Share

Bab 6

Aku mondar-mandir di dalam  kamar dan sesekali melirik tumpukan uang yang berserakan di atas tempat tidur. Pikiranku kalut. Hari berganti dengan cepat dan hari ini adalah waktu perjanjian itu berakhir. Yang artinya, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti kamera yang kupecahkan. Aku terus menghitung uang yang terkumpul, jumlah uang milikku hanya seperempat dari harga kamera itu atau mungkin lebih sedikit dari itu. Tabunganku sudah habis tidak tersisa. Tidak ada pilihan lain, selain menegosiasi dengan laki-laki itu. Tidak mungkin aku memintanya pada Mama dan Papa mereka bisa curiga aku meminta uang sebanyak itu. Aku sangat stress memikirkan itu semua.

Menghempaskan tubuhku di atas ranjang karena kakiku terasa pegal akibat mondar- mandir. Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel yang berada di atas nakas di sebelah kananku. Deg, begitu membaca tulisan yang tertera pada layar ponselku,’cowo menyebalkan’. Itulah nama kontak laki-laki pemilik kamera itu. Refleks, aku langsung merubah posisi tidurku menjadi posisi duduk setelah membaca pesannya.

Cwo menyebalkan :

Waktu perjanjian sudah habis, saya mau kamera saya kembali hari ini. Saya tunggu di taman komplek dekat rumahmu.

 Setelah membaca pesan dari laki- laki itu aku menghempaskan kembali tubuhku ke atas ranjang tanpa melepaskan gengamanku pada ponsel.

Me : Kamu kan bilang satu bulan lagi.

Cwo menyebalkan : Nggak ada, 10 menit lagi saya sampai. Kalau kamu nggak ada, saya bisa seret dari rumah kamu.

Aku meringis, kejam! Aku melempar bantal ke pingir ranjang, ponsel berdering kembali lalu meraba meraih ponsel tanpa beranjak dari posisi.

Cwo menyebalkan : Siap- siap saya ke rumah kamu.

 Aku menutup wajah dengan bantal lalu memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan saat membuka mata mimpi buruk itu hilang. Akan tetapi, ini kenyataan yang harus kuhadapi. Melempar bantal membalas pesannya.

Me : Iya ya aku ke sana.

Cwo menyebalkan : Bagus.

Tamatlah riwayatku !

Yang keluar dari mulutku hanya desahan lemah. Tidak sampai sepuluh menit aku telah sampai di taman dan duduk di salah satu kursi yang sama saat membuat perjanjian dengan laki- laki itu. Sore hari seperti ini, taman ini cukup ramai pengunjung dari berbagai kalangan. Sepasang anak laki-laki dan perempuan yang berada tidak jauh dari pandangan telah mencuri perhatianku. Mereka duduk beralaskan rumput. Sang anak perempuan terlihat tengah berbicara dan anak laki- laki disampingnya tampak hening dan mendengarkan ocehan anak perempuan itu dengan saksama. Kuperkirakan umur mereka berkisar 8 atau 9 tahun. Terlihat dari gerak bibirnya, jika sesekali anak laki-laki itu menimpali pembicaraan anak perempuan di sampingnya. Sedangkan anak perempuan itu tertawa mendengar celetukan anak laki- laki itu.

Aku jadi mengingat masa kecil yang indah didampingi seorang sahabat yang selalu ada untukku, tetapi entah di mana sekarang sahabat kecilku berada. Sebuah deheman mengalihkan perhatianku dari kedua anak kecil. Aku mengarahkan pandanganku ke sumber suara. Seorang laki- laki duduk di sebelahku tanpa dipersilahkan.

 Aku menghela nafas setelah tau siapa orang di sebelahku. “Bagaimana?” Pertanyaan singkat  penuh arti.

“Aku…”

Bagaimana aku mengatakan padanya jika aku tidak mampu mengganti kameranya itu?

Aku mengigit bibir, kedua tanganku saling menaut.

Dia mengamati wajahku dan aku yakin jika ekspresi kalut terpampang jelas pada wajahku. “Aku belum bisa mengganti… emm… kameramu dengan waktu sesingkat itu,” ucapku ragu. Wajahnya tampak datar tanpa ekpresi apapun.

Terdengar dia menghela nafas gusar dan berkata. “Itu nggak masalah.” Aku menautkan kedua alis, merasa heran mendengar ucapannya barusan.

“Kalau kamu nggak bisa mengganti kamera saya, siap- siap besok mendapat satu peringatan dari pihak kampus. Dan itu sangat mudah buat saya yang sekarang ini menjadi dosenmu,” lanjutnya tajam. Mataku terbelalak mendengar ucapan terakhirnya, perkataannya itu membuat aku semakin kalut.

Bagaimana ini? Aku tidak mau sampai masalah ini melibatkan kuliah. Ucapan laki-laki itu terdengar meyakinkan.

“Aku mohon jangan libatkan kuliahku dengan semua ini.” Aku menyatukan kedua tanganku dan memohon. “Aku janji akan memenuhi semua permintaanmu, tapi tolong jangan sampai kepala dosen atau siapapun tau tentang masalah ini.”

“Apapun?”

 “Iya, apapun itu asal bisa mengganti kameramu itu,” jawabku dengan wajah memelas.

Kami berdua terjebak di dalam keheningan. Laki- laki itu tampak tengah berpikir keras. “Baiklah! Berhubung aku sedang berbaik hati. Aku memberi keringanan. kamu harus mau jadi asistenku.”

“Apa asisten?” Dia menganguk mantap.

“Itu terserah padamu. Mau menjadi asisitenku atau…”  Dia mengantungkan ucapannya, segera aku menyela.

“Iya, aku setuju menjadi asistenmu,” potongku cepat.

“Deal?” Dia mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku menarik nafas. Tidak  ada pilihan lain, “Deal!” Aku menjabat tangannya sebagai bentuk kesepakatan.

Aku dan laki – laki menyebalkan itu selesai bernegosiasi. Aku akan menjadi asisten pribadinya. Dia akan memberitahukan pekerjaanku besok dan  yang membuat aku malas adalah mulai besok dia akan menjemputku menuju kampus. Sebab mulai besok, aku sudah mulai menjadi asistennya laki-laki menyebalkan itu.

******

Ribuan cahaya kecil berkelap- kelip menghiasi hamparan langit yang gelap. Ditambah cahaya bulan dapat membuat malam yang gelap menjadi terang. Bulan dan bintang selalu bersama mengarungi kegelapan malam dan mereka berdua sama-sama menyinari langit malam bersama. Pemandangan langit malam selalu membuatku terpukau. Aku selalu memimpikan pasangan seperti bintang dan bulan. Bersama menerangi kegelapan kehidupan, kerumitan menjadi mudah karna adanya dua kekuatan di dalamnya.

Angin malam semakin menusuk kedalam tulang, Kurekatkan jaket yang aku pakai, tidak ingin beranjak dari kursi rotan di balkon kamar. Tempat ini merupakan tempat favoritku untuk menenangkan diri dari kegundahan. Memandang langit malam seperi ini dapat mengurangi sedikit tumpukan beban pikiran yang memenuhi otakku.

Kreek !

Terdengar suara entah dari arah mana, Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga seraya menajamkan pendengaranku.

“Siapa di situ?”

Seketika gelap, lampu kamarku mati. Seluruh lampu rumah ikut padam dan membuat suasana gelap gulita. Aku berjalan dengan perlahan memasuki kamar, mencoba mencari lilin dengan mengandalkan cahaya dari ponsel menelusuri nakas dan meja belajar. Akan tetapi tidak ada satu pun lilin yang  kutemukan. Aku mengarahkan pada jam dinding, pukul 12.

Kuturuni anak tangga dengan hati- hati. “Bi !”

“Aku yakin Bibi belum tidur jam segini.“

 Aku berjalan menuruni tangga dengan hati-hati menuju kamar Bibi Surti. Mama dan papa sedang tidak ada di rumah, mereka tengah sibuk dengan bisnisnya dan Bibi, dimana dia? Lebih baik aku ke kamarnya.

Kuketuk pintu kamarnya, tidak lama kemudian wajah Bi Surti terlihat dari balik pintu.

“Neng… Kenapa gelap kieu?” tanya Bibi Surti dengan menggunakan bahasa Indonesia berlogat khas Sukabumi.

“Lho… Bi nggak tau kenapa listriknya mati?” Aku berbalik bertanya.

 “Nggak tau atuh, tadi Bibi katiduran jadi nggak tau.”

Pantas saja.

“Bi tolong carikan lilin atau senter untuk menerangi kamarku, terus setelah itu temani aku memeriksa terminal listrik di depan rumah.”

“Siap, Neng.”

Bibi pergi meninggalkanku sendiri di depan kamarnya. Tidak lama kemudian Bibi datang dengan membawa lilin yang menyala dan beberapa lainnya beserta senter yang langsung kuraih dari tangannya. Kemudian, kami berdua berjalan menuju depan rumah dan memeriksa terminal listrik. Jarak terminal listrik cukup tinggi dari jangkauanku. Aku mengangkat kursi yang berada di teras rumah.

“Apa yang bermasalah, Neng?” Bibi hanya memperhatikan kegiatanku sembari memegang lilin yang menyala.

“Kayanya ada salah satu lampu yang konsleting listrik, Bi.” Aku mengeser tombol di terminal itu ke kanan dan semua lampu menyala. Senyum terukir di bibirku. Beruntung, ini bukan masalah serius.

“Coba Bibi mau liat dulu ka rumah.” Aku mengikutinya mencari lampu yang bermasalah. Kami berdua berpencar mencari permasalahan menyebabkan listrik mati.

“Teu aya Neng,” aku juga tidak menemukan apapun penyebab listrik mati.

“Sama Bibi ge, aneh.” Bibi mengangguk mengikutiku duduk di ruang tengah, kantukku kembali menyerang.

“Kaya sengaja gitu Neng, dimatikeun dari kotak yang tadi.”

“Terminal listrik.”

“Iya itu, masa nggak ada yang konslet listriknya mati sendiri kan aneh.” Benar juga kata Bibi, listrik tiba- tiba mati tanpa ada penyebabnya. Ini mencurigakan dan kejadian itu selalu jam 12.

“Neng tidur lagi nanti kasiangan kuliah na, Bibi duluan nya.” Aku menganguk mengikuti Bi Surti menuju kamar mengerjakan tugas yang semakin menumpuk. Aku tidak pernah menyesal mengambil jurusan Arsitektur walaupun harus begadang setiap hari, karena aku telah mencintai jurusan ini. Sesuatu yang kita cintai akan dikerjakan sepenuh hati.

 Aku menaiki tangga menuju kamarku. Langkahku terhenti saat melihat bayangan hitam yang berada di balkon. Betapa bodohnya aku tidak menutup pintu yang menghubungkan balkon dengan kamar.

Aku menelan ludah. Entah keberanian dari mana kakiku melangkah perlahan menuju bayangan hitam itu berada. Detak jantungku berpacu lebih cepat dengan langkah kakiku. Angin dari balkon berhembus kencang hingga ujung tirai terbang mengikuti arah angin yang masuk.

Siapa bayangan hitam itu?  Mengapa dia bisa berada di sini?

Aku menarik nafas, keningku berkerut saat tidak menemukan siapapun disini. Sepi seperti terakhir kali aku meninggalkan tempat ini. Merasa penasaran, Aku mengedarkan pandangan ke penjuru halaman rumah, tetapi tidak ada siapapun. Angin malam berhembus kencang menerbangkan anak rambut yang keluar dari ikatan rambut, aku menangkapnya lalu menyelipkan di balik telinga. Udara dingin di malam ini menembus jaketku hingga tubuhku mengigil kedinginan. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan tidur, tetapi sebelum itu aku menutup pintu kaca buram tidak tembus pandang yang menjadi penghubung balkon dan kamarku. Kemudian menguncinya, takut jika bayangan hitam itu kembali.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status