Tanpa berpikir dua kali, Bae Ya mengambil sedikit makanan dengan sumpit dan memasukkannya ke dalam mulut. Sua tertegun sesaat. Tidak ada keraguan sama sekali dalam tindakan gadis itu.
Sebelum makanan itu sempat tertelan, Sua dengan cepat menepuk punggung Bae Ya beberapa kali. "Jangan ditelan!" perintahnya tegas.
Bae Ya tersentak, matanya melebar karena terkejut. Refleks, ia memuntahkan makanan itu ke lantai, lalu menatap Sua dengan bingung.
"Nona …?"
Sua menarik napas dalam, lalu mengulurkan tangannya, mengambil sumpit, dan dengan hati-hati mengaduk makanan di mangkuknya. Ia mengangkat sedikit kuah dengan sumpit dan mencium aromanya sekali lagi.
"Seperti dugaanku, ada racun di dalamnya."
Wajah Bae Ya langsung pucat. Ia menatap makanan itu dengan mata gemetar sebelum beralih menatap Sua dengan ekspresi ketakutan.
"T-Tidak mungkin … Nona, aku bersumpah! Aku tidak tahu apa-apa!" Suaranya bergetar, tangannya mencengkeram rok pelayannya dengan erat.
Sua menghela napas. "Aku tahu, Bae Ya. Aku hanya ingin memastikan siapa yang bisa kupercayai di tempat ini."
Bae Ya menundukkan kepalanya, tubuhnya masih sedikit gemetar. "Nona… lagi-lagi, seseorang mencoba membunuh Anda."
"Ya," Sua menjawab dengan suara dingin. "Dan sekarang, kita tahu bahwa kepala pelayan terlibat."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Nona?"
"Kita tidak bisa gegabah. Mulai sekarang, kau harus lebih berhati-hati juga."
Bae Ya menggigit bibirnya dan mengangguk. "Aku akan lebih waspada, Nona."
Bae Ya masih duduk di lantai, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena perasaan aneh yang muncul saat melihat majikannya.
‘Nona mengamati makanan itu dengan penuh perhitungan, menguji kesetiaanku tanpa gegabah, dan tetap tenang meskipun baru saja hampir diracuni.’ Gadis itu merasa, bahwa Sua bersikap lebih tegas dari biasanya. 'Mungkinkah ini adalah pengaruh dari penghianatan Tuan Liu Chang?'
Bae Ya memberanikan diri berkata, "Nona, Anda terlihat sangat berbeda dari sebelumnya."
Sua menatapnya, matanya tajam dan penuh keyakinan. Ia sedikit tersenyum dan berkata, “apa kau meragukanku?”
Sang pelayan pun tersentak. Dengan terbata-bata ia menjawab, “ti-tidak berani meragukan Anda, Nona.”
"Bagus. Kau tahu, tidak ada yang akan menyelamatkanku, kecuali diriku sendiri." Sua mengambil secarik kain dan membungkus sebagian makanan yang sudah terkontaminasi racun.
"Apa yang Nona lakukan?" Bae Ya bertanya dengan memiringkan kepala.
"Aku menyimpan ini sebagai bukti," Sua menjawab singkat. "Mereka mengira aku masih gadis bodoh yang akan diam begitu saja. Aku hanya ingin memastikan sesuatu tentang sikap ayah."
Bae Ya menatapnya dalam diam. Tekad yang kuat untuk melawan, memunculkan rasa bangga dalam diri pelayan itu terhadap Sua. Kini, orang yang ia layani, tidak akan mudah untuk ditindas lagi.
Sua menatap kain yang membungkus makanan beracun itu. Bukti di tangannya ini tidak akan berarti apa-apa jika ia hanya menyimpannya tanpa tindakan. Ia harus membuat semuanya bekerja sesuai rencananya.
"Bae Ya," panggilnya pelan.
Pelayan itu mendongak. "Ya, Nona?"
Sua menatap ke arah gadis itu. "Aku butuh bantuanmu untuk memainkan sebuah sandiwara."
Bae Ya mengerutkan kening. "Sandiwara?"
"Aku akan berpura-pura keracunan," jelas Sua. "Aku hanya ingin memastikan sikap ayah. Antara peduli, atau mengabaikan. Kau tahu, beliau melihat bahwa aku memiliki penyakit ini, tapi tidak ada seorangpun tabib yang ia perintahkan untuk merawatku." Senyum getir di ujung bibir gadis itu, membuat Bae Ya menelan ludah sesaat.
Pelayan itu tampak ragu. "Tapi, bagaimana jika tabib menyadari kalau Anda hanya pura-pura, Nona?"
Sua tersenyum kecil. "Aku sudah memikirkan itu. Aku bisa membuat tubuhku benar-benar tampak seperti orang yang terkena racun. Bibir pucat, tubuh lemas, dan napas pendek. Jika aku sengaja menggigit bibirku sedikit, darahnya akan membuat aku terlihat lebih parah."
Lagi-lagi Bae Ya menelan ludah. "Apa yang harus ku lakukan, Nona?"
"Berpura-puralah panik," jawab Sua tegas. "Kau harus berlari ke aula utama, menjerit dan memohon agar Ayah memanggil tabib istana. Tangisanmu akan membuat orang-orang percaya bahwa aku benar-benar sekarat."
Bae Ya menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Baik! Aku akan melakukannya, Nona."
Sua tersenyum. "Bagus. Kita mulai sekarang."
Beberapa saat kemudian, suara jeritan menggema di seluruh kediaman Perdana Menteri.
"Tolong! Tolong! Nona Sua… Nona Sua keracunan!"
Bae Ya berlari melewati koridor dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Para pelayan dan pengawal langsung menoleh, panik melihat ekspresinya yang penuh ketakutan.
"Apa yang terjadi?!" salah satu pengawal bertanya.
"Nona Sua memakan makanan yang dibawa kepala pelayan. Dan sekarang, dia sekarat! Tolong panggil tabib! Cepat!" teriak Bae Ya histeris.
Di depan gerbang besar yang masih dijaga ketat oleh penjaga, suara langkah kaki dan detak jantung terdengar seolah bersatu. Saat roda kereta berhenti, para penjaga langsung mengenali rombongan itu, dan dalam sekejap, pintu gerbang terbuka lebar. Pelayan-pelayan kediaman berlarian ke depan, menunduk memberi hormat, dan melapor ke dalam.Su Ying sudah menunggu di halaman utama, berdiri tegak dengan pakaian sederhana, tapi sorot matanya menyimpan gelora emosi yang tidak bisa ditutupi. Matanya langsung tertuju pada satu sosok kecil yang melompat turun dari kereta dibantu oleh Bae Ya.“Zihan!”Su Ying setengah berlari. Dan Zihan, yang selama ini terlihat kuat dan tenang, menghambur ke pelukan ibunya seperti anak kecil yang baru bangun dari mimpi buruk.“Ibu …” suaranya pecah. “Aku minta maaf ... Aku hampir ...”“Tidak perlu bicara apa-apa,” Su Ying memeluknya lebih erat. “Kau sudah pulang. Itu cukup.”Tangis Zihan pecah di pundak ibunya. Beberapa pelayan wanita menunduk haru di kejauhan, t
Rai terhuyung saat mereka melangkah keluar dari jalur hutan. Sua segera menahan tubuhnya sebelum lelaki itu jatuh.Chunying yang berjalan di depan segera berbalik dengan wajah cemas. “Kita harus cari tempat berteduh,” katanya cepat.Mereka menemukan sebuah kota kecil di tepian Hutan Wengi, dan menyewa kamar di sebuah penginapan tua yang terpencil. Zihan dibawa ke ruang sebelah oleh Chunying dan dua pengawal bayangan, sementara Sua membantu Rai berbaring di dipan bambu reyot yang tersedia di kamar utama.Ketika Sua membuka bagian atas jubah pria itu, napasnya tercekat.Luka lama, tepat di bawah tulang dada kiri, masih terjahit kasar. Kulit di sekitarnya tampak menghitam, dan darah mulai merembes keluar, membasahi pakaian dalam Rai.“Yang Mulia ...” Sua berbisik, nyaris tak percaya.Rai menahan napas, lalu tersenyum lemah.“Ini ... luka lama. Tusukan dari Shan Kerei, saat perang. Tak selalu terasa … tapi setelah kabut dan sihir kutukan tadi … kurasa terlalu banyak untuk kutahan.”Sua me
Suara Wu Xian bergetar. Ia melangkah maju, aura sihir menguar liar dari jubahnya seperti ular yang bangkit karena amarah.“Gadis tidak tahu diri! Berani bicara seperti itu padaku?! Kau pikir dia tetap hidup kalau aku tak pernah—!”"Kau sudah kehilangan kesempatanmu, Wu Xian,” ucap Sua, pelan tapi menampar seperti cambuk. “Dan kau, sebenarnya marah bukan karena aku bersamanya. Kau marah … karena dia bahkan tidak pernah memilihmu sejak awal.”Wu Xian mengatupkan rahangnya.Lalu ia tertawa. Pelan, getir, tapi makin lama makin tinggi. Tawa yang bukan berasal dari humor, melainkan dari kepahitan dan kegilaan yang lama disimpan.“Kalau begitu … biar kutunjukkan caraku mengakhiri gadis yang tidak pernah kupilih untuk hidup.”Dan—BOOM!Wu Xian mengangkat kedua tangannya. Simbol mata hitam dari Klan Hei menyala di udara, sihir kutukan mulai membentuk pusaran energi di atas altar batu."Rasakan kutukan yang sama dengan yang menghancurkan ibumu.”Sua terkejut.“Kutukan Ibu?”Wu Xian tersenyum s
Di ujung paling tenggara Hutan Hitam Wengi, tersembunyi sebuah tebing batu raksasa yang dijuluki penduduk sekitar sebagai Dinding Bisu, tempat burung tak berkicau, dan kabut tak pernah surut. Di balik rerimbun akar beringin tua dan lumut darah yang merayap di dindingnya, ada sebuah celah sempit, cukup hanya untuk dua orang berjalan beriringan.Celah itu bukan sekadar retakan alam. Ia adalah pintu gerbang ke Rongronghai, markas ritual terdalam Klan Hei, tempat segala ikatan jiwa dan pengorbanan darah dimulai. Tak terlihat dari luar, tak terjangkau sihir biasa, Rongronghai hanya bisa ditemukan oleh mereka yang pernah merasakannya … atau oleh darah yang pernah mengalir di atas batunya.Di dalamnya, gua melingkar seperti pusaran. Altar berdiri di tengah, dikelilingi ukiran mantera kuno, dan lilin-lilin hitam yang tidak pernah padam. Di atasnya, energi kabut, roh, dan gema dari jiwa-jiwa yang hilang… berputar seperti bayang tak kasat mata.Dan di sanalah, Zihan sempat berdiri.Di sanalah p
Di satu titik lorong yang membelah dua jalur, mereka berhenti.Sua memejamkan mata sejenak, lalu menoleh pada Rai.“Sesuatu menarik energiku ke arah kanan. Tapi jalan itu lebih sempit.”Rai mendekat. “Kalau terlalu sempit untuk dua orang—kau di depan. Aku tepat di belakangmu.”“Jangan terlalu dekat. Kalau aku jatuh—”“Kalau kau jatuh,” potong Rai cepat, “aku ikut jatuh.”Sua mendengus kecil, tak bisa menyembunyikan senyumnya meski lelah mulai menjalar.Mereka bergerak menyusuri celah batu sempit yang seakan dibuat hanya untuk dilalui satu tubuh. Suara air menetes dari dinding, dan jauh di bawah, terdengar gema … seperti napas besar dari makhluk purba.Langkah mereka membawa mereka pada satu balkon batu, semacam tepian altar, dan di bawahnya, terhampar aula besar berbentuk oval. Cahaya ungu dan merah menari dari puluhan lentera ritual.Rongronghai.Jantung Hitam.Sua menahan napas. Tangan Rai secara otomatis menyentuh pundaknya, menstabilkan posisinya.“Ada altar utama di sana,” bisik
Di suatu tempat, seorang wanita berselubung abu-abu berdiri di balik tirai ritual. Namanya Wu Xian, tangan kanan pemimpin cabang Klan Hei di wilayah Lembah Mun Chu.Ia memperhatikan anak lelaki di dalam ruang batu. Cahaya dari mangkuk api membentuk bayangan tinggi di dinding goa.'Anak itu ... terlalu tenang,' gumam Wu Xian dalam hati.Zihan berdiri di tengah lingkaran mantera. Tangan kanannya masih terikat rantai perak ringan, tapi tak ada tanda perlawanan di tubuhnya. Tatapannya tajam, diam, penuh hitungan.“Dia tidak memberontak sejak pertama dibawa. Tidak menangis, tidak mengutuk.”Wu Xian membuka catatan kecil yang tergantung di pinggangnya. Di sana, laporan-laporan tentang kemajuan Zihan ditulis dengan tinta merah:Respon awal terhadap mantra darah: stabil.Kemampuan membedakan sihir ilusi dan sihir pengikat: di atas rata-rata.Kesediaan ikut dalam latihan pengikatan energi: tanpa paksaan.Ia menatap ke arah altar tempat Zihan baru saja menyelesaikan latihan membaca segel. Simbo