Share

Bab 3

Semilir angin pagi berembus meraba dinding kulit hingga ke tulang. Zakia terduduk di tepi jendela sambil menatap luasnya hamparan kebun yang mengelilingi rumahnya. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat first kiss-nya dirampas tanpa perasaan cinta.

Tangan mungil itu tidak henti-hentinya memainkan bibir merah muda alaminya. Sedari semalam ia berusaha menghapus jejak Arga di sana, tetapi rasanya percuma saja. Sebab, bayangan mengerikan itu terus-menerus terlintas di kepalanya.

"Ughh ... menjijikkan!" Zakia meracau tidak jelas seraya menampar bibirnya sendiri cukup keras. Sungguh, bayangan semalam membuat dirinya sangat ingin hilang ingatan.

Bagaimana mungkin ciuman pertamanya dirampas dengan semudah itu. Ia dapat mengingat dengan jelas bagaimana deru napas lelaki itu semalam. Permainan menjijikan yang anehnya membuat sekujur tubuh Zakia dijalari perasaan panas membara. Entah, ia sendiri tidak tahu perasaan apakah itu.

"Huwaa ... kurang ajar! Brengsek! Menyebalkan!" umpatnya memaki Arga. "Sial, sial, sial!"

Murni yang sedari tadi diam memperhatikan di daun pintu pun segera berlari dengan tergopoh-gopoh, lantas mencekal tangan Zakia agar tak melukai dirinya sendiri.

“Sayang, apa yang kamu lakukan?” tanyanya menginterupsi.

Murni menangkup kedua pipi Zakia dengan lembut, menghapus air mata yang jatuh di pipi putri semata wayangnya. Lalu, ia lekas membawa Zakia ke dalam pelukannya. "Calm down, Girl. Jangan panik. Berhenti melukai diri sendiri, oke?" bujuknya menenangkan.

“Bu-Bunda, dia ....” Zakia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Bibir gadis itu bergetar sampai-sampai tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. "D-dia ...," lirihnya tergagap-gagap.

Murni bergeming dengan tatapan iba. Ia tahu apa yang dimaksud Zakia. Karena semalam ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri atas apa yang diperbuat Arga semalam. Akan tetapi, ia jelas tahu bahwa pemuda yang berhasil mencuri first kiss putri semata wayangnya itu dikendalikan sesosok bayangan hitam seperti kabut tebal yang menggumpal. Jadi, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Arga.

“Iya, Sayang, bunda ngerti. Tolong maafin bunda, ya? Karena bunda gak bisa nolong kamu semalam.” Tangan Murni mengelus lembut surai hitam putrinya yang diikat sembarang.

“Bunda tahu?” Zakia mendongak dengan tatapan mendelik, lantas menatap wajah ibunya lekat-lekat. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa ia menuntut jawaban. Perkataan ibunya telah berhasil membuatnya penasaran.

“Iya, Sayang. Bukan Arga yang bunda lihat semalam, tapi sosok lain,” lirihnya dengan pandangan kosong.

Mata bukat Zakia seketika melotot tidak percaya. Tidak mungkin! Ia tidak mungkin salah dengar. “So-sosok apa, Bunda?” tanyanya memastikan. Ada raut ketakutan yang jelas terpancar di wajah kedua wanita itu.

Murni melengos sambil membuang napas. Tidak seharusnya ia berterus terang pada gadis cantik itu. Pasalnya, sepasang mata tampak mengawasi di sudut ruangan, membuat Murni tidak dapat berkutik. Wanita itu berdeham, lantas menangkup wajah oval Zakia dan mengecup keningnya singkat.

“Sayang, bersiap-siaplah. Kamu sudah ditunggu nenek di bawah. Gih, mandi. Bunda mau menyiapkan sarapan dulu,” kata Murni seraya berlalu meninggalkan kamar Zakia.

Zakia membeku di tempat. Ia menatap punggung ibunya lekat-lekat hingga hilang ditelan pintu. Kemudian, tubuh gadis itu luruh di lantai. Dengan tangan gemetar, ia menutup wajah saat mendapati sepasang mata tengah mengawasinya dengan tatapan tajam.

“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa?!” erangnya frustrasi.

Bahu gadis itu tampak bergetar. Antara kesal dan takut, Zakia tidak berani mendongak. Kepala gadis itu tertunduk setelah merasakan ada aura yang sangat mencekam. Ia tahu, ada sosok lain di kamarnya setelah kepergian Murni. Sekilas. Ia hanya melihatnya sekilas. Sosok itu mengintip di balik pintu dengan tatapan merah menyala, bak benteng yang siap menubruk mangsanya.

Zakia semakin sesenggukan. Ia menumpahkan segala kekesalannya melalui tangisan, berharap sesak yang menghunjam dadanya mulai sirna.

Masih enggan untuk beranjak, gadis itu duduk di lantai sambil memeluk lutut. Di depannya ada kasur, sedangkan di belakannya adalah jendela. Di sebelah sana ada kamar mandi, lalu dekat lemari pakaian ada sebuah ruangan.

Tak berselang lama, Zakia mendongak saat mendengar suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Pintu pun terbuka, tampaklah Hardi tengah menatapnya dengan tajam. “Sayang, mau mandi sendiri atau dimandikan?” Suara bariton itu membuat Zaskia bergidik ngeri. Figur ayah yang seharusnya ia junjung tinggi, malah ia benci setengah mati.

'Menyedihkan sekali hidupku ini.'

“Ti-tidak!” bantah Zakia cepat, lalu menunduk takut. Selalu saja begitu. Tatapan Hardi benar-benar sangat mengintimidasi.

Gadis itu menelan ludah yang tercekat di kerongkongannya. Andai ia bisa melawan, sudah pasti sedari dulu ia akan berontak dan lari dari kenyataan. Hidup di Keluarga Rukmini, ia tak ubahnya pion catur yang kerap dijadikan umpan. Benar-benar mengesalkan.

“Kalau begitu, segeralah bersiap. Kami menunggumu di bawah,” kata Hardi memperingatkan. Tatapan dingin yang lelaki setengah abad itu layangkan seolah-olah tengah mengancam.

Zakia yang terduduk lemas di lantai pun lekas berdiri, setelah sebelumnya mencari pegangan agar tidak terjatuh lagi. 

Pintu ditutup cukup keras oleh Hardi, menyisakan berdebum yang memekakkan telinga, membuat Zakia muak dengan semua ini. Persetan dengan tradisi keluarga, atau apa pun itu namanya. Ia sudah seperti narapidana, sementara rumah mewah itu ibarat penjara. Ia tidak memiliki kebebasan apa pun di sana. Setiap kali hendak pergi ke luar, ia akan diantarkan oleh sopir dan dikawal oleh seorang bodyguard. Katanya untuk melindungi, tetapi nyatanya malah membuat Zakia risi. 

Gadis itu mendengkus kasar, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air mata yang menyusut membuat wajahnya terasa lengket. Mata gadis itu pun sudah cukup sembap karena kebanyakan menangis.

Usai mandi dan mengenakan dress peace selutut, Zakia sampai di ruang makan jam tujuh lewat tiga puluh menit. Tampak Hardi dan Rukmini sedang menatapnya tajam, sedangkan Murni menunduk dalam. Entah apa yang terjadi saat dirinya tengah bersiap di atas tadi. Sampai-sampai atmosfer di ruangan itu terasa sangat mencekam.

Terdengar derit kursi yang digeser. Zakia duduk berseberangan dengan Rukmini, sementara ayah dan ibunya duduk bersisian. Meja makan yang panjangnya tiga meter itu hanya diisi oleh empat kepala saja. Dengan jamuan menu makan yang bisa dibilang cukup mewah dan lengkap.

“Zakia, kamu tahu kesalahan apa yang sudah kamu perbuat?” 

Suara lirih Rukmini terdengar menginterogasi, membuat gadis remaja yang baru saja kedatangan tamu bulanan itu mengernyit heran. Pasalnya, ia tak mengerti maksud dari ucapan neneknya. Segelas susu hangat dalam genggaman urung diteguknya. “A-pa, Nek?” tanyanya gagap.

“Kamu terus saja mengumpat! Apa yang ingin kamu lakukan? Membuat para leluhur murka. Iya?!” bentak Rukmini seraya menggebrak meja. Sendok dan garpu terdengar berdenting saat beradu dengan piring. 

Pagi ini awan kembali mendung, enggan menampakkan seberkas cahaya mentari. Para pelayan yang berlalu-langlang pun tampak terkejut melihat amarah Rukmini hanya karena hal sepele. 

“Kenapa?” Suara Zaskia terdengar bergetar. “Kenapa gak boleh mengumpat. Apa yang salah dengan itu? Apa anak gadis di Keluarga Rukmini juga dilarang untuk meluapkan amarahnya sendiri? Apa aku harus terus tersenyum dan pura-pura tuli? Pura-pura bahagia? Sebenarnya apa mau kalian? Aku bahkan tak diberikan sedikit pun kebebasan untuk berekspresi!”

Pagi itu, tumpah sudah semua unek-unek yang hampir membuat kepala Zakia pecah. Gadis cantik itu berdiri, lantas berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Pagi itu, meski nyanyian para cacing terdengar nyaring, gadis yang memiliki tahi lalat di dagu itu enggan mengisi perutnya dengan sesuap nasi. Persetan jika ia akan sakit, bahkan bila mati pun itu terdengar lebih baik.

“Anak itu benar-benar!” Rukmini tampak mengepalkan tangannya, terdengar gemeletuk gigi saling beradu dengan geram. "Sangat keras kepala!" gerutunya.

“Bu, aku mohon beri Zakia sedikit waktu. Dia masih terlalu dini. Apakah Ibu tak berniat berhenti bermain-main dengan mereka? Sadarlah, Bu, kita sudah terlampau jauh dari ajaran-Nya. Bu, aku mohon berhenti menyembah para iblis itu!”

Kali ini, Murni pun ikut bersuara. Ia sudah tidak tahan dengan segala kekacauan yang ada. Hidup dengan harta yang berlimpah tak bisa membuatnya bahagia. Karena bagaimanapun, kekayaan ini hanyalah fatamorgana.

Kegaduhan pagi itu telah merusak suasana. Mencekam. Semua tatapan mata yang beradu melemparkan sinyal permusuhan. Murni teramat lelah jika setiap malam Jumat harus melayani ‘mereka’. Entahlah. Ia hanya tidak ingin Zakia mengalami hal serupa dengan dirinya.

“Heh! Tahu apa kamu? Tanpa mereka, kejayaan Keluarga Rukmini tak akan pernah ada! Tanpa mereka, kamu gak akan terlahir ke dunia! Dan tanpa mereka ... kita tidak akan pernah merasakan apa itu gelimang harta.” Di akhir kalimat, nada suara Rukmini mulai melemah. Wanita yang hari-harinya bermain dengan mantra dan bunga kembang tujuh rupa itu mengusap kasar wajah keriputnya. Lalu terkekeh sumbang.

Dulu, ia terkenal dengan julukan ‘Kembang Desa’ sampai usianya menginjak kepala lima. Kini, kecantikan itu tidak lagi didapatnya. Mantra dan ajian yang selalu ia lafalkan tak lagi berguna. Itu karena ia pernah berhenti untuk sesaat, mencoba berhenti dan keluar dari lingkaran setan. Akan tetapi, semua itu percuma saja ia lakukan. Pada akhirnya, Rukmini kembali memuja iblis untuk mendapatkan kejayaan. Semua pujian itu tak lain ia dapatkan dengan cara yang salah. Sesat! Begitu Murni menyebutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status