Share

Bab 4: Ia Kembali!

Kilatan cahaya petir menyinari sebuah sosok di luar jendela. Dengan jelas menampilkan wajahnya yang penuh darah dengan luka bacok di kening. Sorot mata yang tajam itu seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup.

"A-Alina ...." Aku mundur perlahan dengan lutut yang gemetar.

Angin berembus kencang dan kembali kilatan petir menyambar. Aku bisa melihat jelas penampakan di luar jendela itu, rambutnya berkibar-kibar akibat tiupan angin kencang.

"Mati! Kamu harus mati! Hihihihihi ...." Sosok itu berucap keras seraya maju mendekat dengan kepala teleng dan seringai yang menakutkan.

"Pergi! Jangan ganggu aku! Kamu bukan Alina!" teriakku ketakutan. Air mata luruh begitu saja. "Tol---"

"Kamu harus ikutan mati sepertiku, Taniaaa ...!" ucap sosok yang mirip dengan Alina itu. Lantas, dia berteriak kencang hingga membuatku menununduk dan menutup kuping. Suaranya begitu menusuk ke indra pendengaran, sampai membuat telingaku berdenging.

Beberapa menit berlalu dalam posisi itu, perlahan aku mencoba meluruskan badan dan melihat ke depan. Berharap dia sudah pergi. Hilang. Tidak ada siapa pun lagi di luar jendela. Hanya ada kegelapan di sana.

Aku mengembuskan napas lega, walau tubuh masih menggigil ketakutan. Dengan lutut yang masih terasa sedikit bergetar, perlahan aku mengayunkan kaki, hendak menutup jendela yang terbuka itu. Selesai menutupnya, saat aku berbalik, sosok menyeramkan tadi tiba-tiba berada di belakangku dengan tatapan membunuh.

"Matiiii ...!" teriaknya keras. Suaranya yang begitu besar seperti angin kencang yang mampu membuat tubuhku terempas jauh.

Aku terempas dan kepala ini langsung terbentur ke dinding tembok yang keras. Kepalaku sakit. Aku lunglai ke lantai dengan pandangan memburam. Samar-samar kulihat sosok yang mengenakan gaun panjang berdarah itu menghampiri Alisa yang terlelap di ranjang.

Tidak lama kemudian, nyanyian lagu nina bobo yang terdengar menyeramkan memenuhi ruangan. Detik berikutnya, aku kehilangan kesadaran.

****

"Tania, Tania, kenapa kamu tidur di lantai?"

Lamat-lamat aku mendengar suara Mamah bertanya. Kurasakan juga pipi ini ditepuk-tepuk.

"Uh ...." Aku melenguh, lalu membuka kelopak mata yang terasa berat. Terlihat Mamah di hadapan menatapku dengan alis bertaut.

"Kamu kenapa tidur di lantai? Mana tidur di pojokkan lagi," ujarnya.

Perkataan Mamah sontak mengingatkanku dengan kejadian semalam. Aku menelan ludah kasar kala mengingat sosok menyeramkan yang mirip Alina datang menyerangku, lalu menina bobokan Alisa.

Segera aku memandang ke ranjang, di mana Alisa sedang terbaring. Dia masih di sana. Tertidur dengan lelap. Apa mungkin aku hanya bermimpi?

"Mamah semalam dengar suara-suara aneh, enggak?" tanyaku. Namun, dia hanya menggeleng makin kebingungan akan pertanyaanku.

"Enggak apa-apa, Mah. Mungkin aku jalan sambil berdiri kali semalam, makanya tidur di sini." Aku berbohong agar Mamah tidak khawatir kepadaku.

"Kamu benar enggak apa-apa?" Wanita yang sudah berusia 40 tahun dan selalu tampil dengan menggulung asal rambutnya itu menyentuh kepalaku. "Keningmu kenapa memar begini?" tanya Mamah. Alisnya mengernyit.

Aku menyentuh kening. "Aww!"

Ternyata keningku sampai meninggalkan bekas luka akibat serangan dari sosok menyeramkan semalam. Itu berarti semalam bukan mimpi, tetapi kenyataan.

"Enggak sengaja kejedot pintu semalam, Mah." Lagi-lagi aku berbohong.

"Ada-ada saja kamu. Makanya, hati-hati!" Mamah malah iseng memencet luka di keningku.

"Sakit, Mah!" pekikku kesal.

Beliau malah terkekeh. "Sudah sana, kamu bangunin Alisa trus kamu mandiin," perintahnya.

Aku pun bangkit berdiri. Mendekati Alisa yang ada di ranjang dan membangunkannya. "Selamat pagi, Alisa Sayang ...." Aku menggelitiki anak kecil itu.

Dengan berat, dia membuka kelopak mata seraya menggeliat.

"Tantan." Alisa menyambutku dengan senyumannya yang menggemaskan.

Aku tersenyum getir kala bayangan Alina melintas di kepala. Siapa yang membunuh Alina dengan begitu sadis? Kenapa ibunya Alina menuduhku sebagai pelenyap anaknya? Kenapa arwah Alina menggentayangi dan ingin membunuhku? Apa aku ada salah selama ini dengan dirinya? Seingatku, kami selalu berteman baik sejak kecil sampai dia menikah dan punya anak. Hubungan itu tetap baik-baik saja tanpa ada sedikit pun pertikaian.

"Tania, Tania, Tania ... keluar kamu! Kemarikan cucu saya!"

Baru saja aku selesai memandikan Alisa dan mendandaninya, di luar terdengar seseorang berteriak keras.

"Kamu lagi Sarti. Kamu ngapain ke sini pagi-pagi? Pakai teriak-teriak segala lagi." Itu suara Mamah.

Gawat, jangan sampai mereka bertengkar.

"Masih tanya saya mau ngapain? Saya mau ambil cucuku kembali. Tidak sudi cucu saya berlama-lama dengan wanita munafik seperti anakmu itu!" sembur Bu Sarti.

"Jangan bicara sembarangan kamu, Sarti! Anak saya itu, anak baik-baik."

Aku segera memakai jilbab berwarna kuning, lalu menggendong Alina yang sudah wangi dan cantik. Dengan sedikit berlari, aku keluar kamar dan menuju ke teras.

Terlihat Bu Sarti melemparkan tatapan berkilat penuh kemarahan kepada Mamah, sedangkan Mamah menatap tajam Bu Sarti. Walaupun aku dan Alina sahabat karib sejak kecil, tetapi hubungan di antara kedua ibu kami memang tidak pernah akur. Mereka tidak pernah saling sapa, apalagi mengobrol.

"Kemarikan cucu saya!"

Melihatku yang datang sembari menggendong Alisa, Bu Sarti langsung merebutnya dariku. Terpaksa, aku pun melepaskan Alisa walau anak itu menangis.

"Tantan, Tantan, Tantan, huwaa ...!" Alisa menangis keras, tetapi Bu Sarti malah membawanya pergi menjauh. Menuju ke arah rumahnya.

"Sabar." Mamah mengusap punggungku, setelah melihatku yang mengembuskan napas berat.

"Iya, Mah." Senyum manis kupasang di wajah ini. "Ya udah, Mah, Tania pergi kerja dulu, yah."

"Semangat!" Mamah mengepalkan tanganya di udara.

Aku bekerja sebagai pelayan di warung makan Pak Jarot. Warung makan paling enak di Desa Mekar. Walaupun warungnya tidak terlalu besar, tetapi lumayan ramai pengunjung. Warungnya buka dari pukul 07.00 sampai 18.00, dan akan buka sampai 23.00 saat malam minggu. Punya dua karyawan, aku dan Mesya---seorang ibu muda.

Di saat perjalanan ke warung makan Pak Jarot, di tengah jalan tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dan disusul sebuah mobil yang memalang langkahku.

"Jalan kaki aja? Naik, yuk!" tawar pria itu, terlihat sok akrab.

Sudah jadi kebiasaanku untuk pergi ke warung makan yang jaraknya sekitar 200 meter dengan berjalan kaki. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya kendaraan yang bisa kugunakan.

"Terima kasih. Enggak perlu." Aku menolak tawarannya. Lantas, membuang muka.

Pria itu petugas kepolisian yang menyelidiki kasus kematian Alina kemarin.

"Naiklah! Ada yang ingin saya tanyakan tentang kematian sahabatmu." Terdengar nada memaksa dari bibir tipis sang pria.

Aku menatapnya lekat, begitu pun juga dengan sang polisi yang melemparkan tatapan elangnya kepadaku. Pandangan kami saling beradu beberapa saat, sampai aku memilih membuang pandangan sambil mengembuskan napas panjang.

Dengan ragu-ragu, akhirnya aku menuruti ajakannya untuk naik ke mobil jeepnya yang tanpa atap itu. Duduk di sampingnya dengan sungkan. Jujur saja, aku ingin tahu perkembangan kasus kematian Alina. Siapa si pelaku sadis itu?

Sang polisi memakai kacamata hitamnya, membuat benda itu bertengger di hidungnya yang bangir. Lantas, dia mulai melajukan mobil jeepnya.

Baru saja kami keluar dari kampung dan melewati area makam, aku melihat ada beberapa bapak-bapak berlarian dengan wajah pucat dan panik.

"Ada apa, Pak?" Polisi itu langsung bertanya kala seorang bapak melewati samping mobilnya.

"I-itu ...." Napas si bapak tersenggal-senggal. "Ku-kuburan si Alina terbongkar dan jasadnya menghilang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status