Share

Bab 3

Penulis: Evia Nuravianti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-11 14:51:38

Aku masih tidak merasa lega sama sekali setelah keluar dari toko buku itu. Aku menaiki Bus damri yang agak penuh sedikit mengurangi ketakutanku. Aku merasa ada yang menatapku intens. Aku mencoba tidak menghiraukan perasaan cemas dan menyumbat kedua telingaku dengan headset yang tersambung ke ponsel. Mungkin, dengan mendengarkan musik perasaanku bisa lebih tenang.

Aku menghela nafas lega saat tiba di depan sebuah rumah berwarna abu- abu dengan banyaknya taman, membuat rumah tercintaku ini terkesan asri. Aku bergegas masuk dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena terhindar dari keanehan di toko buku tadi. Aku berharap ini semua segera berakhir agar aku dapat menjalani hidup dengan tenang.

Aku meraih ponsel dari dalam tas. Betapa terkejutnya aku saat melihat jumlah pesan dan puluhan panggilan dari nomor lelaki pemilik kamera itu. Aku membuka salah satu pesan terbaru.

Pemilik kamera : Aku sudah ada di depan rumahmu.

Satu pesan yang membuat mataku hampir copot. Aku melihat waktu pengiriman, 10 menit yang lalu. Aku tidak janjian dengannya kenapa dia bisa ada disini? Aku berjalan menuju balkon. Seorang laki- laki berdiri tepat di depan pagar rumah. Astaga! Bagaimana kalau mama dan papa tahu kalau anaknya sudah membuat masalah. Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera meraih ponsel, kemudian turun dengan tergesa menuju laki- laki itu sebelum orang rumah mengetahui keberadaanku.

“Fifi ! Kamu mau kemana lagi?” Suara Mama menghentikan langkahku.

Jangan panik, tenang Fidela.

Aku menarik nafas dan memutar tubuhku. “Aku ada urusan sebentar, Ma.” ucapku dengan mantap. Mama menatapku dengan tatapan meneliti, mencoba mencari kebenaran dari ucapanku.

Ponselku berdering kembali membuat pikiranku semakin kacau. Kulirik sebuah pesan yang masuk ke dalam ponselku itu.

Pemilik kamera : Apa saya harus masuk.

Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan sebuah ancaman, Aku mengetik balasannya sebelum dia nekat masuk.

Me : Nggak usah Pak, aku keluar sekarang.

Sebuah deheman menyadarkanku bahwa mama masih disini. Aku mengalihkan pandanganku ke arah mama. “Kenapa masih di sini Fi, katanya ada urusan?” Pertanyaan mama membuat otakku berjalan lambat.

“Ah iya… ya,” cengengesan tidak jelas, “Ya udah gitu aku pamit Ma.”

“Hati-hati!”

“Iya, Ma!”

Mataku langsung menemukan sosoknya saat membuka pintu rumahku. Laki- laki tinggi berdiri di depan pagar, dia mengenakan kemeja biru dongker bergaris dengan lengan kemeja yang dilipat sampai sikut, kemejanya itu dipadukan dengan celana jeans biru dan rambutnya tampak rapi sepertinya menggunakan jel rambut, sehingga dari kejauhan terlihat berkelap kelip bagaikan terdapat bintang di rambutnya. Akan tetapi, itulah yang menambah ketampanan lelaki itu. 

“Ikut aku. Kita nggak bisa bicara di sini,” ucapku berjalan melewatinya.

Namun, dia menarik lenganku di depan mobilnya, “Ayo naik!”

“Kita cuma ke taman deket sini.” Aku berbalik menarik lengannya, tapi dia bergeming.

“Tapi, mobilnya gimana?”

Aku memutar tubuh menghela nafas menahan kesel, “Biarkan mobilmu disitu, komplek ini aman nggak ada yang mau nyuri mobil kamu.” 

Meneruskan langkahku menuju taman. Dia menghela nafas gusar tapi, mengikuti langkahku menuju taman komplek.

“Dari mana kamu bisa tau rumahku ?” Aku langsung bertanya padanya begitu dia duduk di kursi bagian kosong yang berada sebelahku. Kursi panjang yang kami tengah tempati ini tampak sejuk karena dilindungi oleh pohon yang cukup rindang untuk menahan panasnya sinar matahari yang dapat membakar kulit.

“Taman ini indah juga.” Komentarnya sembari melirik ke seluruh penjuru taman komplek. 

Aku akui, komentar laki- laki ini memang benar. Taman komplek dijaga dengan sangat baik. Bunga berwarna- warni tumbuh di taman ini, ditambah dengan pepohonan rindang yang membuat taman ini tampak sejuk. Terdapat jalan setapak untuk berjalan menikmati udara segar maupun untuk berjoging mengelilingi taman. Atau kita bisa juga sekedar duduk bersantai di kursi panjang yang tersebar di taman ini. Taman ini lengkap dengan lapangan berumput yang tidak cukup besar untuk bermain anak- anak kecil.

“Dari mana kamu bisa tau rumahku?” Aku mengulang pertanyaan itu.

“Dengan identitas ini. Kartu identitas ini memudahkanku untuk mencarimu.” 

Dia memperlihatkan kartu identitas kampus yang kuberikan kepadanya saat itu dan bodohnya aku baru menyadarinya. Dia bisa bertanya kepada teman sekelasku, dosen atau entah lah dia bisa berada disini aku tidak memikirkannya, tapi identitas itu, astaga betapa cerobohnya aku melupakan identitas penting. Aku meraih kartu yang berada ditangannya. Namun, dengan gesit dia menjauhkan tangannya, lalu memasukan kartu itu ke dalam saku kemejanya.

Menyebalkan! Aku di buat kesal oleh dua orang sekaligus hari ini.

“Aku datang kemari untuk menagih janjimu,” ucapnya sembari menatapku dengan tajam.

“Sekarang juga?” tanyaku panik. Dia menganguk mantap.

Aduh, aku tidak punya uang sebesar itu sekarang.

“Aku pasti menggantinya, tapi beri aku waktu untuk mengganti kamera itu,” ucapku memelas. Ia tampak berpikir sejenak.

“Beri aku waktu.” Menatapnya memasang muka memalas, aku ingin tahu seberapa baik laki- laki di hadapnku ini.

“Baiklah, Aku akan memberimu waktu.” Senyumku merekah mendengar pernyataannya. “Hanya 3 hari.” Mataku terbelalak Senyumku langsung hilang saat itu juga.

Dasar lelaki sombong! Bagaimana bisa, aku mendapatkan uang dalam waktu sesempit itu? Aku sempat mencari tahu tentang kamera yang kupecahkan itu dan harganya sangat menakjubkan. Kamera terbaik dan termahal.

“Kalau sampai kamu nggak bisa menganti kamera itu dalam waktu yang ditentukan. nggak masalah, tapi saya akan memebicarakannya pada kepala dosen bahwa mahasisiwinya membuat onar,” ucapnya, sembari menaikan sebelah alis. Mataku melotot untuk kesekian kalinya.

Astaga lelaki ini benar- benar sombong, percuma tampan tapi, tidak punya hati sama sekali. Hhuu.

“Bagaimana?” Dia masih menatapku tajam.

Aku menghela nafas, “Baiklah, tapi aku bisa nego jadi seminggu atau sebulan?”

“Nggak.”

“Tapi…”

“Nggak ada.” Aku menghela nafas gusar. Astaga laki- laki sombong!

******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TWELVE   Bab 19

    Reiki berdiri menarik kursinya lebih dekat denganku, tanpa menatap sekeliling kafe yang menatap ke meja kamu penasaran.“Aku pastikan dulu, perempuan yang mana yang kamu maksud?” Reiki menatapku serius.Aku balik menatapnya, “Perempuan yang di rumah sakit, saat aku masih menjadi asisten pribadimu dan kamu mendapat telepon dari rumah sakit. Dan di situ aku melihatmu mesra bersama dengan perempuan itu, siapa dia?”Reiki tersenyum geli, apa yang lucu? Kenapa ekspresinya seperti itu?“Jadi, kamu nguntit?” Tatap Reiki selidik masih tersenyum geli menghiasi bibirnya.Pelayan datang membawa pesanan kami berdua, aku menghela nafas menyiapkan jawabnku. “Nggak, aku mau jawaban bukan pertanyaan.” Aku mulai menyesap minuman untuk menyembunyikan nada salah tingkah, kenapa dia malah menyerangku? Apa salahnya dia jawab tidak perlu berbelit- belit seperti itu.Reiki mengangkat tangan yang terdapat jam tangan, lalu menatapku lagi. Kali ini wajah tersenyum gelinya hilang. “Sekarang kita harus ke kan

  • TWELVE   Bab 18

    2 tahun kemudian“Fidela!” teriakan Mama mengema di setiap penjuru rumah. Ini sudah ke sekian kalinya mama berteriak.“Iya, Ma sebentar,” teriakku. Supaya mama mendengar dan tidak berteriak lagi. Dengan kedua tangan membereskan berkas yang harus di bawa ke kantor. Setelah aku di nyatakan sembuh, aku bangkit dengan bantuan orang terdekatku sebagai pil semangat untukku. Aku mencoba melamar ke berbagai perusahaan dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Bandung. Jelas aku bahagia.“Cepat, Reiki udah nunggu tuh,” suara Mama bersamaan tubuhnya masuk ke dalam kamarku.Kami mulai dekat kembali, Reiki selalu mengantarku pergi ke kantor yang sama dengannya. Itu kebetulan yang menyenangkan, ternyata Reiki bekerja di sana sebagai senior Arsitektur. Setelah keluar dari pekerjaannya di Jakarta Reiki cuti untuk mencariku kembali, dan tanpa di duga kami bertemu di halaman kampus menyebabkan kameranya hancur. Itu alasan dia menerima tawaran pamannya yang meminta tolong menga

  • TWELVE   Bab 17

    Aku membuka mata begitu merasakan guncangan pada tubuh semakin kencang. Hal pertama yang aku lihat adalah kegelapan yang menyelimutiku. Aku buru- buru bangun dari posisi tidur untuk duduk dan melihat sekitar. Namun, rasa pening menyerang. Kenapa aku ada di dalam mobil ? Aku berusaha mengingat kejadian sebelumnya dan kilasan kejadian yang terjadi di rumahku terus bermunculan. Satu yang aku ingat sebelum aku tak sadarkan diri adalah aku di bawa oleh Azka.“Azka!”Aku mencari keberadaan Azka. Namun, tak ada siapapun disini. Yang ada hanya pepohonan yang rindang tanpa cahaya satu pun. Gelap.Aku meraba saku jeans, mengambil ponsel. Menyalakannya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu.Ismi : Fidela kamu dimana?Reiki : Dela, tolong angkat teleponnyaMama : Kamu dimana sayang?Papa : Fidela, telepon papa, NakDan banyak lagi pesan – pesan yang muncul. Aku pun tidak tahu ini dimana, kalau pun Azka membawaku. Mengapa tidak membawa ke rumah sakit seperti ucapannya? Suara langkah s

  • TWELVE   Bab 16

    Setelah Azka megantarku pulang, aku tidak masuk kedalam rumah melainkan kakiku melangkah menuju garasi mengeluarkan motor matic yang sudah setia menemaniku kemanapun. Aku berniat untuk ke sebuah taman yang berada di sekolah SD ku untuk mencari ketenangan dan mengenang kembali kenang bersamanya. Satu jam kemudian aku telah berada di halaman sekolah memarkirkan motorku di sini yang menjadi tempat favorit beberapa tahun silam saat aku mengunjungi sekolah ini.“Neng Fidela!” Sapa seorang lelaki paruh baya yang telah berdiri di sampingku dengan senyum menghiasi wajahnya. Aku membalas senyumnya sembari menjabat tangannya.“Mang Ujang, bagaimana kabarnya?” Mang Ujang adalah penjaga sekolahku selama ini sejak aku masih duduk di bangku SD beliau masih setia mengabdi pada sekolah ini, walaupun sekarang sudah tidak muda lagi. Tapi, pekerjaannya dapat diandalkan sekolah ini selalu terlihat bersih apa lagi tamannnya.“Alhamdulilah baik, kalau mang Ujang bagaimana?” jawabku, melemparkan pertanyaan

  • TWELVE   Bab 15

    ‘Pranngg!!!!!’ Aku terperat menghentikan langkahku yang tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu masuk. Seperti suara benda terjatuh, tapi aku sama sekali tidak melihat benda apapun yang terjatuh di sini. Aku terlambat untuk pulang hari ini banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan di kampus.Aku memberanikan diri untuk membalikan tubuhku, aku menyapu pandanganku ke berbagai arah, tetapi tidak menemukan seorangpun di sana. Tanpa menghiraukannya, aku kembali melangkahkan kakiku dan memutar handle pintu. Pintu di hadapanku belum terbuka dengan sempurna, tetapi suara benda terjatuh kembali terdengar dan membuat pikiranku memikirkan hal yang macam- macam. Aku menarik nafas, mencoba menghilangkan ketakutan yang semakin menyelimutiku. Aku kembali membalikkan tubuhku, tanpa disangka mataku kembali menemukan bayangan hitam itu. Astaga bayangan itu kembali, tanpa berkata-kata lagi aku membuka pintu, lalu menguncinya. Aku menyandarkan punggungku pada pintu yang telah tertutup rapat, aku m

  • TWELVE   Bab 14

    Kuatur nafas bersamaan dengan gerakan kedua tangan bergerak dalam hitungan kedelapan, kuganti gerakan lainnya sampai semua pemanasan selesai. Setelah itu kulangkahkan kaki dengan gerakan pelan mengelilingi taman komplek, jogging pagi hari ini tubuhku terasa kaku. Semenjak menjadi asisiten dosen itu aku jadi jarang melakukan olahraga di minggu pagi seperti saat ini. Berhubung dosen pemaksa tidak ada aku manfaatkan untuk olahraga seperti biasa, tapi setelah menerima telepon dan ternyata dia ke rumah sakit. Dia tidak masuk beberapa hari kemana dia, kenapa dia? Ah mungkin dia mengurusi pacarnya. Entah mengapa kenyataan itu membuat aku sesak. Apakah itu cinta? Tidak mungkin, akua tidak mungkin menyukai dosen pemaksa itu. Bukannya itu bagus, aku bisa tenang tanpa kehadirannya.“Dela!” Langkah kakiku terdiam seketika, mataku terbelalak, bukannya orang yang selalu memanggiku dengan ‘Dela’ hanya…“Fidela!” Kali ini kubalikan tubuh memperhatikan seseorang yang tengah berjalan ke arahku dengan s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status