Baik aku atau warga lainnya, semua saling pandang. Lantas, menatap Fadli yang masih setia dengan raut kebingungannya. Dia menatap kami semua satu per satu dengan alis mengernyit.
"Kalian ada apa rame-rame di rumahku?" Lagi, Fadli bertanya."Kamu dari mana Fadli?" Salah satu warga yang bernama Pak Kasmin menanyainya."Aku seperti biasa, habis pulang dari melaut." Fadli menjawab sopan. "Ini ada apa?" lanjutnya bertanya."Sejak kapan kamu ke lautnya?" Pak Kasmin kembali melemparkan pertanyaan. Tatapannya sangat serius."Aku selalu turun ke laut dari magrib dan pulang pagi. Sudah menjadi rutinitas harianku begitu. Kenapa Pak Kasmin bertanya seperti itu? Kenapa kalian memandangku aneh? Apa yang terjadi?" Fadli terlihat mulai tidak nyaman dan melontarkan pertanyaan beruntun.Tatapan Fadli menoleh kepadaku, lalu memerhatikan putrinya Alisa yang ada di gendongan ini. Matanya membulat saat melihat darah pada tangan putrinya. Dia langsung mendekat."Astaga ... apa ini?" Fadli gegas mengusap cairan kental kemerahan itu. Mengendusnya. "Darah?" Alisnya mengernyit. "Darah siapa ini?""Fadli, istrimu, dia ....""Apa yang terjadi dengan Alina?"Belum sempat Pak Kasmin menyelesaikan kalimatnya, Fadli terlebih dahulu memotong. Detik berikutnya, dia langsung berlari masuk ke rumahnya bagian dapur. Di mana orang-orang sedang mengelilingi bagian itu."Tantan, Mamah ...," ucap Alisa mengalihkan perhatianku pada Fadli."Iya, Sayang. Kamu sama Tantan dulu, yah."Aku mengusap wajah mungil Alisa. Kasian, matanya sembab. Sepertinya dia sudah sedari tadi sekali menangis. Aku membawa Alisa ke rumah. Hendak membersihkan tubuhnya dari bercak darah."Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa pelakunya? Alinaa ...."Samar-samar aku mendengar suara Fadli yang bergetar. Dia pasti terpukul atas kepergian istrinya. Bukan hanya Fadli saja, aku juga merasa terpukul atas kepergian Alina. Terlebih lagi, Alina pergi dalam keadaan tragis seperti ini. Entah siapa pelaku yang sudah melenyapkan Alina dengan sesadis itu."Tania, pak polisinya sudah datang." Mamah datang tergopoh. "Katanya, dia ingin ketemu sama orang yang pertama kalinya melihat mayat Alina," terang Mamah."Baik, Mah. Aku akan pergi." Kuberikan Alisa yang sudah bersih ke Mamah. Namun, gadis kecil itu malah menangis."Tantan, Tantan, mau Tantan!" Dia merengek hendak digendongku. Terpaksa, aku kembali menggendongnya dan keluar rumah.Di luar, di atas jok mobil jeep tanpa atap, terduduk di sana petugas kepolisian muda yang mengenakan kacamata hitam. Terlihat gayanya begitu pongah, bahkan sesekali dia bersiul kala seorang gadis lewat di sampingnya. Aku taksir umur petugas polisi itu mungkin 5 tahun lebih tua dariku. Mungkin.Aku mengayunkan kaki mendekat ke polisi muda itu. Tatapan kami bertemu. Aku menatap tajam matanya yang berada di balik kacamata hitam. Detik berikutnya, dia melepaskan kacamata itu dan menyimpanya di saku jaket kulit hitamnya. Dia balik menatapku tajam. Tatapan kami beradu beberapa detik, sampai akhirnya aku memilih membuang muka. Merasa muak melihat wajahnya yang sok cakep."Ceritakan bagaimana kronologi kamu mengetahui tentang mayat ini?" Dia bertanya to the point. Tatapannya lurus ke Alisa yang ada di gendonganku."Tadi pagi, aku mendengar suara Alisa menangis. Aku langsung pergi ke rumahnya untuk menenangkan dia. Dan pada saat itulah aku melihat mayat Alina," jelasku singkat.Alis tebal polisi itu beraut. Dia menyeringai tipis. "Apa kamu selalu menghampiri anak kecil yang menangis di rumahnya dan mendiamkannya?" tanya polisi itu terlihat mencurigaku.Aku menggeleng. "Tentu saja tidak ....""Lalu kenapa kamu langsung menghampiri anak ini? Apakah dia anakmu juga?" Wajahnya terlihat sangat menjengkelkan.Tatapan tajam kulemparkan. Sedari awal melihat polisi itu, aku sudah tidak menyukai gayanya. Dia terlihat tidak cocok seperti polisi, dia terlihat seperti anak kaya raya yang sombong."Hehh, turunkan pandanganmu!" Dia terlihat kesal saat aku menatapnya tajam.Aku membuang muka. "Alina dan aku sahabatan sejak kecil. Apalagi setelah menikah, mereka membangun rumah di samping rumah kami. Hal itu membuat persahabatan kami makin erat. Aku memang sudah menganggap Alisa sebagai anakku sendiri. Maka dari itu, saat aku mendengar tangisannya, aku langsung pergi menghampirinya."Polisi itu terlihat mengangguk-angguk. Namun, anggukannya terlihat skeptis mendengar pernyataanku. Entah apa yang dia pikirkan. Tatapannya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Membuat diri ini tidak nyaman dengan tatapannya yang setajam elang."Kamu tidak menangis, sahabat karibmu meninggal? Apa kamu tidak sedih dia meninggalkanmu untuk selamanya?" tanya polisi itu lagi. Dia menatapku dengan mata yang memicing. Sesekali dia mengusap-ngusap rahang tegasnya.Pertanyaan yang dilontarkan polisi muda itu membuatku terpojok. "Aku bukannya tidak sedih Alina pergi untuk selamanya. Tapi, jika aku sekarang menangis meraung-raung karena kehilangan Alina, apa yang akan terjadi dengan anak ini? Dia pasti akan ikutan bersedih karena melihatku menangis. Maka dari itu, sekuat mungkin aku mencoba kuat di hadapannya."Aku mengusap puncak kepala Alisa dengan dada yang sesak. Wajahnya mirip sekali dengan Alina. Wajah dan tubuh Alina yang berdarah melintas di depan mata. Aku bersumpah akan mencari tahu siapa pembunuh itu."Apa Anda mencurigaiku sebagai pelenyap Alina?" Terus terang kutanyakan hal itu. Namun, dia hanya menyeringai.Polisi itu berlalu dari hadapan dan bertanya kepada warga lainnya. Dia selalu melemparkan tatapan tajam kepadaku. Membuat diri merasa risi dengan tatapannya yang sangat aneh.Rumah Alina sekarang dihalangi oleh garis polisi. Jasadnya sudah dibawa ke rumah orang tuanya. Sekitar 50 meter dari sini. Harus melewati turunan terlebih dahulu agar sampai ke rumah orang tuanya Alina. Aku mengayunkan kaki hendak ke rumah orang tua Alina juga."Tunggu!" Tiba-tiba lenganku dicekal oleh polisi muda itu.Aku gegas menarik tanganku kasar darinya. Menatap dia tajam. "Lancang!" seruku.Dia memasang tampang datar. "Urusan kita belum selesai!" tandasnya menatapku sangat tajam, setajam elang mengintai anak ayam.Aku tidak menghiraukan ucapan polisi itu. Kembali melanjutkan langkah menuju ke rumah orang tua Alina. Mamah yang sedari tadi hanya menonton percakapanku dengan polisi muda itu menjadi cemas. Takut anaknya ini sampai dipenjara."Mamah tenang aja. Tania, 'kan, enggak salah. Jadi enggak mungkin dipenjara." Aku mencoba menetralkan perasaannya.Sesampainya di rumah orang tua Alina, di ruang keluarga yang cukup luas itu, Bu Sarti---ibunya Alina langsung menatapku tajam dengan matanya yang memerah. Terlihat tangan wanita paruh baya itu mengepal erat. Dia bangkit berdiri tanpa melepaskan tatapan sengit kepadaku.'Plak!'Tamparan kasar darinya mendarat di pipiku. "Ini semua gara-gara kamu! Anak saya mati gara-gara kamu!" teriakknya keras.Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.