Hari ini, Zeta memutuskan untuk beres-beres kamar mendiang orang tuanya. Dirinya tak mau jika kamar itu berdebu, dan sekarang ia sedang menyapu dan untungnya tangannya tak terlalu sakit. Zeta mengamati beberapa foto papa dan mamanya yang terpajang apik dimeja, tangannya terulur mengambil foto itu dan mengelusnya. Difoto terdapat gambar dirinya dan kedua orang tuanya sewaktu kecil bermain dipantai, disitu Zeta tengah tersenyum lebar.
"Rasanya Zeta belum percaya kalau kalian udah pergi," monolog perempuan itu.
Karena tak mau bersedih terlalu lama ia pun kembali membersihkan kamar itu, saat sedang asik melipat pakaian mata Zeta tertuju kepada kotak yang ia tak pernah lihat sebelumnya berada di bawah meja. Kotaknya berwarna hitam, dan sepertinya kotaknya sudah lama terbukti dari ada beberapa sarang Laba-laba disana. Zeta pun menghampiri kotak itu dan mengambilnya, ia mengosokkan telapak tangannya guna membersihkan debu yang menempel.
"Kotak? Kenapa berdebu, ngak biasanya mama nyimpen barang dan dibiarkan berdebu seperti ini." Zeta berujar dalam hati.
Perempuan pun membuka kotak itu, didalamnya terdapat map coklat dan foto seseorang. Zeta mengambil foto perempuan yang kisaran seumuranya, namun sepertinya itu foto dahulu. Zeta membalik foto itu, disana ada tulisan tangan yang mirip seperti tulisan mamanya.
Penolongku disaatku terpuruk, thank you Manda.... Anak-anakku kelak akan membantumu...
Jakarta, 14 maret 19**
"Siapa Manda? Anak mama kan cuma aku?" Zeta terus bertanya-tanya dalam hati.
Karena tak mau ambil pusing, Zeta membuka map berwarna coklat tadi. Disana terdapat alamat seseorang dan foto perempuan bernama Manda bersama mamanya sewaktu SMA, mereka berdua terlihat senang. Namun ada 2 alamat, yang 1 terdapat dibawah foto mamanya dan yang satunya lagi terdapat difoto Manda.
Alamat mamanya bukan disini, ia sedari dulu tak pernah diajak ke kediaman kakek nenek dari ibunya bahkan dijakartapun ia hanya bertemu dengan orang tua papanya hanya beberapa kali saja. Selama didesa ia tak pernah sekalipun bertemu dengan kakek neneknya.
Karena pusing memikirkan ini semua, Zeta pun menelfon teman-temannya untuk datang menemuinya dirumah dan beberapa menit kemudian mereka sampai. Zeta mengajak teman-temannya untuk berbicara dikamarnya supaya bisa santai.
"Ngapain kamu nyuruh kita kesini?" tanya Lisa.
"Aku tadi sebenarnya mau cuci mobil terus kamu panggil jadinya ngak jadi cuci mobil deh," celetuk Bea.
"Tapi kamu ngak papa kan Ta?" tanya Bia.
"Biarin Zet ngomong dulu," jelas Ais.
"Hehehe maaf Ta." mereka terkekeh.
"Aku menyuruh kalian kesini karena aku mau minta pendapat," ujar Zeta.
"Pendapat apa?" beo mereka tak paham
"Aku nemuin ini semua di kamar mama papa," ujar Zeta lalu memperlihatkan foto yang ia temukan tadi, teman-temannya memperhatikan foto itu dengan saksama.
"Emang kamu punya saudara?" beo Ais.
"Kata mama aku itu anak tunggal, dulu sebelum pindah kesini aku ngak pernah mengenal saudara entah itu dari mama atau papa," jelas Hara.
"Kok aneh yah," beo Lisa.
"Terus ada tulisan kalau anak-anak mama kamu akan membantu Manda ini," ujar Bea.
"Sedangkan kamu anak tunggal," imbuh Bia.
"Eh, ini alamatnya siapa?" tanya Lisa.
"Aku juga ngak tau, dua alamat ini aku belum pernah kunjungi bahkan mama ngak pernah kasih tau alamat ini," terang Zeta.
"Apa aku kesana aja baut mastiin semuanya," ujar Zeta dan seketika semua mata menuju kearahnya.
"Ini di jakarta Zeta! mana mungkin kamu ke sana." Bea menentang keputusan Zeta.
"Aku mau cari tau, apakah aku punya saudara atau enggak." Zeta mencoba memberi pengertian kepada teman-temannya.
"Kalau kamu kesana gimana kuliah kamu?" tanya Bia berharap Zeta akan merubah keputusannya.
"Aku udah ngak masuk kuliah hampir 4 bulan tanpa keterangan yang jelas, kalaupun aku masuk nanti akan mengulang semuanya dari awal. Dan aku memutuskan untuk keluar dari kuliah karena masalah biaya," ujar Zeta.
"Apa kamu punya biaya untuk ke Jakarta?" tanya Lisa.
"Aku akan jual sebagaian tanah almarhum papa, dan itu buat bekal aku di jakarta. InsyaAllah disana aku akan kerja dan cari tau tentang keluarga mama dan papa," ujar Zeta yakin.
"Apa cukup kalau jual tanah aja?" tanya Ais.
"Tokonya papa akan aku jual juga, lagipula tokonya hampir bangkrut ketimbang nanti nanggung kerugian makanya aku jual aja," ujar Zeta.
"Kalau itu keputusan kamu kita dukung, dan maaf kita ngak bisa nemenin kamu ke Jakarta kuliah Kita ngak bisa tinggal," ujar Lisa tak enak hati.
"Setelah lulus kita akan susul kamu kok, dan juga aku rencana pingin kerja di Jakarta," ujar Bia dan diangguki oleh Bea.
"Kita juga kok," ujar Lisa dan Ais bebarengan.
"Makasih kalian udah mau nemenin aku, aku bersyukur banget bisa kenal kalian," ucap Zeta tulus.
"Kita juga beruntung bisa kenal kamu, kalau udah sampai ke Jakarta hubungi kita yah," peringat Ais.
"Kamujuga harus sering-sering kasih kabar ke kita," tambah Lisa.
"Pasti," jawab Zeta.
"Rencananya kamu akan berangkat kapan?" tanya Bia.
"1 minggu lagi," jawab Zeta.
"Aku masih harus ngurus beberapa urusan disini," imbuh Zeta.
"Kita akan selalu bantu kamu kok," ujar teman-temannya.
Mereka pun berpelukan dan saling bertukar cerita. Zeta pun dibantu teman-temannya untuk menjual tanahnya dan hanya beberapa jam tanah yang ia jual laku dengan harga tinggi.
Letak tanahnya bisa dibilang strategis dan banyak sekali yang menginginkan tanah itu namun papanya tak mau menjual dikarenakan orang yang ingin membelinya dulu berencana membuat pabrik yang otomatis akan mencemari desa dan membuat suasana tak nyaman akibat kebisingan belum lagi polusi udara nantinya.
Zeta pun sudah mengetahui jika yang beli tanahnya akan membuat supermarket karena di6desa tak ada supermarketnya kalaupun ada itu tempatnya jauh sekali dari kediaman Zeta hampir memasuki wilayah kota.
Zeta bersyukur karena toko papanya juga sudah laku dibeli oleh orang tua Bia dan Bea, rencananya toko itu akan diperbaiki dan dijadikan rumah makan. Sekarang ia tinggal mengurus surat-suaratnya semoga saja ini jalan terbaik buat dirinya kedepannya.
Keputusannya untuk menjual tanah dan toko sudah dipikirkan matang-matang, ia sendiri akan lebih belajar hidup mandiri. Untuk rumahnya ia tak akan menjualnya karena itu peninggalan papa dan mamanya yang mereka beli dengan kerja keras mereka, di rumah itu pula banyak sekali tersimpan kenangan ketika dirinya dan mereka berkumpul bercanda tawa bahkan menangis bersama.
Mengingat itu semua Zeta menjadi sedih, apalagi dulu jika ingin berangkat kuliah mamanya selalu memberikan dia susu katanya supaya ia kuat dan tak mengantuk saat belajar.
Orang tua Zeta sealu mendukung apapun itu keputusannya, mereka tak pernah menuntutnya ini itu. Bisa kalian bayangkan betapa bahagianya Zeta dulu, haha pasti banyak yang iri akan memiliki kehidupan seperti Zeta.
Hari adalah hari keberangkatan Zeta kekota, sekarang ia tengah bersiap-siap. Perempuan itu melihat ulang barang bawaanya, dan untuk rumahnya nanti akan dihuni oleh beberapa orang yang memang tak punya rumah atau rumahnya tak layak huni, dengan begitu rumahnya tak akan kosong dan ia bisa berbuat baik.Ketimbang rumahnya dibiarkan kosong tak terawat nantinya ia sendiri yang rugi dan untuk kamar kedua orangtuanya tetap ia biarkan seperti itu dan tak ada yang boleh menempatinya, entahlah dia hanya ingin suasana didalamnya seperti dulu.Bahkan orang yang akan menempati rumahnya sampai sujud syukur di kakinya, Zeta pun tersenyum ia berfikir semua nikmat didunia ini hanya titipan Tuhan yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemiliknya. Selagi kita bisa membantu, bantulah mereka yang kesusahan tenang saja harta mu tak akan habis."Apa yah yang belum." Zeta mengecek barang bawaannya, ia membawa barang cukup banyak dikar
Zeta sudah sampai di Jakarta, dirinya menyewa apartemen untuk tempat tingal nya selama beberapa bulan kedepan. Apartemen yang ia sewa tidak terlalu luas karena hanya ia sendirian yang akan menempatinya, didalamnya hanya ada 1 kamar tidur dan dapur ada juga ruangan yang tak terlalu Luas untuk menonton TV.Perempuan berlesung pipi itu juga membawa beberapa foto yang ia temukan dikamar orangtuanya tempo hari lalu. Sekarang Zeta tengah duduk ditengah kasurnya sembari mengamati beberapa foto yang berisikan alamat, ia mengetuk-ngetukkan jarinya didagu seolah sedang berfikir.Apakah ia akan datang ke alamat itu? atau datang ke alamat yang tertera dibawah foto sang mama?. Hanya petunjuk itu yang Zeta punya, apalagi ia disini baru beberapa Hari jadi jika ingin kemana-mana ia hanya mengandalkan maps dan naik angkutan umum ataupun taksi."Apa aku datang ke alamat Manda ini yah?" monolog Zeta.
3 hari berlalu, Zeta sama sekali tak pernah keluar dari apartemen. ia memenangkan pikirannya yang amat sangat kacau, HP nya pun sengaja ia matikan dan untung saja ia sudah belanja kebutuhan makanan tempo hari lalu jadinya ia masih bisa makan didalam apartment tanpa harus keluar.Setelah mengetahui fakta jika ia punya saudara kembar Zeta tak melakukan apapun, otaknya seakan tak bisa ia gunakan untuk berfikir jernih. Supaya Zeta tak salah langkah jadi lebih baik ia memenangkan diri dulu.Selama di apartemen kegiatan Zeta hanya makan tidur dan menangis, menangis? Ya Zeta menangis membayangkan nasib kembaran berada di antara keluarga yang tak mempunyai Hati.Pantas saja dulu ia sering melihat mamanya menangis sendiri di kamar dan ketika ditanya kenapa pasti beliau menjawab tidak apa-apa, dan sejak saat itu setiap mamanya menangis Zeta tak menanyakan apa-apa lagi.Dimana saudara ke
Zeta akan menemui kembarannya hari ini, entah bagaimana caranya yang penting ia harus menemui dia. Perempuan berlesung pipi itu sudah membawa alamat apartemennya yang ia taruh didalam tas, dan sekarang dirinya tengah menunggu bis di halte.Cuaca hari ini cukup panas, Zeta mengusap peluh di dahinya dan untung saja ia memakai baju lengan pendek, jadinya tak terlalu panas.Menurut notif HPnya 15 menit lagi bus nya datang, mata Zeta melihat sekelilingnya dan tatapanya terkunci pada salah satu pedagang minuman yang sudah tua sedang berjalan sembari mendorong gerobaknya. Karena dirinya haus Zeta pun menghampiri penjual itu kebetulan juga bus nya belum datang.TinCkitKarena tak melihat kanan kiri Zeta pun hampir ditabrak oleh salah satu mobil, perempuan berlesung pipi itu jongkok karena ketakutan dirinya menutup telinganya kala suara ban bergesekan dengan aspal terng
Siapa yang tak mengenal dirinya? Keturunan keluarga Lixston yang kaya raya, mempunyai perusahaan diberbagai bidang yang sukses hingga kini. Zio, itulah nama panggilannya, wajahnya tampan dengan sorot mata tajam bak elang.Di umurnya yang masih muda Zio sudah mempunyai perusahaan sendiri yang terkenal hingga mancanegara.Kata orang hidupnya enak, dikelilingi harta berlimpah apapaun dia bisa lakukan namun nyatanya kehidupannya tak seindah itu.Faktanya Zio kesepian, sunyi, gelap, sepi itu semua adalah temannya dari dulu. Zio memang susah bergaul, dia hanya memiliki 2 orang teman baik saja. Mereka ada disaat ia susah maupun senang.Sekarang Zio tengah duduk diruang kerjanya yang berada di apartemen, dihapannya terdapat laptop dan beberapa berkas-berkas ditemani kegelapan hanya ada cahaya yang berasal dari laptop miliknya. Zio tak fokus dengan pekerjaan, dia mematikan laptopnya dan bersender di
Kini Zeta tengah duduk berhadapan dengan sang kembaran, tepatnya dikantor milik Zio. Butuh perjuangan untuk bisa sampai kesini, lantaran banyak bodyguard yang melarang Zeta untuk masuk. Dengan tangisan dan mohon-mohon akhirnya Zio mau bertemu dengan Zeta.Sejak 10 menit suasana hening, Zeta sendiri tak tau ingin memulai obrolan dari mana. Zio sendiri hanya sibuk berkutat dengan laptopnya, seolah tak menghiraukan keberadaan Zeta. Diruangan ini terasa sepi, bahkan terlihat menyeramkan, lantaran temboknya berwarna gelap bahkan hiasanya pun warna gelap."Bisa kita berbicara?" Akhirnya Zeta lah yang lebih dulu membuka obrolan."Hm," dehemnya.Zeta menghela nafas, dirinya ingin menangis sekarang namun dia sadar ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya bukan malah menangis."Kamu ngak mau kemakam mama papa?" tanya Zeta takut-takut.
"Apa yang sebenarnya terjadi Rey?" Tanya Zeta khawatir apalagi melihat keadaan Rey yang kacau. Reyasa masih menggunakan jas dokter nya dan matanya sembab kemungkinan besar Rey sehabis menangis.Beberapa jam yang lalu....Reyasa tengah berada dirumah sakit, namun tiba-tiba sang mama menyuruh dirinya untuk cepat-cepat pulang. Untungnya pasien sedikit jadinya tak apa jika dirinya pulang lebih dahulu. Reyasa pulang nenggendarai mobil, dia bergerak gelisah ditempat duduk nya. Tadi ia sempat mendengar nada bicara sang mama yang nampak khawatir.Sampailah Rey dirumahnya, dirinya melihat semua barang-barang diruang tamu berantakan, banyak pecahan gucci dimana-mana. Rey melihat sang ibu yang tengah duduk dimeja makan, dengan tangan yang dilipat dimeja dan menatap kedepan dengan pandangan kosong.Rey menghampirinya dan mengelus pundak Manda pelan, ia takut terjadi sesuatu kepada mama ya
Pagi tlah datang, Zeta mengerjapkan matanya karena sinar matahari mengenai retina matanya. Perempuan itu mengeliat pelan, ia melihat kesamping dan ternyata Nathan dan Syika masih tertidur. Zeta hampir lupa jika dirinya membawa mereka pulang. Kemarin Zeta sempat membelikan mereka baju."Nathan, Syika." Zeta menepuk-nepuk pelan pipi mereka. Tak lama Syika mengeliat karena merasa tidurnya terusik."Kakak?" Syika duduk ditepi ranjang sembari mengucek matanya."Jangan diucek, Syi." Zeta mencegah tangan Syika yang ingin mengucek matanya lagi."Bangunin Natha gih," suruh Zeta dan Syika pun mengangguk. Zeta memanggil mereka dengan sebutan Syi dan Nath supaya manggilnya lebih simpel.Anak perempuan berusia 4 tahun mulai membangunkan sang kembaran dengan menarik-narik tangannya pelan. Tak ada 5 menit mereka sudah terbangun membuat Zeta tersenyum kecil.