Share

6. Menjemput Hawa

“Mau ketemu siapa Mas?” tanya seorang bidan junior yang masih magang.

“Bilangin aja Adam datang,” ucap Adam super singkat pada bidan yang masih sangat muda itu. Di hadapan wanita dia begitu terlihat ketus dan sangar. Namun sikapnya yang seperti itu malah menjadi magnet tersendiri yang menarik para gadis. Bidan itu malah salah tingkah melihat Adam yang mempesona.

“Keluarga pasien Mas?”

“Bukan, adiknya Bu Hawa …” jawab Adam kesal.

“Adiknya Bu Hawa? Maaf aku kira keluarga pasien,” ucap bidan itu sembari terus tersenyum. Adam masih memasang wajah datar dan malah kesal mendengar ocehan bidan itu.

“Mas Adam, kenapa gak langsung naik ke atas aja?” tawar bidan itu sembari memainkan jemari tangannya, tak bisa diam.

“Nggak, aku nunggu di sini,” balas Adam langsung duduk di ruang tunggu bergabung dengan para keluarga pasien yang baru saja melahirkan.

“Istrinya lahiran juga?” tanya pria seumuran Adam di sebelahnya.

Dahi Adam langsung berkerut. “Enggak,” jawabnya singkat.

Bidan itu pun langsung berlari kecil menaiki lantai dua di mana Hawa berada. Dia tersenyum kecil mengingat Adam. Dia mengagumi sikap Adam yang ‘cool’ atau keren menurut gadis jaman now.

“Bu … hola!” ucap bidan itu sembari tersenyum. Matanya berbinar seperti kembang api.

“Apa Putri …” sahut Hawa sembari membuang sarung tangan lateks bekas membantu pasien lahiran baru saja.

“Mas Adam, baru saja datang. Dia ada di bawah di ruang tunggu,” 

“Serius? Suruh ke sini buruan …”

“Dia gak mau Bu. Dia mau nunggu di bawah aja,”

“Lah kok gitu,” 

Hawa menggelengkan kepalanya. Dia langsung menarik leher kran dan mencuci tangannya dengan air bersih.

“Sayang, handuk!” 

Tiba-tiba suami Hawa menyembul dari pintu kamarnya dan berteriak.

“Putri, bilangin ke Adam nanti Ibu ke sana sebentar lagi. Ibu mau mengurus bayi besar dulu,” ucap Hawa pada asisten bidannya itu.

“Asiapp!” jawab Putri dengan menaruh telapak tangan kanannya ke atas dahi. Dia memang terlihat kocak. Hawa hanya bisa menepuk jidatnya melihat kelakuan Putri yang memang masih sangat muda, agak sedikit lucu.

“Kok lama sih ambil handuk aja kayak galapagos aja sih … cepat!” titah suami Hawa lagi bernada penuh penekanan.

“Ckck! Udah dibilangin galapagos, kura-kura, siput lama kelamaan istrinya dikatain cunguk sama curut,” gerutu Hawa dengan wajah yang cemberut.

Hawa cukup sabar menghadapi suaminya. Dia langsung menyodorkan handuk itu melewati pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

“Kok gak masuk?” goda sang suami.

“Enggak … cepat terima handuknya,”

Tangan Hawa merasa pegal.

“Ayolah masuk,”

Tangan sang suami menarik handuk dan tangannya sekaligus. “Sepertinya seru kalau flash …”

“Ish, Bang, ada Adam di bawah sudah nunggu,”

Hawa menarik kembali tangannya sehingga membuatnya terlepas dari cengkraman tangan kekar sang suami.

“Adam, mau ngapain?” tanya suami Hawa seolah tak tahu apa-apa.

“Gak tahu, aku temui dulu ya Bang,” tukas Hawa meninggalkan sang suami yang membuang nafas kasar. “Dasar si Adam! Gangguin aja,”

“Pakaian sudah siap Bang dia atas nakas,” ucap Hawa lagi.

Fadel suaminya sangat manja dan segala sesuatu harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh sang istri. Beruntunglah Hawa cukup sabar menghadapinya. Jika dia tidak sabar sudah bisa dipastikan rumah tangganya akan berujung pada perceraian. Keluarga Fadel sangat patriarkis. Suami selalu mendominasi istri dalam sebuah keluarga. Mereka mirip bangsa Athena tempo dulu yakni hanya kaum pria yang boleh menjadi politisi dan menjabat profesi-profesi penting di pemerintahan. Begitupula dalam sebuah ikatan pernikahan dan keluarga suami memiliki posisi sangat penting. Cara parenting mereka yang seperti itu membuat Fadel juga melakukan hal yang serupa seperti apa yang dilakukan oleh ayahnya pada ibunya. Fadel meniru gaya mereka.

Padahal dalam agama tidak ada istilah patriarki. Agama Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara lelaki dan perempuan. Di hadapan Allah mereka sama dan tak bisa dibeda-bedakan. Hanya keimanan dan ketakwaan yang membedakannya.

Gegas, Hawa mengangkat ujung gamisnya dan menuruni anak tangga dengan hati-hati. Dia tidak mau tergesa-gesa khawatir jatuh seperti tempo dulu. Netranya langsung menyebar mencari keberadaan Adam.

“Adam …” panggil Hawa yang sudah berada di ruang tunggu sementara itu Adam karena merasa pegal dia memilih berdiri dan berjalan mondar-mandir di tempat parkiran. Sesekali dia menengok arlojinya dan bergumam tak jelas.

Adam menoleh dan tersenyum tipis sekali. Berbeda dengan Hawa sang kakak yang langsung menghambur memeluknya dengan senyum yang lebar, seolah melepas kangen dengan adik tercintanya karena telah lama tidak bertemu. Kesibukan masing-masing telah memberi mereka jarak. Hawa memeluk Adam seperti memeluk guling. Adam sampai kesulitan bernafas. Lalu Adam melirik ke sekeliling karena rasa malu kakaknya memperlakukannya seperti itu.

“Ada apa kamu pagi-pagi begini datang?” telisik Hawa sembari merenggangkan pelukannya. Hawa tidak tahu maksud kedatangan adiknya itu. Fadel lupa jika semalam Ustaz Bashor meneleponnya. Dia tidak memberi tahu Hawa yang saat itu sedang tertidur pulas karena letih sepulang membantu persalinan yang mengalami komplikasi.

“Teh, emang Bang Fadel gak ngomong ke Teteh?”tanya Adam.

Hawa langsung meraih bahu Adam agar duduk di ruang tunggu dan mulai bercerita.

“Bang Fadel gak ngomong apa-apa. Kayaknya dia lupa,”

“Teh, sekarang kita pulang …”

“Pulang?”

“Emang ada apa?”

“Selina, Teh …”

“Kenapa dengan Selina?”

“Selina mengurung diri di kamar dan tak mau bicara sama sekali …”

“Bentar, Abah dan Ummi sudah memberitahu soal jati dirinya?”

“Sudah, eh belum dia keburu dengar dari percakapan yang terjadi secara gak sengaja antara Abah dan keluarganya Aqsa,”

Hawa menautkan kedua alisnya bingung.

“Teteh gak ngerti,”

“Jadi begini lo Teh, Abah telat memberi tahu Selina soal dia bukan anak kandung Abah dan Ummi. Dia terus aja bilang nanti dan nanti. Hasilnya keluarga Aqsa keburu datang dan mau tak mau deh Abah bilang yang sebenarnya kalau Selina bukan anak kandung Abah dan Ummi. Selina diam-diam datang ke rumah lewat pintu belakang alhasil Selina denger,”

“Astagfirullah,” 

Hawa mengusap dada.

“Taaruf?”

“Batal,”

“Batal?”

“Keluarganya Aqsa merasa gak bisa nerima aja kalau Selina bukan anak kandung Abah dan Ummi. Ya, mungkin ini soal nasab yang tidak jelas,”

“Bisa jadi,”

“Baiklah, Teteh mau minta izin dulu pada Bang Fadel. Mudah-mudahan dia mengijinkan,” ucap Hawa dengan  berat. Fadel benar-benar otoriter sehingga terkadang dia seperti lembaga perizinan bagi Hawa untuk melakukan apapun. Jika Hawa melanggar saja izinnya maka dia akan murka.

“Bang, sudah mandinya?” tanya Hawa pada Fadel yang sedang menyemprotkan parfum Prancis ke tubuhnya. Dia seorang pria yang sangat menjaga penampilannya. Tak bisa dipungkiri Hawa benar-benar terpukau melihatnya.

“Smell good!”

Hawa mengendus-endus aroma parfum seperti seekor kucing Persia. Ya, dia tak ubahnya seekor kucing Persia yang berusaha merajuk karena memiliki keinginan yaitu meminta ijin untuk pulang ke Cianjur ke pesantren.

“If you say smell good, come here … kiss me,” ucap suaminya.

“Baiklah, tapi aku ada satu permintaan Bang,”

Hawa melingkarkan kedua tangannya ke tubuh suaminya dari arah belakang.

“Mau pulang ke rumah Abah?”

Hawa lantas mengangguk manja.

“Huuh,”

“Tapi jangan menginap, kamu juga punya pasien yang suka nyariin kamu,”

“Iya Bang siap,”

Hawa langsung berjinjit mencium pipi berjambang suaminya.

“Yess,” batin Hawa. 

Hawa langsung menyambar tas kesayangannya dan meluncur lagi ke bawah. Suaminya akan pergi ke rumah kedua orang tuanya.

“Putri, kalau ada apa-apa hubungi Ibu ya, telepon! Awas jangan sampai sembarangan lagi menangani pasien!”

“Ahsyiapp Bu!”

Putri mengedipkan matanya sebelah.

“Awas! Alat-alat partus! Jangan sampai ketuker lagi!” ujar Hawa lagi mengingatkan Putri yang sedikit ceroboh.

“Tenang, Bu! Aku pasti VC!” cicit Putri.

“Teh, gak apa-apa pake motor?” tanya Adam menepuk bahu Hawa.

“Gak apa-apa Dam! Teteh suka, akhirnya bisa menghirup aroma kebebasan setelah dipingit kayak anak perawan terus,”

Adam hanya mendelik, “ Emang Bang Fadel masih larang ini itu?”

“Iya, Adam! Stubborn masih kayak dulu, bahkan Teteh kerja di puskesmas di mana Bang Fadel jadi kepalanya ‘kan nyebelin,”

Adam hanya merasa kasihan pada sang kakak di mana diperlakukan seperti budak oleh suaminya. Jika perceraian itu tidak dibenci Allah, Adam ingin sekali menyuruh kakaknya untuk berpisah dengan pria keras kepala itu. Namun cinta membuat setiap insan buta. Sang pecinta akan melakukan apapun demi orang yang dicintainya.

Sekitar satu jam setengah mereka akhirnya tiba di Cianjur. Kebetulan jalanan Sukabumi-Cianjur lengang sehingga tidak macet.

Ummi Sarah sudah menanti kehadiran Hawa di teras sembari menyapu halaman rumah. Dia sudah tak sabar ingin bertemu putri sulung kesayangannya.

“Ummi!” pekik Hawa berlari kecil ke arah Ummi Sarah.

“Ya Allah, Hawa …” ucap Ummi Sarah dengan air mata bahagia.

“Abah mana Ummi?”

“Masih di masjid,” jawab Ummi Sarah.

“Ummi, di mana Selin?”

“Masih di kamar,”

Hawa pun berjalan masuk ke rumah menuju kamar Selina.

Tok, tok, tok

“Selina! Ini Teh Hawa …” ujar Hawa sembari mengetuk pintu kamarnya dengan pelan tapi penuh penekanan. Namun tak terdengar suara apapun dari dalam kamar Selina.

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status