Share

Bab 4

"Sayang, tolong buka pintunya. Sarapan dulu, yuk!" 

Sudah tiga puluh menit Murni berdiri di depan pintu bercat putih itu. Namun, ia tak mendapati sahutan dari dalam. Zakia sudah merajuk sejak dua jam yang lalu. Wanita itu mendesah berat dengan tangan memegang nampan berisi susu dan roti berlapis selai cokelat, kesukaan putri semata wayangnya.

Pintu terus saja diketuk dengan lembut, membuat wanita berambut sebahu itu dirundung cemas. Ia hanya takut Zakia kenapa-kenapa di dalam. Apalagi jika mengingat riwayat mag yang diderita gadis remaja itu.

"Bi Ijah, tolong kemari sebentar." Murni memanggil wanita yang berkisar lima puluh tahun. Wanita itu tidak sengaja melewati kamar Zakia hendak turun, setelah membersihkan kamar di ujung ruangan.

"Iya, Nya, ada apa?" Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, lantas menunduk hormat. Tampak wajahnya sudah dipenuhi keriput dengan raut lelah.

"Tolong pegang ini, pastikan Zakia memakannya. Saya mau ke bawah sebentar."

Murni menyerahkan nampan berwarna cokelat itu kepada Bi Ijah, sementara dirinya berlalu ke bawah. Wanita itu sudah tidak tahan membiarkan putrinya merajuk terlalu lama. Satu-satunya cara ampuh untuk membujuk Zakia agar mau membuka pintu adalah dengan memanggil Hilda. 

Zakia yang terduduk meringkuk di belakang pintu menangis tersedu-sedu. Ia membenamkan wajahnya di balik lipatan tangan yang berpangku pada lutut. Matanya tampak sembap.

Gadis itu menatap kamarnya yang tampak luas dan lengang dengan tatapan kosong. Ada kekecewaan yang jelas terpancar dari sorot matanya. Ia sudah sangat lelah menghadapi tingkah Rukmini yang selalu seenaknya sendiri. Zakia mengabaikan teriakan orang-orang yang memanggilnya di luar.

"Zakia ...."

Samar dan lirih, Zakia mendengar suara seseorang menyerukan namanya. Suara itu terdengar seperti berbisik di telinga. Zakia dapat merasakan desir angin yang berembus dingin. Gadis itu bergidik sambil meraba tengkuknya. Lalu, ia pun menengadah menatap sekitar dengan alis bertaut.

Aneh. Padahal, di ruangan bernuansa biru langit itu tidak ada siapa-siapa. Namun, Zakia dapat merasakan ada aura lain di kamarnya, entah milik siapa. Aura itu terasa kuat sampai-sampai ia bergidik takut.

"Si-siapa?" tanyanya celingukan, guna memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Kemarilah, Nak ...."

"Siapa kamu?!" Zakia menutup kedua telinganya dengan tangan gemetar, berusaha menghalau suara-suara yang berulang kali memanggil dirinya. Takut, itulah yang dirasakan oleh Zakia saat ini.

"Di sini ...."

Seketika mata indah itu membeliak sempurna. Tatapannya tertuju kepada sesosok wanita bergaun putih yang tengah membelakanginya menghadap jendela. Embusan angin sepoi-sepoi menerbangkan gorden abu-abu, membuat Zakia tidak dapat memastikan rupa sosok itu.

"Siapa kamu?!" tanya Zaskia sekali lagi.

Tanpa menjawab pertanyaan Zakia, sosok itu berjalan menuju arah samping. Gadis cantik itu dengan gugup berusaha mendekati secara perlahan, saat rasa takut sekaligus penasaran menghampiri di waktu bersamaan.

Langkah gadis remaja itu seketika terhenti saat melihat sosok itu menembus dinding kaca yang menghubungkan antara kamar dan ruang belajar miliknya. Di sana terdapat sebuah cermin usang yang terpajang di dinding, menghiasi ruangan. Zakia berjalan menghampiri cermin itu, lalu mengusapnya pelan. Tampak debu tebal mengotori jemari lentiknya.

Sesaat ia bergeming kala mendapati bayangan dirinya yang tampak kacau di cermin. Lalu, dalam sekejap gadis itu terperanjat dengan mata melotot, dan jantungnya bertalu dengan cepat saat melihat pantulan sosok wanita itu di cermin, tengah berdiri di sudut ruangan sebelah jendela.

Sosok itu bergaun putih dengan surai hitam panjang yang menutupi seluruh wajahnya, sehingga Zakia tidak dapat memastikan rupa sosok itu seperti apa. Satu hal yang pasti, ia dapat merasakan aura sosok itu sangatlah kuat.

Gadis penyuka lagu melonkolis itu mematung di tempat saat jantungnya kian berdebar dengan cepat. Sesaat ia memutar tubuhnya untuk menatap meja belajar dan rak buku yang tertata dengan rapi, tetapi sosok itu tidak ditemukan di sudut mana pun. Bahkan di sudut jendela yang sempat ia lihat di cermin. 

Zakia menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin mulai membasahi wajah cantiknya. Ia mengepalkan tangan seraya meyakinkan diri sendiri untuk kembali menatap cermin, tetapi tiba-tiba sosok itu muncul di depannya dengan mata melotot.

"Aaaa ...!" jerit Zakia histeris.

Begitu mendengar pekikan dari dalam, buru-buru Bi Ijah menggedor pintu kamar nona mudanya secara brutal. Ia sangat khawatir akan terjadi sesuatu kepada Zakia di dalam. Terlebih lagi, ia tahu bahwa Zakia telah melanggar aturan yang ditetapkan Rukmini. 

"Non Kia, apakah Nona baik-baik saja di dalam? Tolong jawab bibi, Non!" teriak Bi Ijah panik. Namun, tak ada sahutan dari dalam.

Wanita bertubuh gempal itu seketika menggigit kuku ibu jari dengan keringat dingin yang bercucuran memenuhi pelipisnya. Ia benar-benar mencemaskan keadaan Zakia.

"Non, tolong buka pintunya, Non!" Bi Ijah menggedor pintu yang menjulang itu secara terus-menerus. Namun, sia-sia. Zakia sama sekali tak menggubris teriakannya.

"Bi Ijah, apa yang terjadi?" Murni bertanya dengan napas terengah-engah setelah berlari menaiki tangga dengan tergopoh-gopoh. Teriakan bernada panik dari Bi Ijah sangat kencang sampai-sampai terdengar ke bawah, membuat ia kalang kabut mengkhawatirkan putrinya 

"A-anu, Nya ... tiba-tiba Non Kia berteriak histeris dari dalam. Bibi khawatir terjadi sesuatu padanya," terang Bi Ijah takut. Keriput di wajah wanita gempal itu terlihat sangat jelas saat keningnya bertaut. Resah dirasakannya, mengingat Zakia sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

"Ya ampun ...." Hilda yang baru saja tiba setelah mendapat panggilan dari Murni secara mendadak itu menutup mulut yang menganga dengan kedua tangan. Ia bahkan belum mandi sama sekali, saking khawatirnya dengan aksi mogok makan temannya itu. "Kenapa bisa sampai begini," gumamnya bingung.

"Sayang, kamu dengar bunda, 'kan? Tolong buka pintunya. Are you okay, Dear?"

Sabar, itulah Murni. Meski terkadang sikap Zakia terlihat sangat kekanak-kanakan, tetapi ia tetap menyayangi putrinya dengan sepenuh hati. Bagaimanapun, ia melahirkan Zakia dengan penuh perjuangan. Telah banyak cobaan yang ia lalui saat mengandung gadis remaja itu. Cobaan itu berasal dari gangguan makhluk gaib yang menginginkan janinnya untuk santapan mereka.

Lahirnya seorang anak dalam bahtera rumah tangga adalah suatu anugerah yang selalu dinantikan kehadirannya oleh setiap pasangan. Walau dari awal ia menikah dengan Hardi tanpa berlandaskan cinta, hingga kini. Besar harapan Murni kepada Zakia, karena ia sangat yakin kehadiran putrinya akan membawa suatu perubahan yang sangat besar. 

Tidak peduli sebanyak apa ranjau yang siap menghadangnya nanti. Karena ia tahu seberapa besar konsekuensi itu. Kembali hidup dengan normal, itu adalah impiannya sejak lama. Ia sudah muak dan tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Ia ingin hidup dengan damai walau tak bergelimang harta.

"Bi, kita masih ada kunci cadangan, 'kan?" tanya Murni kepada Bi Ijah.

Berdiri saja di depan pintu dan berteriak seperti orang gila itu hal percuma. Berharap Zakia akan membukakan pintu itu hanya angan semata. Gadis itu kalau sudah merajuk memang sulit dibujuk. 

"A-ada, Nya. Sebentar, bibi ambilkan dulu," kata Bi Ijah seraya berlalu dengan tergopoh-gopoh.

Sementara Bi Ijah mengambilkan kunci, kali ini giliran Hilda yang beraksi. Gadis itu menghela napas dalam sebelum akhirnya berteriak lantang. "Zakia, ini aku, Hilda. Tolong bukakan pintunya!"

Bahkan, pawangnya pun dibuat terheran-heran. Tidak biasanya Zakia begini. Hilda adalah orang kepercayaan Zakia, sehingga mudah baginya untuk membujuk gadis itu ketika merajuk. Amarah Zakia akan mereda setelah menumpahkan segala keluh kesahnya kepada sang sahabat. Namun, kali ini pengecualian. Murni dan Hilda dibuat cemas tak karuan karena sedari tadi tak mendapati sahutan dari dalam.

"I-ni, Nyonya," ujar Bi Ijah setelah sepuluh menit berlalu. Ia menyerahkan beberapa kunci cadangan yang bertumpuk menjadi satu.

Murni menerimanya dengan kasar. Ia terlihat sangat kepayahan ketika mencari kunci yang pas untuk pintu kamar Zakia.

Pintu pun akhirnya terbuka. Ketiga perempuan beda usia itu bergegas masuk ke kamar dengan wajah kebingungan. Pasalnya, mereka tidak mendapati Zakia di kamarnya. Kasur berukuran queen itu tampak kosong dan sedikit berantakan.

"Zakia!"

"Non Kia!

"Sayang!"

Ketiganya berseru di waktu yang bersamaan. Namun, hening. Kamar itu benar-benar terasa lengang.

"Di mana dia?"

Murni berjalan menuju balkon saat angin sepoi membelai gorden abu-abu hingga meliuk-liuk memperlihatkan sepasang kaki di tepi balkon. Sementara Hilda berlalu menuju kamar mandi, barangkali saja gadis itu mengurung diri di sana. Sedangkan Bi Ijah menggeledah seisi ruangan karena ia paham betul, nona mudanya itu sangat senang bermain petak umpet.

"Zakia?" tanya Murni mengernyitkan alisnya.

Angin sepoi membelai rambut sebahu wanita itu. Lantas, ia pun membuka pintu balkon yang tertutup gorden. Namun, kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Wanita cantik itu mulai bertanya-tanya dalam hati, kalau bukan Zakia, lantas kaki itu milik siapa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status