Home / Horor / Tabir Kematian Sahabatku / Bab 5: Kuburan yang Terbongkar

Share

Bab 5: Kuburan yang Terbongkar

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2023-10-06 05:20:11

Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam.

"Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina.

Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya.

Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu.

Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman.

"Astaghfirullah ...."

Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan kanan. Di tengah-tengah gundukan itu, terdapat lubang setinggi satu setengah meter. Itu kuburan Alina.

Pak polisi langsung mendekat, memeriksa dan mengelilingi area sekitar makam Alina. Dia juga mengambil beberapa foto dengan ponselnya, sedangkan aku terpaku di tempat dengan perasaan berkecamuk. Antara merasa takut, sedih, juga bingung dengan yang terjadi.

Atmosfer di sekitar serasa menipis, aku merasa sesak disusul dengan bulir air mata yang meluncur. Gegas aku mengusap air mata yang meluncur ini dengan ujung jilbab hijau yang kukenakan, pada saat polisi muda itu menatap ke arahku. Tidak ingin terlihat menyedihkan di matanya.

"Hufft ... sepertinya ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan." Dia menyugar rambutnya yang bergaya cepak. Lantas, mengedarkan pandangan ke sekitar.

Aku pun ikutan mengedarkan pandangan, menyapu seluruh area makam dengan tatapan kebingungan. Bagaimana bisa mayat Alina menghilang begitu saja? Apa ada orang yang mengambilnya? Tetapi siapa? Dan untuk apa?

"Ke mana jasad itu menghilang?" Petugas polisi itu bertanya-tanya. "Tidak mungkin, 'kan, dia bangkit dari kuburan dan pergi menggentayangi orang yang telah melenyapkan dia."

Perkataan polisi muda itu sontak membuat jantungku mencelos. Mata ini memelotot sempurna kala mengingat sosok menyeramkan yang mirip dengan Alina semalam. Apa mungkin, arwah Alina gentayangan? Tetapi kenapa harus aku yang dia teror? Aku sahabat karibnya. Bukan aku juga yang melenyapkan dia, lalu kenapa Alina meneror dan secara jelas menginginkan aku mati.

"Hey!"

"I-iya!" Aku terlonjak kaget tatkala sang polisi menepuk bahuku tiba-tiba. Dia membuyarkan lamunanku.

"Apa yang kamu pikirkan? Hmm." Dia bertanya sembari memicing.

Aku meneguk ludah kasar. Bingung harus menjawab apa.

"Apa kamu tau sesuatu tentang mayat sahabatmu ini?" Dia bertanya lagi.

Aku hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaannya.

"Kenapa wajahmu pucat seperti itu?" Interogasi sang polisi belum selesai, sedangkan aku makin dilanda kebingungan dan juga ketakutan akan hal ini.

Tidak lama kemudian, banyak warga kampung yang datang berbondong-bondong. Pak Arto--ayah Alina berlari memeriksa kuburan anaknya yang kosong, sedangkan ibu Alina tidak datang. Mungkin dia sedang menjaga Alisa di rumah. Tidak mungkin dia meninggalkan atau membawa Alisa kemari.

"Astaghfirullah ...." Pak Arto mengusap dadanya, wajah pria itu memucat. "Di mana jasad anak saya? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Pak Arto memandang nanar ke semua orang. Air matanya luruh.

Para warga hanya menggeleng-geleng. Entah menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihat atau menggeleng menjawab pertanyaan Pak Arto.

"Pak Polisi, tolong cari dan temukan jasad anak saya, Alina ...." Pak Arto memohon dengan menyatukan kedua telapak tangan di dada. Dia menangis.

"Baik, Pak. Kasus ini pasti akan saya tuntaskan." Polisi muda itu menjawab mantap.

Setelah mengucapkan hal itu, sang polisi pergi keluar dari area pemakaman. Aku pun langsung mengikutinya. Baru teringat aku sudah terlambat datang ke tempat kerja. Kuharap Pak Jarot tidak memarahiku.

Ketika menaiki mobil polisi itu, dari kejauhan aku melihat Fadli yang bersama warga lainnya juga ikutan datang tergopoh menuju ke area makam. Wajahnya terlihat begitu panik. Tidak sempat aku bicara terlebih dahulu dengan Fadli, si polisi sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Kenapa? Ingin bicara dengan suami almarhumah sahabatmu itu?" Di tengah perjalanan, si polisi bertanya.

"Tidak." Aku menggeleng. Bohong. Jujur saja aku ingin bicara dengan Fadli mengenai jasad Alina yang menghilang.

"Kamu mau ke mana?" Sang polisi kembali bertanya.

"Warung makan Pak Jarot."

"Joshi Pratama. Kamu siapa?" Polisi muda yang ternyata bernama Joshi Pratama itu mengulurkan tangannya kepadaku.

"Tania Azzahira." Aku menyatukan kedua telapak tangan di dada. Membiarkan uluran tangan sang polisi mengambang di udara.

Ekspresi Polisi Joshi terlihat kesal, tetapi segera dia ubah raut wajahnya menjadi datar dan kembali menarik uluran tangannya. Fokus pada setir mobil.

**

"Kamu sudah bosan bekerja di sini? Kenapa baru datang sekarang? Kamu tau tidak, jam berapa sekarang? Hah!"

Baru saja tiba di warung makan, di dapur Pak Jarot sudah menyambutku dengan amarahnya.

Ya, aku salah. Aku terlambat masuk kerja.

"Maaf, Pak. Aku tadi ...."

"Saya tidak mau dengar apa pun penjelasanmu!" Pak Jarot memotong perkataanku. "Sebagai hukuman atas kesalahanmu ini, kamu harus cuci piring dan bersihkan warung sendirian nanti."

"Wahh, berat, tuh!" Tiba-tiba Mesya menyeletuk di belakangku.

Wanita yang selalu tampil menor itu, memang sangat suka melihatku menderita.

"Ingat Mesya, kamu jangan bantuin Tania. Biar dia jangan ulangi lagi kesalahannya ini. Saya tidak suka ada orang malas bekerja denganku!" tandas Pak Jarot, lalu keluar dari dapur.

"Siap, Bos!" Mesya menyahut antusias sembari menatap punggung Pak Jarot yang sudah menjauh dari dapur.

Aku mengembuskan napas kasar, lalu mengambil pekerjaan. Menulis pesanan pembeli, lalu mengantarkan apa yang mereka pesan. Aku juga membuat aneka minuman yang mereka pesan. Untuk makanannya, dibuat oleh istri Pak Jarot. Setelah itu, aku membersihkan meja-meja yang kotor dan membawa piring bekas ke dapur. Begitu terus sampai sore.

**

"Jangan lupa kunci warung, setelah kamu membersihkan semuanya!"

Pukul 18.00, Pak Jarot memberikan sebuah kunci kepadaku. Lantas, mereka bertiga pulang. Meninggalkanku sendiri di warung dengan pekerjaan yang menumpuk.

Aku melanjutkan pekerjaan, mencuci piring yang menggunung juga peralatan dapur lainnya.

"Kira-kira siapa, yah, yang membunuh Alina? Apa orang yang membunuh Alina sama dengan orang yang membongkar mayat Alina dan menculiknya?"

Sembari mencuci piring, pikiranku malah berkelana mencari tahu tentang kasus yang menimpa sahabat karibku itu.

'Prang!'

"Astaghfirullah aladzim!" Aku terlonjak kaget, ketika tiba-tiba mendengar kuali jatuh di belakang.

Sontak aku berbalik, melihat kuali yang berputar-putar di lantai itu. Perlahan, aku hendak mengambilnya. Namun, tiba-tiba saja lampu padam. Lantas, disusul angin dingin yang berembus kencang menerpa pipiku.

"Tania ... ihihihihihi ...!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
kok malah tania yg di gentayangin sih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 120: Menjemput Istri di Alam Gaib

    Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 119: Aksi Penyelamatan

    Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 118: Tania atau Alisa

    Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 117: Perasaan Bersalah

    Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 116: Jebakan Mantan

    Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 115: Mimpi Beruntun

    Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 114: Memelihara Setan?

    Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 113: Kerasukan

    Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 112: Acara yang Kacau

    Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status