Home / Romansa / TULPA / 7. Rai dan Hilangnya Kelabu

Share

7. Rai dan Hilangnya Kelabu

Author: Kyna
last update Last Updated: 2022-04-26 20:35:45

TULPA

7. Rai dan Hilangnya Kelabu

"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"

Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca. 

"Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis. 

"Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku. 

Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya dengan santai. 

"Tolong dong simpan kopernya aku ya?" ucapnya dengan wajah yang dimelas-melaskan. Aku menurut, walau sebenarnya ingin sekali kulemparkan koper berat berwarna merah muda miliknya ke wajahnya. 

Baru saja turun dari anak tangga, suara ketukan pintu membuatku segera berlari kecil ke arah pintu depan. Aku mengernyit mendapati beberapa anak laki-laki dan perempuan yang berusia tidak jauh dariku. Aku tersenyum kikuk, membalas senyuman mereka. 

"Hehehe maaf, Mbak aku ajak mereka buat main gapapa 'Kan?" Rai berdiri di sampingku dengan senyum manisnya. 

Sumpah serapah sudah aku layangkan untuknya. Jika ada maunya saja dia memanggilku dengan embel-embel 'Mbak', padahal umurku hanya lebih tua beberapa bulan saja darinya. Karena tidak enak dengan teman-teman Rai, akhirnya aku mengangguk pelan. Seramah mungkin kupersilahkan mereka.

Setelahnya suasana rumahku yang biasanya sepi dan tenang kini sangat ramai dan kacau. Di mana-mana ada sampah bungkus jajanan ringan dan kaleng soda. Gelak tawa terdengar nyaring. Kuputuskan untuk naik ke atas karena sejak tadi aku hanya duduk berdiam diri, memandangi mereka dengan bosan. Pergerakkanku membuat salah satu dari teman Rai bertanya. 

"Mau ke mana, Kak?" 

"Ke kamar ada sesuatu yang harus aku lakukan," jawabku. Kuusahakan seulas senyum terpatri di wajahku. 

Tidak mau berlama-lama, dengan segera kunaiki anak tangga menuju ke kamarku. Sesampainya di kamar, kuhempaskan tubuhku ke atas ranjang. Entah mengapa setiap kali aku berlama-lama di keramaian, membuat tenagaku seakan terkuras habis. Apakah itu memang kelemahan seorang introvert sepertiku? Kupandangi langit-langit kamar, baru menyadari bahwa setelah insiden Kelabu mendorong Kelam, sosoknya tidak terlihat. 

"Kelabu?" Panggilku pelan. Tidak ada respon atau sosoknya yang kudapati. Entah mengapa perasaanku merasa tidak enak. Apakah Kelabu marah? Atau, jangan-jangan dia menghindariku? Ah, tidak-tidak apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin Kelabu pergi meninggalkanku. 

"Kelabu?"

Tidak mau menyerah, aku kembali memanggilnya. Bedanya, sekarang aku mulai melangkah ke sudut-sudut kamarku, mencoba mencari sosoknya. Tetapi, nihil. Dari kamar mandi, lemari, bawah ranjang, bahkan loteng kamar sudah kuperiksa dan tidak ada Kelabu di sana. 

"Weh ngapain? Hayo siapa Kelabu?" 

Aku terlonjak kaget ketika mendapati kepala Rai yang melongok ke dalam kamarku. Sebuah kekehan kecil lolos dari bibir ranumnya. Sepertinya dia senang telah berhasil membuatku terkejut. Dia mendorong pintu kamarku, lalu melangkah masuk. Berkacak pinggang menatapku sok menyelidik. 

"Apa?"tanyaku ketus. 

"Punya pacar ya hayo? Ga baik lho pacar dibawa ke kamar." Dia mulai menggodaku. Aku mengedikkan bahu, memilih beranjak menuju ke kasur lalu menenggelamkan diri di dalam selimut. 

"Orang nanya dikacangin. Kacang mahal!" Oke, sepertinya untuk malam ini aku akan tidur lebih awal daripada sebelumnya. 

Pagi yang cerah tidak dengan hatiku yang menggelap. Tiada sang pangeran yang menemani kerasnya kehidupan. Malah tergantikan dengan dayang penuh kecerewetan. Aku melirik sinis ke arah Rai yang sejak tadi terus menyerocos sesekali memoleskan lipstik ke bibirnya yang bahkan sudah sangat berwarna merah. Lihatlah sekarang, hanya gara-gara tingkah Rai kami menjadi tontonan anak-anak satu sekolahan. Terlebih mengingat hari ini Rai baru saja menjadi siswi baru di sekolahku. 

"Rai, tidak bisakah kau diam?" Aku bertanya. Mulai risih dengan sikapnya. Untuk sejenak dia berhenti. Lalu menggeleng heboh seraya menggerakkan jari telunjuk tangan kanannya ke samping kanan-kiri. 

"No! No! No! Incess Rai yang cetar membahana, cantik jelita tiada duanya tidak akan berhenti mengoceh setelah penampilan Rai udah perfect!" 

Aku memutar bola mataku, malas. "Kau sudah perfect," jawabku malas. 

"Benarkah?" gumamnya lalu menatap pantulan dirinya di cermin bedak yang selalu dia bawa ke mana-mana. Lalu, dia mengomel pelan. "Apaan perfect! Lihat ini ada noda hitam, harus aku tutup pake bedak biar tidak kelihatan!" 

Selanjutnya kalian tahu apa yang anak gadis itu lakukan. Aku sendiri hanya membiarkan saja. Walau sejujurnya tanganku gemas untuk menampar pelan pipinya yang dikatakannya ada noda hitam. Padahal, aku sendiri tidak melihatnya. 

Aku menatap ke depan. Tiba-tiba nama Kelabu merasuk ke dalam pikiranku. Ke mana Kelabu? Dia belum juga terlihat sampai sekarang. Pemikiran-pemikiran buruk pun mulai menjadi. 

"Cogan!" Pekikan Rai membuat kesadaranku kembali tertarik. Menoleh, menatap ke arah sepupuku yang sudah berlari kecil ke arah lapangan bola basket di mana sekumpulan anak laki-laki tengah bermain basket. 

Aku berdecak pelan. Ingin sekali aku membiarkan Rai, tetapi takut jika anak itu tersesat mengingat akulah yang diberikan tugas untuk mengantarkan ke kelasnya yang juga menjadi kelasku. 

"Ganteng, minta nomornya dong!" Dengan gaya centilnya, Rai mencoba menggoda. 

Kutarik kerah belakang seragam Rai, membuat gadis itu memekik tertahan. Sekuat mungkin kutarik tubuhnya untuk mendekat ke tubuhku. 

"Temenmu?" Aku mengernyit ketika mendengar suara yang tidak asing lagi di indera pendengaranku. 

Kedua mataku membola ketika menyadari bahwa laki-laki yang dikatakan cogan oleh sepupuku adalah Kelam. Kelam tampak menatap jijik dan ngeri ke arah Rai. Mungkin karena penampilan Rai yang terlalu mencolok? Tetapi, sepertinya Rai tidak menyadari hal itu. Dia masih bersikukuh meminta nomor w******p Kelam.

"Pantes gila, orang pergaulannya aja udah ga bener," sarkas Kelam. 

Rai yang semula memasang wajah terbaiknya untuk menggoda pun seketika memasang wajah datarnya. Hingga sebuah tamparan keras melayang di pipi kanan Kelam. Aku menatap syok ke arah Rai yang menjadi pelakunya. 

"Ganteng sih, tapi najis mulutnya ga di sekolahin. Ayo, Kejora muak gue lihat cowok modelan ginian. Nyesel gue." Rai dengan segera menarik lenganku. Aku tersenyum tipis. Mungkin memang sepupuku yang satu ini terkesan anak nakal dalam berpakaian. Tetapi, sifatnya yang berani melawan seseorang yang menindas orang lain entah dari perkataan atau perbuatan, Rai akan maju tanpa gentar. 

"Gue kira bakal perfect kek gue. Eh ternyata kek tai ayam, tuh cowok." Samar aku masih mendengar ocehannya. Antara ingin terkekeh geli karena kepercayaan dirinya dan ingin memukul kepalanya karena telah menyebutkan Kelam seperti kotoran ayam. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TULPA   94. Ending

    94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan

  • TULPA   93. Menuju Ending

    93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k

  • TULPA   92. Bahagia yang Sederhana

    92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala

  • TULPA   91. Kilas Kisah Gelang

    91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru

  • TULPA   90. Belajar Bersama

    90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur

  • TULPA   89. Berdamai

    89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status