Jenna mengikuti Bima yang baru saja memasuki sebuah studio foto, laki-laki itu sepertinya cukup terkenal di sana karena beberapa orang yang berpapasan dengan Bima berhenti untuk memberikan salam.
“Wah siapa nih?”
“Ck, jangan macem-macem. Punya Rama nih.” Samar-samar Jenna mendengar Bima berbisik kepada salah seorang kru studio yang menyambutnya.
“Duh ini si princess yang jadi bahan gosip di tempat tongkrongan ya?”
“Iya.”
“Ya kalau bentukannya begini sih, gue juga enggak akan noleh kanan-kiri.”
“Bacot.” Ke dua laki-laki itu terkekeh, sedangkan Jenna kebingungan.
“Bim.” Jenna menarik ujung jaket Bima pelan.
“Eh, Nik mana?”
“Di dalem, masuk aja.” Bima menganggukan kepala, kemudian menggandeng Jenna memasuki satu ruangan dengan bertuliskan ‘staff only’.
“Ini studio punya kenalan gue Jen, dulu h
Rama menunggu dengan gelisah, matanya terus saja mengamati kamera keamanan yang secara khusus tersambung dengan televisi di dalam kamarnya. Laki-laki itu sedang menunggu Jenna yang seharian ini pergi bersama Bima.“Brengsek! Mereka ngapain aja sih sampai hampir jam makan malem begini belum juga pulang.” Rama sudah mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi saudaranya itu, namun niatnya ia urungkan begitu melihat mobil Bima baru saja terpakir di basement.“Bunda!” Rama bisa mendengar jerit kebahagian Jenna ketika menuruni anak tangga, benar saja begitu sampai di ruang keluarga laki-laki itu menemukan Jenna sedang memeluk bundanya dengan erat. Perempuan itu juga membawa Maira melompat-lompat saking kesenangannya.“Jenna dapet pekerjaan bund, gajinya besar. Bima bilang, Jenna udah bisa mulai mikirin dari sekarang mau kuliah apa mau kursus.”“Wah, selamet ya sayang. Bunda ikut seneng dengernya.”“M
Rudi mengendap-endap, di pundaknya sudah tersampir ransel besar. Laki-laki itu hendak melarikan diri kerena hingga saat ini Jenna belum juga bisa di hubungi sedangkan hutangnya kepada Karyo semakin menumpuk selama dua bulan ini.“Brengsek, gara-gara perempuan sialan itu hidup gue jadi enggak tenang begini.” Maki Rudi setelah berhasil keluar dari gang tempat tinggalnya, laki-laki itu sedang berusaha mencari tumpangan dari kendaraan yang melaju di jalan besar sekarang.“Liat aja, kalau ketemu nanti. Gue bakal bikin Jenna ngebayar semuanya.”“Sebelum itu, gimana kalau lo urus utang lo sama gue dulu Rud.”“Eh, bang..bang Karyo.”“Mau ke mana Rudi?” tanya si ketua preman sembari menunjuk ransel yang tersampir di pundak laki-laki tersebut.“Itu.. anu bang, gue..”“Ck..ck..ck.. kalau mau pergi, lo harus lunasin dulu semua utang lo ke gue kan?” Rudi langsung melarikan diri begitu Karyo memberikan tanda kepada anak buahnya, laki-laki itu berlari seku
“Tunda aja meetingnya sampai jam dua nanti.”“Baik pak. Oh, data orang yang bapak minta waktu itu sudah saya taro di meja bapak.”“Oke.”Rama menyimpan kembali ponselnya, sebenarnya hari ini pekerjaannya cukup padat. Tapi Jenna adalah prioritasnya sekarang, pertengkaran mereka beberapa waktu lalu benar-benar membuat Jenna menjadi lebih waspada. Karena itu Rama berusaha keras memanjakan Jenna agar perempuan itu kembali mempercayainya.“Kenapa?”Tanya Rama begitu mendapati Jenna menekuk wajahnya.“Perasaan yang ngelola perusahaan keluarga itu kamu, tapi kok Bima yang sibuk banget ya?” tanya Jenna sembari menyimpan ponselnya di atas meja.“Maksudnya?”“Aku ngajak Bima ikut kita ke Setiabudi pulang kerja nanti, tapi dia enggak bisa katanya. Sibuk.”“Dia lagi banyak project mungkin, maklumin aja ya.” ucap Rama se
Sejak pagi Jenna sudah merasa ada yang tidak beres dengan rekan-rekan di tempat kerjanya, Jenna melihat mereka saling berbisik seolah sedang membicarakan sesuatu dan begitu Jenna mendekat teman-temannya akan berpura-pura melakukan sesuatu.“Jenna.”“Hah, iya pak?”“Bantu saya sebentar.” Nik menggedikan dagu, memberi tanda kepada Jenna untuk masuk ke ruangannya.“Duduk dulu Jen, saya periksa laporan dari Santi sebentar.” Ucap laki-laki itu sebelum sibuk di depan laptopnya, Jenna kebingungan tapi terlalu segan untuk bertanya karena atasanya itu justru kelihatan semakin sibuk setelah tiga puluh menit berlalu.“Eng pak, saya bisa bantu apa ya?” tanya Jenna setelah merasa jengah karena selama satu jam hanya duduk diam memperhatikan Nik bekerja.“Duduk aja dulu di situ, nanti kamu saya panggil kalau memang butuh.” Nik sama sekali tidak mengalihkan matanya dari layar laptop, ha
Rama baru selesai menghadiri rapat penting, ketika melihat banyak notifikasi panggilan tidak terjawab di ponselnya, dari Jenna. Dengan panik Rama langsung menghubungi perempuan itu, sayangnya tidak satupun panggilannya yang terjawab.“Jenna lagi sama lo?” Rama memutuskan bertanya kepada Bima melalui pesan, sialnya kembarannya itu juga sama sekali tidak menjawab meski Rama mencoba menelefon laki-laki itu berkali-kali.“Sialan, pada kemana sih mereka!” Kali ini Rama memutuskan untuk menghubungi Nik, atasan Jenna sekaligus kenalannya dan Bima.“Jenna di mana?” todong Rama langsung begitu Nik mengangkat panggilannya.“Enggak tau, mungkin makan siang bareng temen-temennya. Ini kan memang jamnya istirahat.”“Bima di sana?”“Enggak.” Jawab Nik dengan cepat.“Kabarin gue kalau Jenna udah balik.”“Hmm.”Rama menyugar rambutnya kasar, tiba-tiba
Jenna berkeliling, memastikan setiap sudut rumah yang akan di tinggalinya itu bersih dan setiap peralatannya bisa di gunakan dengan baik. Beberapa hari ini ia dan Bima tinggal di hotel sampai bisa menemukan rumah yang cocok untuk ia sewa.“Jendela sama pintu aman, Air gimana?.” Ucap Bima sembari menggosok rambutnya yang basah karena tetes air hujan“Airnya juga bagus, kerannya enggak ada yang macet.”“Haah, lo yakin?” tanya Bima entah untuk keberapa kali.“Belum terlambat kalau memang lo mau balik sekarang.” Jenna menggelengkan kepala, keputusannya sudah bulat. Ia ingin menjauh dari Rama.“Haaah, gue udah panjar ini rumah untuk dua tahun.” Jenna menunjukan raut keberatan.“Jangan ngerasa enggak enak, pokoknya ini rumah udah gue panjar buat dua tahun. Minggu depan juga lo udah mulai bisa kerja di tempat temennya Nik.”“Tapi..”“Tenang aja,
Untuk pertama kalinya keluarga Sore sarapan dengan suasana suram, sejak tadi Maira sudah melirik suaminya yang nampak tak acuh dengan suasana senyap yang mengelilingi meja makan.“Duh.” Pandu melirik Maira yang baru saja menendang kakinya, istrinya itu melotot sembari melirik anak-anaknya yang makan dengan diam.“Ekhm..” Pandu berdehem, mencoba menarik perhatian.“Mumpung ayah lagi di sini, gimana kalau kita rencanain liburan keluarga? Udah lama kan kita enggak liburan.”“Di mana Jenna?” serang Rama langsung setelah menaruh alat makannya dengan kesal, laki-laki itu bahkan mengabaikan usaha ayahnya yang mencoba mencairkan suasana.“Di mana Jenna?!”“Gue enggak tau.”“Abang.. mas..” Maira mencoba menyadarkan anak-anaknya yang sepertinya siap kembali bertengkar.“Lo pikir dengan bersikap sok pahlawan kayak gini, Jenna bakal tertarik sama lo?&
“Iya, Nik dateng lagi tadi siang.” Jenna menjepit ponsel di antara telinga dan dagu sedangkan tangannya ia gunakan untuk menutup pintu pagar. Di seberang sana Bima terus mengoceh menanyakan tingkah apa lagi yang di buat Nik saat mengunjunginya hari ini.“Hahahaha dih curigaan banget sama Nik.”“Harus, itu laki-laki enggak bisa di percaya.” Bima menggerutu.“Justru Nik itu satu-satunya yang bisa di percaya.”“Duh jangan kemakan tampang sama mulut manisnya Jen, dia itu jauh lebih berbahaya dari keliatannya. Jadi, lo harus hati-hati.”“Hahahaha, oke.. oke..” Jenna menata beberapa belanjaannya di pantry, sembari sesekali mencocokan barang dengan struk.“Tapi lo baik-baik aja kan satu bulan ini? enggak ada aneh-aneh di sana?” gerakan tangan Jenna terhenti, perempuan itu membasahi bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Bima dengan riang.“Enggak ada, sem