Share

Tukang 6

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-07-01 13:59:51

Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air. Di seberang sana, tempat karaoke dengan lampu neonnya yang mencolok tampak hidup seperti sarang rahasia para pemuja malam.

Klik.

Aluna menurunkan ponsel, wajahnya tegang. Suara lalu lintas samar-samar terdengar, tapi semuanya seolah meredup oleh denyut keras di dadanya.

Sebuah sentuhan ringan di bahunya menyadarkan Aluna dari kebekuan.

“Eh, kenapa berhenti?” Haris mencondongkan tubuh, menatap wajah Aluna dari samping. “Dan… kamu baru aja motret apa barusan?”

Aluna menelan ludah. “Mas… itu…”

Ia mengangkat dagunya, menunjuk dengan lirih ke arah tempat karaoke. “Aku lihat mas Rendi. Calon suami Lita. Dia masuk ke sana… bareng cewek. Bajunya... minim banget.”

Haris mengikuti arah pandang Aluna. Sebuah senyum kecil yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya, tapi menghilang secepat ia muncul.

Ia menatap sejenak ke arah gedung karaoke, lalu berbalik menatap Aluna. “Ayo masuk dulu. Makan. Nanti kita bahas yang itu.”

Aluna masih terpaku, tapi Haris meraih pergelangan tangannya dengan lembut dan menggandengnya menuju pintu kafe. Sebuah lonceng kecil berdenting saat mereka masuk, disambut hangat oleh udara dingin dari pendingin ruangan dan aroma panggangan yang menggoda.

Interior kafe membuat mata Aluna membulat kagum. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, tembok bata ekspos, rak buku, dan lukisan-lukisan minimalis menghiasi ruang. Musik akustik mengalun lembut. Di sudut ruangan, ada beberapa bilik private room. Di sisi lain, terdapat ruang bebas rokok dengan jendela besar menghadap jalanan.

“Cantik banget tempatnya…” gumam Aluna tak sadar.

Haris mengangguk. “Kita duduk di non-smoking area aja, ya? Biar kamu nggak perlu hirup aroma ‘sisa kenangan mantan’ dari asap rokok orang.”

Aluna tertawa pelan. Mereka duduk di pojok ruangan bebas rokok, tepat di bawah lukisan bunga matahari yang melingkar seperti pusaran cahaya.

Matanya masih menjelajah interior. “Kok kamu tau banget tempat ini? Udah pernah ke sini, ya?”

Haris hanya tersenyum. “Mungkin… Atau mungkin aku sering riset tempat makan buat kencan pertama yang berkesan.”

“Jadi ini kencan?” Aluna menaikkan alis, menggoda.

Haris menatap matanya. “Kalau kamu menganggapnya begitu, aku akan lebih bahagia dari mendapatkan cilok segerobak," sahut Haris, dia lalu mengeluarkan ponsel untuk memindai barcode menu di meja. Matanya menelusuri deretan nama makanan yang membuat perutnya mendadak lapar.

“Steak wagyu, iga bakar madu, grilled salmon…” gumamnya.

Haris mendekat ke arah Aluna sedikit, tangannya bertumpu di meja dengan santai. “Mau menu steak wagyu? Menu iga bakar? Atau… menu- a bersamaku?”

Aluna menganga lalu terkekeh. “Ya ampun, gombalanmu makin nggak kuat. Hahaha!”

“Aku serius,” kata Haris dengan senyum santai. “Menu yang paling mengenyangkan itu: hubungan yang saling dukung, ditambah kejujuran dan sambal matah.”

“Ya udah deh, aku ikut kamu aja. Kita pesen yang sama, biar nggak berantem rebutan lauk.”

“Bagus. Jiwa damai dan hemat.”

Haris bangkit, melangkah ke resepsionis, lalu kembali dengan dua struk di tangan. Ia duduk dan menyerahkan air putih botolan ke Aluna.

“Udah pesen. Tunggu 15 menit. Sementara itu, boleh aku tanya sesuatu?”

Aluna mengangguk.

Haris mencondongkan tubuh. “Kamu… mau ngapain dengan foto Rendi tadi?”

Aluna memandangi ponselnya sejenak, lalu mendesah. “Aku mau kirim ke Lita. Biar dia tahu siapa calon suaminya.”

Tapi Haris menggeleng. “Jangan.”

Aluna mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Karena kalau kamu kasih foto itu sekarang, kemungkinan besar dia bakal marah. Nggak bakal percaya, malah nuduh kamu cemburu atau iri. Bahkan bisa jadi kamu dipojokkan sebagai perusak hubungan.”

“Tapi bukti udah jelas…”

“Kadang kebenaran tidak cukup kalau yang menerimanya belum siap. Dan Lita… bukan tipe orang yang bisa bedakan cinta sama obsesi.”

Aluna terdiam. Kata-kata Haris seperti angin dingin yang menyapu pikirannya. Ada logika di sana, dan juga luka lama yang terasa disentuh perlahan.

“Kamu tahu… aku baru ketemu adik tiri mu barusan,” kata Haris sambil memainkan tutup botol airnya. “Tapi naluri itu nggak bisa dibohongi. Lita bukan perempuan yang tulus. Dia lebih peduli sama tampilannya daripada isinya.”

Aluna memeluk lengannya sendiri, menatap kosong ke arah meja. “Jadi… aku biarkan aja pernikahan mereka terjadi?”

“Kadang membiarkan orang belajar dari pilihan buruknya adalah satu-satunya cara mereka bisa dewasa. Jangan jadi pahlawan dalam kisah orang yang belum mau diselamatkan.”

Aluna menatap Haris lama. “Kamu selalu ngomong bijak kayak tokoh utama di film-film. Sebenarnya kamu kerja apa selain jual cilok, Mas?"

Haris terkekeh.

“Aku nggak sebijak itu,” Haris mengangkat bahu, “tapi aku ngerti rasanya kalau seseorang yang kita anggap keluarga malah menusuk dari belakang.”

Aluna tersenyum tipis. “Besok kamu jadi ke rumah?”

“Jadi. Aku akan bilang ke keluargamu bahwa aku serius. Biar nggak ada lagi urusan jodoh-jodohan absurd dari zaman Majapahit itu.”

Aluna tertawa.

Haris menyandarkan punggungnya. “Ngomong-ngomong… kamu betah tinggal di kos itu?”

Aluna mengangguk pelan. “Iya. Teman-temannya baik. Kecuali ya… kejadian terakhir ini.”

“Kejadian?”

“Temen kosku, Rani. Dia ditangkap polisi. Katanya karena obat-obatan. Aku nggak nyangka. Dan…”

Dan di sinilah suara Aluna melambat.

“Aku lihat kamu. Waktu itu. Di dekat mobil polisi.”

Hening sejenak.

Haris diam. Tangannya yang tadi santai di meja, kini mengepal pelan.

“Kamu… ada hubungan sama penangkapan itu, Mas?”

Aluna menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi di balik wajah santainya.

Dan Haris...

Hanya menatap balik, tanpa senyum kali ini.

"Jadi jujurlah, Mas Haris. Hanya antara kita saja. Apa kamu ada kaitannya dengan penangkapan mbak Rani yang ngekos dengan ku kemarin?" tanya Aluna dengan nada penasaran yang mendesak.

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 8

    Cahaya lampu dapur yang temaram memantul samar di lantai keramik. Aluna duduk mematung, menatap bungkus plastik kecil yang terbuka sebagian di bawah meja. Serbuk putih di dalamnya tampak seperti bedak halus, tapi hatinya menolak percaya itu hal biasa. Suasana malam yang tadinya tenang berubah menegang, seperti udara yang membeku menjelang badai. Aluna berpikir cepat. Dia nyaris menunduk dan tangannya hampir terulur untuk menyentuh benda itu— "Aluna, sedang apa kamu?" Suara itu membuatnya tersentak. Aluna menoleh cepat. Dina berdiri di ambang pintu dapur, bayangan tvb vhnya memanjang karena cahaya dari ruang tengah. Gadis itu mengenakan piyama motif boneka, tampak berantakan seperti baru bangun tidur. "Aku... haus," jawab Aluna cepat, sambil berdiri dan meraih ceret air putih di atas meja. Dina tidak mengatakan apa-apa. Matanya sekilas melirik lantai, lalu kembali menatap Aluna. Tanpa senyum. Aluna buru-buru menuang air ke gelas dan meneguknya, lalu bergegas kembali ke kamarn

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 7

    Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat. Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda. “Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan. Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.” Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi. “Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?” Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.” Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 6

    Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air. Di seberang sana, tempat karaoke dengan lampu neonnya yang mencolok tampak hidup seperti sarang rahasia para pemuja malam. Klik. Aluna menurunkan ponsel, wajahnya tegang. Suara lalu lintas samar-samar terdengar, tapi semuanya seolah meredup oleh denyut keras di dadanya. Sebuah sentuhan ringan di bahunya menyadarkan Aluna dari kebekuan. “Eh, kenapa berhenti?” Haris mencondongkan tubuh, menatap wajah Aluna dari samping. “Dan… kamu baru aja motret apa barusan?” Aluna menelan ludah. “Mas… itu…” Ia mengangkat dagunya, menunjuk dengan lirih ke arah tempat karaoke. “Aku lihat mas Rendi. Calon suami Lita. Dia masuk ke sana… bareng cewek. Bajunya... minim banget.” Haris mengikuti arah pandang Aluna. Sebuah senyum kecil yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya, tapi menghilang secepat ia muncul. Ia menatap sejenak ke arah gedung karaoke, lalu berbalik menatap Aluna. “Ayo masuk dulu. Makan. Nanti kita bahas yang it

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 5

    Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.“ALUNA! KELUAR KAMU!”Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara.Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat.Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya.“Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?”Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenap

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 4

    Langit sore menyisakan semburat oranye di balik awan tipis, sementara daun-daun trembesi di pinggir jalan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana lengang itu pecah oleh suara gerobak cilok yang bergeser pelan—berhenti di depan seorang gadis yang berdiri dengan tangan terlipat di d4d4.“Aku ulangi, Mas,” kata Aluna sambil menatap lurus, “kamu boleh ke kosku, tapi dengan satu syarat.”Haris, yang masih memegang tv5uk cilok di tangan, memiringkan kepala. “Syarat? Ini bukan drama Korea, kan?”“Pura-pura jadi pacarku.”Haris seolah membeku. Sepotong cilok nyaris jatuh dari tv5uknya.“Pacar? Aku?” Ia menunjuk d4danya sendiri. “Yang rambutnya kayak guling habis jatuh ke selokan ini?”Aluna mengangguk pelan, matanya masih menatap serius. “Ayahku... dia mau jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Anak relasinya. Sementara aku... aku cuma pengen hidupku sendiri. Pilihanku sendiri.”Haris masih menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Dari bingung, menjadi sedikit iba.“Mas Haris, kamu tahu ng

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 3

    Langkah kaki Aluna terasa berat menyusuri lorong sekolah yang lengang. Suara langkahnya bergaung, menciptakan gema yang aneh, seolah-olah sekolah ini sedang menahan napas menantikan sesuatu. Dari kejauhan, pintu bertuliskan Kepala Sekolah tampak tertutup rapat, tapi Aluna tahu ini pertama kalinya kepala sekolah SD tempatnya bekerja memanggil nya selama 2 bulan bekerja di sana. Tok. Tok."Masuk," sahut suara berat dari dalam.Dengan napas yang ditahan, Aluna membuka pintu. Di balik meja besar dari kayu jati itu duduk Pak Bambang—kepala sekolah SMA Angkasa sekaligus… ayah kandungnya. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, wajah keras namun menyimpan sesuatu yang tak pernah tuntas: rasa bersalah.Aluna berdiri kaku.“Duduk,” perintah Pak Bambang tanpa menatap. Ia sibuk membolak-balik map berwarna merah di tangannya. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”Aluna menggeleng. “Tidak, Pak.”Pak Bambang menghela napas berat. “Kos tempat kamu tinggal… berurusan den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status