Kekacauan segera terjadi. Para pelayan berlarian, beberapa pengawal langsung menghadap Perdana Menteri dan melaporkan situasi tersebut.
Tak butuh waktu lama, sang tabib dipanggil. Perdana Menteri sendiri berjalan tergesa-gesa menuju kamar Sua dengan wajah tegang.
Begitu ia tiba di dalam kamar, pemandangan yang terlihat membuatnya terkejut. Sua terbaring lemah di tempat tidur, tubuhnya tampak pucat, bibirnya membiru, dan keringat dingin membasahi dahinya. Napasnya pendek dan tersengal-sengal, seolah ia benar-benar dalam kondisi kritis.
"Ayah …." Suara Sua terdengar serak dan lemah. "Aku… aku merasa sangat sakit…"
Perdana Menteri berbalik ke arah tabib. "Periksa dia!"
Tabib itu segera mendekat, memegang pergelangan tangan Sua untuk memeriksa denyut nadinya. Bae Ya berdiri di sudut ruangan, menggigit bibir, berusaha terlihat ketakutan.
Sua berusaha mengontrol tubuh agar tetap lemas. Ia menggigit bagian dalam bibirnya sedikit lebih keras hingga ada sedikit darah yang muncul, memperkuat kesan bahwa tubuhnya benar-benar melemah.
Setelah beberapa saat, tabib mengangkat wajahnya dengan ekspresi serius. "Tuan, ini gejala keracunan ringan… tetapi jika tidak segera ditangani, bisa berakibat fatal."
Perdana Menteri menyipitkan mata. "Siapa yang melakukan ini?!"
Bae Ya menunduk dengan badan yang dibuat gemetar. "Makanan itu … hamba mengambilnya dari kepala pelayan, Tuan." ucapnya lirih.
Perdana menteri terdiam sesaat, lalu menoleh ke arah salah satu pengawal. "Panggil kepala pelayan! Bawa dia ke hadapanku!"
Cai Ji yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, membelalak tidak percaya.
‘Bagaimana bisa?!’ pikirnya. ‘Seharusnya Kakak langsung mati setelah minum racun itu, bukan meminta keadilan seperti ini!’ Wajahnya memucat saat melihat tatapan sang ayah penuh kemarahan. Namun, meskipun tidak berjalan sesuai rencana, tak lama kemudian raut wajahnya berubah menjadi senyum seringai penuh misteri.
Sementara itu, di ranjang, Sua menutup matanya dan tersenyum tipis dalam hati. Ia tetap berbaring, tubuhnya masih tampak lemah, tetapi pikirannya bekerja cepat. Sandiwara ini sudah berjalan sesuai rencana. Kini, ia sedang mengamati dan sangat menantikan hasilnya.
"Tuan, hamba menemukan racun lain di tubuh Nona Pertama," kata sang tabib.
"Ada racun lain?" Wajah Han Feng berkerut.
Tabib mengangguk. "Ini adalah racun kulit. Racun ini sudah mengikis habis seluruh permukaan kulitnya. Kalaupun dalam beberapa hari sembuh, mungkin akan meninggalkan bekas."
"Jangan katakan apapun! Obati seadanya saja!" kata sang perdana mentri.
"Baik, Tuan. Hamba akan menyiapkan obatnya."
Perdana Menteri mengalihkan pandangannya pada Sua, lalu pada kepala pelayan yang baru saja digiring masuk oleh para pengawal.
Kepala pelayan itu berlutut dengan tubuh gemetar. "Ampun, Tuan! Hamba tidak tahu apa-apa!"
Perdana menteri menatapnya tajam. "Makanan ini dari tanganmu. Jika bukan kau yang meracuni, lalu siapa?"
"Ha-Hamba hanya menerima dari dapur untuk menjalankan tugas, Tuan!"
"Siapa yang memerintahmu?"
Kepala pelayan menundukkan kepala lebih dalam. "Ti-tidak tau ...."
"Katakan yang sebenarnya, atau nyawamu jadi taruhannya!" bentak sang perdana menteri.
Sua, yang masih berbaring, melirik sekilas ke arah kepala pelayan. Ia tahu orang itu ketakutan, tetapi juga ragu untuk mengungkap nama dalang sebenarnya.
"Anda tidak boleh membunuhnya, Ayah…" suara Sua terdengar lirih.
Perdana Menteri menoleh, ekspresinya masih tegang. "Kenapa? Dia bisa saja membunuhmu!"
"Jika kita ingin tahu siapa dalangnya, Anda harus membuatnya berada di satu titik. Hidup tersiksa, mati pun tak bisa. Sampai dia tidak punya pilihan lain, selain mengatakannya."
Perdana menteri tertegun. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara bicara Sua. Biasanya gadis itu hanya menurut dan menerima keadaan. Tapi kali ini, ucapannya sangat tajam.
Cai Ji yang baru saja akan masuk ruangan di ambang pintu mengepalkan tangan. "Ayah, untuk apa repot-repot? Dia jelas bersalah! Kita seharusnya langsung menghukumnya!"
Sua menatapnya sekilas. Tatapannya tajam, menusuk seperti pisau.
Perdana Menteri menghela napas berat. "Bawa kepala pelayan ke ruang interogasi. Aku sendiri yang akan mengurusnya."
Pengawal segera menyeret kepala pelayan yang masih bergetar ketakutan.
Sua merasa tak puas. Dalam hatinya ada yang mengganjal. Dia merasa, sang ayah sudah mengetahui dalangnya, namun berusaha menyembunyikannya. Gadis itu tetap berbaring di ranjang, mendengarkan suara langkah kaki yang semakin menjauh.
Bae Ya duduk di dekatnya, dengan tangan mengepal. "Nona, apakah menurut Anda kepala pelayan akan mengaku?"
Sua menatap langit-langit kamar dengan geram. "Entahlah! Aku merasa mereka semua berada di satu kubu. Sepertinya, ayah benar-benar sangat menyayangi adik."
Ruang Istirahat VIP – 20 Menit Sebelum PenobatanLampu ruangan temaram, dengan aroma kayu cendana yang samar dari diffuser di sudut. Tirai tebal menutup seluruh jendela, meredam suara bising dari luar. Sofa empuk warna krem menunggu di tengah ruangan, dan meja rendah di depannya hanya berisi dua gelas air mineral yang belum tersentuh.Sua duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan. Zhenyu—atau Rai di kehidupannya yang dulu—berdiri di dekat meja, melepas jasnya lalu meletakkannya di sandaran kursi. Gerakannya santai, tapi matanya tak pernah lepas darinya.Ia memecah keheningan dengan nada ringan, tapi matanya menyelidik.“Aku pikir, tadi kau akan sedikit melirik… mantanmu.”Sua menoleh perlahan, ekspresinya dingin namun suaranya mengandung bara yang tak bisa disembunyikan.“Mantan? Ck ck…” Ia menggeleng pelan, senyum miring di bibirnya. “Aku ingin membunuhnya, sebagaimana ia juga telah mencoba membunuhku. Tidak hanya itu…” napasnya terdengar berat, “…dia bahkan mengklaim se
Sepersekian detik ruangan membeku. Lalu, suara kamera meletup seperti hujan deras.Shen Yiru yang duduk tiga baris di belakang menegang, memaksa senyum yang terasa seperti pecahan kaca di bibirnya. Bian Yu di sampingnya hanya memandang lurus ke depan, rahangnya mengeras, jemari mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Zhenyu belum selesai.“Kami belum menikah secara resmi… tapi itu akan segera terjadi. Dan kepada Ayah saya—” ia menoleh ke raja, senyumnya semakin mantap, “—saya janji, berapa pun cucu yang Ayah inginkan… akan saya berikan.”Riuh tawa, tepuk tangan, dan decak kagum meledak di ruangan. Media sosial langsung dibanjiri potongan video itu.Sua menutup wajahnya dengan tangan, tapi tak bisa menyembunyikan senyum di balik jemarinya. "Astagaa! Rai ...!" gumamnya tak bisa menahan rasa malu.Di belakangnya, Shen Yiru seperti kehilangan warna di wajahnya… sementara Bian Yu untuk pertama kalinya, merasa dirinya bukan lagi pusat perhatian — bahkan di ruangan yang penuh
Sua mencoba menarik tangannya, tapi Zhenyu menahan lebih erat. Ia menoleh, menatapnya dari jarak dekat.“Mengapa kau terlihat gugup?” tanyanya lembut, nada suaranya hanya untuk Sua.Sua memalingkan wajah. “Aku tidak gugup. Aku… hanya tidak menyangka kamu bicara seperti itu di depan Ayahmu.”Zhenyu tersenyum tipis. “Kalau aku tidak bicara, kapan lagi kita punya kesempatan? Kau lupa… di kehidupan sebelumnya, kita tak pernah sempat berdiri di sini bersama.”Kalimat itu membuat Sua terdiam. Matanya memandang lantai, tapi dalam hatinya gelombang emosi beradu — antara rasa hangat karena diakui, dan ketakutan akan badai yang pasti akan datang.Raja Yan Shiming memecah keheningan. “Zhenyu, kau sadar apa yang kau katakan barusan? Kalau kabar ini sampai keluar sebelum penobatan selesai, istana akan gaduh.”Zhenyu menatap ayahnya. “Biar saja. Aku tidak mau menunggu sepuluh tahun lagi hanya untuk mengakui siapa yang ada di sisiku.”Di luar pintu, Bian Yu mengepalkan tangan hingga buku jarinya mem
Ruang Tunggu VIP – Gedung Serbaguna Istana YanchengPintu kaca otomatis bergeser terbuka, membiarkan Sua masuk bersama sejuknya AC yang menusuk kulit. Di dalam, ruangan luas itu didesain seperti lounge eksekutif — karpet merah lembut, sofa kulit premium, meja kaca berisi botol air mineral impor, dan layar LED yang menghitung mundur ke penobatan.Sua baru sempat menapakkan kaki satu langkah, ketika sebuah tarikan tiba-tiba menyeretnya ke arah hangat yang sangat ia kenal. Tubuhnya terhuyung—terjebak di pelukan yang begitu erat dan… penuh rindu.“Akhirnya,” suara itu begitu rendah, nyaris bergetar di telinganya, “kau datang juga.”Dada Zhenyu naik-turun pelan, tapi napasnya berat — seperti menahan sesuatu yang lama terpendam.“Berpisah denganmu satu hari saja…” Ia menunduk, menatapnya lurus dengan mata yang gelap dan penuh rasa. “…rasanya seperti satu abad.”Sebelum Sua sempat mengucapkan sepatah kata, lengannya sudah terangkat, dan tubuhnya ikut terangkat dari lantai. Zhenyu membopongny
Bian Yu menatap Sua seperti sedang mengamati barang antik yang kehilangan kilaunya. “Tidak kusangka kau masih punya keberanian datang ke acara sebesar ini,” ujarnya pelan, tapi dengan nada yang cukup menusuk. “Terakhir kali kita berbicara… kau masih di ranjang rumah sakit. Tubuhmu nyaris tak bernyawa, dan aku—” ia menahan jeda, menatapnya dari atas ke bawah, “—sudah berada di puncak panggung dunia medis. Panggung yang dulu kau perjuangkan untukku.”Shen Yiru terkekeh kecil, tangannya menyentuh lengan Bian Yu seperti sedang mendukung pasangannya. “Ironis, ya? Dulu dia yang memolesmu sampai bersinar… sekarang dia yang harus berjuang supaya tidak terlihat pudar.”Bian Yu mendekat setengah langkah, membuat jarak mereka terasa lebih sempit. “Kalau kau butuh tempat duduk, pelayan di belakang mungkin bisa menyiapkan kursi di sudut ruangan. Tidak nyaman rasanya berdiri lama… apalagi untuk sekadar menonton dari jauh.”Sua tetap diam, menatap mereka bergantian. Wajahnya datar, tapi matanya meny
Beishan, kediaman keluarga JinMalam, pukul 23.48Di luar, hujan tipis seperti benang-benang perak jatuh di atas genting. Angin malam membawa aroma tanah basah, membuat udara di ruang depan terasa lebih dingin dari biasanya. Sua duduk di meja kerja, mengaduk ramuan yang masih mengepulkan uap hangat.Ketukan tiga kali terdengar di pintu — tepat, cepat, dan tak sabar.Kakek Jin Lu menoleh dari kursi goyangnya. "Siapa yang datang hampir tengah malam begini?"Ia berjalan membuka pintu, dan seorang kurir berseragam hitam langsung menunduk, menyerahkan gulungan bersegel emas naga kerajaan.“Pengiriman kilat dari Yancheng. Untuk Nona Sua Luqi,” katanya singkat, lalu pergi tanpa menunggu balasan.Sua berdiri, melangkah mendekat. Begitu segel dibuka, matanya langsung membaca baris pertama."Pengumuman Penobatan Putra Mahkota, besok pukul 09.00 di Aula Emas Istana Yancheng."Sua mengerjap cepat, lalu menatap kakeknya. “Apa? Besok? Penobatan?!” suaranya meninggi. “Baru tadi pagi dia di sini, kan