuat Leo tersentak kaget, segera dia memutar otak untuk mencari alasan.

Leo kemudian membuka sedikit selimut menunjukkan gulingnya. “Ini Cuma guling, ma,” jawab Leo dengan tawa datarnya berusaha meyakinkan mamanya.

“O ... “ jawab Mama Leo datar sambil berdiri bersiap untuk keluar kamar.

“Mama turun dulu, ada banyak yang harus mama kerjakan,” ucap mama sambil menutup pintu kamar.

Setelah Mama Leo keluar kamar, Leo dan Mira akhirnya bisa bernafas dengan lega. Gadis manis itu segera keluar dari selimut, dipandangnya wajah kekasihnya itu, yang diam seperti kehilangan kata-kata di depannya.

“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya Mira tegas, membuat Leo yang mendengarnya menelan ludah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status