Share

7. Rai dan Hilangnya Kelabu

TULPA

7. Rai dan Hilangnya Kelabu

"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"

Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca. 

"Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis. 

"Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku. 

Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya dengan santai. 

"Tolong dong simpan kopernya aku ya?" ucapnya dengan wajah yang dimelas-melaskan. Aku menurut, walau sebenarnya ingin sekali kulemparkan koper berat berwarna merah muda miliknya ke wajahnya. 

Baru saja turun dari anak tangga, suara ketukan pintu membuatku segera berlari kecil ke arah pintu depan. Aku mengernyit mendapati beberapa anak laki-laki dan perempuan yang berusia tidak jauh dariku. Aku tersenyum kikuk, membalas senyuman mereka. 

"Hehehe maaf, Mbak aku ajak mereka buat main gapapa 'Kan?" Rai berdiri di sampingku dengan senyum manisnya. 

Sumpah serapah sudah aku layangkan untuknya. Jika ada maunya saja dia memanggilku dengan embel-embel 'Mbak', padahal umurku hanya lebih tua beberapa bulan saja darinya. Karena tidak enak dengan teman-teman Rai, akhirnya aku mengangguk pelan. Seramah mungkin kupersilahkan mereka.

Setelahnya suasana rumahku yang biasanya sepi dan tenang kini sangat ramai dan kacau. Di mana-mana ada sampah bungkus jajanan ringan dan kaleng soda. Gelak tawa terdengar nyaring. Kuputuskan untuk naik ke atas karena sejak tadi aku hanya duduk berdiam diri, memandangi mereka dengan bosan. Pergerakkanku membuat salah satu dari teman Rai bertanya. 

"Mau ke mana, Kak?" 

"Ke kamar ada sesuatu yang harus aku lakukan," jawabku. Kuusahakan seulas senyum terpatri di wajahku. 

Tidak mau berlama-lama, dengan segera kunaiki anak tangga menuju ke kamarku. Sesampainya di kamar, kuhempaskan tubuhku ke atas ranjang. Entah mengapa setiap kali aku berlama-lama di keramaian, membuat tenagaku seakan terkuras habis. Apakah itu memang kelemahan seorang introvert sepertiku? Kupandangi langit-langit kamar, baru menyadari bahwa setelah insiden Kelabu mendorong Kelam, sosoknya tidak terlihat. 

"Kelabu?" Panggilku pelan. Tidak ada respon atau sosoknya yang kudapati. Entah mengapa perasaanku merasa tidak enak. Apakah Kelabu marah? Atau, jangan-jangan dia menghindariku? Ah, tidak-tidak apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin Kelabu pergi meninggalkanku. 

"Kelabu?"

Tidak mau menyerah, aku kembali memanggilnya. Bedanya, sekarang aku mulai melangkah ke sudut-sudut kamarku, mencoba mencari sosoknya. Tetapi, nihil. Dari kamar mandi, lemari, bawah ranjang, bahkan loteng kamar sudah kuperiksa dan tidak ada Kelabu di sana. 

"Weh ngapain? Hayo siapa Kelabu?" 

Aku terlonjak kaget ketika mendapati kepala Rai yang melongok ke dalam kamarku. Sebuah kekehan kecil lolos dari bibir ranumnya. Sepertinya dia senang telah berhasil membuatku terkejut. Dia mendorong pintu kamarku, lalu melangkah masuk. Berkacak pinggang menatapku sok menyelidik. 

"Apa?"tanyaku ketus. 

"Punya pacar ya hayo? Ga baik lho pacar dibawa ke kamar." Dia mulai menggodaku. Aku mengedikkan bahu, memilih beranjak menuju ke kasur lalu menenggelamkan diri di dalam selimut. 

"Orang nanya dikacangin. Kacang mahal!" Oke, sepertinya untuk malam ini aku akan tidur lebih awal daripada sebelumnya. 

Pagi yang cerah tidak dengan hatiku yang menggelap. Tiada sang pangeran yang menemani kerasnya kehidupan. Malah tergantikan dengan dayang penuh kecerewetan. Aku melirik sinis ke arah Rai yang sejak tadi terus menyerocos sesekali memoleskan lipstik ke bibirnya yang bahkan sudah sangat berwarna merah. Lihatlah sekarang, hanya gara-gara tingkah Rai kami menjadi tontonan anak-anak satu sekolahan. Terlebih mengingat hari ini Rai baru saja menjadi siswi baru di sekolahku. 

"Rai, tidak bisakah kau diam?" Aku bertanya. Mulai risih dengan sikapnya. Untuk sejenak dia berhenti. Lalu menggeleng heboh seraya menggerakkan jari telunjuk tangan kanannya ke samping kanan-kiri. 

"No! No! No! Incess Rai yang cetar membahana, cantik jelita tiada duanya tidak akan berhenti mengoceh setelah penampilan Rai udah perfect!" 

Aku memutar bola mataku, malas. "Kau sudah perfect," jawabku malas. 

"Benarkah?" gumamnya lalu menatap pantulan dirinya di cermin bedak yang selalu dia bawa ke mana-mana. Lalu, dia mengomel pelan. "Apaan perfect! Lihat ini ada noda hitam, harus aku tutup pake bedak biar tidak kelihatan!" 

Selanjutnya kalian tahu apa yang anak gadis itu lakukan. Aku sendiri hanya membiarkan saja. Walau sejujurnya tanganku gemas untuk menampar pelan pipinya yang dikatakannya ada noda hitam. Padahal, aku sendiri tidak melihatnya. 

Aku menatap ke depan. Tiba-tiba nama Kelabu merasuk ke dalam pikiranku. Ke mana Kelabu? Dia belum juga terlihat sampai sekarang. Pemikiran-pemikiran buruk pun mulai menjadi. 

"Cogan!" Pekikan Rai membuat kesadaranku kembali tertarik. Menoleh, menatap ke arah sepupuku yang sudah berlari kecil ke arah lapangan bola basket di mana sekumpulan anak laki-laki tengah bermain basket. 

Aku berdecak pelan. Ingin sekali aku membiarkan Rai, tetapi takut jika anak itu tersesat mengingat akulah yang diberikan tugas untuk mengantarkan ke kelasnya yang juga menjadi kelasku. 

"Ganteng, minta nomornya dong!" Dengan gaya centilnya, Rai mencoba menggoda. 

Kutarik kerah belakang seragam Rai, membuat gadis itu memekik tertahan. Sekuat mungkin kutarik tubuhnya untuk mendekat ke tubuhku. 

"Temenmu?" Aku mengernyit ketika mendengar suara yang tidak asing lagi di indera pendengaranku. 

Kedua mataku membola ketika menyadari bahwa laki-laki yang dikatakan cogan oleh sepupuku adalah Kelam. Kelam tampak menatap jijik dan ngeri ke arah Rai. Mungkin karena penampilan Rai yang terlalu mencolok? Tetapi, sepertinya Rai tidak menyadari hal itu. Dia masih bersikukuh meminta nomor w******p Kelam.

"Pantes gila, orang pergaulannya aja udah ga bener," sarkas Kelam. 

Rai yang semula memasang wajah terbaiknya untuk menggoda pun seketika memasang wajah datarnya. Hingga sebuah tamparan keras melayang di pipi kanan Kelam. Aku menatap syok ke arah Rai yang menjadi pelakunya. 

"Ganteng sih, tapi najis mulutnya ga di sekolahin. Ayo, Kejora muak gue lihat cowok modelan ginian. Nyesel gue." Rai dengan segera menarik lenganku. Aku tersenyum tipis. Mungkin memang sepupuku yang satu ini terkesan anak nakal dalam berpakaian. Tetapi, sifatnya yang berani melawan seseorang yang menindas orang lain entah dari perkataan atau perbuatan, Rai akan maju tanpa gentar. 

"Gue kira bakal perfect kek gue. Eh ternyata kek tai ayam, tuh cowok." Samar aku masih mendengar ocehannya. Antara ingin terkekeh geli karena kepercayaan dirinya dan ingin memukul kepalanya karena telah menyebutkan Kelam seperti kotoran ayam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status