Tepukan keras pada pundak mengembalikanku ke dunia yang aku pijak saat ini. Hal pertama yang tertangkap oleh kedua mataku, adalah wajah laki- laki tampan tengah tersenyum manis padaku. Langkahnya yang lebar menyamai langkahku yang setengah berlari menuju kelas.
“Azka! Kamu telat juga?” Aku melangkahkan kaki dengan sesekali meliriknya.
Udara sejuk di pagi hari tidak terasa oleh tubuhku yang panas akibat berlari menuju kelas. Entah mengapa, akhir- akhir ini aku sering kesiangan. Hampir setiap malam aku tidak bisa tidur, karena bayangan hitam itu selalu menghantuiku. Semenjak pulang dari kemping bayangan itu mulai menghantuiku dan saat kejadian itu.
“Motor gue mogok, jadi gue harus dorong ke bengkel terus terpaksa naik angkot yang super penuh,” jawabnya dengan wajah yang berkeringat. Dia memakai kaos yang dipadukan dengan jaket dan itu cukup casual.
Dia adalah Azka Prayoga teman SMA dan sekarang sekampus, laki- laki putih, wajah lonjong dengan gaya rambut seperti berantakan, tetapi itu memang gaya rambut sedang tren menurutnya saat aku menanyakan tentang gaya rambutnya itu. Dia teman laki- laki yang cukup dekat denganku. Kami berkenalan saat di tempat kemping masa SMA dulu, karena kami sesama anak pencinta alam. Sikapnya yang menyenangkan dan juga humoris membuat banyak gadis kampus yang mengidolakannya.
Kami telah sampai di depan kelas. Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutan saat menemukan laki- laki yang telah memenuhi otakku selama beberapa hari ini. Dia pemilik kamera itu. Ternyata dunia memang sempit. Tetapi, bagaimana mungkin dia bisa ada disini?
“Silahkan masuk!” Aku dan Azka masuk ke dalam kelas yang sudah ramai. Aku melewatkan 20 menit waktu kelas pertama.
“Kamu hobi sekali telat!” ucapnya menunjuk ke arahku dengan ekspresi datar. “Dan kalian berdua kenapa bisa terlambat?”
Azka menjelaskan perihal motornya yang mogok yang dibicarakannya tadi kepadaku. Aku sendiri menjelaskan perihal angkutan yang kutumpangi mengalami mogok juga, tetapi aku tidak mengatakan bahwa tidak sepenuhnya salah angkutan kota itu aku terlambat. Melainkan salahku juga bangun kesiangan, karena selalu bermimpi buruk. Aku tidak mungkin menceritakan tentang mimpiku kepada seisi kelas, dan membuat mereka semua menertawakanku.
“Baiklah, saya menerima alasan kalian karena ini merupakan hari pertama saya mengajar di sini. Saya memberi kalian toleransi untuk yang terakhir. Bila terjadi kedua kalinya saya tidak akan membiarkan kalian duduk dan mengikuti pelajaran saya. Mengerti !”
Aku menganguk dan mengatakan bahwa aku mengerti. Laki - laki itu menyuruh kami berdua untuk duduk.
“Bagus! Kita lanjutkan kembali,” ucapnya. Dia kembali menjelaskan materi yang tidak sempat kudengarkan.
Terlihat aman. Aku berbisik kepada sahabatku Ismi, “Sejak kapan dia mengajar disini?” Sesekali memperhatikan ke depan.
“Baru hari ini,” jawab Ismi terfokus ke depan. Di mana lelaki itu menjelaskan materinya, tanpa menatapku.
“Kenapa aku nggak tahu?” Aku mencondongkan tubuh lebih dekat dengan Ismi. Rasa penasaran menyelimutiku saat ini. Mengapa lelaki itu bisa menjadi dosenku?
“Kamu selalu datang terlambat akhir- akhir ini. Melewatkan perkenalan dosen penganti yang ganteng,” bisiknya senang sembari menatapku.
Dia memang ganteng tapi, tidak punya hati.
“Bukannya Pak Sopian yang mengajar materi ini, tapi kenapa harus dia?”
“Katanya Pak Sopian ada urusan penting jadi dia lah penganti sementara.”
Terdengar suara dari arah depan memanggil namaku. Aku langsung mendapati matanya yang menatapku dengan tajam.
“Kamu ke depan,” Dosen itu menunjukku, “Jelaskan kembali materi apa saja yang di berikan Pak Sopian.” Seluruh orang yang ada di kelas memandang ke arahku.
“Tap-tapi… Pak… saya…,” ujarku dengan terbata.
“Nggak ada tapi –tapian. Sekarang maju ke depan!” Suaranya tenang tapi menusuk.
Astaga laki- laki ini suka sekali membuat aku kesusahan mendengus sebelum beranjak ke depan kelas.
******
Diperpustakaan. Aku memusatkan pandangan pada laptop yang menampilkan sebuah artikel yang kucari. Tentang sosok yang menghantui hidupku.
Bayangan hitam atau sosok serba hitam itu berkaitan dengan halusinasi yang tercipta akibat pikiran dari orang yang mengalaminya, mungkin karena pengaruh obat-obatan, fisik dan pisikis yang lemah atau bahkan sugesti dari kebudayaan atau kepercayaan yang dianut.
Menurut kepercayaan atau agama, bayangan hitam bisa disebut makhluk halus, makhluk jahat, atau dalam islam disebut jin yang hidup di dunia lain yang dapat melihat gerak gerik kita, tapi kita tidak dapat melihat mahluk itu.
Bisa jadi bayangan hitam tersebut seorang manusia yang menguntit tanpa sepengetahuan kita, hingga menganggap bayangan manusia tersebut sebagai makhluk halus. Tapi, bayangan manusia tersebut bisa berniat jahat atau sebaliknya, itu semua butuh penyelidikan tentang tanda- tanda yang diberikan bayangan hitam tersebut.
Tiga inti penjelasan yang aku ambil dari artikel, membuatku semakin penasaran akan bayangan hitam itu.
Aku memejamkan kedua mata. Begitu banyak pertanyaan akan sosok bayangan hitam itu yang memenuhi benakku. Apakah lebih baik jika aku menceritakannya pada Azka? Tidak. Tidak perlu. Azka tidak akan percaya cerita seperti ini.
Saat membuka kedua mataku, dapat kulihat bayangan hitam yang terlihat dari dinding di depanku. Bayangan itu berada tepat berdiri di belakang punggungku. Aku menelan ludah dan mencoba membasahi tengorokan yang kering. Jantungku berpacu sangat cepat.
Apakah dia tahu jika aku tengah memikirkannya? Pikiran yang terlintas di dalam benakku itu membuatku menundukan wajah, tidak berani memandang bayangan pada dinding di hadapanku.
Tepukan pada pundak membuatku terperanjat kaget. Sosok itu menyentuhku. Aku memejamkan mata dan masih menundukkan kepala. Nafasku terasa terhambat. Kursi di samping kananku berbunyi seperti ada yang menduduki.
“Fifi!” suara bass khas laki - laki terdengar memanggil namaku. Bibirku bergetar, mengucapkan doa dalam hati dan memohon agar sosok itu segera pergi.
“Hei, lo tidur, Fi? Wah, tidur di perpustakaan. Kalau tidur itu di rumah jangan di sini.” Suara itu terdengar sangat familiar di telingaku, membuatku dapat bernafas dengan lega. Aku mengarahkan wajahku ke arah suara di sebelah kananku. Dan ternyata benar, Azka yang duduk di sebelahku, kelegaan menyelimuti tubuhku.
“Hhhh… syukurlah,” gumamku pelan dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Aku yang terlalu parno ternyata.
“Syukurlah? syukurlah apa?” tanya Azka bingung.
“Syukur lah kamu datang tepat waktu. Aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan tugas yang nggak kumengerti,” ucapku sembari mengedipkan sebelah mataku. Ide ini muncul begitu saja, semoga saja perkataanku barusan bisa mengalihkan pembicaraan kami dan membuat Azka tidak bertanya lebih banyak lagi.
Azka mendengus, “Nyesal gue ngikutin lo ke sini,” ucapnya dengan wajah yang dibuat cemberut.
“Ayolah! bantu aku ya, Azka. Please,” ucapku memohon.
Azka memnghembuskan nafas kasar, “Oke!”
Senyumku mengembang, “Nah ini baru sahabatku yang paling tampan sedunia,” ucapku merayu.
“Nasib yang nggak bisa menolak permintaan lo,” gerutunya.
Aku tertawa, “Itu bagus!” Aku mengacungkan kedua jempolku ke arahnya.
Memang aku harus menyembuyikan keanehan yang terjadi di hidupku saat ini kepada semua orang di sekitarku, kepada Azka sekalipun. Sebisa mungkin, aku akan merahasiakan hal ini sampai semua fakta tentang sosok itu terungkap.
******
Aku mondar-mandir di dalam kamar dan sesekali melirik tumpukan uang yang berserakan di atas tempat tidur. Pikiranku kalut. Hari berganti dengan cepat dan hari ini adalah waktu perjanjian itu berakhir. Yang artinya, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti kamera yang kupecahkan. Aku terus menghitung uang yang terkumpul, jumlah uang milikku hanya seperempat dari harga kamera itu atau mungkin lebih sedikit dari itu. Tabunganku sudah habis tidak tersisa. Tidak ada pilihan lain, selain menegosiasi dengan laki-laki itu. Tidak mungkin aku memintanya pada Mama dan Papa mereka bisa curiga aku meminta uang sebanyak itu. Aku sangat stress memikirkan itu semua.Menghempaskan tubuhku di atas ranjang karena kakiku terasa pegal akibat mondar- mandir. Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel yang berada di atas nakas di sebelah kananku. Deg, begitu membaca tulisan yang tertera pada layar ponselku,’cowo menyebalkan’. Itulah nama kontak laki-laki pemilik kamera itu. Refleks, aku langsung
Kehidupan merupakan sebuah misteri yang tak dapat kita ketahui bagaimana skenario yang akan dijalani. Kita hanya bisa berencana dan berdoa. Berharap mendapatkan yang terbaik untuk diri kita.Dua bulan yang lalu. Angin malam yang dingin terasa begitu menusuk kulit. Kueratkan jaket yang membungkus tubuh, sembari terus melangkah secepat yang aku bisa, karena beban yang cukup berat dari ransel besar di punggung memperlambat langkahku. Jalanan yang tampak sunyi, membuat suara sepatuku yang beradu dengan aspal menjadi satu-satunya suara yang mendominasi. Aku tidak berani memandang sekitar, lebih memilih menundukkan kepala dan terus berjalan dengan terburu-buru menuju rumah. Ditengah perjalanan pundak mulai merinding terasa seperti ada yang mengikuti. Dalam keadaan menunduk seperti ini aku bisa melihat bayangan seseorang yang terus mengikuti. Bayangan itu terus mengikuti setiap langkahku. Jantung berdetak sangat keras. Keringat dingin mulai bercucuran diseluruh tubuh. Bayangan itu terliha
Sebuah teka- teki kehidupan kerap muncul secara bertahap dan secara tiba-tiba, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara untuk menemukan benang merahnya.“Jangan main- main, dengan siapa ini?” tanyaku ketus.Terdengar kekehan di ujung sana, tapi begitu singkat aku tidak yakin itu suara kekehannya.“Baiklah… saya Reiki Altezza.” Sebelum Aku bertanya, dia kembali melanjutkan ucapannya. “PEMILIK kamera tadi pagi.” Dia menekan ucapan pada pemilik. Aku meringis saat ia mengingatkanku pada kecerobohan tadi pagi.“Aku pasti menganti kameramu itu. Jadi tenang aja Pak Reiki Altezza,” ucapku datar. Segera menutup sambungan telepon itu. Aku merutuk diri sendiri yang entah mengapa, bisa dengan lantang akan mengatakan padanya, jika aku akan mengganti semuanya. Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk mengganti kamera itu? Aku menghempaskan tubuh pada ranjang.Reiki Altezza nama yang bagus. Tapi, bagaimana cara menganti kameranya? Ponselku berdering kembali.Nomor itu lagi. Dari pada aku bingung me
Aku masih tidak merasa lega sama sekali setelah keluar dari toko buku itu. Aku menaiki Bus damri yang agak penuh sedikit mengurangi ketakutanku. Aku merasa ada yang menatapku intens. Aku mencoba tidak menghiraukan perasaan cemas dan menyumbat kedua telingaku dengan headset yang tersambung ke ponsel. Mungkin, dengan mendengarkan musik perasaanku bisa lebih tenang.Aku menghela nafas lega saat tiba di depan sebuah rumah berwarna abu- abu dengan banyaknya taman, membuat rumah tercintaku ini terkesan asri. Aku bergegas masuk dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena terhindar dari keanehan di toko buku tadi. Aku berharap ini semua segera berakhir agar aku dapat menjalani hidup dengan tenang.Aku meraih ponsel dari dalam tas. Betapa terkejutnya aku saat melihat jumlah pesan dan puluhan panggilan dari nomor lelaki pemilik kamera itu. Aku membuka salah satu pesan terbaru.Pemilik kamera : Aku sudah ada di depan rumahmu.Satu pesan yang membuat mataku hampir
Dua bulan lalu Rombongan pencinta alam telah sampai di ranca upas tempat para pecinta alam lainnya. Kami semua briefing membagi tugas mendirikan tenda, memasak, dan aku kebagian mencari ranting bersama Azka dan beberapa teman lainnya. Aku, Azka, dan Ismi teman satu sekolah semasa SMA, tetapi kami bertiga berbeda kelas. Kami kenal saat mengikuti ekskul yang sama sampai kuliah pun kami masih menyempatkan mengikuti kegiatan pencinta alam di SMA kami dulu untuk menjaga silaturahmi dan kesolidaritasan. “Fifi, jangan jauh- jauh nanti ilang! ” Peringatan Azka. “Iya ya aku deket- deket kamu deh.” Aku akui ini pertama kali mengikuti kemping di ranca upas, karena kesibukanku sebagai mahasiswi Arsitek yang selalu lembur di semester 5 ini. Aku mengikuti Azka, tiba- tiba lelaki itu hilang dari pandanganku. Seseorang mengenakan pakaian hitam menabrakku hingga terjatuh ke atas tanah, dan membuat ranting- ranting pohon yang sudah kukumpulkan berserakan. “Aduh!” Aku meringis kesakitan karena b