TULPA9. ImajiBruk! Aku mengembuskan napas berat. Suara tawa menggelegar. Aku hanya bergumam pelan, meratapi nasibku yang masih saja menjadi korban bullyan mereka. Mencoba mempertahankan wajah biasa-biasa saja, aku segera bangkit seraya menepuk-nepuk pelan rok sekolahku yang sedikit berdebu karena terjatuh. Kali ini aku memang berangkat sendirian. Rai dengan kurang ajarnya meninggalkanku tanpa membangunkan aku. Ya, aku bangun kesiangan karena jam alarmku rusak semalam. "Woi!"Teriakkan Rai berhasil membuat mereka yang semula tertawa senang karena aku terjatuh dengan tidak elitenya segera bungkam. Mereka langsung membubarkan diri, tidak mau berhadapan dengan sepupuku yang entah mengapa akhir-akhir menjadi superhero untuk kehidupanku yang kelam. Ngomong-ngomong soal Kelam, cowok itu semakin bertingkah aneh. Setiap kali kudapati dia diam-diam memperhatikanku dari jarak jauh. "Ra, gapapa 'Kan?" Aku mengerjap. Tersadar akan lamunan. Dengan segera aku mengangguk untuk membalas pertanyaa
TULPA10. Mimpi“Kejora....” Aku menoleh. Suara Kelabu terdengar sangat menyenangkan. Ada apa dengan Kelabu? Apakah terjadi sesuatu dengannya? "Kejora...." Rintihan itu.... "Kelabu?" Aku memanggil. Coba mencari sosoknya. Saya sendiri dibuat bingung dengan suasana yang kini berada di sekelilingku. sebuah padang rumput, dengan beribu kunang-kunang yang berterbangan ke sana kemari. Angin kecil berhembus, bersamaan dengan suara Kelabu yang kembali terdengar. Seakan-akan angin yang telah mengantarkan suara Kelabu untukku melaluinya. "Kelabu?" Suaraku meninggi. Rasa takut dan bercampur menjadi satu. Aku mulai melangkah. Mengandalkan indera pendengarku, aku mencoba mencari sumber suara Kelabu. Kedua mataku menyipit. Mencoba dengan melihat sosok yang berbaring di sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh beberapa meter di depanku. Siluet seseorang yang tengah menyandar di batang besar pohon itu. Entah mengapa, detak jantungku semakin cepat. Apa suara Kelabu yang berasal dari sana. Apakah
TULPA11. Kue Kering HarapanKutopang menggunakan kedua tanganku. Menatap keluar jendela. Siluet matahari yang mulai terbenam, menjadi titik pandanganku. Walau nyatanya, pikiranku bukan tengah mengagumi keindahan hari ini. aku menatap kedua mataku saat sapuan halus dari angin sakit saat menyapanya. Memang dengan sengaja jendela kamarku kubuka lebar, setidaknya itu bisa membuat pikiranku lebih segar. "Non, ada telepon dari nyonya," suara Bibi Sum membuatku tersadar darilamunan. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuju ke lantai pertama karena telepon rumah terletak di sana. Beberapa hari tanpa memberi kabar kepadaku, membuatku yakin mama. Apakah mama istirahat dengan baik di sana? "Halo, Bu?" Aku membuka suara. "Sayang, kepulangan mama diundur dua hari. Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan Rai? Ngomong-ngomong Bibi Sum sudah kembali bekerja bukan?" tanya mama bertubi-tubi. Aku mengangguk, walau aku tahu mama tidak akan melihatnya. "Kami baik-baik saja, Ma. Iya Bibi sudah kembali
TULPA12. Cewek Gue! Pagi ini, aku berangkat ke sekolah sendirian. Rai tiba-tiba jatuh sakit. Tadi pagi dia berkata padaku bahwa dia merasa tidak enak badan. Benar saja saat kucek, dia mengalami demam. Tidak ada sosoknya, sudah dipastikan mereka akan melakukan semena-mena lagi padaku. Ibaratnya, Rai itu adalah pengganti sosok Kelabu yang selama ini akan menjagaku saat dirundung. Sepupuku itu walau terkesan centil, dia juga memiliki sifat bar-bar dan mulut pedas. "Lihat mainan kita berangkat sendirian, Sayang." Suara itu berhasil membuat tubuhku menegang. Mencoba rileks, aku mendongak. Benar saja di kursi depan kelas duduk sepasang kekasih bullying yang selama ini sudah jarang menggangguku karena kehadiran Rai. Mencoba tidak peduli, aku mempercepat langkah. Segera melewati mereka. Tetapi, rupanya mereka sudah sangat rindu denganku sehingga tidak ingin melepaskanku begitu saja. Kucengkeram kuat, kedua tali tasku. Mencoba mengurangi rasa takut yang mulai bergelayar di tubuhku. Jangan
Tulpa13. Menghabiskan Malam [Aku sudah di depan rumahmu.]Pesan singkat yang dikirimkan Kelam kepadaku, berhasil membuat kedua bola mataku membola. Kenapa Kelam ke rumahku malam-malam begini? Dengan rasa penasaran sekaligus cemas kubalas pesan itu dengan pertanyaan. [Ngapain?]Tidak membutuhkan waktu lama, pesanku langsung terbalas. Aku menemukan dahi ketika melupakan sesuatu. Benar juga, bukankah tadi di rooftop Kelam mengatakan bahwa dia akan menjemputku untuk menonton. Entah menonton apa yang dia maksud. [Kita akan menonton.]Kutatap baca sekali lagi pesan itu. Dengan segera kuturun ke bawah, mendapati Bibi Sum yang telah membukakan pintu untuk Kelam. Bibi Sum tampak tersenyum menggoda ke arahku, aku mencoba tidak peduli. Dan langsung menghampiri Kelam. Bibi Sum memang ditugaskan untuk menemaniku dengan Rei dua puluh empat jam alias Bibi Sum menginap di rumahku karena perintah mama. Tidak seperti biasanya di mana Bibi Sum akan langsung pulang setelah selesai dengan pekerjaannya
TULPA14. Alasan yang Belum Terkuak"Aku masih bingung apa alasanmu menjadikan aku kekasihmu," celetukku membuat Kelam yang duduk di sampingku menoleh. Suara deruman montor yang sengaja dimainkan oleh para penggunanya membuat suasana ricuh. Bahkan, teriakkan para penonton, menyemangati pilihan mereka semakin membuat suasana memanas. Bahkan, tidak sedikit yang melakukan taruhan kepada pilihan masing-masing. Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Tidak pernah terlintas di kepalaku bahwa ada tempat semacam ini. Apa serunya coba? Aku dibuat bingung dengan tingkah anak remaja sekarang. Sebuah genggaman tangan membuatku kembali menoleh kepada Kelam, dia mengulas senyum tipis. "Kau akan tahu sendiri nanti."Dengan lembut dia mengusap dahiku. Membuatku memejamkan mata, menikmati perlakuan manis Kelam. Aku tidak pernah membayangkan bahwa laki-laki menyebalkan yang selama ini menjadi adu mulutku berujung menjadi kekasih. Walau aku sendiri apakah ini hanya permaina
TULPA15. Aku Ratunya"Ini terlalu mendadak untukku yang memiliki kapasitas otak yang pas-pasan. Jadi, tolong katakan padaku apakah ini kenyataan atau hanya imaji liarku semata?"_KejoraAku tertegun mendapati Kelam sudah siap sedia di depan rumahku dengan motor besarnya. Seulas senyum terbit di wajah tampannya ketika menyadari kehadiranku. Dengan segera dia memasukkan benda pipih yang sejak tadi dia genggam ke dalam sakunya, setelahnya turun dari kuda besinya dan berjalan ke arahku. "Pagi, Ra," sapanya ramah.Aku yang belum terbiasa akan sinkap lembut dan nada ramahnya hanya tersenyum canggung. Terlebih ketika Rai-sejak tadi tidak bisa diam menyenggol lenganku seraya tersenyum menggoda. Bibirnya bergerak pelan tanpa suara mengatakan, 'Pangeran telah datang dengan kuda besinya'. "Ayo berangkat bareng."Ajakan Kelam membuatku menoleh ke arah Rai. Memastikan apakah saudariku itu keberatan jika aku tinggal. Tetapi, respon Rai sangat santai. Dia mengibaskan tangan kanannya seraya mengara
Tulpa16. Samar"Ra?"Aku terkesiap, mendapati wajah Kelam begitu dekat di sampingku. Reflek aku menarik tubuh ke belakang, mengambil jarak. Tidak baik rasanya ketika sapuan lembut napas cowok itu menerpa wajahku. "Kamu melihat apa sih daritadi?"Nada kesal begitu kentara. Bahkan, alis Kelam kini menukik tajam. Netranya menatap tajam ke arahku, membuatku gelagapan. Sosok Kelabu yang berdiri beberapa meter dengan wajah pucat, berhasil menyita perhatianku tadi. Tidak ada seulas senyum pada laki-laki yang sangat kurindukan itu. Hanya ada tatapan tajam tetapi tampak berkaca-kaca. "Ra?!"Suara tinggi itu kembali membuatku tersadar. Dengan segera aku menoleh kembali ke arah Kelam yang kini menatapku kesal. Astaga, sepertinya aku membuat moodnya buruk. Aku menggigit bibir bawah, menunduk. Takut melihatnya menahan amarah yang mulai tersulut karena sikapku. "Ra ...."Nada suaranya melembut. Diikuti dengan gerakan kedua tangannya yang menggenggam kedua tanganku. Memberikan sapuan lembut di