Kilatan cahaya petir menyinari sebuah sosok di luar jendela. Dengan jelas menampilkan wajahnya yang penuh darah dengan luka bacok di kening. Sorot mata yang tajam itu seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup.
"A-Alina ...." Aku mundur perlahan dengan lutut yang gemetar.Angin berembus kencang dan kembali kilatan petir menyambar. Aku bisa melihat jelas penampakan di luar jendela itu, rambutnya berkibar-kibar akibat tiupan angin kencang."Mati! Kamu harus mati! Hihihihihi ...." Sosok itu berucap keras seraya maju mendekat dengan kepala teleng dan seringai yang menakutkan."Pergi! Jangan ganggu aku! Kamu bukan Alina!" teriakku ketakutan. Air mata luruh begitu saja. "Tol---""Kamu harus ikutan mati sepertiku, Taniaaa ...!" ucap sosok yang mirip dengan Alina itu. Lantas, dia berteriak kencang hingga membuatku menununduk dan menutup kuping. Suaranya begitu menusuk ke indra pendengaran, sampai membuat telingaku berdenging.Beberapa menit berlalu dalam posisi itu, perlahan aku mencoba meluruskan badan dan melihat ke depan. Berharap dia sudah pergi. Hilang. Tidak ada siapa pun lagi di luar jendela. Hanya ada kegelapan di sana.Aku mengembuskan napas lega, walau tubuh masih menggigil ketakutan. Dengan lutut yang masih terasa sedikit bergetar, perlahan aku mengayunkan kaki, hendak menutup jendela yang terbuka itu. Selesai menutupnya, saat aku berbalik, sosok menyeramkan tadi tiba-tiba berada di belakangku dengan tatapan membunuh."Matiiii ...!" teriaknya keras. Suaranya yang begitu besar seperti angin kencang yang mampu membuat tubuhku terempas jauh.Aku terempas dan kepala ini langsung terbentur ke dinding tembok yang keras. Kepalaku sakit. Aku lunglai ke lantai dengan pandangan memburam. Samar-samar kulihat sosok yang mengenakan gaun panjang berdarah itu menghampiri Alisa yang terlelap di ranjang.Tidak lama kemudian, nyanyian lagu nina bobo yang terdengar menyeramkan memenuhi ruangan. Detik berikutnya, aku kehilangan kesadaran.****"Tania, Tania, kenapa kamu tidur di lantai?"Lamat-lamat aku mendengar suara Mamah bertanya. Kurasakan juga pipi ini ditepuk-tepuk."Uh ...." Aku melenguh, lalu membuka kelopak mata yang terasa berat. Terlihat Mamah di hadapan menatapku dengan alis bertaut."Kamu kenapa tidur di lantai? Mana tidur di pojokkan lagi," ujarnya.Perkataan Mamah sontak mengingatkanku dengan kejadian semalam. Aku menelan ludah kasar kala mengingat sosok menyeramkan yang mirip Alina datang menyerangku, lalu menina bobokan Alisa.Segera aku memandang ke ranjang, di mana Alisa sedang terbaring. Dia masih di sana. Tertidur dengan lelap. Apa mungkin aku hanya bermimpi?"Mamah semalam dengar suara-suara aneh, enggak?" tanyaku. Namun, dia hanya menggeleng makin kebingungan akan pertanyaanku."Enggak apa-apa, Mah. Mungkin aku jalan sambil berdiri kali semalam, makanya tidur di sini." Aku berbohong agar Mamah tidak khawatir kepadaku."Kamu benar enggak apa-apa?" Wanita yang sudah berusia 40 tahun dan selalu tampil dengan menggulung asal rambutnya itu menyentuh kepalaku. "Keningmu kenapa memar begini?" tanya Mamah. Alisnya mengernyit.Aku menyentuh kening. "Aww!"Ternyata keningku sampai meninggalkan bekas luka akibat serangan dari sosok menyeramkan semalam. Itu berarti semalam bukan mimpi, tetapi kenyataan."Enggak sengaja kejedot pintu semalam, Mah." Lagi-lagi aku berbohong."Ada-ada saja kamu. Makanya, hati-hati!" Mamah malah iseng memencet luka di keningku."Sakit, Mah!" pekikku kesal.Beliau malah terkekeh. "Sudah sana, kamu bangunin Alisa trus kamu mandiin," perintahnya.Aku pun bangkit berdiri. Mendekati Alisa yang ada di ranjang dan membangunkannya. "Selamat pagi, Alisa Sayang ...." Aku menggelitiki anak kecil itu.Dengan berat, dia membuka kelopak mata seraya menggeliat."Tantan." Alisa menyambutku dengan senyumannya yang menggemaskan.Aku tersenyum getir kala bayangan Alina melintas di kepala. Siapa yang membunuh Alina dengan begitu sadis? Kenapa ibunya Alina menuduhku sebagai pelenyap anaknya? Kenapa arwah Alina menggentayangi dan ingin membunuhku? Apa aku ada salah selama ini dengan dirinya? Seingatku, kami selalu berteman baik sejak kecil sampai dia menikah dan punya anak. Hubungan itu tetap baik-baik saja tanpa ada sedikit pun pertikaian."Tania, Tania, Tania ... keluar kamu! Kemarikan cucu saya!"Baru saja aku selesai memandikan Alisa dan mendandaninya, di luar terdengar seseorang berteriak keras."Kamu lagi Sarti. Kamu ngapain ke sini pagi-pagi? Pakai teriak-teriak segala lagi." Itu suara Mamah.Gawat, jangan sampai mereka bertengkar."Masih tanya saya mau ngapain? Saya mau ambil cucuku kembali. Tidak sudi cucu saya berlama-lama dengan wanita munafik seperti anakmu itu!" sembur Bu Sarti."Jangan bicara sembarangan kamu, Sarti! Anak saya itu, anak baik-baik."Aku segera memakai jilbab berwarna kuning, lalu menggendong Alina yang sudah wangi dan cantik. Dengan sedikit berlari, aku keluar kamar dan menuju ke teras.Terlihat Bu Sarti melemparkan tatapan berkilat penuh kemarahan kepada Mamah, sedangkan Mamah menatap tajam Bu Sarti. Walaupun aku dan Alina sahabat karib sejak kecil, tetapi hubungan di antara kedua ibu kami memang tidak pernah akur. Mereka tidak pernah saling sapa, apalagi mengobrol."Kemarikan cucu saya!"Melihatku yang datang sembari menggendong Alisa, Bu Sarti langsung merebutnya dariku. Terpaksa, aku pun melepaskan Alisa walau anak itu menangis."Tantan, Tantan, Tantan, huwaa ...!" Alisa menangis keras, tetapi Bu Sarti malah membawanya pergi menjauh. Menuju ke arah rumahnya."Sabar." Mamah mengusap punggungku, setelah melihatku yang mengembuskan napas berat."Iya, Mah." Senyum manis kupasang di wajah ini. "Ya udah, Mah, Tania pergi kerja dulu, yah.""Semangat!" Mamah mengepalkan tanganya di udara.Aku bekerja sebagai pelayan di warung makan Pak Jarot. Warung makan paling enak di Desa Mekar. Walaupun warungnya tidak terlalu besar, tetapi lumayan ramai pengunjung. Warungnya buka dari pukul 07.00 sampai 18.00, dan akan buka sampai 23.00 saat malam minggu. Punya dua karyawan, aku dan Mesya---seorang ibu muda.Di saat perjalanan ke warung makan Pak Jarot, di tengah jalan tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dan disusul sebuah mobil yang memalang langkahku."Jalan kaki aja? Naik, yuk!" tawar pria itu, terlihat sok akrab.Sudah jadi kebiasaanku untuk pergi ke warung makan yang jaraknya sekitar 200 meter dengan berjalan kaki. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya kendaraan yang bisa kugunakan."Terima kasih. Enggak perlu." Aku menolak tawarannya. Lantas, membuang muka.Pria itu petugas kepolisian yang menyelidiki kasus kematian Alina kemarin."Naiklah! Ada yang ingin saya tanyakan tentang kematian sahabatmu." Terdengar nada memaksa dari bibir tipis sang pria.Aku menatapnya lekat, begitu pun juga dengan sang polisi yang melemparkan tatapan elangnya kepadaku. Pandangan kami saling beradu beberapa saat, sampai aku memilih membuang pandangan sambil mengembuskan napas panjang.Dengan ragu-ragu, akhirnya aku menuruti ajakannya untuk naik ke mobil jeepnya yang tanpa atap itu. Duduk di sampingnya dengan sungkan. Jujur saja, aku ingin tahu perkembangan kasus kematian Alina. Siapa si pelaku sadis itu?Sang polisi memakai kacamata hitamnya, membuat benda itu bertengger di hidungnya yang bangir. Lantas, dia mulai melajukan mobil jeepnya.Baru saja kami keluar dari kampung dan melewati area makam, aku melihat ada beberapa bapak-bapak berlarian dengan wajah pucat dan panik."Ada apa, Pak?" Polisi itu langsung bertanya kala seorang bapak melewati samping mobilnya."I-itu ...." Napas si bapak tersenggal-senggal. "Ku-kuburan si Alina terbongkar dan jasadnya menghilang."Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam. "Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina. Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya. Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu. Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman. "Astaghfirullah ...." Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan
Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu. Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku. "Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku. "Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku. Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung. "Hihihihi ...."Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku. "Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis. Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga
Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup. "Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku. Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku. "Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah. "Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan. "Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi. "Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku d
Gelang titanium dengan inisial 'T' tersebut ditaruh meja di hadapanku. Lantas, kedua polisi itu keluar. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan Polisi Joshi yang begitu menikam. Menit berikutnya, terdengar pukulan dan disusul erangan keras dari ruangan di sebelahku. "Ayo, mengaku kau sudah membunuh anak itu! Kalau tidak, tongkatku ini akan terus memukul tubuhmu!" seru seseorang di ruang sebelah yang kuyakini adalah polisi yang belum lama masuk ke ruangan ini tadi. "Ampun, Pak, ampun. Saya benar-benar tidak membunuh anak itu. Saya dituduh." Suara pria lainnya terdengar berucap begitu lirih. "Halah, pembohong! Mana ada maling ngaku!"Lagi-lagi terdengar bunyi pukulan beberapa kali. "Arrhhh, ampun, sakit ...."Suara kesakitan di sebelah sontak membuatku dibanjiri keringat dingin. Tidak bisa dipungkiri kalau ketakutan sedang melandaku. Bagaimana jika aku juga nanti dituduh dan dipaksa mengiyakan tuduhan tersebut.
Sang pria yang duduk di bangku teras itu bangkit berdiri sambil membuang puntung rokoknya. Matanya menatap aku dan Polisi Joshi saling bergantian. Tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Sepertinya kekasih gelapmu sudah sedari tadi menunggu kedatanganmu ... ops!" Polisi Joshi berlagak seperti keceplosan. "Maksud saya, kekasih, eh, mantan teman dekatmu sedang menunggu kepulanganmu sampai selarut ini," lanjutya meralat ucapannya. Aku memutar bola mata malas seraya mendengkus kasar, lalu turun dari mobil jeep-nya. "Kamu kenapa baru pulang jam segini, Nia?" tanya Fadli mendekatiku yang baru saja turun dari mobil. "Astaga ... tanganmu kenapa? Kok bisa berdarah banyak seperti ini?" Fadli meraih tanganku dengan wajah panik. Aku juga panik, tetapi bukan panik karena luka di tanganku, melainkan tatapan ini tertuju pada Polisi Joshi yang sedang menatap kami secara saksama. Tuduhannya kepadaku pasti akan makin berat jika melihat aku dan Fadli sedekat ini.
Pisau melayang, untungnya aku sigap menghindar. Kembali aku berlari menghampiri Mamah dengan tampilan menyeramkan itu yang di mana matanya memutih keseluruhan. Wajah Mamah juga pucat pasi. "Mah, sadar, Mah! Mamah kenapa!" Walau dilanda rasa takut, tetapi aku berusaha mengguncang bahu Mamah. "Sadar, Mah! Ini Tania."Mamah memiringkan kepalanya sembari menyeringai jahat. Lantas, kedua tangannya yang berlumuran darah, dengan sekejap mencekik leherku. "Mati!" teriaknya seraya mencekik dan mendorong tubuhku, sampai punggung ini terbaring di meja makan. "Mati kamu, mati!" Suara Mamah tetap terdengar ada dua. Berat dan melengking. Hawa di sekitar jadi memanas. Mamah menambah erat cengkeramannya di leherku. "Ma-Mamah, sa-sadar, Mah!" Terbata, aku berucap. Bulir air luruh begitu saja di ekor mata. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Mamah, sedangkan kakiku menendang-nendang karena mulai kesulitan bernapas. "Maa ... sa-
Aku memekik seraya menutup mata dan telinga. Beruntung sang pengemudi langsung memberhentikan mobilnya hingga terdengar bunyi decitan nyaring di aspal. Lututku terasa lemas, aku jatuh bersimpuh dengan debar jantung yang menggila. Aku menatap kosong ke depan dengan napas yang masih syok. "Kamu nyari mati?" Suara seseorang mengalihkan pandanganku. Ternyata itu mobil Polisi Joshi. Aku menatapnya dengan mata berair, sedangkan sang polisi yang mengenakan pakaian dinasnya serta dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku kesal. "Itu pencurinya! Cepat tangkap!"Suara dari samping kanan, sontak membuatku kembali panik. Di sana ada beberapa warga juga si pemilik tas yang menatapku marah, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Dengan lutut yang masih bergetar, aku gegas berdiri. Lantas, bersembunyi di balik punggung Polisi Joshi. "Tolong aku." Kusembunyikan wajah di balik punggung tegap sang polisi. Terdengar derap langkah me
Suasana hening beberapa menit setelah ucapan spontanku tadi. Tidak terdengar sahutan apa pun dari Polisi Joshi mengenai tawaran memalukan dariku tadi. Aku benar-benar kalut, tidak tahu harus berbuat apa demi mendapatkan uang. Polisi Joshi terus bergeming di tempatnya berdiri, tidak terdengar apa pun darinya. Baik suara, gerak badan, ataupun helaan napas darinya. Suasana di sekitar sangat hening. Hanya terdengar isakkan tangis dan sesenggukan tertahan dariku. Aku masih sama, bersimpuh dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah. Aku tidak berani mendongak, memandang Polisi Joshi. Merasa sangat malu dengan apa yang barusan kulontarkan. Bagaimana bisa aku secara spontan mengeluarkan perkataan menjijikkan seperti itu. Aku baru saja berusaha menjual diri sendiri. Sangat memalukan! "Kalau kamu sudah selesai menangisnya. Ayo, kita ke rumah sakit!"Mendengar ucapan Polisi Joshi, perlahan aku mendongak. Aku memandang punggung Polisi Joshi yang sudah