Share

Kedatangan Nenek Mira

“Kamu tahu Mira, aku menyukaimu sejak SMA. Dulu, diriku tidak percaya diri seperti sekarang, hanya bisa melihatmu dari jauh, memendam rasa.”

“Kamu menghilang saat kuliah di kota. Setelah lulus dan kembali ke desa ini lagi, ternyata sudah memiliki kekasih. Hatiku patah rasanya. Akhirnya aku berusaha mencari cara agar bisa bersamamu”

Leo mendekati Mira, memandang dan menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan bahwa yang dikatakannya adalah benar. “Maafkan aku, caraku memang salah.” Leo mencium tangan Mira dengan penuh perasaan.

“Namun, berhasilkan?!” seru Leo tiba-tiba, mengagetkan sekaligus membuat Mira akhirnya tertawa melayangkan tangannya ke lengan Leo dengan mesra.

“Aduh ...” canda Leo sambil mengelus tangannya.

Keduanya saling tertawa lepas, hingga tak sadar kalau Mama Leo telah berdiri mengamati mereka sambil menyilangkan tangannya.

“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini, Mira?” tanya Mama Leo, mengagetkan mereka berdua.

Leo segera berdiri melindungi tubuh Mira dari mamanya, sakitnya seketika itu menghilang dan dia tidak lagi merasakan tubuhnya yang sempat melemah. “Aku tahu semuanya, Ma. Aku mohon restui kami berdua. Mira datang ke sini adalah bukti cintanya kepadaku.”

Wajah Mama yang semula mengernyit tajam berubah menjadi sendu setelah mendengarkan Leo. “Baiklah Leo, mama menurutimu.”

Namun, wajah Mama berubah menjadi tajam kembali ketika memandang Mira. “Tapi, awas kamu Mira, kalau terjadi apa-apa lagi dengan anakku!” teriaknya, kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah Mama Leo pergi, mereka saling memandang dan berpelukan senang, tidak henti-hentinya melepaskan senyuman. 

Kemudian, Leo mengantarkan Mira pulang, tidak lupa sebelumnya mereka mengucapkan terima kasih kepada Bibi Jum yang telah banyak membantu.

***

Tin! 

Suara klakson mobil mengagetkan Bapak, Ibu dan Mira yang sedang berkumpul di ruang tamu.

“Siapa, Pak?” tanya Mira.

Bapak dan Ibu tidak menjawab, mereka sibuk mencari tahu juga, siapa gerangan yang datang?

Bapak, Ibu dan Mira semakin penasaran, mereka kemudian berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke depan teras rumah secara bersamaan, tanpa saling memandang.

Akhirnya, terjawab juga pertanyaan di benak mereka. Mira sangat mengenal sosok itu. Wanita berumur tujuh puluhan memakai pakaian panjang yang sangat modis, rambut disanggul ke atas, bertubuh sedikit gemuk, memakai kaca mata hitam, dan yang paling terkenal darinya adalah, omelannya yang sangat panjang.

“Nenek ...!” teriak Mira riang sambil berlari menghampiri neneknya.

Nenek berjalan sedikit lebih cepat sambil melebarkan kedua tangannya. “Cucu kesayanganku, yang paling cantik sedunia ...” katanya.

Mira dan neneknya saling berpelukan melepas rindu. 

“Ibu ke sini sendirian?” tanya Bapak yang merupakan anak satu-satunya dari Nenek.

“Iya, bapakmu tidak mau ikut. Ibu sudah sangat merindukan Mira.” Nenek mencium kening Mira pelan. Gadis manis itu tersenyum bahagia menerima kecupan sayang dari neneknya.

Ibu Mira yang sejak tadi diam, kemudian mencium punggung tangan kanan Nenek. 

“Bajumu ganti, ya! Itu, Ibu sudah bawakan dari kota, biar lebih modis, tidak kuno seperti ini.” Nenek mengomentari penampilan Ibu sambil melihatnya dari atas ke bawah. Menantunya itu hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Biarkan saja, kita memang suka pakaian sederhana, tidak seperti Ibu.” Bapak membela Ibu, karena tahu betul kalau Nenek memang suka cerewet masalah penampilan.

Nenek memandang Bapak dengan lirikan yang tajam, Mira hanya tersenyum melihat ulah neneknya.

“Nenek di sini lama, ya? Nanti tidur sama Mira saja,” ucap Mira sambil menggandeng Nenek berjalan ke dalam rumahnya.

“Iya, nanti tidurnya sama Mira,” jawab Nenek sambil mengelus kepala cucu kesayangannya itu.

Sampai di ruang tamu, Nenek duduk di kursi panjang, melepas kaca matanya sambil mencari pendingin ruangan. “Mir, Nenek kepanasan, tolong dinyalakan kipas anginnya, ya?” Nenek juga paling rewel masalah pendingin ruangan dan tidak bisa kepanasan.

“Iya, Nek,” jawab Mira tersenyum, sambil berjalan untuk menyalakan kipas angin.

Nenek kemudian mengamati tembok, tempat foto-foto dipajang. Ada satu foto yang membuat nenek lama memandangnya. Dia kemudian berdiri, berjalan menuju pajangan foto tersebut dan mengambilnya. “Kamu sudah wisuda ya, Mir. Nenek merasa kamu masih SMA saja, tidak disadari sudah dewasa cucu nenek.” Wajahnya menunjukkan senyuman bangga.

Nenek meletakkan foto itu kembali ke tempatnya, berjalan menuju ke Mira dan duduk di sebelahnya.

“Cucuku sudah dewasa, berarti sudah waktunya untuk berpacaran.” Nenek mengatakan itu sambil mengelus kepala Mira.

“Kalau mencari pacar, harus yang ganteng, kaya, baik dan pengertian, seperti kakekmu-“ kata Nenek bangga.

“Jangan seperti bapakmu,” sambung Nenek sambil melirik ke arah anak satu-satunya itu, yang hanya diam, tidak berkomentar apa-apa.

Mira melihat ulah neneknya, dengan menahan senyuman. 

“Astaga!” ucap Mira sambil menutup mulutnya. Dia teringat dengan Leo yang tentu saja memiliki kekurangan di wajahnya, berupa tompel.

“Ada apa, Mir?” tanya neneknya gugup.

“Tidak apa-apa, Nek. Tadi Mira terlupa sesuatu, terus ingat kembali,” jawab Mira dengan senyuman datarnya.

“Bagaimana ini, Nenek paling cerewet urusan penampilan. Leo memang kaya, baik, pengertian tapi-“ gumam Mira dalam hati sambil menundukkan kepalanya dengan lemas.

Nenek mengamati perubahan tingkah laku Mira. “Ada apa, Mir? Seperti punya beban pikiran saja. Ayo ... cerita ke Nenek!” pinta Nenek.

Mira bingung antara ingin bercerita atau tidak. Dia tahu benar sifat neneknya. Tiba- tiba,

Tin!

Suara klakson mobil, menghentikan komunikasi antara Mira dengan neneknya. Mira melihat ke depan rumah, ternyata yang datang adalah Leo.

“Siapa itu, Mir?” tanya Nenek sambil melihat ke arah mobil Leo.

Mira bergegas berlari menuju ke mobil Leo, tidak seperti biasanya. Dia sampai tidak menghiraukan pertanyaan dari neneknya.

Setelah sampai di mobil Leo, Mira segera masuk ke dalam dan menutup pintunya. Dia bergegas mengajak Leo untuk pergi dari sana.

“Kita jalan ke kota, yuk?” ajak Mira sambil melirik ke arah Nenek yang sudah berada di depan pintu ruang tamu mengamati mereka.

“Untung saja jendela mobil ini berwarna hitam, jadi Nenek tidak melihat Leo,” batin Mira.

Leo sedikit terkejut dengan tingkah Mira. “Kita jalan-jalan ke kota, dengan pakaian santaimu itu,” kata Leo sambil melihat penampilan Mira.

Mira baru menyadari kalau pakaian yang digunakannya adalah atasan kaos dan celana pendek, yang sangat tidak pantas dipakai untuk keluar rumah. Setelah melihat penampilannya sendiri, Mira memberikan senyumannya kepada Leo sambil berkata, “Aku tetap manis ‘kan, walau memakai pakaian santai seperti ini. Apa kamu keberatan?”

Leo melebarkan senyumnya. “Iya, tidak kurang sedikit pun, masih tetap termanis di seluruh dunia.”

Mira tersenyum malu disanjung oleh Leo. 

“Kamu bicara dengan siapa, Mir?” tanya Nenek dari kejauhan karena penasaran.

Leo kemudian mencari asal suara itu. “Siapa itu, Mir? Nenekmu, ya?” tanya Leo.

“I-iya,” jawab Mira sambil memandang ke arah neneknya berada.

Nenek semakin khawatir dan penasaran, kakinya mulai melangkah maju menuju mobil Leo. “Mengapa Mira tidak menjawab pertanyaanku dari tadi? Ada apa sebenarnya?” gumam Nenek. 

“Aku harus cari tahu sendiri,” kata Nenek semakin memantapkan kakinya untuk melangkah.

Mira mengawasi neneknya dengan gugup. “Bagaimana respon Nenek setelah melihat wajah Leo yang ditutupi tompel? Apa yang akan dikatakan Nenek dihadapannya? Mungkin, aku diminta untuk memutuskan hubungan dengannya, saat ini juga,” gumam Mira dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya.

Leo mengamati Nenek yang berjalan semakin dekat ke mobilnya dengan tenang. Sebaliknya, Mira semakin salah tingkah. Dia berusaha memutar otak agar Nenek jangan sampai melihat Leo sekarang.

Mira akhirnya menemukan cara agar Leo mau segera melajukan mobilnya.

“Aduh ... perutku sakit sekali Leo, cepat antarkan aku ke apotek, sekarang juga,” pinta Mira sambil memegangi perutnya.

Leo panik melihat Mira kesakitan, tanpa pikir panjang, segera dia melajukan mobilnya dengan cepat ke apotek terdekat.

Nenek yang melihat mobil Leo melaju dengan cepat, semakin mempercepat langkah kakinya. “Lo ... Mira, kenapa kamu meninggalkan Nenek tanpa berpamitan? Mira, mau kemana kamu?!” teriak Nenek berusaha agar suaranya terdengar oleh Mira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status