Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.
“ALUNA! KELUAR KAMU!” Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara. Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat. Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya. “Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?” Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenapa kamu datang ke kosan malam-malam begini, dan langsung teriak-teriak di depan rumah orang?” Nada Aluna dingin dan jelas. Haris melirik gadis di sebelahnya dengan kagum. Lita mendengus, dagunya terangkat. “Aku yang seharusnya marah! Kamu pasti udah pengaruhi Mas Rendi sampai dia nggak bales chat dan nggak angkat teleponku seharian! Kamu pikir aku nggak tahu maksudmu bertemu dengan bapak tadi pagi? Kamu mau rebut Mas Rendi balik, ya?!” Aluna nyaris tertawa. “Kamu serius?” Wajah Lita memerah. “Kamu rebut pacarku duluan, Lita. Dan sekarang nuduh aku yang mau rebut dia balik? Kapan aku segila itu? Aku nggak seperti kamu. Dan satu lagi, aku sudah punya kekasih baru.” Ia menoleh ke arah Haris. Lita mengikuti pandangan itu. Matanya menyipit, lalu tertawa mengejek. “Dia? Memang tampan sih... tapi motor cuma Beat. Jangan-jangan cuma pacar sewaan? Kamuflase aja biar kamu kelihatan udah move on.” Aluna melotot. Tapi sebelum sempat membuka mulut, Haris melangkah ke depan. Satu langkah cukup membuat Lita bergeming. “Nama saya Haris. Haris Alexander.” Nada suaranya tenang. Tapi setiap kata mengandung tekanan yang membuat udara di sekitar terasa lebih padat. “Saya memang pacar Aluna. Dan sepengetahuan saya, jadi pacar itu bukan soal motor apa yang dipakai, tapi bagaimana cara menghargai orang yang kita sayang.” Lita terdiam. Haris tidak berhenti. “Kamu datang ke sini malam-malam, tanpa sopan santun, cuma buat lempar tuduhan yang bahkan nggak punya bukti. Ngomong seenaknya, menghina orang lain. Kamu yakin kamu pantas nikah minggu depan dengan sikap kayak gini?” Wajah Lita mulai berubah. “Dan soal Mas Rendi itu...” Haris mendekat, menatap lurus. “Kalau kamu yakin dia setia, kenapa harus curiga sama kakak tirimu sendiri? Atau jangan-jangan... kamu sendiri nggak yakin sama hubungan kalian?” Lita membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. “Kamu bilang mau nikah, tapi bahkan belum dekat dengan keluarganya. Mas Rendi itu memang calon suami kamu... atau kamu cuma kejar nama baik dan gengsi?” Hening. Haris mundur selangkah, menatap Lita dari atas ke bawah. “Saran saya, sebelum ribut ke orang lain, coba duduk sebentar dan pikir—apa benar kamu dan Rendi itu pasangan yang saling percaya? Atau cuma dua orang yang pura-pura saling cinta?” Lita mengepalkan tangan. “Kalau kamu memang pacar mbak Luna, buktikan! Datang ke rumah! Jangan cuma bacot doang!” Ia berbalik, langkah cepat membelah malam. Bau parfum mahal dan amarah tersisa di udara. Gerbang ditutup dengan bantingan kasar. Aluna menatap Haris dengan mata membulat. “Kamu... barusan kayak dosen filsafat yang lagi kumat bijaknya.” Haris menyeringai. “Gitu ya? Aku pikir aku kayak hakim sinetron ikan terbang jam tujuh malam.” Aluna tertawa, lelah dan lega. “Mas Haris…” “Hm?” “Makasih. Aku nggak tahu kalau kamu bisa se... mengesankan itu.” Haris melemaskan bahu. “Sama-sama. Tapi aku lapar banget. Kamu mau makan?” Aluna mengangguk. “Terserah. Yang penting kenyang.” “Wah, jawabannya klasik banget. Cewek mana pun kalau lapar pasti bilang 'terserah', tapi kalau dibawa ke tempat mahal, langsung kepikiran isi dompet.” Aluna meringis. “Ya... aku memang mikir soal uang juga.” “Tenang,” Haris mengedip, “uangku cukup. Nggak usah jual motor dulu kok.” Mereka tertawa. Haris pun mengajak Aluna keluar. Motor Beat hitamnya sudah terparkir manis, dan kali ini—meski sederhana—Aluna tak lagi peduli dengan stigma. Di belakang jok, Haris menyelipkan helm cadangan, lalu membonceng Aluna menembus jalanan malam yang basah oleh hujan. Tujuan mereka: sebuah kafe steak baru yang katanya viral karena dekorasi industrial-nya dan harga menunya yang... tidak bersahabat. Aluna melirik arloji di pergelangan tangan. “Mas... yakin kita mau ke sana?” Haris mengangguk mantap. “Kalau uangku habis, kita tinggalin KTP aja, biar nanti saya ngamen depan cafe.” Aluna tertawa kecil, tapi tetap gelisah. Mereka sampai di depan kafe, parkir motor, dan berjalan kaki menuju pintu kaca. Namun langkah Aluna tiba-tiba terhenti. Di seberang jalan, tepat di depan tempat karaoke, Aluna melihat sosok yang sangat ia kenal—Rendi. Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat. Rendi sedang menggandeng seorang perempuan berpakaian minim. Mereka tertawa, masuk ke dalam tempat karaoke seolah dunia hanya milik mereka. Aluna terdiam. Tangan kanannya merogoh ponsel. Dalam gerakan refleks dan nyaris tanpa suara, ia mengangkat kamera. Klik. Satu foto. Hanya satu, tapi cukup untuk membalik segalanya. Next?Kilau matahari sore menimpa dedaunan flamboyan di taman tengah Rumah Sakit Kartika, menciptakan bayang-bayang bergerigi yang menari di atas bangku kayu panjang. Di sanalah Aluna duduk, jemarinya putih karena terlalu erat menggenggam ponsel yang tak kunjung memberi dengung kehidupan. Sejak fajar ia menekan nomor Haris—dua puluh… mungkin tiga puluh kali—namun layar selalu memantul pesan sama: nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.Ia mengecup punggung tangan, mencoba menahan getar, bukan karena marah, melainkan takut. Apa Haris berubah pikiran? Apa semua janji di telepon malam itu sekadar angin? Air mata panas menganak sungai, menetes satu-satu ke rok plisket warna lilac.Sebuah sentuhan lembut jatuh di pundaknya.Aluna tersentak. Ia mendongak dan berhadapan dengan wajah pucat Lita—gaun rumah sakit masih membalut tubuh kurusnya, botol infus bergoyang di tiang besi yang diseret pelan. “Mbak… kenapa nangis?” Suara Lita serak, setipis benang.Aluna buru-buru menyeka pipi. “Ah, nggak apa-
Benang hujan masih menggantung tipis-tipis di udara Samarinda ketika dua lampu tembak polisi memecah gulita jalan tanah di pinggir Sungai Mahakam. Bau kayu basah dan getah damar menguar, menempel di kulit seperti keringat kedua. Dari balik kabin Hilux hitam, Ragil mencondongkan tubuh—punggungnya dirapatkan ke dashboard—sementara Haris, berbalut rompi antipeluru yang baru saja dipinjam dari Polresta, memeriksa senapan SS2-V4 dengan gerakan hafal.Di radio genggam, suara Kompol Irawan terdengar parau: “Tim Alfa, 600 meter dari titik, tunggu aba-aba. Target di dalam rumah panggung hijau atap seng. Posisi dua orang dewasa bersenjata. Lampu belakang menyala, indikator ada genset tetap hidup.”Dada Haris berdegup keras namun teratur—ritme yang sama setiap kali ia melangkah ke wilayah abu-abu di antara hidup dan mati. Perutnya masih terasa perih bekas makan malam yang terburu-buru, dua roti tawar dingin yang dipaksa masuk demi operasi malam ini.Ragil melirik jam di pergelangan tangan. 23:11
Hujan baru saja reda ketika Lita masuk ke dalam ruang operasi. Aroma tanah basah bercampur udara antiseptik menyelimuti lorong IGD yang sunyi. Langkah kaki Haris menggema perlahan saat ia berjalan menuju kursi tunggu, membawa bayang-bayang luka dan peluru yang nyaris merenggut nyawa Lita.Haris meraih ponsel dan menelepon ke nomor yang sudah sangat dihafalnya, nomor Aluna. "Assalamualaikum, Mas! Ada apa telepon malam malam begini?" tanya Aluna. Suaranya terdengar panik. Dia perlahan menyiapkan hati jika sewaktu waktu mendengar kabar yang kurang menyenangkan. "Waalaikumsalam, kamu belum tidur? Sekarang sudah lewat tengah malam," sahut Haris. Ada rasa rindu dalam nada suaranya, rindu sekaligus lelah tapi tetap harus profesional."Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku kemana - mana, Mas? Apa ada kabar dari Lita?" tanya Aluna to the poin."Ya ada, Lita sudah ditemukan. Kamu mau mendengar berita baik atau buruknya lebih dulu?" tanya Haris pelan.Aluna berpikir sejenak. "Berita buru
“Aku nggak tahu apa-apa! Kalian salah orang!”Ratna meraung sambil menggeliat di kursi interogasi. Kakinya diperban dan masih berlumur darah segar. Tangannya diborgol ke meja besi dingin. Nafasnya memburu, tapi matanya penuh benci saat menatap Ragil yang berdiri di seberangnya.“Kami salah orang?” Ragil mengangkat alis. Ia mencondongkan tubuh, meletakkan tumpukan foto di meja. Foto orang orang yang hilang. Foto Dina saat 'diculik' dari rumah sakit yang diperoleh dari cctv lorong rumah sakit. Foto Rere—Ratna sendiri—bersama perempuan lain di bandara.“Kamu pikir kami bodoh?” suaranya tajam. “Kamu pikir semua orang yang kamu jual ke Kamboja itu nggak punya orang tua? Kamu pikir semuanya bisa kamu kubur dengan paspor palsu dan nama baru?”Ratna mendengus. “Aku nggak nyulik siapa-siapa. Mereka semua ikut sendiri. Mereka pengangguran! Mereka minta kerja! Aku bantu.”“Kerja?” Ragil mengetuk foto Dina yang ditemukan meninggal dengan sebagian besar organ tubuhnya yang hilang. “Ini hasil dari
Beberapa saat sebelumnya, Haris memelototi layar laptopnya dengan mata merah dan kantung mata membengkak. Jam digital di sudut kanan bawah menunjukkan pukul 02.43 dini hari. Matanya terpaku pada layar Facebook—grup demi grup pencari kerja yang dipenuhi postingan lowongan kerja luar negeri dengan iming-iming gaji menggiurkan dan foto-foto perempuan cantik yang terasa terlalu sempurna untuk jadi nyata.Di sampingnya, Ragil menyesap kopi hitam dari cangkir kertas. “Kamu yakin ini jalurnya?” tanyanya sambil melirik layar.Haris tak menjawab langsung. Ia mengetik cepat, menyamar dengan akun palsu bernama “Rama Syahputra”—lengkap dengan foto profil seorang pria parlente yang ia edit dari foto model luar negeri. Di bio-nya tertulis: “Fresh graduate. Siap kerja. Tertarik ke luar negeri.”“Kalau Rendi dan Rara itu mainnya online, pasti ada jejak digital. Bahkan setipis apapun. Kita tinggal sabar dan konsisten,” ucap Haris lirih.Ragil mengangguk, meski keraguan jelas terpampang di wajahnya.S
Sementara itu, di tempat lain, Lita perlahan membuka mata. Kepalanya berat, tubuhnya lemas. Ruangan di sekelilingnya tampak asing—gelap, hanya cahaya lampu redup di atas kepala. Bau amis dan pengap menyeruak dari setiap sudut. Dindingnya dari triplek tipis, dan ia bisa mendengar suara pria tertawa dari ruangan sebelah.Tubuhnya terbaring di atas matras tipis. Tangan kanannya diborgol ke tiang ranjang besi.“Selamat bangun, sayang.”Lita menoleh pelan. Rendi duduk di kursi kayu, menatapnya dengan wajah tenang namun mata yang tajam seperti silet.“Apa… ini… di mana aku…?” gumam Lita.“Kita udah jauh dari rumah petak itu. Di gudang tempat penghubung biasa kumpul. Kamu tenang aja. Sebentar lagi, kita akan ‘berangkat’ ke tempat yang lebih baik. Kamboja.”Lita mendadak sadar. Nafasnya tercekat.“Kamu gila… Kamu jual aku? Kamu suami aku, mas Rendi!”“Kamu ngintip pembicaraan yang bukan urusanmu. Kamu kirim pesan suara, padahal aku udah peringatkan. Maaf, Ta. Ini bukan soal cinta lagi. Ini so