Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas.
"Tiga... dua... satu..." bisiknya.
Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.
Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas.
"Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.
Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming.
"Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu.
"Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali."
"Kau juga yang menanamkan itu padanya, jangan lupa," kata Nenek Hua, meliriknya tajam. "Janji-janji mulukmu dulu itu yang membuat bocah itu menggenggam harapan seperti ini."
Mozi mengangguk, tatapannya menyusuri langit yang perlahan cerah.
"Kadang, janji kecil yang dijaga dengan sungguh-sungguh bisa menumbuhkan akar paling dalam."Xu Ming, yang masih di tempat latihannya, kembali duduk bersila. Mata terpejam, ia mulai mengatur napas. Tarik dalam, tahan, lalu hembuskan perlahan.
"Qi tak bisa dipaksa. Ia harus dijemput, seperti tamu agung," bisiknya, menirukan suara Kakek Mozi.
Ia mencoba membimbing hawa hangat di perutnya naik ke punggung. Tapi jalurnya terasa buntu. Napasnya memburu. Lagi-lagi gagal.
Mozi mendekat perlahan.
"Jangan tergesa, Ming. Jalur pengantar di sisi belum terbentuk. Biarkan Qi mencari jalannya sendiri."
"Maaf, Kakek... Aku hanya ingin cepat kuat."
"Menjadi kuat bukan soal cepat atau lambat," ujar Mozi sambil menghela napas. "Bahkan air pun bisa menembus batu, selama ia sabar menetes."
Nenek Hua ikut jongkok di sisi Xu Ming, mengusap luka di telapak tangannya.
"Nak," katanya pelan sambil membalut luka, "kau sudah ikut Nenek memetik herbal sejak kecil. Kalau suatu saat kau merasa jalan kesatria terlalu berat… menjadi alkemis pun bukan hal yang hina."
Xu Ming menoleh, keningnya berkerut sedikit.
"Nenek sungguh-sungguh mengatakannya. Dirimu telah menemani Nenek ke bukit hampir setiap sore mengenali daun pahit dari yang manis, membedakan akar tua dari yang busuk. Tanganmu cekatan, matamu tajam. Bahkan murid-murid dari kota belum tentu punya dasar sebaik dirimu."
Mozi terkekeh pelan.
"Jangan rebut cucu murid orang, Hua."
"Bukan merebut. Hanya bersiap jika jalan lain lebih sesuai," balas Hua sambil tersenyum tipis. "Lagipula, api penyulinganku masih menyala. Api Kalajengking Sutra yang ditaklukkan ayahku lima puluh tahun lalu. Ia mungkin bukan api primordial dari daftar bintang, tapi cukup kuat untuk menyuling pil pembuka meridian dan pil penerobos taraf 3."
"Yang dari Lembah Karang Merah itu?" tanya Mozi, mengangkat alis.
"Itulah. Ukurannya sebesar keranjang beras. Ayahku sempat terkena racunnya, tapi justru racun itulah yang jadi kunci agar api rohnya bisa diwariskan."
Xu Ming menatap mereka dengan mata besar, setengah kagum, setengah bingung.
"Kalau kau tak bisa membuka meridian dengan cara biasa, Nenek sendiri yang akan mengajarimu membuat pil," kata Hua, menepuk bahunya dengan lembut. "Kadang, satu pil bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa dibanding seribu tebasan."
Mozi mengangguk. "Tapi untuk sekarang, bersiaplah. Upacara pendewasaan tinggal beberapa hari lagi. Han Su dan para pemburu belum juga kembali."
"Masih di luar desa?" tanya Hua, suaranya merendah.
"Sudah tujuh hari. Mereka pergi ke Lembah Huoyan, mencari darah esensi monster."
"Huoyan... tempat itu tak ramah bukan," gumam Hua. "Apa mereka akan baik-baik saja?"
"Han Su membawa Tuan Fei dan dua kesatria taraf tiga. Seharusnya cukup..." Mozi terdiam sejenak. "...asal tidak ada kejutan."
"Jika darah esensi tak ditemukan, Kolam Yin-Yang tak akan berguna bagi anak-anak untuk membentuk Dao," kata Hua pelan. "Apa upacara akan dibatalkan?"
Mozi tak segera menjawab. Tatapannya jauh, menembus kabut yang menggantung di atas hutan timur. Suasana pagi yang tenang tiba-tiba terasa lebih berat, seolah alam pun menunggu sesuatu.
Tiba-tiba, suara teriakan anak-anak dari arah lereng bawah memecah keheningan pagi.
"Mereka kembali! Tim pemburu pulang!"
Langkah kaki terdengar tergesa-gesa. Beberapa warga desa keluar dari rumah mereka, menuruni jalanan berbatu yang mengarah ke lapangan tengah. Kehebohan mulai terasa, tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.
Mozi dan Hua saling pandang. Wajah Mozi yang biasanya tenang kini sedikit mengernyit, tampak heran.
"Cepat juga mereka kembali..." gumam Mozi, suaranya dipenuhi keheranan. "Apa yang mereka bawa?"
Tak lama, kerumunan di tengah desa mulai membesar. Xu Ming, yang sebelumnya duduk di sisi batu, ikut berdiri. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran, matanya mengikuti kerumunan yang bergerak cepat.
Di kejauhan, sosok Han Su terlihat. Jubahnya robek di beberapa bagian, tubuhnya terhuyung, tetapi tatapannya tetap tajam dan penuh tekad. Di belakangnya, empat pemburu lain menarik dua kereta kayu besar yang ditutup kain tebal. Beberapa warga desa mulai berbisik-bisik.
"Apa itu… tubuh monster?"
"Lihat ekornya… itu bukan binatang biasa!"
Han Su akhirnya berhenti di depan kepala desa, melepaskan napas panjang sebelum mengangguk hormat pada Mozi.
"Kami pulang… dan membawa yang kau minta, Kepala Desa," katanya, suaranya serak dan penuh keletihan.
Dengan isyarat tangan, kain penutup ditarik.
"Apa itu…?" seru salah seorang warga dengan terkejut.
Di kereta pertama, tergeletak bangkai Kirin Api Tanah, tubuhnya yang besar masih memancarkan percikan magma panas dari luka-luka yang mengerikan, meninggalkan bekas membara di tanah di bawahnya.
"Tunggu… apa aku tidak salah lihat?" gumam Mozi, matanya melebar. "Bukankah itu Kirin Api Tanah?" Ia melangkah lebih dekat, wajahnya penuh keheranan. "Tapi bagaimana bisa dia sampai di Lembah Huoyan?"
Di kereta kedua, bangkai Garuda Petir Angin tergeletak, tubuhnya penuh luka dan bulu-bulu petirnya tercabik-cabik. Meskipun mati, sedikit sisa energi petir masih terasa mengalir di udara di sekitar bangkai itu.
"Satu lagi, itu monster surgawi Garuda Petir Angin bukan!" Hua berkata dengan mata terbelalak. "Tapi… bukankah itu monster taraf lima?"
Mozi menatap kedua bangkai monster itu lama, seolah mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
"Dua sekaligus... Bagaimana bisa?" tanya Mozi, masih tak percaya. "Han Su... ceritakan padaku."
Han Su mengusap dahinya yang penuh debu dan darah kering, nafasnya berat.
"Tim pemburu saat itu tersesat di jurang terdalam Lembah Huoyan saat itu karena seminggu ini kami tak menjumpai monster taraf tiga atau diatasnya untuk upacara pendewasaan. Saat kami sampai tanpa sengaja, dua monster ini sedang bertarung memperebutkan sesuatu. Kami menunggu… lalu masuk saat mereka sama-sama sekarat."
Han Su mengusap dahinya yang penuh debu dan darah kering. Nafasnya berat, namun matanya berbinar seperti pria yang baru kembali dari dunia para dewa. “Kami hanya beruntung… atau mungkin, langit sedang membuka satu lembar takdir baru bagi desa kita.”
Ia mengangkat tangannya. Di atas telapaknya, berdenyut cahaya merah darah sebutir Benih Api, hidup dan bernafas. Udara di sekitarnya bergetar, dan aroma logam serta bunga liar memenuhi udara. Dalam benih itu, seolah langit dan bumi saling bertukar rahasia.
Hua menatap benih api itu lama. “Pak tua, dengan benih api ini. Bahkan alkemis terkenal sekte besar sekalipun pasti akan segera membunuhmu untuk merebutnya… Asal usulnya harus dirahasiakan, Pak Tua!” terangnya.
“Entah apa yang membuat dewa terbangun, dan membuatnya memberikan berkah sebesar ini pada Desa Kayu kita…” Pak tua Mozi mengangguk pelan lalu menoleh menatap Xu Ming.
Bersambung…
“Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu
Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik
"Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek
"Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru
Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk
Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.“Aku akan melakukannya… Nenek.”Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T
"Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”
“Han Su... HAN SU! Kemarilah! Dan lihatlah ini! Keponakanmu ini sangatlah jenius! Kau lihat pil ini!”Teriakan keras itu membuat para burung di pohon-pohon bambu berterbangan. Han Su, yang sedang berdiri di tengah lapangan latihan sambil mengawasi putranya dan beberapa anak muda lain yang berlatih Teknik Dao Taraf Pertama, langsung menoleh dengan dahi mengernyit.Ia menyipitkan mata, menatap ke arah dua sosok yang berlari turun dari arah pondok Nenek Hua. Salah satunya tentu saja Pak Tua Mo dengan tongkat kayunya, dan yang satunya lagi Xu Ming yang tampak sedikit kewalahan diseret-seret oleh semangat tua yang luar biasa pagi itu.“Eh? Kau tidak seperti biasanya, Pak Tua,” gumam Han Su, setengah heran, setengah menggoda. Suaranya makin lantang. “Kenapa heboh sekali teriak-teriak pagi-pagi begini? Apa kau baru saja bertemu seorang wanita muda yang ingin menikahimu, hah?”Plak! Tanpa pikir panjang, tongkat bambu Pak Tua Mo
“Akhirnya, fluktuasi energi dao pada tulang belakangmu mulai stabil, bocah…” Suara Bing-Bing memecah kesunyian ruangan kecil itu, terdengar lebih pelan dan hati-hati dari biasanya. Di hadapannya, Xu Ming duduk bersila dengan tubuh yang tampak begitu tegang, wajahnya pucat dan basah oleh peluh. Setiap tarikan napas terdengar berat, seolah sedang menanggung beban yang amat besar.Di sekeliling Xu Ming, riak-riak energi biru keperakan masih berkecamuk, kadang meletup tak terduga hingga membuat batu-batu kecil di lantai bergetar. Bing-Bing memandanginya dengan waspada. Sudah lebih dari tiga bulan Xu Ming mengurung diri, berusaha menyerap Fussion Essence Pill dan membangunkan Bing Bing, dan beberapa hari ini harus terkendala karena fluktuasi energi Dao dari Tulang Suci Naga Abadi yang mengamuk hebat di dalam tubuhnya, energi itu begitu liar, seperti naga yang menolak dijinakkan.“Ayo… bertahan sedikit lagi…” bisik Bing-Bing, meli
“Tunggu… Ini… tidak mungkin…” Bing-Bing memicingkan mata, tatapannya tajam menelusuri punggung Xu Ming yang masih berkeringat deras. Sorot matanya tiba-tiba membesar, tubuh mungilnya membeku sejenak sebelum akhirnya berteriak kaget, “Bocah bau! Tulang belakangmu… itu… bersinar?!”Xu Ming yang masih meringis kesakitan hanya bisa memejamkan mata, napas terengah-engah. Tapi di sela rasa sakit yang menghantam keras dari punggungnya, ia bisa merasakan sesuatu yang aneh, getaran halus, seolah ada sesuatu yang bangkit dari dasar sumsum tulangnya, menyebar panas tapi juga penuh kekuatan yang menggetarkan.Bing-Bing mendekat dengan cepat, wajahnya setengah galak, setengah waspada. Ia menempelkan tangannya yang mungil ke punggung Xu Ming. Mata birunya memantulkan sinar keemasan yang berdenyut pelan di sepanjang tulang belakang bocah itu. Seketika, Bing-Bing mendengus keras, bibir mungilnya bergetar kesal.Bing-Bin
“Nenek… bisakah kau… meninggalkanku sendiri malam ini?”Nenek Hua yang tengah memeriksa kuali pemurnian menoleh cepat, alisnya berkerut. “Tunggu… Apa ada sesuatu yang salah? Bukankah Nenek perlu berjaga selagi dirimu menyerap Fussion Essence Pill itu?Xu Ming menggenggam pil penyatu esensi Dao erat, matanya menunduk dalam. “Aku tahu Nek… Tapi kali ini, aku harus menyerapnya sendirian. Ada… hal yang harus kulakukan. Sesuatu yang… untuk saat ini perlu dirahasiakan dari siapapun.”Nenek Hua memandangnya lama, napasnya berat seolah ingin membantah, tapi akhirnya hanya menghela panjang. “Baiklah… Nenek akan menuruti permintaanmu kali ini. Tapi ingat, jangan ceroboh dan mencelakai diri sendiri. Segera panggil nenek, jika sesuatu yang buru terjadi, mengerti?”Xu Ming mengangguk pelan. “Terima kasih, Nek.”Pintu kayu tertutup perlahan, menyisakan ruangan yang tiba-tiba terasa jauh lebih hening dan dingin. Angin malam menyelinap masuk melalui celah dinding, menyisakan desir tipis yang menyentu
“Inti monster Taraf Tiga yang ke-91,” ucap Xu Ming sambil menyerahkan batu kristal merah keunguan itu ke tangan Nenek Hua.Wanita tua itu menerima dengan anggukan ringan. “Sembilan lagi. Pastikan tidak retak atau menghitam. Kalau energi dasarnya rusak, akan mengganggu kestabilan kuali.”Xu Ming duduk bersila di lantai batu. Napasnya masih terengah, sisa latihan aliran Qi pagi tadi belum sepenuhnya pulih. Kalung kristal es tergantung di lehernya, diam dan dingin seperti biasanya. Sudah hampir dua minggu sejak mereka kembali dari misi pengumpulan. Seratus inti monster Taraf Tiga itu bahan utama yang paling sulit dalam penyulingan Pil Penyatu Esensi Dao. Tim pemburu melakukannya bersama-sama, dan tidak mudah. Beberapa luka, beberapa hari terjebak, dan banyak tenaga terbuang.Nenek Hua tidak tahu pil ini sebenarnya bukan untuk apinya. Xu Ming kembali mengingat janjinya. Ia tidak boleh membocorkan siapa Bing-Bing sebenarnya. “Akhirnya 100 esensi monster taraf 3 ini sudah diperiksa satu pe
“Hnghh... ada yang aneh... aliran Dao di tubuhmu meningkat?” suara serak Liang Fei terdengar memecah keheningan senja. Matanya menyipit, mengamati Xu Ming yang duduk bersila di atas batu datar.Aura hangat dan gemuruh halus mengalir dari tubuh pemuda itu, seperti suara sungai kecil yang baru menemukan jalur alirannya. Daun-daun kering bergetar lembut di sekelilingnya, digerakkan oleh hembusan angin tipis bercampur esensi Dao yang tersebar di udara.Xu Ming membuka matanya perlahan. Sorot matanya kini jauh lebih dalam, seperti cermin yang baru diasah kembali. Kilau cahaya senja terpantul samar di pupilnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seberkas cahaya tipis melapisi energi Dao yang berkilat di kulitnya sebelum menghilang, meninggalkan jejak keheningan yang sarat makna.“Aku menembus Taraf Dua tingkat menengah,” ujarnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Sepertinya... karena pertarungan bert
Liang Fei menggosok tengkuknya, lalu mendesah pelan. “Itu... benar-benar lebih parah dari yang kuperkirakan.”Ia melirik sejenak ke arah tangan kanannya, mengencangkan kepalan, memastikan semuanya masih utuh. Kulit di beberapa ruas jarinya masih memerah, tapi rasa nyeri yang tersisa seperti pengingat: bahwa ia telah melewati sesuatu yang nyaris tak mungkin.Lei Shan, yang duduk bersandar di batang pohon tua tak jauh darinya, hanya mengangguk sambil membenarkan ikat kepalanya yang longgar. “Tapi syukurlah, Kakak Kedua. Setelah kau berhasil, kita berempat akhirnya resmi menjadi pendekar Taraf Empat.”Suasana diam sejenak, seperti membiarkan kalimat itu mendarat di dada masing-masing. Pelan, Duan Wu berdiri, meregangkan bahu yang masih terasa kaku. Sendi bahunya berbunyi pelan saat diputar.“Hampir saja...,” gumamnya. “Tak terasa, genap enam puluh lima hari kita berkutat di sini.” Ia melirik ke arah Qi Bao yang
Perburuan seratus esensi monster dihentikan sementara waktu, Desa kayu hari ini Tengah menghadapi kejadian besar yang akan dilakukan. Terobosan para anggota tim pemburu, akan dimulai hari ini. Di sisi lapangan, Han Su berdiri dengan tangan bertolak pinggang, tatapannya penuh semangat. Ia melirik ke empat sahabatnya yang duduk santai di atas batu besar."Bagaimana kondisi kalian?" serunya sambil merangkul bahu Liang Fei. "Sudah siap melakukan terobosan, bukan?"Liang Fei, yang wajahnya sedikit tegang hanya menyeringai dan menepuk dada berpura-pura seperti pria kuat. "Siap kapan saja, Kakak Han! Tubuh ini sudah gatal ingin meledak."Lei Shan, yang duduk tak jauh, tertawa mengejek, "Hmph, jangan membual. Kakak Kedua ini semalaman tak bisa tidur! Istrinya sampai menggerutu di depan rumahku. Katanya, 'Suamiku grasak-grusuk kayak anak kecil, muter-muter terus, gak mau tidur!'"Suara cekikikan kecil terdengar. Qi Bao hanya menahan tawanya sambil mengangguk setuj
"T-Tim pemburu kembali!" teriak seorang anak kecil dari menara kayu di utara desa.Teriakan itu langsung menggema ke seluruh penjuru Desa Kayu. Dalam hitungan detik, penduduk yang sedang memperbaiki pagar, menambal atap, atau mengolah ladang, semua berlarian menuju lapangan tengah. Di tengah riuh itu, Xu Ming yang masih bersandar di ranjang pondok, menggenggam tongkat kayu di sisinya. Wajahnya pucat, tapi matanya bersinar penuh semangat."Nenek Hua... tolong tuntun aku ke sana," pintanya, suaranya lirih namun tegas.Nenek Hua mendengus seolah ingin memarahinya, tapi pada akhirnya ia hanya menghela napas panjang. Dengan sabar, ia memapah Xu Ming berdiri, membiarkannya bersandar di tongkat, dan bersama-sama mereka berjalan menuju kerumunan yang semakin padat.Saat mereka tiba, pemandangan yang menghangatkan hati terbentang di hadapan mereka. Liang Fei, Qi Bao, Lei Shan, dan Duan Wu seluruh anggota Tim Pemburu tengah berdiri gagah, meskipun tubuh mereka lusu
Suasana di pondok Nenek Hua membeku dalam ketegangan. Kata-kata tentang "seratus monster taraf tiga" bergema dalam pikiran semua orang, menimbulkan rasa takut yang mencekik. Namun Xu Ming, yang masih bersandar lemah di ranjang, perlahan menggenggam erat selimutnya. Tatapan matanya yang buram kini mulai menunjukkan kilatan tekad."Aku... akan bertarung," bisiknya.Nenek Hua membungkuk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Ming'er, kau bahkan berdiri saja belum kuat. Bagaimana mungkin…"Han Su maju selangkah, wajahnya serius. "Tidak. Kali ini kami yang berburu." Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Tapi kami tak bisa berjanji seberapa lama waktu yang kami butuhkan untuk menyelesaikan pemburuan seratus esensi monster taraf tiga. Kami hanya bisa menjanjikan, paling banyak dua esensi dalam sehari, dan paling sedikit satu."Xu Ming terdiam. Di matanya tergambar konflik batin yang dalam. Ia tahu, setiap hari yang berlalu adalah taruhan pada harapan tipi