Share

Bab 4

Dua bulan lalu

Rombongan pencinta alam telah sampai di ranca upas tempat para pecinta alam lainnya. Kami semua briefing membagi tugas mendirikan tenda, memasak, dan aku kebagian mencari ranting bersama Azka dan beberapa teman lainnya. Aku, Azka, dan Ismi teman satu sekolah semasa SMA, tetapi kami bertiga berbeda kelas. Kami kenal saat mengikuti ekskul yang sama sampai kuliah pun kami masih menyempatkan mengikuti kegiatan pencinta alam di SMA kami dulu untuk menjaga silaturahmi dan kesolidaritasan.

“Fifi, jangan jauh- jauh nanti ilang! ” Peringatan Azka. 

“Iya ya aku deket- deket kamu deh.” Aku akui ini pertama kali mengikuti kemping di ranca upas, karena kesibukanku sebagai mahasiswi Arsitek yang selalu lembur di semester 5 ini. Aku mengikuti Azka, tiba- tiba lelaki itu hilang dari pandanganku.

Seseorang mengenakan pakaian hitam menabrakku hingga terjatuh ke atas tanah, dan membuat ranting- ranting pohon yang sudah kukumpulkan berserakan.

“Aduh!” Aku meringis kesakitan karena bokong yang terbentur akar pohon.

“Maaf!”

Satu kata itu yang dia ucapkan. Ia membantuku berdiri, lalu dia berjongkok dan membereskan ranting-ranting pohon hingga rapi kembali. Aku tidak berkata apa pun. Aku diam mematung memandang tumpukan ranting yang telah rapi.

Saat aku ingin membuka suara, laki- laki itu sudah pergi ke arah berlawanan. Aku tidak melihat dengan jelas wajahnya, karena terhalang topi yang dikenakannya. Yang kulihat hanyalah punggungnya yang semakin menjauh. Beberapa meter dari tempatku terjatuh tadi terlihat seekor ular berbisa yang tengah berdiam menatapku di tempat aku mengambil ranting tadi. Mungkin saja jika aku tidak terjatuh ular itu bisa melukaiku dan ini berkat laki-laki itu.

“Dia yang bawel jangan jauh- jauh nanti ngilang gimana, tapi dia sendiri yang ngilang. Kemana lagi aku nyari dia mana udah sore dan aku lupa jalan menuju perkemahan. Gini kalau punya otak pelupa nggak inget apapun lupa semua rutenya, aduhh.” Aku melanjutkan langkah yang menurut insting sambil meneriaki nama Azka siapa tahu dia ada di sekitar sini.

Hari mulai gelap pandanganku mulai terbatasi yang hanya mengandalkan senter yang ada dalam handphone.

“Azka! Azka! Ya ampun kemana tuh anak, aku nggak nemu tanda- tanda perkemahan.” Tiba- tiba ada yang mendorongku sampai terjatuh ke dalam jurang. Aku reflek berteriak mengapai apapun. Kakiku tergantung di udara, tidak berpijak pada apapun. Kedua tanganku semakin sakit karena mengenggam akar pohon yang kasar itu dengan kuat. Andalan satu- satunya pegangan untuk menjagaku tetap hidup. Kututup mata untuk mengurangi rasa takut yang menyelimuti. Kegelapan di dalam hutan ini menghalangi penglihatanku. Aku tidak dapat memperhitungkan seberapa dalam jurang di bawah sana. Sangat menyeramkan. 

“Tolong! Tolong! Tolong….” Aku berteriak minta tolong kepada siapapun yang mendengar suaraku, agar mau menolongku dari maut yang kini semakin mendekat.

“Tolong! Siapapun yang ada di sana aku mohon tolong aku, tolong!” Aku tidak mempedulikan tengorokan yang semakin serak, karena terus berteriak meminta pertolongan. Telapak tanganku yang licin oleh keringat mengakibatkan pegangan pada akar pohon sedikit demi sedikit merosot hampir ke ujung akar. Jantung terus berdetak kencang. Ketakutan ini semakin mengurangi keberanianku untuk terus bertahan hidup. 

Dalam hati terus berdoa agar Tuhan mengirimkan seseorang untuk menyelamatkanku dari maut. Hidupku kini hanya bergantung pada akar pohon yang aku pegang saat ini. Bila sedikit saja aku lengah dan melepaskan genggaman ini, maka aku akan…..

Satu hentakan mengagetkanku. Mataku melotot saat menyadari jika saat ini aku tidak memegang akar pohon itu. Aku berteriak sekerasnya hingga merasakan tangan seseorang yang menggenggam pergelangan tanganku.

“Jangan takut!” Suara ngebass khas laki- laki menyadarkanku bahwa aku masih hidup. 

Setelah itu, aku merasakan tubuhku terangkat ke atas. Gengaman orang itu pada lenganku terlepas, tubuhku merosot kebawah. Aku tersentak saat menyadari betapa dalamnya jurang itu. Reflex aku kembali berteriak. Tanganku mengapai apapun yang dapat menyanggaku agar tidak terjatuh ke jurang.

Dengan nafas yang memburu aku berhasil mengengam akar pohon yang lain. Aku tidak memperdulikan telapak tangan yang terasa perih.

“Pegang tanganku dengan erat.” Suara itu lagi sambil mengarahkan senter. 

Aku mengikuti intruksinya dan memegang pergelangan tangan kekarnya dengan sangat erat.

Perasaan lega menyelimuti begitu aku menjauh dari jurang. Walaupun masih di dalam kegelapan hutan, tetapi setidaknya aku tidak tengah bergantung di tepi jurang. Kusandarkan punggung pada pohon, mengatur detak jantung yang masih berdetak kencang. Aku terus mengucap syukur, karena telah selamat dari maut.

Terdengar suara yang memanggil namaku. 

“Fifi! Fidela.” Suara itu semakin dekat bersamaan dengan langkah mereka berisik. 

Senyumku terukir begitu saja saat menemukan rombongan kampus yang telah menemukanku. Kelegaan semakin meyusup ke dalam diriku. Berulang kali aku berterima kasih kepada sang maha kuasa yang telah menyelamatkanku dari maut.

Aku memeluk erat tubuh sahabatku, “Kamu nggak papa kan ?” Ismi menatapku dari ujung kaki sampai kepala.

“Aku nggak papa Ismi, berkat….”

Aku membalikkan badan untuk memperkenalkan seseorang yang telah menyelamatkanku. Dimana dia? kusapu pandangan ke penjuru hutan yang gelap, tetapi aku tidak dapat menemukan orang itu.

“Berkat siapa?“

“Tadi dia ada disini.” Aku menujuk tempat orang yang menolongku.

“Nggak ada siapapun Fidela, ayo!”

“Tapi….” Aku melihat bayangan hitam yang tampak menjauh. Aku tidak bisa menghampiri bayangan itu, karena Ismi mengenggam erat tanganku kemudian menarikku menjauh dari tempat itu. Berterima kasih dalam hati pada orang yang menyelamatkanku.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status