Semilir angin pagi berembus meraba dinding kulit hingga ke tulang. Zakia terduduk di tepi jendela sambil menatap luasnya hamparan kebun yang mengelilingi rumahnya. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat first kiss-nya dirampas tanpa perasaan cinta.
Tangan mungil itu tidak henti-hentinya memainkan bibir merah muda alaminya. Sedari semalam ia berusaha menghapus jejak Arga di sana, tetapi rasanya percuma saja. Sebab, bayangan mengerikan itu terus-menerus terlintas di kepalanya.
"Ughh ... menjijikkan!" Zakia meracau tidak jelas seraya menampar bibirnya sendiri cukup keras. Sungguh, bayangan semalam membuat dirinya sangat ingin hilang ingatan.
Bagaimana mungkin ciuman pertamanya dirampas dengan semudah itu. Ia dapat mengingat dengan jelas bagaimana deru napas lelaki itu semalam. Permainan menjijikan yang anehnya membuat sekujur tubuh Zakia dijalari perasaan panas membara. Entah, ia sendiri tidak tahu perasaan apakah itu.
"Huwaa ... kurang ajar! Brengsek! Menyebalkan!" umpatnya memaki Arga. "Sial, sial, sial!"
Murni yang sedari tadi diam memperhatikan di daun pintu pun segera berlari dengan tergopoh-gopoh, lantas mencekal tangan Zakia agar tak melukai dirinya sendiri.
“Sayang, apa yang kamu lakukan?” tanyanya menginterupsi.
Murni menangkup kedua pipi Zakia dengan lembut, menghapus air mata yang jatuh di pipi putri semata wayangnya. Lalu, ia lekas membawa Zakia ke dalam pelukannya. "Calm down, Girl. Jangan panik. Berhenti melukai diri sendiri, oke?" bujuknya menenangkan.
“Bu-Bunda, dia ....” Zakia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Bibir gadis itu bergetar sampai-sampai tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. "D-dia ...," lirihnya tergagap-gagap.
Murni bergeming dengan tatapan iba. Ia tahu apa yang dimaksud Zakia. Karena semalam ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri atas apa yang diperbuat Arga semalam. Akan tetapi, ia jelas tahu bahwa pemuda yang berhasil mencuri first kiss putri semata wayangnya itu dikendalikan sesosok bayangan hitam seperti kabut tebal yang menggumpal. Jadi, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Arga.
“Iya, Sayang, bunda ngerti. Tolong maafin bunda, ya? Karena bunda gak bisa nolong kamu semalam.” Tangan Murni mengelus lembut surai hitam putrinya yang diikat sembarang.
“Bunda tahu?” Zakia mendongak dengan tatapan mendelik, lantas menatap wajah ibunya lekat-lekat. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa ia menuntut jawaban. Perkataan ibunya telah berhasil membuatnya penasaran.
“Iya, Sayang. Bukan Arga yang bunda lihat semalam, tapi sosok lain,” lirihnya dengan pandangan kosong.
Mata bukat Zakia seketika melotot tidak percaya. Tidak mungkin! Ia tidak mungkin salah dengar. “So-sosok apa, Bunda?” tanyanya memastikan. Ada raut ketakutan yang jelas terpancar di wajah kedua wanita itu.
Murni melengos sambil membuang napas. Tidak seharusnya ia berterus terang pada gadis cantik itu. Pasalnya, sepasang mata tampak mengawasi di sudut ruangan, membuat Murni tidak dapat berkutik. Wanita itu berdeham, lantas menangkup wajah oval Zakia dan mengecup keningnya singkat.
“Sayang, bersiap-siaplah. Kamu sudah ditunggu nenek di bawah. Gih, mandi. Bunda mau menyiapkan sarapan dulu,” kata Murni seraya berlalu meninggalkan kamar Zakia.
Zakia membeku di tempat. Ia menatap punggung ibunya lekat-lekat hingga hilang ditelan pintu. Kemudian, tubuh gadis itu luruh di lantai. Dengan tangan gemetar, ia menutup wajah saat mendapati sepasang mata tengah mengawasinya dengan tatapan tajam.
“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa?!” erangnya frustrasi.
Bahu gadis itu tampak bergetar. Antara kesal dan takut, Zakia tidak berani mendongak. Kepala gadis itu tertunduk setelah merasakan ada aura yang sangat mencekam. Ia tahu, ada sosok lain di kamarnya setelah kepergian Murni. Sekilas. Ia hanya melihatnya sekilas. Sosok itu mengintip di balik pintu dengan tatapan merah menyala, bak benteng yang siap menubruk mangsanya.
Zakia semakin sesenggukan. Ia menumpahkan segala kekesalannya melalui tangisan, berharap sesak yang menghunjam dadanya mulai sirna.
Masih enggan untuk beranjak, gadis itu duduk di lantai sambil memeluk lutut. Di depannya ada kasur, sedangkan di belakannya adalah jendela. Di sebelah sana ada kamar mandi, lalu dekat lemari pakaian ada sebuah ruangan.
Tak berselang lama, Zakia mendongak saat mendengar suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Pintu pun terbuka, tampaklah Hardi tengah menatapnya dengan tajam. “Sayang, mau mandi sendiri atau dimandikan?” Suara bariton itu membuat Zaskia bergidik ngeri. Figur ayah yang seharusnya ia junjung tinggi, malah ia benci setengah mati.
'Menyedihkan sekali hidupku ini.'
“Ti-tidak!” bantah Zakia cepat, lalu menunduk takut. Selalu saja begitu. Tatapan Hardi benar-benar sangat mengintimidasi.
Gadis itu menelan ludah yang tercekat di kerongkongannya. Andai ia bisa melawan, sudah pasti sedari dulu ia akan berontak dan lari dari kenyataan. Hidup di Keluarga Rukmini, ia tak ubahnya pion catur yang kerap dijadikan umpan. Benar-benar mengesalkan.
“Kalau begitu, segeralah bersiap. Kami menunggumu di bawah,” kata Hardi memperingatkan. Tatapan dingin yang lelaki setengah abad itu layangkan seolah-olah tengah mengancam.
Zakia yang terduduk lemas di lantai pun lekas berdiri, setelah sebelumnya mencari pegangan agar tidak terjatuh lagi.
Pintu ditutup cukup keras oleh Hardi, menyisakan berdebum yang memekakkan telinga, membuat Zakia muak dengan semua ini. Persetan dengan tradisi keluarga, atau apa pun itu namanya. Ia sudah seperti narapidana, sementara rumah mewah itu ibarat penjara. Ia tidak memiliki kebebasan apa pun di sana. Setiap kali hendak pergi ke luar, ia akan diantarkan oleh sopir dan dikawal oleh seorang bodyguard. Katanya untuk melindungi, tetapi nyatanya malah membuat Zakia risi.
Gadis itu mendengkus kasar, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air mata yang menyusut membuat wajahnya terasa lengket. Mata gadis itu pun sudah cukup sembap karena kebanyakan menangis.
Usai mandi dan mengenakan dress peace selutut, Zakia sampai di ruang makan jam tujuh lewat tiga puluh menit. Tampak Hardi dan Rukmini sedang menatapnya tajam, sedangkan Murni menunduk dalam. Entah apa yang terjadi saat dirinya tengah bersiap di atas tadi. Sampai-sampai atmosfer di ruangan itu terasa sangat mencekam.
Terdengar derit kursi yang digeser. Zakia duduk berseberangan dengan Rukmini, sementara ayah dan ibunya duduk bersisian. Meja makan yang panjangnya tiga meter itu hanya diisi oleh empat kepala saja. Dengan jamuan menu makan yang bisa dibilang cukup mewah dan lengkap.
“Zakia, kamu tahu kesalahan apa yang sudah kamu perbuat?”
Suara lirih Rukmini terdengar menginterogasi, membuat gadis remaja yang baru saja kedatangan tamu bulanan itu mengernyit heran. Pasalnya, ia tak mengerti maksud dari ucapan neneknya. Segelas susu hangat dalam genggaman urung diteguknya. “A-pa, Nek?” tanyanya gagap.
“Kamu terus saja mengumpat! Apa yang ingin kamu lakukan? Membuat para leluhur murka. Iya?!” bentak Rukmini seraya menggebrak meja. Sendok dan garpu terdengar berdenting saat beradu dengan piring.
Pagi ini awan kembali mendung, enggan menampakkan seberkas cahaya mentari. Para pelayan yang berlalu-langlang pun tampak terkejut melihat amarah Rukmini hanya karena hal sepele.
“Kenapa?” Suara Zaskia terdengar bergetar. “Kenapa gak boleh mengumpat. Apa yang salah dengan itu? Apa anak gadis di Keluarga Rukmini juga dilarang untuk meluapkan amarahnya sendiri? Apa aku harus terus tersenyum dan pura-pura tuli? Pura-pura bahagia? Sebenarnya apa mau kalian? Aku bahkan tak diberikan sedikit pun kebebasan untuk berekspresi!”
Pagi itu, tumpah sudah semua unek-unek yang hampir membuat kepala Zakia pecah. Gadis cantik itu berdiri, lantas berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Pagi itu, meski nyanyian para cacing terdengar nyaring, gadis yang memiliki tahi lalat di dagu itu enggan mengisi perutnya dengan sesuap nasi. Persetan jika ia akan sakit, bahkan bila mati pun itu terdengar lebih baik.
“Anak itu benar-benar!” Rukmini tampak mengepalkan tangannya, terdengar gemeletuk gigi saling beradu dengan geram. "Sangat keras kepala!" gerutunya.
“Bu, aku mohon beri Zakia sedikit waktu. Dia masih terlalu dini. Apakah Ibu tak berniat berhenti bermain-main dengan mereka? Sadarlah, Bu, kita sudah terlampau jauh dari ajaran-Nya. Bu, aku mohon berhenti menyembah para iblis itu!”
Kali ini, Murni pun ikut bersuara. Ia sudah tidak tahan dengan segala kekacauan yang ada. Hidup dengan harta yang berlimpah tak bisa membuatnya bahagia. Karena bagaimanapun, kekayaan ini hanyalah fatamorgana.
Kegaduhan pagi itu telah merusak suasana. Mencekam. Semua tatapan mata yang beradu melemparkan sinyal permusuhan. Murni teramat lelah jika setiap malam Jumat harus melayani ‘mereka’. Entahlah. Ia hanya tidak ingin Zakia mengalami hal serupa dengan dirinya.
“Heh! Tahu apa kamu? Tanpa mereka, kejayaan Keluarga Rukmini tak akan pernah ada! Tanpa mereka, kamu gak akan terlahir ke dunia! Dan tanpa mereka ... kita tidak akan pernah merasakan apa itu gelimang harta.” Di akhir kalimat, nada suara Rukmini mulai melemah. Wanita yang hari-harinya bermain dengan mantra dan bunga kembang tujuh rupa itu mengusap kasar wajah keriputnya. Lalu terkekeh sumbang.
Dulu, ia terkenal dengan julukan ‘Kembang Desa’ sampai usianya menginjak kepala lima. Kini, kecantikan itu tidak lagi didapatnya. Mantra dan ajian yang selalu ia lafalkan tak lagi berguna. Itu karena ia pernah berhenti untuk sesaat, mencoba berhenti dan keluar dari lingkaran setan. Akan tetapi, semua itu percuma saja ia lakukan. Pada akhirnya, Rukmini kembali memuja iblis untuk mendapatkan kejayaan. Semua pujian itu tak lain ia dapatkan dengan cara yang salah. Sesat! Begitu Murni menyebutnya.
“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa