Share

Tukang 5

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-07-01 13:58:35

Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.

“ALUNA! KELUAR KAMU!”

Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara.

Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat.

Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya.

“Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?”

Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenapa kamu datang ke kosan malam-malam begini, dan langsung teriak-teriak di depan rumah orang?”

Nada Aluna dingin dan jelas. Haris melirik gadis di sebelahnya dengan kagum.

Lita mendengus, dagunya terangkat. “Aku yang seharusnya marah! Kamu pasti udah pengaruhi Mas Rendi sampai dia nggak bales chat dan nggak angkat teleponku seharian! Kamu pikir aku nggak tahu maksudmu bertemu dengan bapak tadi pagi? Kamu mau rebut Mas Rendi balik, ya?!”

Aluna nyaris tertawa. “Kamu serius?”

Wajah Lita memerah.

“Kamu rebut pacarku duluan, Lita. Dan sekarang nuduh aku yang mau rebut dia balik? Kapan aku segila itu? Aku nggak seperti kamu. Dan satu lagi, aku sudah punya kekasih baru.”

Ia menoleh ke arah Haris.

Lita mengikuti pandangan itu. Matanya menyipit, lalu tertawa mengejek. “Dia? Memang tampan sih... tapi motor cuma Beat. Jangan-jangan cuma pacar sewaan? Kamuflase aja biar kamu kelihatan udah move on.”

Aluna melotot. Tapi sebelum sempat membuka mulut, Haris melangkah ke depan. Satu langkah cukup membuat Lita bergeming.

“Nama saya Haris. Haris Alexander.”

Nada suaranya tenang. Tapi setiap kata mengandung tekanan yang membuat udara di sekitar terasa lebih padat.

“Saya memang pacar Aluna. Dan sepengetahuan saya, jadi pacar itu bukan soal motor apa yang dipakai, tapi bagaimana cara menghargai orang yang kita sayang.”

Lita terdiam. Haris tidak berhenti.

“Kamu datang ke sini malam-malam, tanpa sopan santun, cuma buat lempar tuduhan yang bahkan nggak punya bukti. Ngomong seenaknya, menghina orang lain. Kamu yakin kamu pantas nikah minggu depan dengan sikap kayak gini?”

Wajah Lita mulai berubah.

“Dan soal Mas Rendi itu...” Haris mendekat, menatap lurus. “Kalau kamu yakin dia setia, kenapa harus curiga sama kakak tirimu sendiri? Atau jangan-jangan... kamu sendiri nggak yakin sama hubungan kalian?”

Lita membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.

“Kamu bilang mau nikah, tapi bahkan belum dekat dengan keluarganya. Mas Rendi itu memang calon suami kamu... atau kamu cuma kejar nama baik dan gengsi?”

Hening.

Haris mundur selangkah, menatap Lita dari atas ke bawah. “Saran saya, sebelum ribut ke orang lain, coba duduk sebentar dan pikir—apa benar kamu dan Rendi itu pasangan yang saling percaya? Atau cuma dua orang yang pura-pura saling cinta?”

Lita mengepalkan tangan. “Kalau kamu memang pacar mbak Luna, buktikan! Datang ke rumah! Jangan cuma bacot doang!”

Ia berbalik, langkah cepat membelah malam. Bau parfum mahal dan amarah tersisa di udara. Gerbang ditutup dengan bantingan kasar.

Aluna menatap Haris dengan mata membulat. “Kamu... barusan kayak dosen filsafat yang lagi kumat bijaknya.”

Haris menyeringai. “Gitu ya? Aku pikir aku kayak hakim sinetron ikan terbang jam tujuh malam.”

Aluna tertawa, lelah dan lega.

“Mas Haris…”

“Hm?”

“Makasih. Aku nggak tahu kalau kamu bisa se... mengesankan itu.”

Haris melemaskan bahu. “Sama-sama. Tapi aku lapar banget. Kamu mau makan?”

Aluna mengangguk. “Terserah. Yang penting kenyang.”

“Wah, jawabannya klasik banget. Cewek mana pun kalau lapar pasti bilang 'terserah', tapi kalau dibawa ke tempat mahal, langsung kepikiran isi dompet.”

Aluna meringis. “Ya... aku memang mikir soal uang juga.”

“Tenang,” Haris mengedip, “uangku cukup. Nggak usah jual motor dulu kok.”

Mereka tertawa. Haris pun mengajak Aluna keluar. Motor Beat hitamnya sudah terparkir manis, dan kali ini—meski sederhana—Aluna tak lagi peduli dengan stigma. Di belakang jok, Haris menyelipkan helm cadangan, lalu membonceng Aluna menembus jalanan malam yang basah oleh hujan.

Tujuan mereka: sebuah kafe steak baru yang katanya viral karena dekorasi industrial-nya dan harga menunya yang... tidak bersahabat.

Aluna melirik arloji di pergelangan tangan. “Mas... yakin kita mau ke sana?”

Haris mengangguk mantap. “Kalau uangku habis, kita tinggalin KTP aja, biar nanti saya ngamen depan cafe.”

Aluna tertawa kecil, tapi tetap gelisah. Mereka sampai di depan kafe, parkir motor, dan berjalan kaki menuju pintu kaca.

Namun langkah Aluna tiba-tiba terhenti.

Di seberang jalan, tepat di depan tempat karaoke, Aluna melihat sosok yang sangat ia kenal—Rendi.

Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat.

Rendi sedang menggandeng seorang perempuan berpakaian minim. Mereka tertawa, masuk ke dalam tempat karaoke seolah dunia hanya milik mereka.

Aluna terdiam.

Tangan kanannya merogoh ponsel. Dalam gerakan refleks dan nyaris tanpa suara, ia mengangkat kamera.

Klik.

Satu foto.

Hanya satu, tapi cukup untuk membalik segalanya.

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 8

    Cahaya lampu dapur yang temaram memantul samar di lantai keramik. Aluna duduk mematung, menatap bungkus plastik kecil yang terbuka sebagian di bawah meja. Serbuk putih di dalamnya tampak seperti bedak halus, tapi hatinya menolak percaya itu hal biasa. Suasana malam yang tadinya tenang berubah menegang, seperti udara yang membeku menjelang badai. Aluna berpikir cepat. Dia nyaris menunduk dan tangannya hampir terulur untuk menyentuh benda itu— "Aluna, sedang apa kamu?" Suara itu membuatnya tersentak. Aluna menoleh cepat. Dina berdiri di ambang pintu dapur, bayangan tvb vhnya memanjang karena cahaya dari ruang tengah. Gadis itu mengenakan piyama motif boneka, tampak berantakan seperti baru bangun tidur. "Aku... haus," jawab Aluna cepat, sambil berdiri dan meraih ceret air putih di atas meja. Dina tidak mengatakan apa-apa. Matanya sekilas melirik lantai, lalu kembali menatap Aluna. Tanpa senyum. Aluna buru-buru menuang air ke gelas dan meneguknya, lalu bergegas kembali ke kamarn

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 7

    Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat. Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda. “Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan. Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.” Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi. “Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?” Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.” Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 6

    Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air. Di seberang sana, tempat karaoke dengan lampu neonnya yang mencolok tampak hidup seperti sarang rahasia para pemuja malam. Klik. Aluna menurunkan ponsel, wajahnya tegang. Suara lalu lintas samar-samar terdengar, tapi semuanya seolah meredup oleh denyut keras di dadanya. Sebuah sentuhan ringan di bahunya menyadarkan Aluna dari kebekuan. “Eh, kenapa berhenti?” Haris mencondongkan tubuh, menatap wajah Aluna dari samping. “Dan… kamu baru aja motret apa barusan?” Aluna menelan ludah. “Mas… itu…” Ia mengangkat dagunya, menunjuk dengan lirih ke arah tempat karaoke. “Aku lihat mas Rendi. Calon suami Lita. Dia masuk ke sana… bareng cewek. Bajunya... minim banget.” Haris mengikuti arah pandang Aluna. Sebuah senyum kecil yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya, tapi menghilang secepat ia muncul. Ia menatap sejenak ke arah gedung karaoke, lalu berbalik menatap Aluna. “Ayo masuk dulu. Makan. Nanti kita bahas yang it

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 5

    Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.“ALUNA! KELUAR KAMU!”Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara.Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat.Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya.“Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?”Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenap

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 4

    Langit sore menyisakan semburat oranye di balik awan tipis, sementara daun-daun trembesi di pinggir jalan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana lengang itu pecah oleh suara gerobak cilok yang bergeser pelan—berhenti di depan seorang gadis yang berdiri dengan tangan terlipat di d4d4.“Aku ulangi, Mas,” kata Aluna sambil menatap lurus, “kamu boleh ke kosku, tapi dengan satu syarat.”Haris, yang masih memegang tv5uk cilok di tangan, memiringkan kepala. “Syarat? Ini bukan drama Korea, kan?”“Pura-pura jadi pacarku.”Haris seolah membeku. Sepotong cilok nyaris jatuh dari tv5uknya.“Pacar? Aku?” Ia menunjuk d4danya sendiri. “Yang rambutnya kayak guling habis jatuh ke selokan ini?”Aluna mengangguk pelan, matanya masih menatap serius. “Ayahku... dia mau jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Anak relasinya. Sementara aku... aku cuma pengen hidupku sendiri. Pilihanku sendiri.”Haris masih menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Dari bingung, menjadi sedikit iba.“Mas Haris, kamu tahu ng

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 3

    Langkah kaki Aluna terasa berat menyusuri lorong sekolah yang lengang. Suara langkahnya bergaung, menciptakan gema yang aneh, seolah-olah sekolah ini sedang menahan napas menantikan sesuatu. Dari kejauhan, pintu bertuliskan Kepala Sekolah tampak tertutup rapat, tapi Aluna tahu ini pertama kalinya kepala sekolah SD tempatnya bekerja memanggil nya selama 2 bulan bekerja di sana. Tok. Tok."Masuk," sahut suara berat dari dalam.Dengan napas yang ditahan, Aluna membuka pintu. Di balik meja besar dari kayu jati itu duduk Pak Bambang—kepala sekolah SMA Angkasa sekaligus… ayah kandungnya. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, wajah keras namun menyimpan sesuatu yang tak pernah tuntas: rasa bersalah.Aluna berdiri kaku.“Duduk,” perintah Pak Bambang tanpa menatap. Ia sibuk membolak-balik map berwarna merah di tangannya. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”Aluna menggeleng. “Tidak, Pak.”Pak Bambang menghela napas berat. “Kos tempat kamu tinggal… berurusan den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status