Share

TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA
TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA
Author: Sariroh Azzah

Bab 1

Tubuh mungil itu kini terbalut kain kebaya berwarna hijau lumut. Wajah ovalnya tampak cantik setelah dipoles sedikit make-up. Senyum terpancar indah menghias bibir tipisnya. Bahagia tidak terkira Zakia rasakan kini, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, gadis cantik itu merayakan kelulusan sekolah menengah pertama.

"Cieee ... yang dapet juara umum selama tiga tahun secara berturut-turut," goda Hilda seraya mencolek dagu lancip temannya, Zakia.

Semburat rona merah jambu terlukis dengan malu-malu, Zakia tersenyum menanggapi gurauan temannya. "Alhamdulillah, ini hasil kerja kerasku selama ini, Hil. Selama ini aku percaya, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha," balasnya bangga.

Kedua gadis remaja itu tertawa bersama. Sebagai tanda perpisahan, mereka menghabiskan waktunya di belakang panggung setelah lelah bergelut dengan berbagai acara. Zakia duduk di tepi tembok pembatas koridor, sementara Hilda berdiri sambil berpangku tangan.

"Berasa disindir aku tuh," rajuk Hilda mencebik. Namun, ia tidak serius mengatakan itu.

Gadis remaja itu merasa bangga sekaligus iri karena mendapat teman seperti Zakia. Seorang Zakia terlalu sempurna untuknya. Bisa lulus dengan nilai yang sesuai minimal kriteria umum saja sudah syukur-syukur alhamdulillah. Sebab, nilai Hilda tidak sesempurna Zakia. Ia terlalu lamban dalam banyak hal. Bahkan, jika ada tugas kelompok Hilda lebih mengandalkan temannya itu.

"Gak gitu juga kali." Zakia menggeleng pelan. Ia tidak bermaksud menyinggung teman karibnya itu. Ia berkata demikian karena selama ini sudah belajar dengan tekun, tidak pernah absen jika ada kegiatan ekstrakurikuler, selalu bersedia jika dimintai tolong oleh siapa pun. Sehingga, gadis itu disukai banyak orang.

"Rencana mau kuliah di mana, Hil?" tanya Zakia seraya memainkan ponsel canggih di tangannya.

"Belum tahu nih, masih nyari-nyari yang pas. Kalau kamu?" 

Zakia bergeming. Senyum yang tadi sempat terbit perlahan surut. Binar bola mata hitam itu tampak meredup. Ada guratan kecewa yang jelas terpancar di wajah mulusnya. "Aku ... gak diizinkan lanjut ke jenjang perguruan tinggi oleh keluargaku," gumamnya lirih.

"Apa?!" Hilda membulatkan mata. Gadis yang memakai kebaya krem itu tidak habis pikir, salah dengarkah ia? Tetapi itu tidak mungkin. Jelas-jelas tadi pagi setelah mandi ia sudah membersihkan telinganya menggunakan cotton buds. Jadi, tidak mungkin jika pendengarannya yang bermasalah.

"Bukan apa-apa," kilah Zakia dengan senyum yang dipaksakan. "Oh, iya. Aku harus balik nih, ditunggu sama ayah dan bunda." Jemari lentiknya menunjuk sepasang suami-istri yang terlihat kelimpungan mencari sesuatu. Mungkin mencari Zakia yang sedari tadi asyik bercengkerama dengan Hilda di belakang panggung usai melakukan pentas seni.

"Ya udah, deh. Take care, ya!" teriak Hilda seraya melambaikan tangan.

Zakia mengangguk kemudian berlari kecil, takut membuat orang tuanya khawatir. Hari sudah beranjak petang, tidak elok bagi anak gadis terlalu lama di luar, apalagi malam sudah menjelang.

Ada aturan khusus yang sedari dulu diterapkan oleh keluarga Zakia secara turun temurun. Anak gadis dilarang keras ke luar rumah lewat dari jam lima sore, tidak boleh berteman dengan anak laki-laki apalagi pacaran, wajib dinikahkan jika usianya sudah genap delapan belas tahun. Itulah sebabnya wajah Zakia tampak murung saat ditanya oleh Hilda, ia ingin melanjutkan sekolah di mana?

Bukan tidak ingin baginya meraih cita dan cinta di masa putih abu-abu. Akan tetapi, garis keras sudah mewanti di hadapannya kini. Terlebih lagi, hari ini adalah ulang tahunnya. Gadis itu paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya mampu tertunduk pasrah, ia tidak bisa mengelak walau enggan sekali pun.

"Ayah, Bunda!" sapa Zakia sesampainya di depan aula gedung. Napas gadis itu terdengar tersengal, mungkin lelah karena habis berlari.

"Dari mana saja kamu?" tanya seorang wanita paruh baya. Wanita itu tampak sangat cantik dan awet muda. Wajahnya pun sangat mirip dengan Zakia. 

"Abis di belakang panggung, Bun. Tadi ngobrol sebentar sama Hilda."

Murni mengangguk paham. Ia sangat mengenal Hilda seperti apa, anak itu sudah sering main ke rumahnya. Setiap kali ada tugas kelompok atau hari libur, Hilda lebih memilih menyambangi rumah Zakia daripada ikut mama-papanya berlibur ke luar kota.

Sebab, Hilda tahu seperti apa kerasnya kehidupan keluarga Zakia. Terlalu banyak aturan membuat Zakia seolah-olah berada di dalam penjara. Namun, gadis itu tidak tahu bahwa Zakia akan dinikahkan jika usianya sudah genap delapan belas tahun dengan lelaki pilihan keluarganya. Bukan, lebih tepatnya pilihan neneknya.

"Sudah 'kan, mainnya? Yuk, pulang," ajak Murni lemah lembut. Zakia menunduk manut, sedangkan pria setengah abad di samping Murni hanya bertingkah layaknya robot. Tidak banyak berucap, lebih cenderung pendiam dan penurut.

Hal itu mungkin terdengar aneh di kalangan masyarakat, tetapi tidak di kalangan keluarga besar Murni. Hal itu sangatlah lazim. Karena sejak zaman nenek moyang mereka sudah begitu. Ada hal rahasia yang tak diketahui publik, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Salah satunya adalah Murni, karena ia sudah mengalaminya sendiri.

Kini ketiganya sudah berada di dalam mobil sedan berwarna silver. Sejenak keheningan tercipta, Murni larut dalam pikirannya yang entah ada di mana. Sedangkan Hardi, suami Murni, memilih fokus pada jalanan yang ramai dipadati pengendara.

"Sayang, nanti jangan kaget, ya? Kalau sudah sampai di rumah," ujar Murni berbisik di telinga Zakia.

"Hmm ...." Zakia bergumam pelan dengan napas lelah, gadis itu memejam saat musik degung diputar keras oleh Hardi.

Entah kenapa selera musik mereka sangat aneh dan kuno. Padahal, ada banyak sekali jenis musik yang dapat dinikmati setiap hari, dibandingkan dengan musik degung yang terdengar kolot dan membosankan. Biasanya musik ini diputar pada saat acara hajatan atau acara-acara tertentu seperti pentas seni; tari jaipong, pewayangan dan semacamnya. Entahlah. Keluarga itu memang sedikit aneh.

"Lingsir wengi ...."

"Loh, aku ada di mana?"

Gadis itu menggaruk tengkuk leher dengan tatapan heran. Aneh saja. Padahal, tadi ia hanya memejam karena bosan mendengar musik degung, lalu sayup-sayup terdengar suara seorang wanita bersenandung. Namun, saat membuka mata ia malah berada di tempat asing.

"Ayah ... Bunda?" Zakia tampak celingukan dengan wajah bingung. Ia mendapati dirinya ada di sebuah hutan pinus yang dipenuhi kabut asap tebal. Semuanya tampak gelap, tetapi samar-samar gadis itu datap menangkap sesosok wanita tengah menari di kejauhan dengan gemulai seraya bersenandung, "Lingsir wengi ... dadiyo sebarang ...."

Rasa penasaran yang membuncah membuat Zakia berjalan pelan menyusuri gelapnya malam. Dersik daun kering yang gadis itu injak memecah keheningan. Tepat setelah kakinya melangkah di hitungan ketiga, sosok perempuan itu berbalik seraya menyeringai licik. Sosok itu tampak menyeramkan dengan mata membusuk, tubuhnya sedikit bengkok dengan rahang yang sudah rusak.

Sosok perempuan itu perlahan mendekat dengan kaki setengah diseret, membuat Zakia membelalak terkejut. Tubuh gadis itu membeku di tempat. Zakia hendak menjerit, tetapi suaranya tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Debaran jantung gadis itu terdengar memburu saat selendang merah menyala yang dikenakan sosok itu mulai melilit lehernya.

"Ukh ...." Napas Zaskia mulai tersengal. Ia berusaha keras melepas kain merah berbau anyir di lehernya, tetapi nihil. Kain itu makin mejerat lehernya dengan kuat. "Le-pas-kan ...."

"Aarrgghh!" Teriakan memilukan menggema di udara. Gadis itu mengejang, perlahan mata lentiknya terpejam seiring dengan tubuh yang melayang di udara. Ia hampir mati kehabisan napas. Rasa sakit yang amat menyiksa membuatnya tak berdaya.

"Gadis yang malang ... matilah bersamaku," lirih sosok itu, tetapi sangat menyayat telinga. "Hihihi ...!"

Tawa cekikikan sosok itu terdengar melengking terbawa sapuan angin. Tampak lidahnya menjulur panjang berwarna hijau dan berbau busuk, sangat menyengat. Sosok itu menjilati tubuh Zakia penuh minat. "Bau tubuhmu enak sekali. Santapan yang lezat."

"Tidaaak ...!"

Zakia bangkit dari tidurnya dengan napas terengah-engah, seperti habis lari maraton sebanyak sepuluh putaran. Keringat dingin membanjiri wajah cantiknya. Dengan gerakan cepat ia meraba lehernya yang terasa sakit.

"Ah, rupanya cuma mimpi." Ada sedikit kelegaan yang terdengar dari helaan napasnya yang memburu.

Ia menatap ayah dan bundanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing di kursi depan, sementara dirinya tengah berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup cepat. "Mimpi apa itu? Kenapa rasanya terasa nyata? Padahal aku cuman tidur sebentar aja," gumamnya bermonolog.

"Sayang, kamu kenapa?" Murni yang sudah bersiap membuka seat belt berbalik dengan alis bertaut. Pasalnya teriakan Zakia terdengar memilukan. Terlebih lagi raut wajah gadis itu terlihat sangat ketakutan. "Are you okay, Dear?" tanyanya memastikan.

Zakia yang masih berusaha menenangkan degup jantungnya itu lantas mendongak, lalu menggeleng dengan seulas senyum penuh keraguan. "Eng-gak kok, Bunda ... aku cuma kecapekan aja," jawabnya berbohong.

Hardi yang sedari tadi diam memperhatikan pun akhirnya melirik Zaskia yang terduduk lesu di kursi belakang melalui kaca spion dengan bibir menyeringai. Tatapan lelaki itu tampak tajam. Dengan ekspresi datar lelaki setengah abad itu berucap, "Kita sudah sampai, Sayang. Ayo turun."

Bersambung!

Halo, semuanya. kenalin namaku Sariroh Azzah. Semoga kalian suka dengan cerita Darah Sang Dara. Sekadar info, bahwa sebenarnya novel ini sudah terbit. Tapi setelah mendapat saran dari pihak GN, ada sedikit revisi mengenai nama dan usia tokoh. Demikian juga dengan adegan yang tidak ada di novel. Terima kasih sudah mamir>.<

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status