Rasa panas dan kebas menjalar di pipi kiriku. Bahkan, tubuh ini sedikit terhuyung ke samping pasca mendapat tamparan dari ibunya Alina.
Ada apa dengan beliau? Apa yang membuat dia semarah ini, bahkan sampai menamparku."Apa-apaan kamu Sarti? Kenapa nampar anak saya?" tanya Mamah dengan nada tinggi.Bu Sarti tidak menjawab pertanyaan Mamah, dia tetap menatapku sengit. Pandanganku memburam menatapnya, menandakan air mata telah menggenggang di pelupuk ini."Kemarikan cucu saya!" Bu Sarti langsung menyambar Alisa di gendonganku."Huwaa ...." Anak itu langsung menangis ketika digendong oleh neneknya sendiri. "Tantan, Tantan, Tantan." Tangan Alisa berusaha meraihku. Bahkan, dia kelihatan takut dengan neneknya sendiri.Walaupun takut, tetapi aku mencoba merebut paksa Alisa dari gendongan neneknya. Bu Sarti geram dengan ulahku. Matanya memelotot marah."Setelah membuat saya kehilangan anak, kamu juga ingin membuatku kehilangan cucu!" Mata wanita itu penuh kilat kemarahan."Maksud Bu Sarti apa?" Alisku bertaut.Kenapa aku merasa ibunya Alina menuduhku yang melenyapkan anaknya. Padahal, baik dia ataupun aku, sama-sama merasakan duka kehilangan. Aku bukan saja menganggap Alina sebagai sahabat, tetapi juga sudah menganggap Alina sebagai saudaraku sendiri. Bagaimana bisa mereka berpikir aku yang melenyapkan Alina hanya karena alasan aku yang pertama kali melihat jasadnya yang bersimbah darah."Kalau bukan gara-gara kamu ....""Sudah, sudah, Bu. Tidak baik marah-marah di depan mayat Alina dan para pelayat. Nanti saja kita bahas hal ini." Belum sempat Bu Sarti mengeluarkan semua unek-uneknya, Pak Arto---suaminya datang. Meminta dia untuk berhenti."Bagaimana bisa Ibu berhenti, Pak? Sedangkan gara-gara anak tidak tau diri ini, putri kita meninggal!" tangis Bu Sarti di dada suaminya.Alisku bingung mendengar ucapan Bu Sarti yang secara terang-terangan menuduhku. "Bu-bukan aku pelakunya ....""Diam kamu pembunuh!" semburnya kepadaku."Heh, Sarti, jangan sembarangan memfitnah anak saya. Ingat, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan." Mamah angkat suara. Sudah sedari tadi dia berusaha bungkam karena menghormati tuan rumah."Fitnah? Kamu bilang fitnah?" Tatapan Bu Sarti nyalang menatap Mamah. "Gara-gara anakmu ini ....""Sudah, Bu. Mending Ibu ke kamar saja. Istirahat."Pak Arto menarik lengan istrinya, membawa sang istri ke kamar. Walaupun menurut diseret suaminya, tetapi Bu Sarti tetap melemparkan tatapan sengit kepadaku sampai tubuh ini terhalang oleh dinding.Dengan langkah gontai, aku mendekat ke jasad kaku Alina. Tatapan para pelayat menatapku aneh. Mungkin mereka percaya apa yang dilontarkan dengan Bu Sarti tadi.Air mataku tumpah begitu saja menatap jasad Alina yang wajahnya tertutup kain putih transparan. Bekas luka bacok di keningnya masih kentara jelas terlihat. Hatiku rasanya tercubit kala membayangkan hal menyakitkan apa saja yang telah ia alami semalam."Maaf, aku tidak bisa menolongmu di malam itu. Tapi, aku akan berusaha mencari tau siapa yang telah melenyapkanmu dengan sadis, Lin." Aku mengusap puncak kepala Alina sambil berderai air mata. Dadaku rasanya sesak sekali."Kamu masih di sini? Sana pulang! Saya tidak sudi jasad anakku disentuh oleh pembunuh seperti kamu!" Bu Sarti kembali keluar dari kamarnya dan berteriak menuduhku lagi.Aku tersentak kaget mendengar suaranya yang begitu besar."Yuk, kita pulang saja, Tan." Mamah menggenggam tanganku."Kemarikan cucu saya, jangan kamu bawa pulang!"Bu Sarti hendak menarik lagi Alisa dari gendonganku. Namun, anak itu langsung menangis keras, berusaha turun dari gendongan neneknya dan meraih tanganku. Aku jadi kasihan melihatnya."Sudah, berikan saja Alisa ke Tania, Bu. Kasian kalau dia nangis terus." Pak Arto membela.Rahang Bu Sarti mengeras. Dia mengembalikan paksa Alisa kepadaku. "Kamu sudah berhasil membuat anak dan cucu saya menjauh, kamu pasti akan mendapat balasan!" ucapnya pelan dan penuh ancaman.Aku memilih pergi dari rumah Alina dengan perasaan sedih. Sebagai sahabat, aku sangat ingin sekali menemani Alina sampai ke peristirahatan terakhirnya. Namun, jika aku terus berada di sana, pasti suasana akan sangat panas. Aku tidak mengerti kenapa Bu Sarti menuduhku sebagai pembunuh Alina. Membayangkannya saja aku tidak berani, apalagi melakukannya.Di pekarangan rumah, kami berpapasan dengan Fadli. Dia baru saja datang. Polisi sombong tadi juga bersama dengannya. Polisi itu kembali melemparkan tatapan tajam kepadaku."Aku mohon sama kamu, Tan, mohon jaga dulu Alina, yah. Aku belum bisa jaga dia, harus mengurus banyak keperluan tentang kematian Alina," ucap Fadli penuh harap."Baik." Aku menyahut singkat seraya menunduk. Tidak tahan dengan tatapan polisi itu yang berada di samping Fadli. Tatapannya kepadaku terlihat begitu mengintimidasi.Setelah mendengar jawabanku, Fadli bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, polisi itu masih diam di tempatnya berdiri. Dia memerhatikan Alisa yang ada di gendonganku."Apa kau tidak berniat menjaga ayah dari anak kecil itu juga?" Tiba-tiba saja polisi itu melontarkan pertanyaan yang terdengar konyol."Jangan asal bicara!" ketusku menatapnya tajam. Namun, malah timbul seringai di bibirnya, dia terlihat mengejekku."Jaga bicara Anda pada anak saya, Pak Polisi!" ujar Mamah memperingati."Haha, ok, ok!" Polisi itu malah tertawa sembari mengangkat tangan. Namun, tawanya terlihat seperti seringai.Mamah menarik lenganku agar segera pergi meninggalkan pekarangan rumah orang tua Alina. Meninggalkan petugas polisi muda itu yang mengejarku dengan tatapan elangnya. Aku segera membuang muka.****Malam telah tiba, kembali hujan turun deras disertai angin kencang. Seharian ini aku hanya di rumah. Malas keluar rumah, orang-orang selalu melemparkan tatapan curiga kepadaku usai mendengar perkataan Bu Sarti tadi. Padahal, rencananya aku ingin melihat pemakaman Alina, tetapi kuurungkan."Apa mungkin benar yang membunuh Alina itu si Tania? Mereka, 'kan, sahabatan, masa iya makan teman sendiri?" Sempat telingaku menangkap Bu Astuti menghibah seperti itu tadi sore. Membuatku merasa terpojok oleh hal ini.Aku baru saja menidurkan Alisa. Dia masih bersamaku. Dia akan selalu menangis jika dengan orang lain, termasuk ayahnya sendiri. Kurebahkan tubuh di samping balita manis itu. Mencoba menutup mata dan meringankan perasaan. Rasanya dadaku begitu sesak dengan kematian Alina. Selain terpukul dengan kematiannya, aku juga sangat terpukul atas fitnah yang sebagai pelenyap sahabat sendiri."Siapa sebenarnya yang melenyapkan Alina dengan sadis?" gumamku bertanya-tanya pada plafon.Tiba-tiba terdengar ketukan keras pada jendela kamar yang langsung membuat lamunanku terbuyar. Aku bingung siapa yang mengetuk. Pasalnya tidak mungkin ada orang yang keluar saat hujan deras disertai angin kencang begini.Ketukan itu makin cepat dan keras. Membuatku terpaksa bangun. Aku menatap pintu jendela yang bergoyang akibat ketukan keras itu."Siapa?" tanyaku.Kaki perlahan turun dari ranjang. Berjalan pelan ke jendela. "Siapa?" Lagi, aku bertanya."Tania ...." Sebuah suara melengking dari luar.Aku langsung mematung di tempat disusul dengan keringat dingin. Itu seperti suara Alina. "Si-siapa? Ja-jangan main-main, yah! Aku enggak suka!"'Brak!'Pintu jendela tiba-tiba terbuka paksa. Bersamaan dengan itu, petir berkilat terang menyinari sebuah sosok berpakaian gaun putih berdarah di luar sana. Ia melemparkan tatapan tajam.Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.