TULPA
6. Pengganggu
"Ini hasilnya menjadi tiga bukan dua, Kelabu."
Aku menghela napas panjang, ketika menatap Kelabu yang malah mengembungkan kedua pipinya seraya menggeleng tegas. Dia masih bersikukuh dengan jawabannya yaitu dua. Di saat, ditanya mengapa dia pilih dua, karena dia maunya kaya gitu. Mengingat hal itu, membuatku harus sabar mengajari cowok itu. Memilih mengangguk kecil, mengiyakan jawaban Kelabu. Lelah rasanya bila terus berdebat dengannya.
Lihatlah, hanya dengan melihat senyum manisnya yang sekarang mengembang, rasa kekesalanku kepadanya seketika menghilang. Kini, dia mulai berkutat ke nomer lainnya. Ya, malam ini aku memutuskan untuk mengajarinya menghitung dan membaca. Untungnya, Kelabu adalah anak dengan tingkat kepahaman yang tinggi, jadi tidak membutuhkan waktu lama Kelabu dapat menguasainya. Jujur saja, aku cukup terkejut ketika dia menanyakan deretan angka-angka yang berada di buku paket matematika yang sedang kupelajari.
Tangan kananku terulur, gemas melihat anak rambut Kelabu yang berjatuhan sampai menutupi setengah matanya. Menatanya, serapi mungkin. Aku tidak peduli, kini Kelabu tengah menatapku. Mungkin, dia terkejut akan perbuatanku. Tidak masalah.
"Rambutmu sudah terlalu panjang, Kelabu. Kau tidak ada niatan untuk memotongnya?" Kutatap Kelabu yang masih setia menatapku.
"Kau tidak menyukai gaya rambutnya yang ini?" tanyanya balik bertanya. Sontak aku menggeleng.
"Bukan, aku menyukainya. Hanya saja, mungkin jika kamu memotongnya itu akan terlihat lebih keren." Aku tersenyum ketika melihat dia mengangguk.
***
Aku celingak-celinguk, mencoba mencari sosok Kelabu. Kosong, tumben pagi ini dia tidak muncul di kamarku? Mendengar teriakkan mama dari lantai bawah yang menyuruhku untuk segera sarapan, membuatku berhenti mencari sosok Kelabu di dalam kamarku. Sampai di anak tangga terakhir, mama menyapaku dengan senyum manisnya. Dia bahkan, menarikkan salah satu kursi untuk aku dudukki.
"Mama nanti sore akan berangkat ke luar kota untuk satu minggu." Dapat kudengar sebuah helaan di akhir kalimatnya. "Mama sudah menghubungi sepupumu, Rai untuk menemanimu selama mama tidak ada di rumah."
Aku mengangguk. Aku paham bahwa mama juga sangat sulit untuk meninggalkanku di rumah. Hanya saja, pekerjaan membuatnya harus meninggalkan putri semata wayangnya ini.
"Apa perlu mama menyuruh Bi Sum untuk segera kembali bekerja?" Gumaman mama membuatku tersadar akan perempuan paruh baya itu.
Bi Sum beberapa hari ini memang tengah meminta izin untuk pergi ke pulang kampung, menjenguk ibunya yang tengah sakit-sakitan. Mengingat itu, sontak aku menggeleng. Kasihan juga bila Bi Sum harus kembali dan meninggalkan ibunya yang tengah sakit hanya karena mama mengkhawatirkanku? Sepertinya dengan Rai itu sudah cukup. Bukan hanya cukup, sudah sangat-sangat cukup. Yah, walau sejujurnya aku dengan Rai tidak terlalu dekat. Mengingat sifat Rai yang manja dan blak-blakan, membuatku malas berdekatan dengannya.
"Tidak perlu, Ma. Aku akan baik-baik dengan Rai."
Mama lagi-lagi menghela napas panjang. Setelah mengangguk kecil. Dirasa sudah tidak ada obrolan lagi yang akan dibahas, aku kembali melanjutkan sarapanku. Hari ini, mama menyempatkan untuk kembali mengantarkanku ke sekolah, sebelum beliau berangkat ke kota lain. Kulambaikan tanganku, sebagai tanda perpisahan kami. Baru saja berbalik, aku dikejutkan dengan kehadiran Kelabu yang berdiri di belakang dengan senyum manisnya. Aku mengusap dada pelan, terkejut karena ulahnya.
"Kenapa? Kamu sesak napas?" Aku menahan napas. Lalu, mengembuskannya dengan kasar. Menggeleng pelan, menjawab pertanyaan Kelabu yang tampak polos dengan ekspresinya yang sudah mengerut, khawatir.
"Kau mengejutkanku." Suara kekehan kecil keluar dari bibir Kelabu.
Setelahnya, dapat kurasakan genggaman pada lenganku. Siapa lagi kalau bukan Kelabu? Kami melangkah beriringan. Tidak ada hambatan, hanya ada beberapa anak yang mencibirku. Tetapi aku tidak peduli. Arah pandanganku seakan terkunci pada wajah Kelabu yang juga sesekali menatap ke arahku. Hingga tiba-tiba, Kelabu menarik tubuhku. Memelukku erat, tidak lama kemudian suara bola memantul keras mengenai dinding bisa kutangkap. Setelah pelukan itu terlepas, aku menatap datar bola basket yang kini menggelinding tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Ga kena sialan."
Samar, aku menangkap seseorang mengumpat. Mengedarkan pandanganku, menatap datar sosok Kelam yang tengah berdiri pongah dengan kedua temannya. Oh, lebih tepatnya bawahannya. Menatapnya sesat, sebelum akhirnya aku beranjak. Tetapi, seruan Kelam membuatku terhenti.
"Ada apa denganmu? Hei, jangan bilang kau mulai berhalusinasi tengah menggandeng pangeranmu huh?!"
Sontak saja, arah pandanganku terarah ke tangan kiriku yang tengah menggantung, seakan tengah menggenggam tangan seseorang. Hei, tapi bukankah tadi aku tengah menggenggam tangan Kelabu? Di mana Kelabu? Kenapa dia tidak ada?
"Wah-wah kau mulai gila rupanya?" suara Kelam semakin dekat. Terbukti dari sosok Kelam yang tengah melangkah, memperpendek jarak antara kami. Aku mendengus, melipat kedua tanganku di bawah dada. Menatapnya datar.
"Apa pedulimu?" sarkasku. Salah satu alis Kelam naik. Aku menangkapnya dengan jelas.
"Kalau kau menjadi gila ...." Dia dengan sengaja menggantungkan kalimatnya. "Takutnya bakal nyebarin virus gila ke kita-kita," sambungnya santai.
Aku yang semakin kesal dengan tingkahnya pun mengepalkan kedua tanganku, menahan emosi. Sedangkan Kelam, tampak terkekeh senang. Mungkin karena berhasil membuat wajahku yang memerah karena kesal. Tapi, kekesalanku seketika sirna ketika melihat sosok Kelabu yang tiba-tiba muncul di belakang Kelam. Ekspresi Kelabu sangat dingin dan menyeramkan. Setelahnya, aku tidak bisa menangkap apa yang terjadi dengan jelas. Tiba-tiba saja, tubuh Kelam terpelanting mengenaskan, mencium dinginnya lantai.
"Pengganggu," gumam Kelabu yang masih mampu aku dengar sebelum dia melangkah pergi. Meninggalkanku dengan Kelam yang tampak mengaduh kesakitan. Karena risih menjadi tontonan murid lain, aku memilih menyusul langkah Kelabu.
TULPA7. Rai dan Hilangnya Kelabu"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca."Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis."Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku.Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya
TULPA8. KeanehanAku termangu, duduk di bawah pohon mangga yang baru berbunga. Angin silir menerpa, membuat beberapa anak rambutku turut berkibar. Mengembuskan napas sekali lagi, sudah satu minggu sosok Kelabu menghilang. Entah ke mana dirinya pergi, membuat isi hatiku turut bersedih. Aku merasa kesepian tanpanya. Sunyi, senyap. Kehidupanku terasa seperti semula. Di mana dia? Apakah dia mulai bosan berteman denganku? Atau ada sesuatu yang terjadi dengannya? Rasa cemas dan takut akhir-akhir ini berhasil membuat jam tidurku terganggu. Terkadang, pukul dua pagi aku terbangun, terkadang aku baru bisa terlelap pada pukul dua belas malam. Rai juga beberapa kali berhasil memergokiku yang tengah melamun dan berakhir dengan godaannya. "Sedang putus cinta ya?" Godanya waktu itu. Dan hanya kubalas dengan gumaman saja. Putus cinta? Aku pun tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Yang aku tahu, aku takut kehilangan Kelabu. "Jauhin dia."Aku sontak menoleh, menatap sengit sosok Kelam yang kini
TULPA9. ImajiBruk! Aku mengembuskan napas berat. Suara tawa menggelegar. Aku hanya bergumam pelan, meratapi nasibku yang masih saja menjadi korban bullyan mereka. Mencoba mempertahankan wajah biasa-biasa saja, aku segera bangkit seraya menepuk-nepuk pelan rok sekolahku yang sedikit berdebu karena terjatuh. Kali ini aku memang berangkat sendirian. Rai dengan kurang ajarnya meninggalkanku tanpa membangunkan aku. Ya, aku bangun kesiangan karena jam alarmku rusak semalam. "Woi!"Teriakkan Rai berhasil membuat mereka yang semula tertawa senang karena aku terjatuh dengan tidak elitenya segera bungkam. Mereka langsung membubarkan diri, tidak mau berhadapan dengan sepupuku yang entah mengapa akhir-akhir menjadi superhero untuk kehidupanku yang kelam. Ngomong-ngomong soal Kelam, cowok itu semakin bertingkah aneh. Setiap kali kudapati dia diam-diam memperhatikanku dari jarak jauh. "Ra, gapapa 'Kan?" Aku mengerjap. Tersadar akan lamunan. Dengan segera aku mengangguk untuk membalas pertanyaa
TULPA10. Mimpi“Kejora....” Aku menoleh. Suara Kelabu terdengar sangat menyenangkan. Ada apa dengan Kelabu? Apakah terjadi sesuatu dengannya? "Kejora...." Rintihan itu.... "Kelabu?" Aku memanggil. Coba mencari sosoknya. Saya sendiri dibuat bingung dengan suasana yang kini berada di sekelilingku. sebuah padang rumput, dengan beribu kunang-kunang yang berterbangan ke sana kemari. Angin kecil berhembus, bersamaan dengan suara Kelabu yang kembali terdengar. Seakan-akan angin yang telah mengantarkan suara Kelabu untukku melaluinya. "Kelabu?" Suaraku meninggi. Rasa takut dan bercampur menjadi satu. Aku mulai melangkah. Mengandalkan indera pendengarku, aku mencoba mencari sumber suara Kelabu. Kedua mataku menyipit. Mencoba dengan melihat sosok yang berbaring di sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh beberapa meter di depanku. Siluet seseorang yang tengah menyandar di batang besar pohon itu. Entah mengapa, detak jantungku semakin cepat. Apa suara Kelabu yang berasal dari sana. Apakah
TULPA11. Kue Kering HarapanKutopang menggunakan kedua tanganku. Menatap keluar jendela. Siluet matahari yang mulai terbenam, menjadi titik pandanganku. Walau nyatanya, pikiranku bukan tengah mengagumi keindahan hari ini. aku menatap kedua mataku saat sapuan halus dari angin sakit saat menyapanya. Memang dengan sengaja jendela kamarku kubuka lebar, setidaknya itu bisa membuat pikiranku lebih segar. "Non, ada telepon dari nyonya," suara Bibi Sum membuatku tersadar darilamunan. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuju ke lantai pertama karena telepon rumah terletak di sana. Beberapa hari tanpa memberi kabar kepadaku, membuatku yakin mama. Apakah mama istirahat dengan baik di sana? "Halo, Bu?" Aku membuka suara. "Sayang, kepulangan mama diundur dua hari. Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan Rai? Ngomong-ngomong Bibi Sum sudah kembali bekerja bukan?" tanya mama bertubi-tubi. Aku mengangguk, walau aku tahu mama tidak akan melihatnya. "Kami baik-baik saja, Ma. Iya Bibi sudah kembali
TULPA12. Cewek Gue! Pagi ini, aku berangkat ke sekolah sendirian. Rai tiba-tiba jatuh sakit. Tadi pagi dia berkata padaku bahwa dia merasa tidak enak badan. Benar saja saat kucek, dia mengalami demam. Tidak ada sosoknya, sudah dipastikan mereka akan melakukan semena-mena lagi padaku. Ibaratnya, Rai itu adalah pengganti sosok Kelabu yang selama ini akan menjagaku saat dirundung. Sepupuku itu walau terkesan centil, dia juga memiliki sifat bar-bar dan mulut pedas. "Lihat mainan kita berangkat sendirian, Sayang." Suara itu berhasil membuat tubuhku menegang. Mencoba rileks, aku mendongak. Benar saja di kursi depan kelas duduk sepasang kekasih bullying yang selama ini sudah jarang menggangguku karena kehadiran Rai. Mencoba tidak peduli, aku mempercepat langkah. Segera melewati mereka. Tetapi, rupanya mereka sudah sangat rindu denganku sehingga tidak ingin melepaskanku begitu saja. Kucengkeram kuat, kedua tali tasku. Mencoba mengurangi rasa takut yang mulai bergelayar di tubuhku. Jangan
Tulpa13. Menghabiskan Malam [Aku sudah di depan rumahmu.]Pesan singkat yang dikirimkan Kelam kepadaku, berhasil membuat kedua bola mataku membola. Kenapa Kelam ke rumahku malam-malam begini? Dengan rasa penasaran sekaligus cemas kubalas pesan itu dengan pertanyaan. [Ngapain?]Tidak membutuhkan waktu lama, pesanku langsung terbalas. Aku menemukan dahi ketika melupakan sesuatu. Benar juga, bukankah tadi di rooftop Kelam mengatakan bahwa dia akan menjemputku untuk menonton. Entah menonton apa yang dia maksud. [Kita akan menonton.]Kutatap baca sekali lagi pesan itu. Dengan segera kuturun ke bawah, mendapati Bibi Sum yang telah membukakan pintu untuk Kelam. Bibi Sum tampak tersenyum menggoda ke arahku, aku mencoba tidak peduli. Dan langsung menghampiri Kelam. Bibi Sum memang ditugaskan untuk menemaniku dengan Rei dua puluh empat jam alias Bibi Sum menginap di rumahku karena perintah mama. Tidak seperti biasanya di mana Bibi Sum akan langsung pulang setelah selesai dengan pekerjaannya
TULPA14. Alasan yang Belum Terkuak"Aku masih bingung apa alasanmu menjadikan aku kekasihmu," celetukku membuat Kelam yang duduk di sampingku menoleh. Suara deruman montor yang sengaja dimainkan oleh para penggunanya membuat suasana ricuh. Bahkan, teriakkan para penonton, menyemangati pilihan mereka semakin membuat suasana memanas. Bahkan, tidak sedikit yang melakukan taruhan kepada pilihan masing-masing. Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Tidak pernah terlintas di kepalaku bahwa ada tempat semacam ini. Apa serunya coba? Aku dibuat bingung dengan tingkah anak remaja sekarang. Sebuah genggaman tangan membuatku kembali menoleh kepada Kelam, dia mengulas senyum tipis. "Kau akan tahu sendiri nanti."Dengan lembut dia mengusap dahiku. Membuatku memejamkan mata, menikmati perlakuan manis Kelam. Aku tidak pernah membayangkan bahwa laki-laki menyebalkan yang selama ini menjadi adu mulutku berujung menjadi kekasih. Walau aku sendiri apakah ini hanya permaina