"Kamu yakin, Dhi?"
Sera sudah berkali-kali menanyakan pertanyaan tersebut sejak mereka meninggalkan rumah untuk menuju supermarket yang hanya berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari kawasan perumahan.
"Believe me, it will be fine."
Ardhi pun sudah berkali-kali menjawab dengan kalimat yang sama.
"Saya bisa belanja sendiri, Ardhi. Kamu nanti tunggu di mobil aja. Atau kami bisa nunggu di coffee shop sekitaran situ."
Ardhi memberikan tatapan tidak setuju. "Kan tadi kesepakatannya nggak begitu, Sera. Saya temani kamu belanja. Itu artinya saya ikut kamu masuk ke dalam. Atau kalau perlu bagi tugas aja biar cepat selesai belanjanya."
"Saya kan nggak bilang setuju waktu kamu minta ikut. Saya udah berkali-kali bilang kalau lebih baik saya sendirian aja belanjanya. Kamu yang seenaknya memutuskan sendiri mau ikut."
"Masalahnya apa, sih?"
"Masalahnya adalah kamu dan saya ini nggak ada di kondisi yang normal buat bisa bebas berk
Sera yang diberi tatapan khawatir itu hanya bergerak gelisah di tempatnya duduk. Ia pun berusaha menarik tangan yang digenggam oleh Ardhi. Namun, Ardhi tidak mau melepaskannya. Laki-laki itu semakin mengeratkan genggaman. "Sera, kenapa?" Sera sedang tidak baik-baik saja. Itu sudah terlihat jelas dari sikapnya yang membuat Ardhi menjadi ikut gelisah dan tak tenang. Pertanyaan 'kenapa' yang dilontarkan Ardhi seperti memantik kembali seluruh kesedihan dan campur aduk perasaan di dalam dada yang mati-matian ia tekan akhirnya membeludak. Ada air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata. Sesungguhnya, Sera tidak ingin begini. Ia tidak ingin menghabiskan waktu di rumah orang tuanya hanya untuk berdua ataupun mengais kenangan-kenangan lama yang menghunjam dada hingga terasa menyakitkan. Yang nyata terbayang adalah sebuah memori saat kedua orang tuanya terbujur kaku dan di kelilingi banyak orang yang melayat Ia benar-benar tidak ingin menangis. Namun, pert
Sesampainya di kamar, Sera terduduk lesu di ujung ranjang. Ada perasaan bersalah yang cukup besar kepada Ardhi karena ucapan-ucapan yang terlontar dari bibirnya. Ia tidak tahu kenapa bibirnya lantang sekali mengucap kata demi kata yang kemudian ia sesali. Sera pun sebenarnya lelah. Mereka terus mengulang pola yang sama. Ribut kemudian baikan. Seperti itu terus hingga salah satu mengalah dan minta maaf. Apa memang seperti ini siklusnya? Apa setiap pasangan mengalami ini juga? Atau hanya dirinya dengan Ardhi yang selalu saja terlibat cek-cok yang melelahkan ini? Sera mendesah lirih. Bukan. Ini sebenarnya bukan salah Ardhi. Sera hanya sedang terlalu sensitif karena hatinya sedang terombang-ambing. Berada di rumah yang penuh kenangan ini membuat Sera rapuh dan goyah. Namun, setelah dia duduk diam cukup lama di kamar, Sera pun mulai sadar kalau keinginannya untuk menetap di rumah peninggalan orang tuanya itu hanya singgah sesaat di otaknya. Sera tidak bena
Pintu kamar terbuka lebar. Sera membuka mata dan berdiri diambang pintu cukup lama. Memasuki kamar yang sudah lama ditinggalkan itu membawa rasa yang aneh di dada. Ada kekosongan yang terasa menyakitkan. Sera tidak tahu, dengan apa ia bisa mengisi kekosongan itu. Ada banyak kenangan membekas. Sera tidak akan pernah lupa, setiap ayahnya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, Sera akan menemani ibunya tidur di kamar ini. Mereka bisa betah mengobrol di atas ranjang, dengan tubuh sudah terbalut selimut, selama berjam-jam lamanya hingga dini hari. Setelah sama-sama lelah bicara, dan mata sudah setengah tertutup karena kantuk, mereka akan menyudahi dengan saling berpelukan. Sera akan mencium pipi sang ibu dan kemudian mengucapkan selamat tidur. Sera juga diingatkan pada momen di mana ia dimarahi oleh sang ayah di kamar itu. Sore itu, Sera diam-diam masuk ke sana untuk mengambil ponsel barunya yang disita karena membuatnya malas belajar. Saat akan keluar dari san
Matahari di Minggu pagi itu menyapa malu-malu. Sinarnya menyeruak di tengah sisa-sisa air hujan yang masih menetes di luar sana. Tetes demi tets air itu adalah sisa-sisa dari derasnya hujan yang semalam turun mengguyur Jakarta sampai subuh. Portal-portal berita mengabarkan adanya banjir yang cukup tinggi di beberapa titik hingga menyebabkan kemacetan. Desember. Memang bulan di mana hujan sedang senang-senangnya mengguyur bumi. Namun, akhir-akhir ini, hujan memang kerap datang sesuka hati. Volume air yang jatuh pun tak kira-kira. Langit seperti sedang ingin membuang-buang stok air dan melimpahkannya ke bumi dengan membawa kemurkaan. "Kayaknya emang harus cari rute alternatif yang agak jauh. Jalan yang kita lewati kemarin banjir. Jadi terpaksa harus memutar," ucap Sera dengan mata yang terpaku pada ponsel di tangannya. Jari-jarinya tidak berhenti mengusap layar ponselnya untuk membaca berita terkini tentang kondisi jalanan Jakarta yang mengkhawatirkan. Tidak ha
Setiap kali mulai membahas tentang kelanjutan hubungan mereka yang sebentar lagi tidak akan disembunyikan lagi dari publik, Sera tiba-tiba akan kembali diingatkan pada ganjalan di dada yang entah kenapa tidak mau hilang meski wanita itu sudah berkeras hati membuangnya jauh-jauh. Ditepis berkali-kali pun akan hadir kembali.Sera tahu. Seharusnya ia menceritakan rasa ganjil yang menaungi hatinya itu kepada Ardhi dan mencari solusinya bersama-sama. Namun, Sera bingung. Ia tidak tahu harus memulai menceritakan kegundahannya itu mulai dari mana. Karena Sera pun tidak tahu, apa yang sesungguhnya mengganjal di hatinya."Kamu yakin nggak masalah matiin hape lama? Nanti kalau ada emergency gimana?" tanya Sera mengalihkan topik.Ardhi mengendikkan bahu. "Biar Adi yang urus. Kalau orang-orang cari saya, mereka harus melalui Adi."Sejak kemarin, Ardhi memang tidak terlihat bersentuhan dengan ponsel ataupun tabletnya yang sehari-harinya tak pernah lepas drai tangan Ar
Hari-hari sebelumnya, kembali ke apartemen tidak pernah menjadi hal yang menyenangkan untuk Sera. Ia selalu merasakan kekosongan dan kesepian yang melelahkan hati dan pikiran. Selalu ada keengganan yang menelusup ke relung jiwa kala Sera membuka pintu dan tidak mendapati siapa-siapa di sana. Ia selalu disambut oleh kehampaan. Namun, hari ini berbeda. Untuk pertama kalinya, Sera tidak sendirian. Ada Ardhi di sampingnya. Menggenggam tangannya. Seolah-olah Ardhi pun tahu, bahwa selama ini Sera amat sangat tersiksa dalam kesendiriannya di apartemen yang luas itu. Kalau biasanya Sera masuk ke apartemen dalam keadaan gelap, kali ini tidak. Karena Ardhi berada satu langkah di depannya untuk menyalakan lampu. Sera tersenyum. Tidak pernah selega ini rasanya. "Kenapa Sera?" Ardhi memutar tubuh dan mendapati Sera masih berdiri di depan pintu. "Nggak papa," ujar Sera. Ia bergerak maju untuk melepas flat shoes, meletakkannya di rak dan menyusul Ardhi.
Kalau diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki satu kesalahan di masa lalu, Ardhi ingin kembali ke satu hari sebelum tragedi menyakitkan yang merenggut nyawa kekasih hatinya. Ardhi akan mengusahakan segala cara agar hari itu ia dan Sarah tidak membicarakan tentang liburan ke Bandung atau liburan ke mana pun yang melibatkan mobil dan kendaraan apa pun. Ardhi akan lebih memilih tinggal di rumah, menonton film-film romantic-comedy besutan Hollywood kesukaan Sarah. Atau mungkin berkebun di halaman belakang rumah orang tuanya yang sangat luas dan penuh dengan berbagai jenis bunga dan tanaman obat. Dengan begitu, tidak akan ada tragedi menyesakkan yang memisahkan dirinya dari Sarah. Dengan begitu, tidak akan ada rasa sakit yang tak lekang oleh waktu yang timbul tenggelam menyiksa batin. Dengan begitu, Ardhi dan Sarah akan bisa menghirup udara yang sama. Dalam keadaan hidup. Namun, sepertinya permintaannya terlalu muluk-muluk. Kesempatan seperti itu tentu tidak akan p
"Cari kantor KUA yang tidak terlalu mengantre. Dan kalau bisa dalam minggu ini sudah siap semuanya. Termasuk perubahan jadwal kerja saya. Kamu pasti mengerti, jangan sampai urusan pekerjaan mengacaukan hari penting saya dan pastikan kalau urusan kantor juga tidak terganggu karena kealpaan saya.""Siap, dimengerti, Pak." Adi yang duduk di balik kemudi itu mengangguk patuh.Rupanya Ardhi tak main-main dengan ucapannya kemarin saat ia mengajak Sera untuk menikah lagi secara resmi. Begitu berjumpa dengan Adi di Senin pagi, laki-laki itu langsung membombardir asistennya dengan tugas tambahan di luar pekerjaan kantor. Ardhi meminta Adi untuk mencari informasi di KUA agar Ardhi bisa segera mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran pernikahan. Ardhi juga meminta asistennya itu untuk mencarikan cincin kawin. Alih-alih keberatan, Adi justru terlihat sumringah.Perintah-perintah yang disampaikan secara beruntun oleh Ardhi sama sekali tidak memecah konsen