Langit sore menyisakan semburat oranye di balik awan tipis, sementara daun-daun trembesi di pinggir jalan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana lengang itu pecah oleh suara gerobak cilok yang bergeser pelan—berhenti di depan seorang gadis yang berdiri dengan tangan terlipat di d4d4.
“Aku ulangi, Mas,” kata Aluna sambil menatap lurus, “kamu boleh ke kosku, tapi dengan satu syarat.” Haris, yang masih memegang tv5uk cilok di tangan, memiringkan kepala. “Syarat? Ini bukan drama Korea, kan?” “Pura-pura jadi pacarku.” Haris seolah membeku. Sepotong cilok nyaris jatuh dari tv5uknya. “Pacar? Aku?” Ia menunjuk d4danya sendiri. “Yang rambutnya kayak guling habis jatuh ke selokan ini?” Aluna mengangguk pelan, matanya masih menatap serius. “Ayahku... dia mau jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Anak relasinya. Sementara aku... aku cuma pengen hidupku sendiri. Pilihanku sendiri.” Haris masih menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Dari bingung, menjadi sedikit iba. “Mas Haris, kamu tahu nggak?” Aluna menarik napas panjang. “Selama ini, aku hidup di rumah yang isinya cuma pura-pura. Ayahku nikah lagi. Ibu tiriku nggak pernah anggap aku. Saudara tiriku, Lita... dia rebut pacarku. Mantan pacarku.” “Waduh... plot twist-nya serem,” gumam Haris. “Dan sekarang ayahku nyuruh aku pulang. Disuruh ikut bantu persiapan nikahan Lita. Aku nggak mau. Aku muak,” suara Aluna nyaris pecah, tapi ia menahannya, menelan getir dengan senyum tipis. Haris terdiam. Matanya mengamati wajah Aluna yang terlihat lebih rapuh daripada biasanya. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia menjentikkan jari. “Oke.” Aluna mengernyit. “Oke?” “Oke, aku pura-pura jadi pacarmu.” Aluna tampak lega, tapi Haris mengangkat satu jari, seperti guru matematika yang hendak memberi peringatan. “Dengan satu syarat juga dari aku.” “Wah, kamu juga ada syarat?” “Tenang. Syaratnya sederhana. Kamu harus kasih tahu keluargamu tentang aku.” Aluna memiringkan kepala. “Maksudnya?” “Jangan pura-pura aku anak orang k4ya. Jangan bilang aku pengusaha kuliner. Aku tukang cilok, dan aku bangga.” Aluna tersenyum kecil, hatinya menghangat. “Deal.” “Dan satu lagi,” kata Haris sambil memainkan karet gelang di pergelangan tangannya, “Aku bakal potong rambut. Biar kelihatan pantas dikit lah buat jadi cowokmu, meskipun cuma bohongan.” Aluna mengangguk, lalu menyodorkan ponselnya. “Nomor HP?” Haris menyambut ponsel itu dengan gaya sok cool, mengetik dengan cepat. “Siap. Kalau nanti aku jadi artis sinetron karena tampang baru ini, kamu jangan naksir beneran, ya.” Aluna tertawa, kali ini lepas. ** Malam itu, jam dinding di ruang tamu kos berdentang pelan menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh. Kos Aluna berlokasi di gang sempit, tapi punya halaman depan kecil yang ditumbuhi tanaman lidah mertua dan bunga pukul empat. Bau tanah basah menyambut siapa pun yang masuk setelah hujan selepas maghrib mengguyur daerah itu dan sekarang baru reda. Langkah kaki berbunyi di depan pagar. Aluna membuka pintu ruang tamu. Detik itu juga, ia terpaku. Haris berdiri di sana dengan kemeja putih lengan panjang yang digulung rapi sampai siku. Rambut gondrongnya kini sudah hilang, digantikan potongan cepak yang memperlihatkan rahangnya yang tegas. Celana jeans gelap dan sepatu sneakers putih melengkapi penampilannya. “Mas Haris?” Aluna nyaris tak percaya. “Mas Haris? Ih, panggil aku Haris sayang, dong,” jawab Haris, tersenyum lebar. Aluna tertawa kecil, mempersilakan masuk. “Silakan, calon pacar bohongan.” Ruang tamu kos itu sederhana—kursi rotan, meja kecil dengan taplak bunga, dan kipas angin berdiri di pojok ruangan. Dindingnya dipenuhi foto-foto tempel anak kos yang pernah tinggal, penuh kenangan dan tulisan iseng. “Wah... kamu niat juga menyambut pacar bohonganmu ini ya,” komentar Haris sambil duduk. Ia mencium aroma lavender dari lilin aromaterapi di atas meja. “Awas nanti aku betah.” “Jangan betah-betah amat. Nanti ketahuan kalau cuma akting,” balas Aluna. “Ngomong-ngomong,” Haris menyandarkan tvbvhnya santai, “berapa orang sih yang tinggal di sini selain kamu terus mereka kerja dimana aja?” Aluna berpikir sejenak. “Lima orang. Ada Mbak Rani yang kerja di toko roti, Winda anak magang di kantor akuntan, Rere mahasiswa semester akhir, dan satu lagi Dina—kerja di toko alat tulis. Tapi mereka jarang di sini malam-malam.” Haris bersiul pelan. “Wah... dikelilingi cewek-cewek cantik ya. Kos impian.” Aluna mengerutkan dahi. “Eh, jangan godain mereka juga, dong.” “Tenang, hatiku fokus. Tapi mata? Mata tuh kadang bandel,” Haris berkedip n4kal. Aluna melempar bantal kecil ke arah Haris. “Mas!” Haris menangkis dengan tawa. “Bercanda, bercanda. Aku anak baik-baik, lulus sensor KPI.” Aluna duduk di seberangnya, memandangi wajah Haris yang kini terlihat berbeda. Bukan hanya karena potongan rambutnya, tapi juga sesuatu yang lain—mungkin karena keberanian Haris menjadi dirinya sendiri, tanpa malu dengan latar belakangnya. “Mas Haris...” “Hmm?” “Kenapa kamu mau bantu aku?” Haris menatapnya, kali ini tanpa senyum. “Karena aku tahu gimana rasanya dianggap nggak pantas. Aku cuma nggak mau kamu sendirian menghadapi itu semua.” Aluna terdiam. Malam makin larut, tapi hatinya terasa lebih ringan. Di luar, hujan mulai turun rintik-rintik, menari di atas genteng kosan dan membentuk irama yang lembut. Haris berdiri, berjalan ke jendela, menatap langit yang kelam. “Eh, kalau aku pacarmu b0h0ngan... aku boleh nganterin kamu ke nikahan saudara tirimu itu juga nggak?” tanyanya sambil menoleh. Aluna mengangguk pelan. “Iya. Itu rencananya.” Haris menyeringai. “Siap. Tapi aku harus belajar nahan diri. Takut beneran jatuh cinta.” Sebelum Aluna sempat membalas, terdengar suara mobil berhenti di depan pagar kos. Disusul dengan suara teriakan dari luar: “ALUNA! KELUAR KAMU!" Aluna terkejut, ia menatap Haris. “Itu suara Lita, saudara tiriku…” Haris bersiap berdiri. Next?Cahaya lampu dapur yang temaram memantul samar di lantai keramik. Aluna duduk mematung, menatap bungkus plastik kecil yang terbuka sebagian di bawah meja. Serbuk putih di dalamnya tampak seperti bedak halus, tapi hatinya menolak percaya itu hal biasa. Suasana malam yang tadinya tenang berubah menegang, seperti udara yang membeku menjelang badai. Aluna berpikir cepat. Dia nyaris menunduk dan tangannya hampir terulur untuk menyentuh benda itu— "Aluna, sedang apa kamu?" Suara itu membuatnya tersentak. Aluna menoleh cepat. Dina berdiri di ambang pintu dapur, bayangan tvb vhnya memanjang karena cahaya dari ruang tengah. Gadis itu mengenakan piyama motif boneka, tampak berantakan seperti baru bangun tidur. "Aku... haus," jawab Aluna cepat, sambil berdiri dan meraih ceret air putih di atas meja. Dina tidak mengatakan apa-apa. Matanya sekilas melirik lantai, lalu kembali menatap Aluna. Tanpa senyum. Aluna buru-buru menuang air ke gelas dan meneguknya, lalu bergegas kembali ke kamarn
Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat. Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda. “Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan. Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.” Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi. “Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?” Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.” Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru
Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air. Di seberang sana, tempat karaoke dengan lampu neonnya yang mencolok tampak hidup seperti sarang rahasia para pemuja malam. Klik. Aluna menurunkan ponsel, wajahnya tegang. Suara lalu lintas samar-samar terdengar, tapi semuanya seolah meredup oleh denyut keras di dadanya. Sebuah sentuhan ringan di bahunya menyadarkan Aluna dari kebekuan. “Eh, kenapa berhenti?” Haris mencondongkan tubuh, menatap wajah Aluna dari samping. “Dan… kamu baru aja motret apa barusan?” Aluna menelan ludah. “Mas… itu…” Ia mengangkat dagunya, menunjuk dengan lirih ke arah tempat karaoke. “Aku lihat mas Rendi. Calon suami Lita. Dia masuk ke sana… bareng cewek. Bajunya... minim banget.” Haris mengikuti arah pandang Aluna. Sebuah senyum kecil yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya, tapi menghilang secepat ia muncul. Ia menatap sejenak ke arah gedung karaoke, lalu berbalik menatap Aluna. “Ayo masuk dulu. Makan. Nanti kita bahas yang it
Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.“ALUNA! KELUAR KAMU!”Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara.Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat.Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya.“Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?”Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenap
Langit sore menyisakan semburat oranye di balik awan tipis, sementara daun-daun trembesi di pinggir jalan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana lengang itu pecah oleh suara gerobak cilok yang bergeser pelan—berhenti di depan seorang gadis yang berdiri dengan tangan terlipat di d4d4.“Aku ulangi, Mas,” kata Aluna sambil menatap lurus, “kamu boleh ke kosku, tapi dengan satu syarat.”Haris, yang masih memegang tv5uk cilok di tangan, memiringkan kepala. “Syarat? Ini bukan drama Korea, kan?”“Pura-pura jadi pacarku.”Haris seolah membeku. Sepotong cilok nyaris jatuh dari tv5uknya.“Pacar? Aku?” Ia menunjuk d4danya sendiri. “Yang rambutnya kayak guling habis jatuh ke selokan ini?”Aluna mengangguk pelan, matanya masih menatap serius. “Ayahku... dia mau jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Anak relasinya. Sementara aku... aku cuma pengen hidupku sendiri. Pilihanku sendiri.”Haris masih menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Dari bingung, menjadi sedikit iba.“Mas Haris, kamu tahu ng
Langkah kaki Aluna terasa berat menyusuri lorong sekolah yang lengang. Suara langkahnya bergaung, menciptakan gema yang aneh, seolah-olah sekolah ini sedang menahan napas menantikan sesuatu. Dari kejauhan, pintu bertuliskan Kepala Sekolah tampak tertutup rapat, tapi Aluna tahu ini pertama kalinya kepala sekolah SD tempatnya bekerja memanggil nya selama 2 bulan bekerja di sana. Tok. Tok."Masuk," sahut suara berat dari dalam.Dengan napas yang ditahan, Aluna membuka pintu. Di balik meja besar dari kayu jati itu duduk Pak Bambang—kepala sekolah SMA Angkasa sekaligus… ayah kandungnya. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, wajah keras namun menyimpan sesuatu yang tak pernah tuntas: rasa bersalah.Aluna berdiri kaku.“Duduk,” perintah Pak Bambang tanpa menatap. Ia sibuk membolak-balik map berwarna merah di tangannya. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”Aluna menggeleng. “Tidak, Pak.”Pak Bambang menghela napas berat. “Kos tempat kamu tinggal… berurusan den