Accueil / Pendekar / TULANG SUCI NAGA ABADI / BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

Share

BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

Auteur: Faisalicious
last update Dernière mise à jour: 2025-04-23 16:22:50

Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas.

"Tiga... dua... satu..." bisiknya.

Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.

Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas.

"Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.

Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming.

"Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu.

"Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali."

"Kau juga yang menanamkan itu padanya, jangan lupa," kata Nenek Hua, meliriknya tajam. "Janji-janji mulukmu dulu itu yang membuat bocah itu menggenggam harapan seperti ini."

Mozi mengangguk, tatapannya menyusuri langit yang perlahan cerah.

"Kadang, janji kecil yang dijaga dengan sungguh-sungguh bisa menumbuhkan akar paling dalam."

Xu Ming, yang masih di tempat latihannya, kembali duduk bersila. Mata terpejam, ia mulai mengatur napas. Tarik dalam, tahan, lalu hembuskan perlahan.

"Qi tak bisa dipaksa. Ia harus dijemput, seperti tamu agung," bisiknya, menirukan suara Kakek Mozi.

Ia mencoba membimbing hawa hangat di perutnya naik ke punggung. Tapi jalurnya terasa buntu. Napasnya memburu. Lagi-lagi gagal.

Mozi mendekat perlahan.

"Jangan tergesa, Ming. Jalur pengantar di sisi belum terbentuk. Biarkan Qi mencari jalannya sendiri."

"Maaf, Kakek... Aku hanya ingin cepat kuat."

"Menjadi kuat bukan soal cepat atau lambat," ujar Mozi sambil menghela napas. "Bahkan air pun bisa menembus batu, selama ia sabar menetes."

Nenek Hua ikut jongkok di sisi Xu Ming, mengusap luka di telapak tangannya.

"Nak," katanya pelan sambil membalut luka, "kau sudah ikut Nenek memetik herbal sejak kecil. Kalau suatu saat kau merasa jalan kesatria terlalu berat… menjadi alkemis pun bukan hal yang hina."

Xu Ming menoleh, keningnya berkerut sedikit.

"Nenek sungguh-sungguh mengatakannya. Dirimu telah menemani Nenek ke bukit hampir setiap sore mengenali daun pahit dari yang manis, membedakan akar tua dari yang busuk. Tanganmu cekatan, matamu tajam. Bahkan murid-murid dari kota belum tentu punya dasar sebaik dirimu."

Mozi terkekeh pelan.

"Jangan rebut cucu murid orang, Hua."

"Bukan merebut. Hanya bersiap jika jalan lain lebih sesuai," balas Hua sambil tersenyum tipis. "Lagipula, api penyulinganku masih menyala. Api Kalajengking Sutra yang ditaklukkan ayahku lima puluh tahun lalu. Ia mungkin bukan api primordial dari daftar bintang, tapi cukup kuat untuk menyuling pil pembuka meridian dan pil penerobos taraf 3."

"Yang dari Lembah Karang Merah itu?" tanya Mozi, mengangkat alis.

"Itulah. Ukurannya sebesar keranjang beras. Ayahku sempat terkena racunnya, tapi justru racun itulah yang jadi kunci agar api rohnya bisa diwariskan."

Xu Ming menatap mereka dengan mata besar, setengah kagum, setengah bingung.

"Kalau kau tak bisa membuka meridian dengan cara biasa, Nenek sendiri yang akan mengajarimu membuat pil," kata Hua, menepuk bahunya dengan lembut. "Kadang, satu pil bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa dibanding seribu tebasan."

Mozi mengangguk. "Tapi untuk sekarang, bersiaplah. Upacara pendewasaan tinggal beberapa hari lagi. Han Su dan para pemburu belum juga kembali."

"Masih di luar desa?" tanya Hua, suaranya merendah.

"Sudah tujuh hari. Mereka pergi ke Lembah Huoyan, mencari darah esensi monster."

"Huoyan... tempat itu tak ramah bukan," gumam Hua. "Apa mereka akan baik-baik saja?"

"Han Su membawa Tuan Fei dan dua kesatria taraf tiga. Seharusnya cukup..." Mozi terdiam sejenak. "...asal tidak ada kejutan."

"Jika darah esensi tak ditemukan, Kolam Yin-Yang tak akan berguna bagi anak-anak untuk membentuk Dao," kata Hua pelan. "Apa upacara akan dibatalkan?"

Mozi tak segera menjawab. Tatapannya jauh, menembus kabut yang menggantung di atas hutan timur. Suasana pagi yang tenang tiba-tiba terasa lebih berat, seolah alam pun menunggu sesuatu.

Tiba-tiba, suara teriakan anak-anak dari arah lereng bawah memecah keheningan pagi.

"Mereka kembali! Tim pemburu pulang!"

Langkah kaki terdengar tergesa-gesa. Beberapa warga desa keluar dari rumah mereka, menuruni jalanan berbatu yang mengarah ke lapangan tengah. Kehebohan mulai terasa, tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.

Mozi dan Hua saling pandang. Wajah Mozi yang biasanya tenang kini sedikit mengernyit, tampak heran.

"Cepat juga mereka kembali..." gumam Mozi, suaranya dipenuhi keheranan. "Apa yang mereka bawa?"

Tak lama, kerumunan di tengah desa mulai membesar. Xu Ming, yang sebelumnya duduk di sisi batu, ikut berdiri. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran, matanya mengikuti kerumunan yang bergerak cepat.

Di kejauhan, sosok Han Su terlihat. Jubahnya robek di beberapa bagian, tubuhnya terhuyung, tetapi tatapannya tetap tajam dan penuh tekad. Di belakangnya, empat pemburu lain menarik dua kereta kayu besar yang ditutup kain tebal. Beberapa warga desa mulai berbisik-bisik.

"Apa itu… tubuh monster?"

"Lihat ekornya… itu bukan binatang biasa!"

Han Su akhirnya berhenti di depan kepala desa, melepaskan napas panjang sebelum mengangguk hormat pada Mozi.

"Kami pulang… dan membawa yang kau minta, Kepala Desa," katanya, suaranya serak dan penuh keletihan.

Dengan isyarat tangan, kain penutup ditarik.

"Apa itu…?" seru salah seorang warga dengan terkejut.

Di kereta pertama, tergeletak bangkai Kirin Api Tanah, tubuhnya yang besar masih memancarkan percikan magma panas dari luka-luka yang mengerikan, meninggalkan bekas membara di tanah di bawahnya.

"Tunggu… apa aku tidak salah lihat?" gumam Mozi, matanya melebar. "Bukankah itu Kirin Api Tanah?" Ia melangkah lebih dekat, wajahnya penuh keheranan. "Tapi bagaimana bisa dia sampai di Lembah Huoyan?"

Di kereta kedua, bangkai Garuda Petir Angin tergeletak, tubuhnya penuh luka dan bulu-bulu petirnya tercabik-cabik. Meskipun mati, sedikit sisa energi petir masih terasa mengalir di udara di sekitar bangkai itu.

"Satu lagi, itu monster surgawi Garuda Petir Angin bukan!" Hua berkata dengan mata terbelalak. "Tapi… bukankah itu monster taraf lima?"

Mozi menatap kedua bangkai monster itu lama, seolah mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Dua sekaligus... Bagaimana bisa?" tanya Mozi, masih tak percaya. "Han Su... ceritakan padaku."

Han Su mengusap dahinya yang penuh debu dan darah kering, nafasnya berat.

"Tim pemburu saat itu tersesat di jurang terdalam Lembah Huoyan saat itu karena seminggu ini kami tak menjumpai monster taraf tiga atau diatasnya untuk upacara pendewasaan. Saat kami sampai tanpa sengaja, dua monster ini sedang bertarung memperebutkan sesuatu. Kami menunggu… lalu masuk saat mereka sama-sama sekarat."

Han Su mengusap dahinya yang penuh debu dan darah kering. Nafasnya berat, namun matanya berbinar seperti pria yang baru kembali dari dunia para dewa. “Kami hanya beruntung… atau mungkin, langit sedang membuka satu lembar takdir baru bagi desa kita.”

Ia mengangkat tangannya. Di atas telapaknya, berdenyut cahaya merah darah sebutir Benih Api, hidup dan bernafas. Udara di sekitarnya bergetar, dan aroma logam serta bunga liar memenuhi udara. Dalam benih itu, seolah langit dan bumi saling bertukar rahasia.

Hua menatap benih api itu lama. “Pak tua, dengan benih api ini. Bahkan alkemis terkenal sekte besar sekalipun pasti akan segera membunuhmu untuk merebutnya… Asal usulnya harus dirahasiakan, Pak Tua!” terangnya.

“Entah apa yang membuat dewa terbangun, dan membuatnya memberikan berkah sebesar ini pada Desa Kayu kita…” Pak tua Mozi mengangguk pelan lalu menoleh menatap Xu Ming.

Bersambung…

Faisalicious

Upacara Pendewasaan di Desa Kayu adalah ritual sakral yang menandai awal perjalanan seorang anak di jalan kultivasi Dao. Dilaksanakan di Kolam Yin-Yang, upacara ini hanya bisa dilakukan setelah darah esensi monster tingkat tinggi diteteskan ke kolam, membuka jalur energi langit dan bumi. Setiap peserta akan menyatu dengan energi Dao, dan jika berhasil, meridian tubuh mereka akan terbuka—menandai pencapaian Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao. Gagal berarti tertutupnya jalan kultivasi selamanya. Upacara ini bukan hanya ujian kekuatan, tetapi juga penentu masa depan bagi anak dan desanya.

| 5
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (3)
goodnovel comment avatar
cococcrunch_
lanjut thor
goodnovel comment avatar
Coco Ccrunch
Kelazzzz.........
goodnovel comment avatar
faisalkhrisna
Panen esensi monster nihh......
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 120

    Suasana di aula produksi mendadak membeku. Tubuh Xu Ming ambruk begitu saja, jatuh dengan suara berat di lantai batu hitam yang masih hangat oleh suhu dari puluhan tungku yang menyala. Suara dentuman tubuhnya memantul keras di seluruh sudut ruangan, memotong setiap obrolan pelan, setiap desisan uap, dan setiap langkah para Dan Shi yang sebelumnya sibuk.Beberapa orang langsung berlari panik ke arahnya. “Xu Ming!”Teriakan itu datang hampir bersamaan dari berbagai penjuru aula. Beberapa Dan Shi senior yang paling dekat segera berlutut, memeriksa denyut nadi dan kondisi napasnya. Wajah-wajah mereka langsung berubah pucat."Nadinya lemah! Napasnya tidak stabil!"Sha Bu, yang sejak awal berdiri di pinggir ruangan bersama Lin Feng dan Liu Mei, langsung melesat secepat kilat. Tubuh besar pria itu menerobos kerumunan Dan Shi tanpa memperdulikan siapa pu

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 119

    Sin Wok Yu menepuk bahunya pelan. “Benar. Kompresi Qi Anti-Racun adalah teknik produksi masal. Suatu metode yang biasanya hanya dipakai dalam perang besar.”Zhuge Liang berdiri tegak, menatap seluruh aula. “Dan ingat! Tidak ada satu pun dari kalian yang boleh menyebutkan apapun tentang ini pada siapa pun di luar aula ini.” Ia berhenti sejenak, lalu mengeraskan suaranya. “Jika Lembah Moyan sampai tahu sebelum kita selesai, kesempatan kita untuk membalikkan keadaan musnah.”Semua kepala mengangguk. Sumpah tak terucap tapi dipahami semua. Sin Wok Yu mengambil jarum peraknya, menatap formula di hadapannya lalu menatap Xu Ming. Senyum samar muncul di wajahnya yang lelah namun tegas.“Bersiaplah, anak muda.”Gemeretak suara logam, desisan tungku pembakaran, dan aroma kuat dari herbal yang direbus memenuhi setiap sudut

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 118

    Suasana di ruang penyulingan mendadak terasa lebih berat setelah Sin Wok Yu selesai mengumumkan komposisi racun utama. Tak ada yang bicara. Hanya suara napas berat dan langkah kaki pengawal yang terdengar samar dari luar koridor. Xu Ming menunduk, tangannya yang menggenggam botol racun masih sedikit bergetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tatapannya sesekali melirik Sin Wok Yu, menanti arahan selanjutnya, seolah satu kalimat saja dari lelaki tua itu akan menentukan arah hidup seluruh kota.Zhuge Liang berdiri di dekat ambang pintu. Tubuhnya kokoh seperti biasa, namun bayangan gelap di bawah matanya mengungkapkan segalanya. Bahu lebarnya sedikit turun, seolah dua tahun beban penderitaan kota ini benar-benar melekat di punggungnya sendiri. Sin Wok Yu memejamkan mata beberapa saat, menarik napas panjang, lalu membuka suara dengan nada rendah dan berat.“Zhuge Liang.” Panggilan tanpa gelar, tanpa basa-basi.Zhu

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 117

    Udara dalam ruang isolasi masih dipenuhi aroma alkohol, herbal, dan bau amis dari racun hitam yang baru saja dikumpulkan. Sin Wok Yu menutup matanya sejenak, tangannya yang kurus masih menggenggam pergelangan pasien, memastikan denyut nadinya stabil. Zhuge Liang melangkah maju mendekati Xu Ming dan Sin Wok Yu, wajahnya sedikit lebih segar meski lelah masih kentara di sudut matanya.“Pak Tua, dengan semua cairan yang sudah kita kumpulkan... apa langkah selanjutnya?” tanya Zhuge Liang, suaranya berat namun penuh harap.Sin Wok Yu perlahan membuka mata, napasnya sedikit berat. “Kita harus memisahkan struktur kimiawi dan spiritual racun ini. Menyingkap lapisan-lapisannya satu per satu.”Kepala Tabib Kota yang sejak tadi berdiri di sudut, langsung menimpali dengan gugup, “T-Tapi... di ruang medis kami tak punya fasilitas sekompleks itu, Tetua.”Zhuge Liang berpikir sejenak, lalu mengangguk mantap. “Ikuti aku. Di dalam

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 116

    Ruangan isolasi itu sunyi, namun tegang seperti tali busur yang ditarik sampai hampir putus. Udara di dalamnya terasa lebih berat dari penjara bawah tanah tadi. Aroma herbal yang dibakar sebagai penetral racun bercampur dengan bau besi, darah kering, danVsesuatu yang lain. Sesuatu yang busuk, lembab, dan membuat bulu kuduk berdiri.Sin Wok Yu duduk bersila di kursi rendah di sisi ruangan. Di sampingnya, seorang tabib kota berdiri dengan gugup, tangannya menggenggam kotak peralatan medis. Xu Ming, yang masih mengenakan pakaian perjalanan lusuh, berdiri tak jauh dari mereka, menatap dengan campuran rasa ingin tahu dan kecemasan.Di tengah ruangan target utama mereka terbaring. Seorang pria, atau lebih tepatnya sisa-sisa dari seorang manusia. Tubuhnya kurus kering, kulitnya menempel ketat di atas tulang-tulang yang menonjol. Kulitnya berwarna abu-abu kehitaman. Beberapa bagian sudah membusuk di sekitar siku dan lutut. Di wajahnya, hanya ada sepasang mata merah menyala, de

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 115

    Xu Ming yang sedari tadi berdiri diam di sisi Sha Bu, sempat terkejut. Keningnya berkerut, alisnya terangkat. “Kenapa dia menatap ke arahku?” pikirnya heran.Sin Wok Yu, tanpa mengalihkan pandangan, perlahan mengelus jenggotnya yang tak terlalu panjang. Ada senyum tipis, nyaris tak terlihat di sudut bibirnya. Dengan nada datar namun dalam, ia berkata.“Dan kau, anak muda, bisakah kau membantuku dengan sesuatu?”Xu Ming spontan menunjuk dirinya sendiri. “Aku?!” Suaranya nyaris naik satu oktaf karena kaget.Sin Wok Yu mengangguk pelan lalu menggeleng sambil menarik sudut bibirnya seolah mengejek. “Lalu siapa lagi? Bukankah kau seorang... Dan Shi?” Mata tuanya menyipit, penuh penilaian tajam.“Sejak pertama kali aku melihatmu pada pertemuan pertama kita di hutan saat memasuki kota pembantaian sebelumnya, aku sudah merasakan aroma herbal yang samar, merembes keluar dari dantianmu.”Xu Ming membelalak. “Apa-apaan orang tua ini? Apa dia anjing pelacak atau sejenisnya? Bisa-bisanya dia menc

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status