Share

Bab 2: Mimpi

"Mommy …! Daddy …! Mommy …!"

Matthew melihat ayahnya sedang berusaha tetap berada di permukaan laut seraya memeluk tubuh istrinya.

Tetapi mirisnya ayah Matthew sama sekali tidak melihat ke arahnya, melainkan ke arah ibu Matthew yang sedang terpejam dan tubuhnya tampak memucat.

"Mirabeth! Mirabeth, jangan pergi! Please, jangan tinggalkan aku dan Matthew!" seru Althan, ayah Matthew, seraya mengguncang tubuh istrinya.

Mendengar seruan sang ayah, membuat Matthew menduga bahwa sang ibu sudah tidak lagi bernapas.

"Mommy …!" seru Mathew dengan air mata yang kembali berlinang.

"Mommy …!" seru Matthew lagi. Tapi kali ini ia merasakan sunyi di sekitarnya.

Hening. Sepi.

Matthew kini mendapati dirinya sedang terduduk di meja kerja yang sengaja ia buat di mansion pribadinya.

Napasnya terengah dan sepasang netranya perlahan menyisir seisi ruangan menggunakan tatapannya.

"Sial! Sudah dua puluh tahun tapi mimpi itu masih datang lagi!" umpat Matthew kesal. Ternyata lagi-lagi ia memimpikan peristiwa dua puluh tahun lalu yang telah menewaskan kedua orang tuanya.

Matthew mengusap wajahnya menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih menggenggam sebuah jam tangan miliknya sewaktu ia masih kecil. Ada ukiran nama Matthew Xaverius Anderson di bagian case back-nya.

Kling! Kling! Kling! Kling!

Nada dering telepon menarik atensi Matthew.

"Ya, Aiden? Ada kabar apa?" tanya Matthew to the point begitu telepon sudah tersambung.

"Selamat malam, Tuan, saya mau menyampaikan kalau The Royall Shipping Club sudah memberikan tanggapan terkait dengan penawaran afiliasi yang kita ajukan ke mereka. Perusahaan itu sekarang dipimpin oleh Tuan Bernard Gregorius dan didampingi oleh adik perempuannya, Lisya Gregorius," ucap Aiden, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Matthew. Sebuah senyum smirk tipis membuat salah satu sudut bibir Matthew sedikit terangkat saat mendengar informasi yang disampaikan Aiden.

"Selanjutnya langkah apa yang harus kita lakukan, Tuan?" tanya Aiden yang sudah siap menerima tugas lanjutan.

"Buat janji pertemuan dengan mereka. Kita terbang ke Queenstown besok lusa dan siapkan semua berkas yang kita butuhkan," titah Matthew tanpa membuang waktu.

"Siap laksanakan, Tuan!"

Matthew memutus sambungan telepon begitu sudah mencapai kesepakatan dengan Aiden.

Ia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke arah jendela besar di sisi kanan ruangan.

Tangan kirinya masih tetap membawa jam tangan miliknya yang merupakan satu-satunya benda peninggalan kedua orang tuanya.

Kini, dari ruang kerja yang ada di mansion ini, Matthew bisa memandangi city lights yang mempercantik kota Switzerland di musim semi ini.

Tok! Tok! Tok!

Atensi Matthew teralihkan sesaat ke arah pintu, "Ya, masuk!"

Begitu pintu terbuka, Matthew bisa melihat Clark yang berdiri didampingi dengan Zean, orang yang ditugaskan Matthew untuk menjadi pengawal pribadi Clark Lutof, orang yang telah menyelamatkannya pada tragedi dua puluh tahun lalu, sekaligus ayah angkatnya.

"Kamu bisa pergi. Aku mau bicara berdua dengan Matthew," pinta Clark pada Zean.

"Baik, Tuan! Panggil saya kapan pun Anda perlukan," ucap Zean sebelum beranjak pergi. Clark mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Clark? Ini sudah malam, kenapa belum istirahat?" tanya Matthew begitu Clark sudah melangkah masuk dengan sebuah cerutu di tangannya.

"Ck! Kamu bersikap seolah-olah aku ini pria yang sudah tua renta," cibir Clark dalam candanya.

"Aku rasa aku tidak berlebihan memberi perhatian seperti ini kepada pria yang empat tahun lagi sudah berusia setengah abad," tandas Matthew mengimbangi candaan Clark.

"Sialan kau, Matt!"

Umpatan Clark ini justru memancing tawa kecil dalam diri Matthew, tetapi hanya sesaat. Kini, tatapan Matthew kembali terarah pada lampu-lampu kota di luar sana.

"Besok lusa aku tidak di Swiss. Aku dan Aiden akan ke Queenstown," ucap Matthew yang seketika membuat wajah Clark menegang saat mendengarnya.

"The Royal Shipping Club," lanjut Matthew sedikit lirih. Senyum smirk lagi-lagi muncul menghiasi sudut bibirnya.

"Kamu yakin?" tanya Clark memastikan.

"Hm," jawab Matthew bergumam.

"Jadi menurutmu sekarang sudah waktunya kamu menunjukkan dirimu ke hadapan mereka?" tanya Clark sembari menghisap cerutunya. Ditatapnya Matthew yang sedang menatap nyalang ke arah luar jendela.

Matthew mengangguk, "Sudah dua puluh tahun aku sembunyi di sini, Clark. Switzerland memang tempat yang aman untukku, tapi di sini bukan tempatku. Ada yang harus aku perjuangkan di Queenstown," tutur Matthew penuh keyakinan. Sementara Clark masih terdiam, menelaah setiap penuturan anak angkatnya.

"Sudah waktunya aku mencari kebenaran dan mengungkap misteri yang tertutup selama ini," lanjut Matthew lagi yang kini berjalan mendekati Clark.

Clark mengangguk pelan. Bibir yang sedang menghisap cerutu itu tersenyum bangga, "Pergilah, dan bawa kembali hakmu."

"Hm!" sahut Matthew dengan anggukan penuh keyakinan, "Akan aku temukan semua bukti-buktinya, dan akan aku rebut kembali apa yang menjadi milik keluargaku!"

Dalam benak Matthew sudah tersimpan nama Vincent Gregorius, orang yang dicurigai memiliki peran penting dalam terjadinya kebakaran kapal pesiar yang menewaskan nyawa kedua orang tuanya.

***

Hari-hari berganti, Matthew melepas kacamata hitamnya saat menaiki private jet miliknya.

Jika boleh jujur, sebenarnya Matthew merasakan debaran yang cukup hebat di jantungnya.

Bagaimana tidak? Saat ini ia akan menuju ke New Zealand, tepatnya di kota Queenstown, kota kelahirannya sekaligus kota yang memiliki ribuan memori pada masa kecilnya dulu, termasuk memori kelam.

Tiba-tiba ia teringat pada ucapan Clark dua hari lalu, "Salah satu kejanggalan yang aku rasakan saat itu adalah Vincent tetap bersikukuh memilihku untuk memimpin pelayaran perdana itu. Padahal waktu itu usiaku baru menginjak dua puluh enam tahun, aku juga belum lama diangkat menjadi kapten pelayaran. Sedangkan di perusahaan shipping line paling besar seperti The Royal Shipping Club itu tentunya memiliki puluhan kapten yang jauh lebih profesional dan berpengalaman. Sampai sekarang aku masih belum menemukan alasan Vincent memilihku," ucap Clark waktu itu.

"Tuan?" panggil Aiden di bangku seberang.

Aiden mengernyitkan kening saat Matthew tidak memberikan respon apa pun dan justru tetap menatap kosong ke arah luar jendela yang menyajikan hamparan awan putih bersih.

"Tuan Matthew?" panggil Aiden lagi lebih keras, membuat lamunan Matthew buyar seketika.

"Ada apa?" tanyanya.

"Champagne Anda sudah habis, mau saya tuangkan lagi?" tawar Aiden penuh rasa hormat.

"Sudah cukup. Aku tidak boleh banyak minum karena urusan kita kali ini menyangkut masa lalu dan masa depanku. Ini bukan urusan sepele, Aiden. Aku harus tetap menjaga konsentrasi untuk menghadapi keluarga Gregorius," tutur Matthew menjelaskan.

"Baik, Tuan!" jawab Aiden.

***

Setelah menempuh waktu penerbangan selama lebih dari 13 jam, Matthew dan Aiden tiba di Queenstown. Sebuah mobil Limousine berwarna hitam datang menjemput mereka menuju ke salah satu hotel di tengah kota.

Kling! Kling!

"Tuan, Nona Gregorius menghubungi saya," ucap Aiden memberi informasi kepada Matthew yang duduk di bangku belakang.

"Bilang, satu jam lagi kita sampai di The Royal Shipping Club!" Matthew sedikit berseru agar Aiden yang duduk di bangku sebelah sopir bisa mendengar ucapannya dengan jelas.

"Siap, Tuan!" seru Aiden yang lantas menjawab panggilan telepon.

"Ya, selamat siang, Nona Gregorius?" sapa Aiden sopan.

"Selamat siang, Tuan Smith! Saya ingin menawarkan bagaimana kalau pertemuan kita ditunda sampai nanti malam? Kita bisa membicarakan urusan afiliasi ini sambil makan malam," tawar Lisya dari seberang telepon.

Aiden tampak serius menyimak penuturan Lisya melalui sambungan telepon.

"Baik, tunggu sebentar," ucap Aiden pada Lisya. Aiden lantas menjauhkan ponsel dari telinganya dan menoleh ke arah Matthew.

"Ada apa?" tanya Matthew polos.

"Nona Gregorius menawarkan bagaimana kalau pertemuan ini dialihkan saat jam makan malam, Tuan? Mengingat ini sudah hampir sore," ucap Aiden meminta persetujuan kepada sang CEO.

Matthew tampak berpikir sejenak, "Oke! Sementara ini kita ikuti dulu kemauannya," lanjut Matthew singkat.

"Siap, Tuan!" Aiden segera mendekatkan ponselnya lagi ke telinga.

"Hallo, Nona? Maaf membuat Anda menunggu. Tuan Lutof setuju dengan permintaan Anda untuk menunda pertemuan ini sampai nanti di jam makan malam. Tolong kirimkan lokasi tempat makan malamnya," tutur Aiden melanjutkan percakapan dengan Lisya.

"Beres, Tuan!" Aiden kembali memberi laporan.

Matthew tersenyum tipis dan membiarkan salah satu sudut bibirnya sedikit menyeringai. "Aku tidak sabar bertemu dengan keluarga Gregorius, Aiden!"

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status