“Tunda aja meetingnya sampai jam dua nanti.”
“Baik pak. Oh, data orang yang bapak minta waktu itu sudah saya taro di meja bapak.”
“Oke.”
Rama menyimpan kembali ponselnya, sebenarnya hari ini pekerjaannya cukup padat. Tapi Jenna adalah prioritasnya sekarang, pertengkaran mereka beberapa waktu lalu benar-benar membuat Jenna menjadi lebih waspada. Karena itu Rama berusaha keras memanjakan Jenna agar perempuan itu kembali mempercayainya.
“Kenapa?”Tanya Rama begitu mendapati Jenna menekuk wajahnya.
“Perasaan yang ngelola perusahaan keluarga itu kamu, tapi kok Bima yang sibuk banget ya?” tanya Jenna sembari menyimpan ponselnya di atas meja.
“Maksudnya?”
“Aku ngajak Bima ikut kita ke Setiabudi pulang kerja nanti, tapi dia enggak bisa katanya. Sibuk.”
“Dia lagi banyak project mungkin, maklumin aja ya.” ucap Rama se
Sejak pagi Jenna sudah merasa ada yang tidak beres dengan rekan-rekan di tempat kerjanya, Jenna melihat mereka saling berbisik seolah sedang membicarakan sesuatu dan begitu Jenna mendekat teman-temannya akan berpura-pura melakukan sesuatu.“Jenna.”“Hah, iya pak?”“Bantu saya sebentar.” Nik menggedikan dagu, memberi tanda kepada Jenna untuk masuk ke ruangannya.“Duduk dulu Jen, saya periksa laporan dari Santi sebentar.” Ucap laki-laki itu sebelum sibuk di depan laptopnya, Jenna kebingungan tapi terlalu segan untuk bertanya karena atasanya itu justru kelihatan semakin sibuk setelah tiga puluh menit berlalu.“Eng pak, saya bisa bantu apa ya?” tanya Jenna setelah merasa jengah karena selama satu jam hanya duduk diam memperhatikan Nik bekerja.“Duduk aja dulu di situ, nanti kamu saya panggil kalau memang butuh.” Nik sama sekali tidak mengalihkan matanya dari layar laptop, ha
Rama baru selesai menghadiri rapat penting, ketika melihat banyak notifikasi panggilan tidak terjawab di ponselnya, dari Jenna. Dengan panik Rama langsung menghubungi perempuan itu, sayangnya tidak satupun panggilannya yang terjawab.“Jenna lagi sama lo?” Rama memutuskan bertanya kepada Bima melalui pesan, sialnya kembarannya itu juga sama sekali tidak menjawab meski Rama mencoba menelefon laki-laki itu berkali-kali.“Sialan, pada kemana sih mereka!” Kali ini Rama memutuskan untuk menghubungi Nik, atasan Jenna sekaligus kenalannya dan Bima.“Jenna di mana?” todong Rama langsung begitu Nik mengangkat panggilannya.“Enggak tau, mungkin makan siang bareng temen-temennya. Ini kan memang jamnya istirahat.”“Bima di sana?”“Enggak.” Jawab Nik dengan cepat.“Kabarin gue kalau Jenna udah balik.”“Hmm.”Rama menyugar rambutnya kasar, tiba-tiba
Jenna berkeliling, memastikan setiap sudut rumah yang akan di tinggalinya itu bersih dan setiap peralatannya bisa di gunakan dengan baik. Beberapa hari ini ia dan Bima tinggal di hotel sampai bisa menemukan rumah yang cocok untuk ia sewa.“Jendela sama pintu aman, Air gimana?.” Ucap Bima sembari menggosok rambutnya yang basah karena tetes air hujan“Airnya juga bagus, kerannya enggak ada yang macet.”“Haah, lo yakin?” tanya Bima entah untuk keberapa kali.“Belum terlambat kalau memang lo mau balik sekarang.” Jenna menggelengkan kepala, keputusannya sudah bulat. Ia ingin menjauh dari Rama.“Haaah, gue udah panjar ini rumah untuk dua tahun.” Jenna menunjukan raut keberatan.“Jangan ngerasa enggak enak, pokoknya ini rumah udah gue panjar buat dua tahun. Minggu depan juga lo udah mulai bisa kerja di tempat temennya Nik.”“Tapi..”“Tenang aja,
Untuk pertama kalinya keluarga Sore sarapan dengan suasana suram, sejak tadi Maira sudah melirik suaminya yang nampak tak acuh dengan suasana senyap yang mengelilingi meja makan.“Duh.” Pandu melirik Maira yang baru saja menendang kakinya, istrinya itu melotot sembari melirik anak-anaknya yang makan dengan diam.“Ekhm..” Pandu berdehem, mencoba menarik perhatian.“Mumpung ayah lagi di sini, gimana kalau kita rencanain liburan keluarga? Udah lama kan kita enggak liburan.”“Di mana Jenna?” serang Rama langsung setelah menaruh alat makannya dengan kesal, laki-laki itu bahkan mengabaikan usaha ayahnya yang mencoba mencairkan suasana.“Di mana Jenna?!”“Gue enggak tau.”“Abang.. mas..” Maira mencoba menyadarkan anak-anaknya yang sepertinya siap kembali bertengkar.“Lo pikir dengan bersikap sok pahlawan kayak gini, Jenna bakal tertarik sama lo?&
“Iya, Nik dateng lagi tadi siang.” Jenna menjepit ponsel di antara telinga dan dagu sedangkan tangannya ia gunakan untuk menutup pintu pagar. Di seberang sana Bima terus mengoceh menanyakan tingkah apa lagi yang di buat Nik saat mengunjunginya hari ini.“Hahahaha dih curigaan banget sama Nik.”“Harus, itu laki-laki enggak bisa di percaya.” Bima menggerutu.“Justru Nik itu satu-satunya yang bisa di percaya.”“Duh jangan kemakan tampang sama mulut manisnya Jen, dia itu jauh lebih berbahaya dari keliatannya. Jadi, lo harus hati-hati.”“Hahahaha, oke.. oke..” Jenna menata beberapa belanjaannya di pantry, sembari sesekali mencocokan barang dengan struk.“Tapi lo baik-baik aja kan satu bulan ini? enggak ada aneh-aneh di sana?” gerakan tangan Jenna terhenti, perempuan itu membasahi bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Bima dengan riang.“Enggak ada, sem
“Kamu harus makan Jenna.” Perempuan itu memilih untuk tetap bergeming, Jenna terus memandang ke luar jendela dan mengabaikan bu Asih yang sudah tiga kali memasuki kamarnya untuk mengantar makanan“Jenna, Rama bisa marah nanti. Tolong, kamu makan ya?” bu Asih kembali membujuk, perempuan yang di urusnya itu sudah sejak kemarin melakukan aksi mogok makan. Rama sudah memberikan peringatan kepada semua orang untuk membujuk Jenna agar mau memakan makanannya, bagaimanapun caranya.“Jenna..”“Dia masih belum mau makan?” Bu Asih menunduk ketika Rama begitu saja memasuki kamar Jenna, sedangkan Rama melirik berbagai troli makanan di dekat ranjang Jenna dengan dingin.“Dia sama sekali enggak mau makan makanannya dari tadi pagi?”“I.. iya tuan.”Rama membuka kancing lengan kemejanya dengan santai, laki-laki itu menganggukan kepala berkali-kali sebelum kemudian berteriak meminta
Rama menggeram, hentakan pinggulnya kian kuat. Napas hangatnya beberapa kali menerpa wajah Jenna yang bersimbah air mata di bawah tubuhnya yang berkeringat, laki-laki itu tidak bercanda ketika mengatakan Jenna harus memuaskannya.“Haah..haah..” Laki-laki itu berusaha mengatur napas setelah pelepasannya datang beberapa saat lalu, biasanya Rama akan langsung memeluk tubuh Jenna tapi kali ini laki-laki itu langsung menggeser tubuhnya dan berpakaian. Rama bahkan sama sekali tidak melirik ke arah Jenna yang masih terisak dengan tangan terikat di atas kepala ranjang.“Bantu Jenna membersihkan tubuh.” Ucap laki-laki itu dingin begitu berpapasan dengan bu Asih di depan pintu kamar. Rama sama sekali tidak peduli apa pelayan paruh baya tersebut mendengar perintahnya atau tidak karena laki-laki itu langsung bergegas memasuki salah satu ruangan di depan pintu kamar yang di tempati Jenna.“Brengsek!” Makinya sembari menunju kaca lemari paj
Jenna mengerjapkan mata, lagi-lagi perempuan itu terbangun di ruangan asing hanya saja kali ini ruangan yang di temuinya memiliki satu warna, putih. Perempuan itu meringis begitu merasakan satu sengatan samar di punggung tangan sebelah kanannya yang ternyata di tempeli selang infus.“Rumah sakit.” Gumamnya kepada diri sendiri, matanya berkeliling memperhatikan ruang perawatanya yang sepi.“Kesempatan.” Desis Jenna dengan semangat begitu melihat sebuah jendela besar di samping ranjangnya, perempuan itu tidak tahu sekarang sudah pukul berapa tapi gelapnya langit malam membuat dada Jenna bergemuruh dengan semangat.“Aw!” Desisnya ketika menarik paksa jarum yang tertanam di punggung tangannya, Jenna tidak ingin membuang waktu. Karena itu, meski kepalanya masih terasa berputar perempuan itu tetap melangkah membuka jendela dan memperhatikan garis-garis tepi di dinding rumah sakit yang bisa ia pijak.***“Ha