Share

5. Mimpi Buruk

“Kamu jangan menelpon Teh Hawa. Kamu harus menelpon suaminya,” sahut Ustaz Bashor.

"Benar yang dikatakan Abah, Adam," ucap Ummi Sarah. Dia lupa jika Fadel suami Hawa begitu posesif sehingga untuk meminta izin keluar saja, ke rumah orang tuanya harus memintanya dengan merajuk.

“Teh Hawa nanti pasti minta ijin suaminya Abah,” kata Adam.

"Baiklah, Abah yang telepon," tukas Ustaz Bashor.

Perbincangan soal Selina terus dilakukan. Adam diminta untuk menjemput Hawa agar bisa membujuk dan menasehati Selina.

Sementara itu Selina bangun dari tempat tidur dan duduk dengan memeluk kedua tangannya. Tubuhnya lemah seiring dengan tangisannya yang mengering. Beberapa kali Shiza menelponnya tapi dia tidak mengangkatnya. Selina seolah lupa akan perasaannya pada Aqsa. Yang dia pikirkan ialah mengapa Tuhan menakdirkannya untuk terlahir ke dunia ini dari rahim seorang wanita malam yang benar-benar jauh dari pikirannya selama ini. Dia pun akhirnya ketiduran karena lelah setelah menangis terus menerus hingga suara alarm alam membangunkannya.

 Semua tampak gelap gulita kecuali sebuah pondok yang berada di penghujung jalan yang dikelilingi pohon pinus yang menjulang tinggi bak tiang-tiang listrik raksasa. Ada temaram cahaya lampion yang berpendar tergantung di depan teras pondok itu. Gadis itu terus berjalan ke arah pondok tua yang terbuat dari kayu tua yang nyaris lapuk dimakan usia. Lantas dia melihat ada beberapa orang sedang berbincang yang tak jelas. Mereka sedang mengelilingi seorang wanita paruh baya di depan pondok tua itu.

Gadis itu memberanikan diri menghampiri kerumunan para pria berwajah salon dan berambut klimis serta berpakaian fashionable mirip CEO itu hanya sekedar memenuhi dahaga penasaran yang bermukim di kepalanya. Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk melewati ilalang yang menjulang dia mendekat ke arah mereka, semua pria itu langsung menyingkir dan yang terlihat hanyalah seorang wanita paruh baya yang sangat cantik dan mirip dengannya.

“Kamu siapa? Mengapa kamu mirip denganku?” tanya gadis itu dengan segurat penasaran. Dahinya berlipat bagai akordion. Wanita yang berdiri mematung di hadapannya melayangkan seutas senyum ambigu, yang tak bisa dipahami oleh gadis itu.

“Aku adalah dirimu …” lirih wanita itu yang suaranya nyaris tenggelam karena tiba-tiba terdengar dari kejauhan suara ombak yang memecah karang di pantai berpasir putih tak jauh dari sana. 

“Apa? Aku tak bisa mendengarmu …” kata gadis itu semakin mendekatinya hingga hanya berjarak satu meter. Namun wanita itu seketika berwajah pucat bagai kunarpa seolah dia baru saja kehilangan asupan oksigen yang memasok organ paru-parunya.

“Selamatkan aku …” ucapnya lagi dan tiba-tiba menghilang. Sontak, nafas gadis itu terengah-engah seolah baru saja tenggelam dalam kolam lumpur tatkala melihat wanita yang mirip dengannya menghilang ditelan gelap.

“Astagfirullah …” gumam gadis itu yang tak lain Selina. Dia baru saja mengalami mimpi buruk. Keringat dingin mengucur deras di tubuhnya. Barangkali mimpi barusan adalah mimpi terburuk yang pernah dialami sepanjang hayatnya. Dia merasa senang berjumpa dengan wanita yang samar-samar mirip dengannya tapi merasa takut sekaligus karena wanita itu menghilang dan butuh pertolongannya. Wanita itu seolah mengirim sinyal untuknya agar menyelamatkannya.

“Mungkin ini mimpi datangnya dari setan … argh, aku ketiduran bahkan sebelum aku membaca doa dan berwudhu,” 

Selina bersenandika.

Selina pun langsung beringsut dari tempat tidur untuk berjalan mengambil air minum yang terletak di mesin dispenser tak jauh dari lemari pakaian.

Glek, glek, glek,

Selina mengambil segelas air putih dan duduk untuk meminumnya.

“Apakah wanita yang berada di alam mimpi itu ibu kandungku? Aku harus cari tahu siapa ibu kandungku … lalu ayahku? Ayahku siapa? Apakah ayahku salah satu pelanggan setia ibuku?” tanya Selina sembari mengusap wajahnya. Dia tak bisa membayangkan jika ibu kandungnya telah sering disentuh oleh banyak pria. Dia bergidik membayangkannya. Bulu romanya berdiri seperti jarum.

Selina melirik pada jam dinding klasik yang menunjukan angka jam dua pagi. Mungkin mimpi itu adalah bentuk alarm alam yang membangunkannya untuk melaksanakan shalat qiyamul lail di sepertiga malam. Lantas dia berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Lalu dia melaksanakan shalat tahajud seperti biasa. Setelahnya dia menengadahkan kedua tangannya, untuk berdoa.

“Ya Allah, aku tak tahu perasaanku saat ini. Maaf, hambaMu ini sangat kecewa padaMu. Mengapa Engkau tiba-tiba memberikanku takdir yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Seperti kiamat bagiku saat tahu jika aku bukan anak Abah dan Ummi. Lantas ibu kandungku seorang pelacur … ayahku? Aku tak tahu siapa ayah biologisku. Apa mungkin dia juga orang yang fasik seperti ibuku? Rasanya aku benar-benar terpuruk ya Allah. Ya Allah, tunjukilah bagiku jalan yang harus aku tempuh. Aku benar-benar marah pada keadaan yang menimpaku, tapi sungguh aku tak pernah marah pada Abah dan Ummi yang merahasiakan semua ini. Lapangkanlah hatiku agar mau menerima semua ini,”

Di sela doanya Selina menangis dengan terisak-isak. Dia tak mampu lagi menahan gejolak kesedihan yang terkurung dalam dadanya. Malam itu seolah dia menumpahkan segala rasa itu dengan mengadu pada sang Kuasa.

Setelah menunaikan shalat tahajud, berdoa, berdzikir dan membaca beberapa mushaf alquran Selina tidak tidur lagi. Jam tiga pagi pondok pesantren sudah ramai karena para santriwan dan santriwati pun sudah bangun seperti halnya Selina melaksanakan shalat tahajud dan membaca alquran. Terdengar di luar kamar pun Ummi dan Abah Selina berisik sudah mengobrol usai shalat malam. Namun Selina tetap tidak keluar kamar. Dia duduk di dekat jendela karena kebetulan kamarnya ada jendela berteralis besi yang langsung menghadap ke arah taman berisi tabulampot di samping rumah. 

Selina menyibak tirai berbahan emboss berwarna coklat kenari perlahan. Lalu dia menjentikkan jarinya, mendorong jendela agar terbuka sedikit sehingga dia bisa menghidu aroma udara yang segar saat pagi buta. Dia menatap kosong keluar. Namun seketika sekelebat siluet Aqsa muncul. Seolah harapannya pupus sudah untuk menikah dengannya. Dia menyeka air matanya yang tampak ijin luruh melewati pipinya yang mulus.

Lama dia berada di dekat jendela hingga tak terasa suara adzan subuh menggema. Dia langsung meraih handuk dan mandi dengan air dingin. Meskipun saat ini dia sedang memikul masalah yang teramat berat tapi dia tetap berusaha mengubur perasaan kalutnya sesegera mungkin karena dia akan mengajar. Tak mungkin dia membolos tanpa alasan. Dia tetap profesional dengan pekerjaannya.

Selina mengeluarkan seragam mengajar kebanggaannya dan menatapnya dengan penuh haru.

“Apakah Ibu tahu jika sekarang aku sudah menjadi guru? Guru PNS …”

Selina menghela nafas panjang. Beberapa detik kemudian dia langsung mengenakan seragam mengajarnya itu. Dia lupa kalau hari itu hari minggu. Seolah dia mengalami disorientasi waktu.

Selina keluar kamar sembari melihat ke kanan dan ke kiri. Dia tak mau bertemu dengan Abah dan Ummi-nya. Ustaz Bashor seperti biasa sedang mengajar para santri di masjid sedangkan Ummi Sarah pergi ke pasar bersama Ceu Sari. Sementara itu Adam sedang pergi menuju rumah sang kakak Hawa Fatimah. Sesuai rempug semalam, baik Ustaz Bashor dan Ummi Sarah telah berencana untuk memanggil Hawa agar membujuk Selina.

Beberapa santriwati lewat dan melihat Selina dengan saling berbisik tetangga dan terkekeh pelan. Selina hanya menautkan kedua alisnya yang melengkung sempurna.

“Kamu yang kasih tau …” kata santriwati yang tengah mengapit sebuah kitab kuning di dadanya.

“Enggak, ah, kamu aja, soalnya takut tersinggung …” kata yang lain santriwati yang menenteng tas bahu berisi kitab kuning juga.

“Kalian kenapa?” tanya Selina yang penasaran melihat mereka.

“Maaf, Teh Selina, Teteh mau ngajar bukan?” kata santriwati yang mengapit kitab kuning.

“Iya, emang ngapain pake seragam kalau bukan mau ngajar,” jawab Selina sedikit ketus tak seperti biasanya. Para santriwati kaget melihat ekspresi yang muncul dari wajah Selina yang tak ramah.

“Teh, sekarang hari minggu,”pungkas santriwati di sebelahnya. Mereka saling pandang dan langsung berjalan terburu-buru menuju masjid karena mereka memang telat pergi ke masjid untuk mengaji ‘setoran’ kitab kuning.

“Astagfirullah … aku sampai lupa hari,” gerutu Selina. Dia pun langsung kembali ke kamarnya dan menguncinya lagi dari dalam. Di dalam kamar Selina kembali menangis dan terus menangis hingga ketiduran lagi. 

Sekitar pukul sepuluh terdengar suara familiar, seorang wanita memanggil Selina.

Tok, tok, tok

“Selina! Ini Teh Hawa …” ujar Hawa sembari mengetuk pintu kamarnya dengan pelan tapi penuh penekanan. Namun tak terdengar suara apapun dari dalam kamar Selina.

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status