Share

Bab 5

last update Last Updated: 2024-04-18 19:27:28

Tepukan keras pada pundak mengembalikanku ke dunia yang aku pijak saat ini. Hal pertama yang tertangkap oleh kedua mataku, adalah wajah laki- laki tampan tengah tersenyum manis padaku. Langkahnya yang lebar menyamai langkahku yang setengah berlari menuju kelas.

“Azka! Kamu telat juga?” Aku melangkahkan kaki dengan sesekali meliriknya. 

Udara sejuk di pagi hari tidak terasa oleh tubuhku yang panas akibat berlari menuju kelas. Entah mengapa, akhir- akhir ini aku sering kesiangan. Hampir setiap malam aku tidak bisa tidur, karena bayangan hitam itu selalu menghantuiku. Semenjak pulang dari kemping bayangan itu mulai menghantuiku dan saat kejadian itu.

“Motor gue mogok, jadi gue harus dorong ke bengkel terus terpaksa naik angkot yang super penuh,” jawabnya dengan wajah yang berkeringat. Dia memakai kaos yang dipadukan dengan jaket dan itu cukup casual.

Dia adalah Azka Prayoga teman SMA dan sekarang sekampus, laki- laki putih, wajah lonjong dengan gaya rambut seperti berantakan, tetapi itu memang gaya rambut sedang tren menurutnya saat aku menanyakan tentang gaya rambutnya itu. Dia teman laki- laki yang cukup dekat denganku. Kami berkenalan saat di tempat kemping masa SMA dulu, karena kami sesama anak pencinta alam. Sikapnya yang menyenangkan dan juga humoris membuat banyak gadis kampus yang mengidolakannya.

Kami telah sampai di depan kelas. Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutan saat menemukan laki- laki yang telah memenuhi otakku selama beberapa hari ini. Dia pemilik kamera itu. Ternyata dunia memang sempit. Tetapi, bagaimana mungkin dia bisa ada disini?

“Silahkan masuk!” Aku dan Azka masuk ke dalam kelas yang sudah ramai. Aku melewatkan 20 menit waktu kelas pertama.

“Kamu hobi sekali telat!” ucapnya menunjuk ke arahku dengan ekspresi datar. “Dan kalian berdua kenapa bisa terlambat?” 

Azka menjelaskan perihal motornya yang mogok yang dibicarakannya tadi kepadaku. Aku sendiri menjelaskan perihal angkutan yang kutumpangi mengalami mogok juga, tetapi aku tidak mengatakan bahwa tidak sepenuhnya salah angkutan kota itu aku terlambat. Melainkan salahku juga bangun kesiangan, karena selalu bermimpi buruk. Aku tidak mungkin menceritakan tentang mimpiku kepada seisi kelas, dan membuat mereka semua menertawakanku.

“Baiklah, saya menerima alasan kalian karena ini merupakan hari pertama saya mengajar di sini. Saya memberi kalian toleransi untuk yang terakhir. Bila terjadi kedua kalinya saya tidak akan membiarkan kalian duduk dan mengikuti pelajaran saya. Mengerti !” 

Aku menganguk dan mengatakan bahwa aku mengerti. Laki - laki itu menyuruh kami berdua untuk duduk.

“Bagus! Kita lanjutkan kembali,” ucapnya. Dia kembali menjelaskan materi yang tidak sempat kudengarkan.

Terlihat aman. Aku berbisik kepada sahabatku Ismi, “Sejak kapan dia mengajar disini?” Sesekali memperhatikan ke depan.

“Baru hari ini,” jawab Ismi terfokus ke depan. Di mana lelaki itu menjelaskan materinya, tanpa menatapku.

“Kenapa aku nggak tahu?” Aku mencondongkan tubuh lebih dekat dengan Ismi. Rasa penasaran menyelimutiku saat ini. Mengapa lelaki itu bisa menjadi dosenku? 

“Kamu selalu datang terlambat akhir- akhir ini. Melewatkan perkenalan dosen penganti yang ganteng,” bisiknya senang sembari menatapku.

Dia memang ganteng tapi, tidak punya hati.

“Bukannya Pak Sopian yang mengajar materi ini, tapi kenapa harus dia?”

“Katanya Pak Sopian ada urusan penting jadi dia lah penganti sementara.”

Terdengar suara dari arah depan memanggil namaku. Aku langsung mendapati matanya yang menatapku dengan tajam.

“Kamu ke depan,” Dosen itu menunjukku, “Jelaskan kembali materi apa saja yang di berikan Pak Sopian.” Seluruh orang yang ada di kelas memandang ke arahku.

“Tap-tapi… Pak… saya…,” ujarku dengan terbata.

“Nggak ada tapi –tapian. Sekarang maju ke depan!” Suaranya tenang tapi menusuk.

Astaga laki- laki ini suka sekali membuat aku kesusahan mendengus sebelum beranjak ke depan kelas.

******

Diperpustakaan. Aku memusatkan pandangan pada laptop yang menampilkan sebuah artikel yang kucari. Tentang sosok yang menghantui hidupku.

Bayangan hitam atau sosok serba hitam itu berkaitan dengan halusinasi yang tercipta akibat pikiran dari orang yang mengalaminya, mungkin karena pengaruh obat-obatan, fisik dan pisikis yang lemah atau bahkan sugesti dari kebudayaan atau kepercayaan yang dianut.

Menurut kepercayaan atau agama, bayangan hitam bisa disebut makhluk halus, makhluk jahat, atau dalam islam disebut jin yang hidup di dunia lain yang dapat melihat gerak gerik kita, tapi kita tidak dapat melihat mahluk itu.

Bisa jadi bayangan hitam tersebut seorang manusia yang menguntit tanpa sepengetahuan kita, hingga menganggap bayangan manusia tersebut sebagai makhluk halus. Tapi, bayangan manusia tersebut bisa berniat jahat atau sebaliknya, itu semua butuh penyelidikan tentang tanda- tanda yang diberikan bayangan hitam tersebut.

Tiga inti penjelasan yang aku ambil dari artikel, membuatku semakin penasaran akan bayangan hitam itu.

Aku memejamkan kedua mata. Begitu banyak pertanyaan akan sosok bayangan hitam itu yang memenuhi benakku. Apakah lebih baik jika aku menceritakannya pada Azka? Tidak. Tidak perlu. Azka tidak akan percaya cerita seperti ini.

Saat membuka kedua mataku, dapat kulihat bayangan hitam yang terlihat dari dinding di depanku. Bayangan itu berada tepat berdiri di belakang punggungku. Aku menelan ludah dan mencoba membasahi tengorokan yang kering. Jantungku berpacu sangat cepat. 

Apakah dia tahu jika aku tengah memikirkannya? Pikiran yang terlintas di dalam benakku itu membuatku menundukan wajah, tidak berani memandang bayangan pada dinding di hadapanku.

Tepukan pada pundak membuatku terperanjat kaget. Sosok itu menyentuhku. Aku memejamkan mata dan masih menundukkan kepala. Nafasku terasa terhambat. Kursi di samping kananku berbunyi seperti ada yang menduduki.

“Fifi!” suara bass khas laki - laki terdengar memanggil namaku. Bibirku bergetar, mengucapkan doa dalam hati dan memohon agar sosok itu segera pergi.

“Hei, lo tidur, Fi? Wah, tidur di perpustakaan. Kalau tidur itu di rumah jangan di sini.” Suara itu terdengar sangat familiar di telingaku, membuatku dapat bernafas dengan lega. Aku mengarahkan wajahku ke arah suara di sebelah kananku. Dan ternyata benar, Azka yang duduk di sebelahku, kelegaan menyelimuti tubuhku.

“Hhhh… syukurlah,” gumamku pelan dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Aku yang terlalu parno ternyata.

“Syukurlah? syukurlah apa?” tanya Azka bingung.

“Syukur lah kamu datang tepat waktu. Aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan tugas yang nggak kumengerti,” ucapku sembari mengedipkan sebelah mataku. Ide ini muncul begitu saja, semoga saja perkataanku barusan bisa mengalihkan pembicaraan kami dan membuat Azka tidak bertanya lebih banyak lagi.

Azka mendengus, “Nyesal gue ngikutin lo ke sini,” ucapnya dengan wajah yang dibuat cemberut.

“Ayolah! bantu aku ya, Azka. Please,” ucapku memohon.

Azka memnghembuskan nafas kasar, “Oke!”

Senyumku mengembang, “Nah ini baru sahabatku yang paling tampan sedunia,” ucapku merayu.

“Nasib yang nggak bisa menolak permintaan lo,” gerutunya.

Aku tertawa, “Itu bagus!” Aku mengacungkan kedua jempolku ke arahnya.

Memang aku harus menyembuyikan keanehan yang terjadi di hidupku saat ini kepada semua orang di sekitarku, kepada Azka sekalipun. Sebisa mungkin, aku akan merahasiakan hal ini sampai semua fakta tentang sosok itu terungkap.

******

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TWELVE   Bab 19

    Reiki berdiri menarik kursinya lebih dekat denganku, tanpa menatap sekeliling kafe yang menatap ke meja kamu penasaran.“Aku pastikan dulu, perempuan yang mana yang kamu maksud?” Reiki menatapku serius.Aku balik menatapnya, “Perempuan yang di rumah sakit, saat aku masih menjadi asisten pribadimu dan kamu mendapat telepon dari rumah sakit. Dan di situ aku melihatmu mesra bersama dengan perempuan itu, siapa dia?”Reiki tersenyum geli, apa yang lucu? Kenapa ekspresinya seperti itu?“Jadi, kamu nguntit?” Tatap Reiki selidik masih tersenyum geli menghiasi bibirnya.Pelayan datang membawa pesanan kami berdua, aku menghela nafas menyiapkan jawabnku. “Nggak, aku mau jawaban bukan pertanyaan.” Aku mulai menyesap minuman untuk menyembunyikan nada salah tingkah, kenapa dia malah menyerangku? Apa salahnya dia jawab tidak perlu berbelit- belit seperti itu.Reiki mengangkat tangan yang terdapat jam tangan, lalu menatapku lagi. Kali ini wajah tersenyum gelinya hilang. “Sekarang kita harus ke kan

  • TWELVE   Bab 18

    2 tahun kemudian“Fidela!” teriakan Mama mengema di setiap penjuru rumah. Ini sudah ke sekian kalinya mama berteriak.“Iya, Ma sebentar,” teriakku. Supaya mama mendengar dan tidak berteriak lagi. Dengan kedua tangan membereskan berkas yang harus di bawa ke kantor. Setelah aku di nyatakan sembuh, aku bangkit dengan bantuan orang terdekatku sebagai pil semangat untukku. Aku mencoba melamar ke berbagai perusahaan dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Bandung. Jelas aku bahagia.“Cepat, Reiki udah nunggu tuh,” suara Mama bersamaan tubuhnya masuk ke dalam kamarku.Kami mulai dekat kembali, Reiki selalu mengantarku pergi ke kantor yang sama dengannya. Itu kebetulan yang menyenangkan, ternyata Reiki bekerja di sana sebagai senior Arsitektur. Setelah keluar dari pekerjaannya di Jakarta Reiki cuti untuk mencariku kembali, dan tanpa di duga kami bertemu di halaman kampus menyebabkan kameranya hancur. Itu alasan dia menerima tawaran pamannya yang meminta tolong menga

  • TWELVE   Bab 17

    Aku membuka mata begitu merasakan guncangan pada tubuh semakin kencang. Hal pertama yang aku lihat adalah kegelapan yang menyelimutiku. Aku buru- buru bangun dari posisi tidur untuk duduk dan melihat sekitar. Namun, rasa pening menyerang. Kenapa aku ada di dalam mobil ? Aku berusaha mengingat kejadian sebelumnya dan kilasan kejadian yang terjadi di rumahku terus bermunculan. Satu yang aku ingat sebelum aku tak sadarkan diri adalah aku di bawa oleh Azka.“Azka!”Aku mencari keberadaan Azka. Namun, tak ada siapapun disini. Yang ada hanya pepohonan yang rindang tanpa cahaya satu pun. Gelap.Aku meraba saku jeans, mengambil ponsel. Menyalakannya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu.Ismi : Fidela kamu dimana?Reiki : Dela, tolong angkat teleponnyaMama : Kamu dimana sayang?Papa : Fidela, telepon papa, NakDan banyak lagi pesan – pesan yang muncul. Aku pun tidak tahu ini dimana, kalau pun Azka membawaku. Mengapa tidak membawa ke rumah sakit seperti ucapannya? Suara langkah s

  • TWELVE   Bab 16

    Setelah Azka megantarku pulang, aku tidak masuk kedalam rumah melainkan kakiku melangkah menuju garasi mengeluarkan motor matic yang sudah setia menemaniku kemanapun. Aku berniat untuk ke sebuah taman yang berada di sekolah SD ku untuk mencari ketenangan dan mengenang kembali kenang bersamanya. Satu jam kemudian aku telah berada di halaman sekolah memarkirkan motorku di sini yang menjadi tempat favorit beberapa tahun silam saat aku mengunjungi sekolah ini.“Neng Fidela!” Sapa seorang lelaki paruh baya yang telah berdiri di sampingku dengan senyum menghiasi wajahnya. Aku membalas senyumnya sembari menjabat tangannya.“Mang Ujang, bagaimana kabarnya?” Mang Ujang adalah penjaga sekolahku selama ini sejak aku masih duduk di bangku SD beliau masih setia mengabdi pada sekolah ini, walaupun sekarang sudah tidak muda lagi. Tapi, pekerjaannya dapat diandalkan sekolah ini selalu terlihat bersih apa lagi tamannnya.“Alhamdulilah baik, kalau mang Ujang bagaimana?” jawabku, melemparkan pertanyaan

  • TWELVE   Bab 15

    ‘Pranngg!!!!!’ Aku terperat menghentikan langkahku yang tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu masuk. Seperti suara benda terjatuh, tapi aku sama sekali tidak melihat benda apapun yang terjatuh di sini. Aku terlambat untuk pulang hari ini banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan di kampus.Aku memberanikan diri untuk membalikan tubuhku, aku menyapu pandanganku ke berbagai arah, tetapi tidak menemukan seorangpun di sana. Tanpa menghiraukannya, aku kembali melangkahkan kakiku dan memutar handle pintu. Pintu di hadapanku belum terbuka dengan sempurna, tetapi suara benda terjatuh kembali terdengar dan membuat pikiranku memikirkan hal yang macam- macam. Aku menarik nafas, mencoba menghilangkan ketakutan yang semakin menyelimutiku. Aku kembali membalikkan tubuhku, tanpa disangka mataku kembali menemukan bayangan hitam itu. Astaga bayangan itu kembali, tanpa berkata-kata lagi aku membuka pintu, lalu menguncinya. Aku menyandarkan punggungku pada pintu yang telah tertutup rapat, aku m

  • TWELVE   Bab 14

    Kuatur nafas bersamaan dengan gerakan kedua tangan bergerak dalam hitungan kedelapan, kuganti gerakan lainnya sampai semua pemanasan selesai. Setelah itu kulangkahkan kaki dengan gerakan pelan mengelilingi taman komplek, jogging pagi hari ini tubuhku terasa kaku. Semenjak menjadi asisiten dosen itu aku jadi jarang melakukan olahraga di minggu pagi seperti saat ini. Berhubung dosen pemaksa tidak ada aku manfaatkan untuk olahraga seperti biasa, tapi setelah menerima telepon dan ternyata dia ke rumah sakit. Dia tidak masuk beberapa hari kemana dia, kenapa dia? Ah mungkin dia mengurusi pacarnya. Entah mengapa kenyataan itu membuat aku sesak. Apakah itu cinta? Tidak mungkin, akua tidak mungkin menyukai dosen pemaksa itu. Bukannya itu bagus, aku bisa tenang tanpa kehadirannya.“Dela!” Langkah kakiku terdiam seketika, mataku terbelalak, bukannya orang yang selalu memanggiku dengan ‘Dela’ hanya…“Fidela!” Kali ini kubalikan tubuh memperhatikan seseorang yang tengah berjalan ke arahku dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status