Share

Bab 2: Interogasi

Baik aku atau warga lainnya, semua saling pandang. Lantas, menatap Fadli yang masih setia dengan raut kebingungannya. Dia menatap kami semua satu per satu dengan alis mengernyit.

"Kalian ada apa rame-rame di rumahku?" Lagi, Fadli bertanya.

"Kamu dari mana Fadli?" Salah satu warga yang bernama Pak Kasmin menanyainya.

"Aku seperti biasa, habis pulang dari melaut." Fadli menjawab sopan. "Ini ada apa?" lanjutnya bertanya.

"Sejak kapan kamu ke lautnya?" Pak Kasmin kembali melemparkan pertanyaan. Tatapannya sangat serius.

"Aku selalu turun ke laut dari magrib dan pulang pagi. Sudah menjadi rutinitas harianku begitu. Kenapa Pak Kasmin bertanya seperti itu? Kenapa kalian memandangku aneh? Apa yang terjadi?" Fadli terlihat mulai tidak nyaman dan melontarkan pertanyaan beruntun.

Tatapan Fadli menoleh kepadaku, lalu memerhatikan putrinya Alisa yang ada di gendongan ini. Matanya membulat saat melihat darah pada tangan putrinya. Dia langsung mendekat.

"Astaga ... apa ini?" Fadli gegas mengusap cairan kental kemerahan itu. Mengendusnya. "Darah?" Alisnya mengernyit. "Darah siapa ini?"

"Fadli, istrimu, dia ...."

"Apa yang terjadi dengan Alina?"

Belum sempat Pak Kasmin menyelesaikan kalimatnya, Fadli terlebih dahulu memotong. Detik berikutnya, dia langsung berlari masuk ke rumahnya bagian dapur. Di mana orang-orang sedang mengelilingi bagian itu.

"Tantan, Mamah ...," ucap Alisa mengalihkan perhatianku pada Fadli.

"Iya, Sayang. Kamu sama Tantan dulu, yah."

Aku mengusap wajah mungil Alisa. Kasian, matanya sembab. Sepertinya dia sudah sedari tadi sekali menangis. Aku membawa Alisa ke rumah. Hendak membersihkan tubuhnya dari bercak darah.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa pelakunya? Alinaa ...."

Samar-samar aku mendengar suara Fadli yang bergetar. Dia pasti terpukul atas kepergian istrinya. Bukan hanya Fadli saja, aku juga merasa terpukul atas kepergian Alina. Terlebih lagi, Alina pergi dalam keadaan tragis seperti ini. Entah siapa pelaku yang sudah melenyapkan Alina dengan sesadis itu.

"Tania, pak polisinya sudah datang." Mamah datang tergopoh. "Katanya, dia ingin ketemu sama orang yang pertama kalinya melihat mayat Alina," terang Mamah.

"Baik, Mah. Aku akan pergi." Kuberikan Alisa yang sudah bersih ke Mamah. Namun, gadis kecil itu malah menangis.

"Tantan, Tantan, mau Tantan!" Dia merengek hendak digendongku. Terpaksa, aku kembali menggendongnya dan keluar rumah.

Di luar, di atas jok mobil jeep tanpa atap, terduduk di sana petugas kepolisian muda yang mengenakan kacamata hitam. Terlihat gayanya begitu pongah, bahkan sesekali dia bersiul kala seorang gadis lewat di sampingnya. Aku taksir umur petugas polisi itu mungkin 5 tahun lebih tua dariku. Mungkin.

Aku mengayunkan kaki mendekat ke polisi muda itu. Tatapan kami bertemu. Aku menatap tajam matanya yang berada di balik kacamata hitam. Detik berikutnya, dia melepaskan kacamata itu dan menyimpanya di saku jaket kulit hitamnya. Dia balik menatapku tajam. Tatapan kami beradu beberapa detik, sampai akhirnya aku memilih membuang muka. Merasa muak melihat wajahnya yang sok cakep.

"Ceritakan bagaimana kronologi kamu mengetahui tentang mayat ini?" Dia bertanya to the point. Tatapannya lurus ke Alisa yang ada di gendonganku.

"Tadi pagi, aku mendengar suara Alisa menangis. Aku langsung pergi ke rumahnya untuk menenangkan dia. Dan pada saat itulah aku melihat mayat Alina," jelasku singkat.

Alis tebal polisi itu beraut. Dia menyeringai tipis. "Apa kamu selalu menghampiri anak kecil yang menangis di rumahnya dan mendiamkannya?" tanya polisi itu terlihat mencurigaku.

Aku menggeleng. "Tentu saja tidak ...."

"Lalu kenapa kamu langsung menghampiri anak ini? Apakah dia anakmu juga?" Wajahnya terlihat sangat menjengkelkan.

Tatapan tajam kulemparkan. Sedari awal melihat polisi itu, aku sudah tidak menyukai gayanya. Dia terlihat tidak cocok seperti polisi, dia terlihat seperti anak kaya raya yang sombong.

"Hehh, turunkan pandanganmu!" Dia terlihat kesal saat aku menatapnya tajam.

Aku membuang muka. "Alina dan aku sahabatan sejak kecil. Apalagi setelah menikah, mereka membangun rumah di samping rumah kami. Hal itu membuat persahabatan kami makin erat. Aku memang sudah menganggap Alisa sebagai anakku sendiri. Maka dari itu, saat aku mendengar tangisannya, aku langsung pergi menghampirinya."

Polisi itu terlihat mengangguk-angguk. Namun, anggukannya terlihat skeptis mendengar pernyataanku. Entah apa yang dia pikirkan. Tatapannya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Membuat diri ini tidak nyaman dengan tatapannya yang setajam elang.

"Kamu tidak menangis, sahabat karibmu meninggal? Apa kamu tidak sedih dia meninggalkanmu untuk selamanya?" tanya polisi itu lagi. Dia menatapku dengan mata yang memicing. Sesekali dia mengusap-ngusap rahang tegasnya.

Pertanyaan yang dilontarkan polisi muda itu membuatku terpojok. "Aku bukannya tidak sedih Alina pergi untuk selamanya. Tapi, jika aku sekarang menangis meraung-raung karena kehilangan Alina, apa yang akan terjadi dengan anak ini? Dia pasti akan ikutan bersedih karena melihatku menangis. Maka dari itu, sekuat mungkin aku mencoba kuat di hadapannya."

Aku mengusap puncak kepala Alisa dengan dada yang sesak. Wajahnya mirip sekali dengan Alina. Wajah dan tubuh Alina yang berdarah melintas di depan mata. Aku bersumpah akan mencari tahu siapa pembunuh itu.

"Apa Anda mencurigaiku sebagai pelenyap Alina?" Terus terang kutanyakan hal itu. Namun, dia hanya menyeringai.

Polisi itu berlalu dari hadapan dan bertanya kepada warga lainnya. Dia selalu melemparkan tatapan tajam kepadaku. Membuat diri merasa risi dengan tatapannya yang sangat aneh.

Rumah Alina sekarang dihalangi oleh garis polisi. Jasadnya sudah dibawa ke rumah orang tuanya. Sekitar 50 meter dari sini. Harus melewati turunan terlebih dahulu agar sampai ke rumah orang tuanya Alina. Aku mengayunkan kaki hendak ke rumah orang tua Alina juga.

"Tunggu!" Tiba-tiba lenganku dicekal oleh polisi muda itu.

Aku gegas menarik tanganku kasar darinya. Menatap dia tajam. "Lancang!" seruku.

Dia memasang tampang datar. "Urusan kita belum selesai!" tandasnya menatapku sangat tajam, setajam elang mengintai anak ayam.

Aku tidak menghiraukan ucapan polisi itu. Kembali melanjutkan langkah menuju ke rumah orang tua Alina. Mamah yang sedari tadi hanya menonton percakapanku dengan polisi muda itu menjadi cemas. Takut anaknya ini sampai dipenjara.

"Mamah tenang aja. Tania, 'kan, enggak salah. Jadi enggak mungkin dipenjara." Aku mencoba menetralkan perasaannya.

Sesampainya di rumah orang tua Alina, di ruang keluarga yang cukup luas itu, Bu Sarti---ibunya Alina langsung menatapku tajam dengan matanya yang memerah. Terlihat tangan wanita paruh baya itu mengepal erat. Dia bangkit berdiri tanpa melepaskan tatapan sengit kepadaku.

'Plak!'

Tamparan kasar darinya mendarat di pipiku. "Ini semua gara-gara kamu! Anak saya mati gara-gara kamu!" teriakknya keras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status