Share

8. Tidak puas

Penulis: Donat Mblondo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-01 20:24:08

Kekacauan segera terjadi. Para pelayan berlarian, beberapa pengawal langsung menghadap Perdana Menteri dan melaporkan situasi tersebut.

Tak butuh waktu lama, sang tabib dipanggil. Perdana Menteri sendiri berjalan tergesa-gesa menuju kamar Sua dengan wajah tegang.

Begitu ia tiba di dalam kamar, pemandangan yang terlihat membuatnya terkejut. Sua terbaring lemah di tempat tidur, tubuhnya tampak pucat, bibirnya membiru, dan keringat dingin membasahi dahinya. Napasnya pendek dan tersengal-sengal, seolah ia benar-benar dalam kondisi kritis.

"Ayah …." Suara Sua terdengar serak dan lemah. "Aku… aku merasa sangat sakit…"

Perdana Menteri berbalik ke arah tabib. "Periksa dia!"

Tabib itu segera mendekat, memegang pergelangan tangan Sua untuk memeriksa denyut nadinya. Bae Ya berdiri di sudut ruangan, menggigit bibir, berusaha terlihat ketakutan.

Sua berusaha mengontrol tubuh agar tetap lemas. Ia menggigit bagian dalam bibirnya sedikit lebih keras hingga ada sedikit darah yang muncul, memperkuat kesan bahwa tubuhnya benar-benar melemah.

Setelah beberapa saat, tabib mengangkat wajahnya dengan ekspresi serius. "Tuan, ini gejala keracunan ringan… tetapi jika tidak segera ditangani, bisa berakibat fatal."

Perdana Menteri menyipitkan mata. "Siapa yang melakukan ini?!"

Bae Ya menunduk dengan badan yang dibuat gemetar. "Makanan itu … hamba mengambilnya dari kepala pelayan, Tuan." ucapnya lirih.

Perdana menteri terdiam sesaat, lalu menoleh ke arah salah satu pengawal. "Panggil kepala pelayan! Bawa dia ke hadapanku!"

Cai Ji yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, membelalak tidak percaya.

‘Bagaimana bisa?!’ pikirnya. ‘Seharusnya Kakak langsung mati setelah minum racun itu, bukan meminta keadilan seperti ini!’ Wajahnya memucat saat melihat tatapan sang ayah penuh kemarahan. Namun, meskipun tidak berjalan sesuai rencana, tak lama kemudian raut wajahnya berubah menjadi senyum seringai penuh misteri.

Sementara itu, di ranjang, Sua menutup matanya dan tersenyum tipis dalam hati. Ia tetap berbaring, tubuhnya masih tampak lemah, tetapi pikirannya bekerja cepat. Sandiwara ini sudah berjalan sesuai rencana. Kini, ia sedang mengamati dan sangat menantikan hasilnya.

"Tuan, hamba menemukan racun lain di tubuh Nona Pertama," kata sang tabib.

"Ada racun lain?" Wajah Han Feng berkerut.

Tabib mengangguk. "Ini adalah racun kulit. Racun ini sudah mengikis habis seluruh permukaan kulitnya. Kalaupun dalam beberapa hari sembuh, mungkin akan meninggalkan bekas."

"Jangan katakan apapun! Obati seadanya saja!" kata sang perdana mentri.

"Baik, Tuan. Hamba akan menyiapkan obatnya."

Perdana Menteri mengalihkan pandangannya pada Sua, lalu pada kepala pelayan yang baru saja digiring masuk oleh para pengawal.

Kepala pelayan itu berlutut dengan tubuh gemetar. "Ampun, Tuan! Hamba tidak tahu apa-apa!"

Perdana menteri menatapnya tajam. "Makanan ini dari tanganmu. Jika bukan kau yang meracuni, lalu siapa?"

"Ha-Hamba hanya menerima dari dapur untuk menjalankan tugas, Tuan!"

"Siapa yang memerintahmu?"

Kepala pelayan menundukkan kepala lebih dalam. "Ti-tidak tau ...."

"Katakan yang sebenarnya, atau nyawamu jadi taruhannya!" bentak sang perdana menteri.

Sua, yang masih berbaring, melirik sekilas ke arah kepala pelayan. Ia tahu orang itu ketakutan, tetapi juga ragu untuk mengungkap nama dalang sebenarnya.

"Anda tidak boleh membunuhnya, Ayah…" suara Sua terdengar lirih.

Perdana Menteri menoleh, ekspresinya masih tegang. "Kenapa? Dia bisa saja membunuhmu!"

"Jika kita ingin tahu siapa dalangnya, Anda harus membuatnya berada di satu titik. Hidup tersiksa, mati pun tak bisa. Sampai dia tidak punya pilihan lain, selain mengatakannya."

Perdana menteri tertegun. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara bicara Sua. Biasanya gadis itu hanya menurut dan menerima keadaan. Tapi kali ini, ucapannya sangat tajam.

Cai Ji yang baru saja akan masuk ruangan di ambang pintu mengepalkan tangan. "Ayah, untuk apa repot-repot? Dia jelas bersalah! Kita seharusnya langsung menghukumnya!"

Sua menatapnya sekilas. Tatapannya tajam, menusuk seperti pisau.

Perdana Menteri menghela napas berat. "Bawa kepala pelayan ke ruang interogasi. Aku sendiri yang akan mengurusnya."

Pengawal segera menyeret kepala pelayan yang masih bergetar ketakutan.

Sua merasa tak puas. Dalam hatinya ada yang mengganjal. Dia merasa, sang ayah sudah mengetahui dalangnya, namun berusaha menyembunyikannya. Gadis itu tetap berbaring di ranjang, mendengarkan suara langkah kaki yang semakin menjauh.

Bae Ya duduk di dekatnya, dengan tangan mengepal. "Nona, apakah menurut Anda kepala pelayan akan mengaku?"

Sua menatap langit-langit kamar dengan geram. "Entahlah! Aku merasa mereka semua berada di satu kubu. Sepertinya, ayah benar-benar sangat menyayangi adik."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   106. Masuk Istana Shewu

    Di depan gerbang besar yang masih dijaga ketat oleh penjaga, suara langkah kaki dan detak jantung terdengar seolah bersatu. Saat roda kereta berhenti, para penjaga langsung mengenali rombongan itu, dan dalam sekejap, pintu gerbang terbuka lebar. Pelayan-pelayan kediaman berlarian ke depan, menunduk memberi hormat, dan melapor ke dalam.Su Ying sudah menunggu di halaman utama, berdiri tegak dengan pakaian sederhana, tapi sorot matanya menyimpan gelora emosi yang tidak bisa ditutupi. Matanya langsung tertuju pada satu sosok kecil yang melompat turun dari kereta dibantu oleh Bae Ya.“Zihan!”Su Ying setengah berlari. Dan Zihan, yang selama ini terlihat kuat dan tenang, menghambur ke pelukan ibunya seperti anak kecil yang baru bangun dari mimpi buruk.“Ibu …” suaranya pecah. “Aku minta maaf ... Aku hampir ...”“Tidak perlu bicara apa-apa,” Su Ying memeluknya lebih erat. “Kau sudah pulang. Itu cukup.”Tangis Zihan pecah di pundak ibunya. Beberapa pelayan wanita menunduk haru di kejauhan, t

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   105. Hmm

    Rai terhuyung saat mereka melangkah keluar dari jalur hutan. Sua segera menahan tubuhnya sebelum lelaki itu jatuh.Chunying yang berjalan di depan segera berbalik dengan wajah cemas. “Kita harus cari tempat berteduh,” katanya cepat.Mereka menemukan sebuah kota kecil di tepian Hutan Wengi, dan menyewa kamar di sebuah penginapan tua yang terpencil. Zihan dibawa ke ruang sebelah oleh Chunying dan dua pengawal bayangan, sementara Sua membantu Rai berbaring di dipan bambu reyot yang tersedia di kamar utama.Ketika Sua membuka bagian atas jubah pria itu, napasnya tercekat.Luka lama, tepat di bawah tulang dada kiri, masih terjahit kasar. Kulit di sekitarnya tampak menghitam, dan darah mulai merembes keluar, membasahi pakaian dalam Rai.“Yang Mulia ...” Sua berbisik, nyaris tak percaya.Rai menahan napas, lalu tersenyum lemah.“Ini ... luka lama. Tusukan dari Shan Kerei, saat perang. Tak selalu terasa … tapi setelah kabut dan sihir kutukan tadi … kurasa terlalu banyak untuk kutahan.”Sua me

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   104. Perjalanan pulang

    Suara Wu Xian bergetar. Ia melangkah maju, aura sihir menguar liar dari jubahnya seperti ular yang bangkit karena amarah.“Gadis tidak tahu diri! Berani bicara seperti itu padaku?! Kau pikir dia tetap hidup kalau aku tak pernah—!”"Kau sudah kehilangan kesempatanmu, Wu Xian,” ucap Sua, pelan tapi menampar seperti cambuk. “Dan kau, sebenarnya marah bukan karena aku bersamanya. Kau marah … karena dia bahkan tidak pernah memilihmu sejak awal.”Wu Xian mengatupkan rahangnya.Lalu ia tertawa. Pelan, getir, tapi makin lama makin tinggi. Tawa yang bukan berasal dari humor, melainkan dari kepahitan dan kegilaan yang lama disimpan.“Kalau begitu … biar kutunjukkan caraku mengakhiri gadis yang tidak pernah kupilih untuk hidup.”Dan—BOOM!Wu Xian mengangkat kedua tangannya. Simbol mata hitam dari Klan Hei menyala di udara, sihir kutukan mulai membentuk pusaran energi di atas altar batu."Rasakan kutukan yang sama dengan yang menghancurkan ibumu.”Sua terkejut.“Kutukan Ibu?”Wu Xian tersenyum s

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   103. Lebih tajam

    Di ujung paling tenggara Hutan Hitam Wengi, tersembunyi sebuah tebing batu raksasa yang dijuluki penduduk sekitar sebagai Dinding Bisu, tempat burung tak berkicau, dan kabut tak pernah surut. Di balik rerimbun akar beringin tua dan lumut darah yang merayap di dindingnya, ada sebuah celah sempit, cukup hanya untuk dua orang berjalan beriringan.Celah itu bukan sekadar retakan alam. Ia adalah pintu gerbang ke Rongronghai, markas ritual terdalam Klan Hei, tempat segala ikatan jiwa dan pengorbanan darah dimulai. Tak terlihat dari luar, tak terjangkau sihir biasa, Rongronghai hanya bisa ditemukan oleh mereka yang pernah merasakannya … atau oleh darah yang pernah mengalir di atas batunya.Di dalamnya, gua melingkar seperti pusaran. Altar berdiri di tengah, dikelilingi ukiran mantera kuno, dan lilin-lilin hitam yang tidak pernah padam. Di atasnya, energi kabut, roh, dan gema dari jiwa-jiwa yang hilang… berputar seperti bayang tak kasat mata.Dan di sanalah, Zihan sempat berdiri.Di sanalah p

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   102. Ritual

    Di satu titik lorong yang membelah dua jalur, mereka berhenti.Sua memejamkan mata sejenak, lalu menoleh pada Rai.“Sesuatu menarik energiku ke arah kanan. Tapi jalan itu lebih sempit.”Rai mendekat. “Kalau terlalu sempit untuk dua orang—kau di depan. Aku tepat di belakangmu.”“Jangan terlalu dekat. Kalau aku jatuh—”“Kalau kau jatuh,” potong Rai cepat, “aku ikut jatuh.”Sua mendengus kecil, tak bisa menyembunyikan senyumnya meski lelah mulai menjalar.Mereka bergerak menyusuri celah batu sempit yang seakan dibuat hanya untuk dilalui satu tubuh. Suara air menetes dari dinding, dan jauh di bawah, terdengar gema … seperti napas besar dari makhluk purba.Langkah mereka membawa mereka pada satu balkon batu, semacam tepian altar, dan di bawahnya, terhampar aula besar berbentuk oval. Cahaya ungu dan merah menari dari puluhan lentera ritual.Rongronghai.Jantung Hitam.Sua menahan napas. Tangan Rai secara otomatis menyentuh pundaknya, menstabilkan posisinya.“Ada altar utama di sana,” bisik

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   101. Mata-mata Jantung Hitam

    Di suatu tempat, seorang wanita berselubung abu-abu berdiri di balik tirai ritual. Namanya Wu Xian, tangan kanan pemimpin cabang Klan Hei di wilayah Lembah Mun Chu.Ia memperhatikan anak lelaki di dalam ruang batu. Cahaya dari mangkuk api membentuk bayangan tinggi di dinding goa.'Anak itu ... terlalu tenang,' gumam Wu Xian dalam hati.Zihan berdiri di tengah lingkaran mantera. Tangan kanannya masih terikat rantai perak ringan, tapi tak ada tanda perlawanan di tubuhnya. Tatapannya tajam, diam, penuh hitungan.“Dia tidak memberontak sejak pertama dibawa. Tidak menangis, tidak mengutuk.”Wu Xian membuka catatan kecil yang tergantung di pinggangnya. Di sana, laporan-laporan tentang kemajuan Zihan ditulis dengan tinta merah:Respon awal terhadap mantra darah: stabil.Kemampuan membedakan sihir ilusi dan sihir pengikat: di atas rata-rata.Kesediaan ikut dalam latihan pengikatan energi: tanpa paksaan.Ia menatap ke arah altar tempat Zihan baru saja menyelesaikan latihan membaca segel. Simbo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status