Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.
“Aku akan melakukannya… Nenek.”
Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”
Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”
Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T
"Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”Tepat di tengah halaman pondok, Xu Ming duduk bersila. Sebuah kuali tem
“Han Su... HAN SU! Kemarilah! Dan lihatlah ini! Keponakanmu ini sangatlah jenius! Kau lihat pil ini!”Teriakan keras itu membuat para burung di pohon-pohon bambu berterbangan. Han Su, yang sedang berdiri di tengah lapangan latihan sambil mengawasi putranya dan beberapa anak muda lain yang berlatih Teknik Dao Taraf Pertama, langsung menoleh dengan dahi mengernyit.Ia menyipitkan mata, menatap ke arah dua sosok yang berlari turun dari arah pondok Nenek Hua. Salah satunya tentu saja Pak Tua Mo dengan tongkat kayunya, dan yang satunya lagi Xu Ming yang tampak sedikit kewalahan diseret-seret oleh semangat tua yang luar biasa pagi itu.“Eh? Kau tidak seperti biasanya, Pak Tua,” gumam Han Su, setengah heran, setengah menggoda. Suaranya makin lantang. “Kenapa heboh sekali teriak-teriak pagi-pagi begini? Apa kau baru saja bertemu seorang wanita muda yang ingin menikahimu, hah?”Plak! Tanpa pikir panjang, tongkat bambu Pak Tua Mo
"Paman! Izinkan aku ikut berburu!"Suara Xu Ming melesat cepat, tajam, dan terlalu lantang untuk dianggap guyonan. Han Su yang sedang tertawa kecil bersama Pak Tua Mo mendadak terdiam. Senyumnya perlahan meredup, digantikan pandangan yang menusuk.Beberapa detik mereka saling pandang. Tak ada yang bicara. Lalu, Han Su perlahan memutar wajahnya ke samping, menatap Pak Tua Mo seolah ingin bertanya, "Apa ini kau izinkan?"Pak Mo mengetuk ujung tongkatnya ke tanah dua kali. Tok. Tok. Matanya menatap cucunya lama. Wajahnya datar, tapi pandangannya mengandung sesuatu berat, mencurigai, tapi tidak menolak. Seolah ia tahu, kata-kata selanjutnya adalah pintu yang tidak bisa ditutup kembali.Akhirnya, ia bicara. "Pergilah."Xu Ming menegakkan punggung. Namun sebelum senyum sempat tumbuh, suara Pak Mo menyusul dengan lebih keras:"Sebelum tengah hari, kau siapkan dulu dua hal, pil anti racun dan pil pemulihan Dao Qi. Ambil tombak di gudang Selatan yang
"Jangan biarkan formasi pecah!" bentak Han Su, pedangnya menebas satu Serigala Bulan Perak yang menerjang dari kiri. Darah perak terciprat di udara, tapi tak sampai mengendorkan serangan kawanan itu."Mereka terlalu cepat!" seru Qi Bao, sabit gandanya berputar membentuk lingkaran pertahanan."Jaga Ming'er!" teriak Liang Fei, tubuhnya menangkis dua serigala sekaligus dengan gerakan gesit.Xu Ming di tengah formasi, tombaknya menegang di tangan. Matanya tak berkedip, keringat dingin membasahi pelipis."Jangan bergerak sendiri! Tetap dekat denganku!" Han Su melirik keras padanya.Namun kawanan itu tidak memberi jeda. Serigala Bulan Perak menyerbu dari segala arah, seperti badai putih yang tak pernah lelah. Mereka tak hanya banyak, tapi bergerak bagai bayangan, menghilang dan muncul lagi di antara kabut.Breegghh! Duan Wu terseret mundur setelah diterkam dari samping. Liang Fei berteriak dan membantu, tapi itu membuka celah. Dalam satu momen itu, Xu Ming terdorong oleh kawanan serigala yan
"Teknik Manifestasi Dao: RAUNGAN HARIMAU KUMBANG!"Raungan menggelegar membelah langit. Sosok raksasa Harimau Kumbang setinggi seratus kaki muncul di belakang Han Su. Mata emasnya bersinar tajam, cakar hitam berkilauan, dan setiap gerakannya membuat bumi di bawah kaki mereka bergetar. Kawanan Serigala Bulan Perak yang semula menggempur tanpa henti kini terdiam membeku. Naluri mereka berteriak bahaya. Beberapa serigala yang lebih kecil mundur instingtif, ekor mereka menekuk di antara kaki.Han Su melangkah maju. Aura Dao Qi miliknya meledak seolah badai. Setiap langkah yang ia ambil, tanah retak dan udara mendesir liar. Dengan satu teriakan keras, Han Su mengayunkan tombaknya."Mundur, makhluk rendahan!"BRUAAAAK! Cakar Harimau Kumbang raksasa itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut berbentuk setengah lingkaran. Puluhan Serigala Bulan Perak terlempar seperti daun kering, tubuh mereka membentur pohon, batu, dan tanah keras dengan suara patah yang
"Habisi setiap kepala yang ada di desa ini! Basuh pedang kalian dengan darah segar ini! Yang membunuh paling banyak akan mendapatkan arak segar paling banyak!!"Suara raungan penuh haus darah itu mengguncang langit pagi. Dari balik kabut hutan, ratusan sosok bandit berjubah kulit, bertaring serigala di dada mereka, menerjang dengan senjata berkilat. Panji Taring Serigala berkibar hitam, mengotori udara yang sebelumnya damai.Desa Kayu, tempat sederhana di sudut dunia, kini dibanjiri tawa kejam, jeritan ketakutan, dan denting senjata yang bersimbah darah. Para warga, meski minim latihan bertarung, mengangkat senjata seadanya. Pisau, cangkul, tongkat. Tubuh-tubuh kecil bertarung dengan gigi terkatup dan darah mendidih. Tua, muda, pria, wanita, semua mempertaruhkan hidup mereka.Dari pusat desa, Pak Tua Mozi melangkah maju. Wajah keriputnya dipenuhi guratan waktu, namun matanya bersinar tajam. Ia menghentakkan tongkat bambunya ke tanah."Lindungi desa kayu k
"Bing'er... Aku mohon... tolong aku..."Kabut darah menggantung di atas Desa Kayu. Tubuh Xu Ming terkapar, hampir tanpa nyawa. Dunia berputar di sekelilingnya suara teriakan, benturan senjata, semua memudar menjadi dengung sepi. Dalam kehampaan itu, sebuah suara lembut menggema dari dalam dirinya. Seperti bisikan hangat di musim dingin.“Istirahatlah, Nak. Serahkan sisanya pada yang mulia ini…”Seperti petir dalam keheningan, energi es meledak dari tubuh Xu Ming. Pilar cahaya biru keperakan menghantam langit. Angin menderu. Butiran salju pertama jatuh di musim panas yang membara ini. Xu Ming melayang perlahan, tubuhnya diselimuti kabut es yang bergolak. Luka-lukanya berhenti berdarah. Aura es membekukan udara di sekelilingnya.Matanya membuka, seluruhnya putih, bersinar seperti bintang beku. Sebuah suara, bukan suara Xu Ming, menggema dari bibirnya, berat, penuh wibawa.“Berani sekali kalian para tikus seperti kalian menyen
Suasana dalam pondok kecil Nenek Hua yang sederhana itu terasa hening dan berat. Aroma ramuan pahit dan asap dupa memenuhi udara, membuat napas terasa berat. Di ranjang kayu besar di tengah ruangan, Xu Ming, pahlawan kecil Desa Kayu, masih terbaring dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya lemah, namun nafasnya perlahan mulai stabil setelah seminggu penuh dalam ketidaksadaran.Di sisi tempat tidur, Kakek Mozi duduk berjaga. Matanya yang tua namun tajam mengawasi Xu Ming dengan penuh kekhawatiran. Ia belum meninggalkan sisi ranjang itu sejak Xu Ming ambruk pasca pertempuran berdarah oleh organisasi bandit taring serigala yang membantai seluruh desa itu.Tiba-tiba, jari Xu Ming yang kurus bergerak sedikit. Kelopak matanya bergetar... lalu perlahan terbuka. Kakek Mozi, yang hampir tertidur, langsung melonjak berdiri, matanya membelalak penuh kegembiraan. Suaranya pecah, penuh emosi."Hua! Ming'er! Xu Ming terbangun! Hua, cepat kemari! Dia bangun!" teriaknya keras.
“Kau ingin sepotong daging kelinci ini? Makanlah, dan bergabunglah dengan yang lain.” Lin Hu menyodorkan tusukan daging panggang ke arah Xu Ming, senyumnya lebar meski napasnya masih tersengal usai memanggang di dekat api.Xu Ming hanya melirik sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tidak perlu.”“Ah, kau ini…” Lin Hu mendecak, kemudian duduk di tanah sambil menggigit dagingnya sendiri. “Kau terlalu serius. Lihat itu, semua orang tertawa. Mereka bukan orang jahat, hanya pengawal bayaran. Tidak perlu selalu menatap gelap.”Xu Ming tetap diam, pandangannya menatap gelapnya padang yang tak berujung, seolah mencari sesuatu di balik malam. Api unggun membias redup di matanya.Tak jauh dari mereka, di lingkaran api, para pengawal bayaran duduk saling berdekatan. Suara tawa pelan terdengar, berseling dengan obrolan santai dan bunyi kendi arak beras yang berpindah tangan.“Oi, Lin Hu! Kau takkan kenyang kalau cuma makan itu! Kemarilah!” seru salah satu pengawal sambil menepuk lututnya.Lin Hu melir
Langit siang perlahan memudar menjadi jingga pucat ketika Xu Ming dan Lin Hu menapaki jalan tanah menuju Padang Rumput Seribu Li. Hembusan angin membawa aroma tanah kering dan rumput liar, membuat debu-debu kecil berputar mengikuti langkah mereka."Jalan ini akan membawa kita ke perbatasan padang," kata Lin Hu sambil menunjuk ke arah dataran yang mulai terbuka. "Dari sana, tinggal lurus… sampai tak ada lagi pohon yang menemani."Xu Ming hanya mengangguk, matanya menatap lurus ke depan, menembus horizon.Namun suara derap langkah kuda dari belakang memecah keheningan. Lin Hu menoleh cepat. “Ada karavan… besar… mendekat,” gumamnya.Dari balik debu jalan, muncullah deretan kereta kayu besar, ditarik oleh kuda-kuda kokoh. Di sekelilingnya, para pengawal bersenjata menunggangi kuda, wajah mereka keras dan penuh kewaspadaan. Suara gemerincing logam dan derap kaki kuda menggetarkan tanah.“Jangan terlihat mencurigakan…” bisik Lin Hu, menunduk pelan.Namun terlambat. Salah satu pengawal di de
Xu Ming menatap jalanan berdebu yang perlahan memanjang, sesekali menoleh ke belakang saat suara roda kayu kereta Paman Han semakin melemah. Kereta kayu itu menjauh, membawa suara-suara Desa Niu Ping yang semakin sayup, hingga akhirnya hanya hembusan angin yang tersisa."Kalau aku tak mulai langkah pertama, aku akan menyesal selamanya…"Namun saat kereta Paman Han akhirnya lenyap di balik tanjakan, Xu Ming berbalik. Dadanya terasa kosong. Ada haru, ada tekad, tapi juga sejumput kesepian yang sulit dijelaskan. Ia menatap jalan panjang ke barat laut yang membentang tak berujung.Ia tidak langsung bergerak. Hanya berdiri, menatap ke arah jalur yang membentang. Jemarinya refleks meremas selempang di dadanya. Helaan napasnya pendek. Sepatu kainnya sedikit menggali tanah saat ia menggeser kakinya ke depan, tapi kemudian berhenti lagi.“…jadi begini rasanya.”Tangannya meraba kantong penyimpanan baru di pinggang. Ia menarik tali pengikatnya, membuka pelan, lalu mulai memasukkan barang satu p
Langit pagi menggeliat perlahan, menyapu perbukitan dengan warna pucat keperakan. Kabut tipis masih menempel di rerumputan saat kereta kayu tua menuruni jalanan berbatu dari Desa Batu. Roda-rodanya mencicit pelan, menyanyikan lagu kepergian yang tak tahu kapan akan kembali terdengar.Xu Ming duduk di sisi belakang, tubuhnya berguncang mengikuti irama roda. Ia memeluk lutut, diam sejak satu jam lalu. Tatapannya menerobos ke kejauhan, melampaui ladang kecil dan jalan desa, menembus cakrawala yang mulai membuka diri pada dunia yang asing dan tak terjamah.Di depan, Paman Han duduk tegak. Tangan-tangannya kokoh menggenggam kendali kuda. Angin pagi meniup janggut pendeknya ke samping, membuat sosok lelaki paruh baya itu tampak seperti pahatan batu yang hidup dari zaman lampau. Wajahnya keras, tapi ada sesuatu dalam keheningan itu seperti seseorang yang menyimpan banyak, namun memilih untuk menahan.Sesekali, matanya melirik ke arah Xu Ming dari balik bahunya. Tapi ia
“Cepat, jangan sampai terlambat! Keretanya sudah siap di gerbang!”“Ada yang lihat di mana anak itu? Xu Ming?!”“Anak-anak, beri jalan! Jangan lari-lari dekat kuda!”Udara pagi di gerbang Desa Batu tak seperti biasanya. Riuh rendah suara warga menyesaki ruang antara rumah-rumah jerami dan jalanan tanah yang berdebu. Kabut tipis belum sepenuhnya mengangkat, namun sinar mentari mulai menyusup di sela-sela pohon bambu, menggambar bayang-bayang panjang di atas tanah. Seekor kuda cokelat besar berdiri tenang, tapi sesekali menghentakkan kaki, menarik kereta kayu sederhana yang sudah menunggu sejak sebelum fajar menyingsing.Di sisi kereta, Paman Han membungkuk, sibuk mengecek kekencangan tali dan roda. Tubuhnya besar, namun gerakannya cekatan. Tangannya sudah kotor oleh debu dan peluh sejak lama.“Hah, kalau saja anak itu telat lima menit lagi, aku pergi sendiri,” gumamnya sembari menyeka keringat dengan p
“Akhirnya, fluktuasi energi dao pada tulang belakangmu mulai stabil, bocah…” Suara Bing-Bing memecah kesunyian ruangan kecil itu, terdengar lebih pelan dan hati-hati dari biasanya. Di hadapannya, Xu Ming duduk bersila dengan tubuh yang tampak begitu tegang, wajahnya pucat dan basah oleh peluh. Setiap tarikan napas terdengar berat, seolah sedang menanggung beban yang amat besar.Di sekeliling Xu Ming, riak-riak energi biru keperakan masih berkecamuk, kadang meletup tak terduga hingga membuat batu-batu kecil di lantai bergetar. Bing-Bing memandanginya dengan waspada. Sudah lebih dari tiga bulan Xu Ming mengurung diri, berusaha menyerap Fussion Essence Pill dan membangunkan Bing Bing, dan beberapa hari ini harus terkendala karena fluktuasi energi Dao dari Tulang Suci Naga Abadi yang mengamuk hebat di dalam tubuhnya, energi itu begitu liar, seperti naga yang menolak dijinakkan.“Ayo… bertahan sedikit lagi…” bisik Bing-Bing, meli
“Tunggu… Ini… tidak mungkin…” Bing-Bing memicingkan mata, tatapannya tajam menelusuri punggung Xu Ming yang masih berkeringat deras. Sorot matanya tiba-tiba membesar, tubuh mungilnya membeku sejenak sebelum akhirnya berteriak kaget, “Bocah bau! Tulang belakangmu… itu… bersinar?!”Xu Ming yang masih meringis kesakitan hanya bisa memejamkan mata, napas terengah-engah. Tapi di sela rasa sakit yang menghantam keras dari punggungnya, ia bisa merasakan sesuatu yang aneh, getaran halus, seolah ada sesuatu yang bangkit dari dasar sumsum tulangnya, menyebar panas tapi juga penuh kekuatan yang menggetarkan.Bing-Bing mendekat dengan cepat, wajahnya setengah galak, setengah waspada. Ia menempelkan tangannya yang mungil ke punggung Xu Ming. Mata birunya memantulkan sinar keemasan yang berdenyut pelan di sepanjang tulang belakang bocah itu. Seketika, Bing-Bing mendengus keras, bibir mungilnya bergetar kesal.Bing-Bin
“Nenek… bisakah kau… meninggalkanku sendiri malam ini?”Nenek Hua yang tengah memeriksa kuali pemurnian menoleh cepat, alisnya berkerut. “Tunggu… Apa ada sesuatu yang salah? Bukankah Nenek perlu berjaga selagi dirimu menyerap Fussion Essence Pill itu?Xu Ming menggenggam pil penyatu esensi Dao erat, matanya menunduk dalam. “Aku tahu Nek… Tapi kali ini, aku harus menyerapnya sendirian. Ada… hal yang harus kulakukan. Sesuatu yang… untuk saat ini perlu dirahasiakan dari siapapun.”Nenek Hua memandangnya lama, napasnya berat seolah ingin membantah, tapi akhirnya hanya menghela panjang. “Baiklah… Nenek akan menuruti permintaanmu kali ini. Tapi ingat, jangan ceroboh dan mencelakai diri sendiri. Segera panggil nenek, jika sesuatu yang buru terjadi, mengerti?”Xu Ming mengangguk pelan. “Terima kasih, Nek.”Pintu kayu tertutup perlahan, menyisakan ruangan yang tiba-tiba terasa jauh lebih hening dan dingin. Angin malam menyelinap masuk melalui celah dinding, menyisakan desir tipis yang menyentu
“Inti monster Taraf Tiga yang ke-91,” ucap Xu Ming sambil menyerahkan batu kristal merah keunguan itu ke tangan Nenek Hua.Wanita tua itu menerima dengan anggukan ringan. “Sembilan lagi. Pastikan tidak retak atau menghitam. Kalau energi dasarnya rusak, akan mengganggu kestabilan kuali.”Xu Ming duduk bersila di lantai batu. Napasnya masih terengah, sisa latihan aliran Qi pagi tadi belum sepenuhnya pulih. Kalung kristal es tergantung di lehernya, diam dan dingin seperti biasanya. Sudah hampir dua minggu sejak mereka kembali dari misi pengumpulan. Seratus inti monster Taraf Tiga itu bahan utama yang paling sulit dalam penyulingan Pil Penyatu Esensi Dao. Tim pemburu melakukannya bersama-sama, dan tidak mudah. Beberapa luka, beberapa hari terjebak, dan banyak tenaga terbuang.Nenek Hua tidak tahu pil ini sebenarnya bukan untuk apinya. Xu Ming kembali mengingat janjinya. Ia tidak boleh membocorkan siapa Bing-Bing sebenarnya. “Akhirnya 100 esensi monster taraf 3 ini sudah diperiksa satu pe