Share

Bab 3: Meremehkan Matthew

"Hahaha! Can't wait to see you, Baby!" gumam Lisya begitu sambungan telepon dengan pihak Matthew berakhir.

Terlalu dini memang, tetapi bibir tipis Lisya sudah menyunggingkan senyum kemenangan, seolah ia sudah bisa memastikan bahwa hati Matthew akan berada dalam genggaman tangannya.

"Bagaimana? Apa dia setuju untuk menunda pertemuan sampai nanti malam?" tanya Bernard berwajah serius.

"Hahaha! Astaga, Bernard … tenanglah sedikit! Kenapa tegang begitu? Kita tidak sedang menghadapi penyihir kejam ataupun binatang buas yang bisa mencelakai kita …," tutur Lisya terjeda. Ia bangkit meninggalkan meja kerjanya untuk berjalan ke arah Bernard, kakak kandungnya.

"Kita hanya sedang menghadapi Matthew Xaverius Lutof, CEO tunggal dari sebuah perusahaan shipping line Marine Lighthouse. Dia tidak jauh beda dengan kita!" ujar Lisya seraya bersedekap di hadapan Bernard.

"Tapi Marine Lighthouse adalah perusahaan shipping line terbesar di seluruh Swiss, Lisya! Aku ingatkan kalau kau lupa!" entah mengapa Bernard tiba-tiba meninggikan nada bicaranya.

"So?" sepasang alis dan bahu Lisya terangkat serempak.

"Tetaplah waspada terhadapnya!" tatapan Bernard kian tajam terarah pada sepasang manik mata Lisya yang berwarna biru terang.

"Hahaha! Dia yang seharusnya waspada terhadapku, Bernard," balas Lisya masih menyunggingkan senyum lebar.

"Maksudmu?" Sepasang alis Bernard tampak mengernyit mendengarkan penuturan adik semata wayangnya.

Bukannya langsung memberikan jawaban untuk pertanyaan Bernard, Lisya justru kembali membiarkan tawanya menggelegar ke seluruh ruang kerjanya.

"Hahaha …! Listen to me, Brother!" tutur Lisya sembari membalas tatapan Bernard yang menunjukkan keseriusan.

"Usia Matthew itu tidak jauh berbeda dengan kita. Dia bahkan masih lebih muda darimu. Tentunya kita paham kan bagaimana kehidupan para CEO muda di luaran sana? Mereka semua begitu gampang tergiur oleh wanita. Semua harta dan tahta yang mereka raih semata-mata hanya untuk mendapatkan pengakuan dari para wanita," sambung Lisya lagi.

"Dan ujung-ujungnya apa? Mereka memanfaatkan harta dan tahta yang mereka miliki hanya untuk bersenang-senang dengan para wanita yang mereka inginkan."

Bernard terhenyak mendengar penuturan saudara perempuannya, "Lalu apa rencanamu?" tanyanya kemudian.

"Ck!" Lisya berdecak seraya merotasikan bola mata, seolah sedang mencibir pertanyaan sang kakak.

"Tentu saja menguasainya!" jawab Lisya penuh percaya diri, "Bayangkan jika aku sudah menggenggam hatinya. Tentu kita tidak hanya akan mendapat suntikan dana untuk The Royal Shipping Club, tapi kita juga akan menguasai Marine Lighthouse!"

"Ah, I see … tapi, apa menurutmu ini akan mudah?" Bernard masih tampak ragu.

"Hahaha! Bernard, Bernard …! Aku harap kau juga tidak lupa kalau sampai detik ini belum ada satu pria pun yang bisa menolak pesonaku," rasa percaya diri terpancar begitu jelas pada diri Lisya.

"Aku tahu itu, Lisya! Tapi ada baiknya kau tetap harus mempersiapkan strategi yang lebih matang untuk bisa menggenggam hatinya," ujar Bernard memberikan insight.

"Serahkan urusan Matthew padaku, Bernard! Dan kamu … urus saja reputasi perusahaan! Pastikan kita memiliki jawaban yang tepat jika nanti Matthew mempertanyakan tentang para kolega bisnis yang berhasil kita kuasai kekayaannya," bak pinang dibelah dua, kakak-beradik ini memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama licik dan tamak.

"Baiklah, aku serahkan rencana untuk menguasai Matthew ini padamu," ujar Bernard yang lantas beranjak keluar dari ruang kerja sang adik.

***

Berniat hendak kembali ke ruang kerjanya, langkah Bernard terhenti tatkala tatapannya terpaku pada wajah cantik sekretaris pribadinya yang sedang menatap serius ke arah layar laptop.

Tapi sejurus kemudian, Bernard seketika geram saat mendapati para anak buahnya yang lain juga sesekali terlihat mencuri pandang ke arah Norin, meski berbeda ruangan.

"Norin!" panggil Bernard yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu ruang kerja Norin.

"Eh? Em, iya, Tuan?" sahut Norin sedikit terbata karena terkejut akan kehadiran Bernard. Ia lantas berdiri sebagai bentuk menghormati atasan.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Norin lagi yang kini sudah berhadapan dengan sang CEO.

"Kenapa kau membiarkan pintunya terbuka?" tanya Bernard dengan tatapan penuh selidik.

"AC ruangan mati, Tuan. Tapi saya sudah panggil bagian maintenance agar segera diperiksa," tutur sang asisten dengan lembut.

Kini, Norin tampak menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuh Norin merasa kaku seketika saat menyadari bahwa tatapan Bernard sedang melakukan scanning ke arah Norin, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menelanjangi gadis itu hanya dengan sebuah tatapan.

"A-ada apa, Tuan?" tanya Norin lagi seraya menunduk untuk menghindari eye contact dengan Bernard. Ia berusaha keras agar tidak terlihat gugup.

Ceklek!

Norin mendengar pintu ruangannya tertutup, tapi ia masih melihat sepasang kaki Bernard tetap berada pada tempatnya semula, tidak beranjak sedikit pun.

Deg!

Perasaan Norin seketika menjadi was-was. Ia memiliki firasat kurang baik begitu mendapati Bernard menutup ruang kerjanya, bahkan sengaja mengunci pintu.

Detak jantung Norin berpacu lebih cepat dari biasanya, seakan sedang mengikuti lomba pacuan kuda.

"T-Tuan …?" suara Norin sudah terdengar sedikit panik.

"Kenapa selalu begini, Norin? Kau selalu mengabaikan ucapanku."

Lirih … sangat lirih …

Norin tidak menyangka kalau Bernard bisa berbicara begitu lirih di hadapannya.

Gadis itu bergerak mundur, menjauhi langkah Bernard yang justru bergerak maju.

"Ma-maaf, Tuan, tap-tapi … tapi apa maksud Anda?" sekuat tenaga Norin berusaha berpikir waras dalam situasi ini.

Tidak segera menjawab pertanyaan sang asisten, Bernard justru kembali menelanjangi Norin dengan tatapannya yang begitu intens.

"Sudah ku bilang, jangan biarkan para pria itu menikmati pemandangan indah yang seharusnya hanya menjadi milikku!"

Masih terdengar lirih, tapi suara Bernard kali ini cukup menunjukkan adanya kemarahan yang mulai terpantik.

"Apa maksud Anda, Tuan?" Norin terus melangkah mundur hingga meja kerja terpaksa menghentikan pergerakannya.

Sepasang rahang Bernard mengeras bersamaan dengan kedua tangannya yang mengepal kuat, tanda sedang menahan emosi agar tidak meluap.

CEO itu menatap tajam ke arah Norin yang justru berusaha membuang pandang dengan cara menunduk.

Tanpa bisa diduga, tangan Bernard tiba-tiba terulur meraih tengkuk Norin dan menariknya, membuat gadis itu seketika berada dalam pelukannya.

"Tu-,"

Norin gagal menyelesaikan ucapannya karena bibir Bernard seketika sudah membungkam bibirnya.

Bahkan, lidah Bernard kini sudah menginvasi setiap rongga mulut gadis cantik di hadapannya.

Meski Norin tidak membalas ciumannya, Bernard tetap menjarah bibir gadis itu sebagai luapan atas kekesalannya.

Ia juga tidak peduli meski Norin sudah hampir kehabisan napas.

"Tu-Tuan!" pekik Norin saat berhasil meloloskan diri dari 'serangan' Bernard.

Didorongnya tubuh Bernard kuat-kuat agar tercipta ruang di antara keduanya.

"Panggil aku Bernard saat kita hanya berdua, Norin! Harus berapa kali kuingatkan?!" protes Bernard penuh kekesalan.

"Kau ini apa-apaan?! Kita masih di kantor, ini juga masih jam kerja! Kenapa menciumku secara tiba-tiba?!" Norin tidak tahan lagi. Ia menyuarakan kemarahan yang sedari tadi sudah ditahannya.

"Kenapa? Kenapa kau tidak membiarkanku untuk menciummu, sedangkan kau membiarkan para pria di sana menikmati keindahan tubuhmu?!" tukas Bernard semakin dikuasai kemarahan.

"Membiarkan apanya?! Ayolah, Bernard! Jangan konyol!" sergah Norin kian geram.

"Konyol gimana? Kau dengan sengaja melepas jas kerjamu di saat pintu ruangan terbuka lebar seperti tadi!" Bernard terus berspekulasi.

"Dan lihat, kau bahkan juga dengan sengaja membiarkan kancing kemejamu itu terbuka dua!" tukas Bernard menunjukkan hal lain yang dipandangnya sebagai suatu kekeliruan.

"Lalu ini! Siapa yang memberimu izin untuk mengikat semua rambutmu ke atas seperti ini? Leher terbuka sempurna seperti ini bisa dengan mudah menarik perhatian para pria itu, asal kau tahu!" cecar Bernard lagi menyebutkan setiap kesalahan Norin di matanya.

"Dan-,"

"Apa lagi?!"

Kini gantian Norin yang menginterupsi ucapan Bernard. Ia sudah muak menghadapi sikap posesif Bernard yang membuatnya merasa terkekang.

"Rok span yang kupakai terlalu ketat? Atau malah terlalu pendek?" tanya Norin bernada tinggi dan sarat akan makna sarkas.

"Di sini aku menghargaimu sebagai atasanku, Bernard. Tapi bukan berarti aku akan membiarkanmu menjajahku seperti ini!" tandas Norin dengan tegas.

"Semua ucapanmu itu tidak masuk akal! Bagaimana bisa kamu melarangku untuk melepas jas kerja dan membuka kancing atas kemejaku di saat AC ruanganku sedang mati begini? Lalu kau juga melarangku untuk mengikat rambut panjangku ini hanya karena alasan yang berlebihan! Dan lagi soal pintu … bisa-bisanya kamu marah hanya gara-gara aku membiarkan pintu ruanganku terbuka? Hahah, ini konyol, Bernard! Konyol!"

Bukan hanya Bernard, Norin pun diliputi amarah saat ini.

Dengan hati kesal, gadis berambut panjang itu hendak pergi keluar ruangan meninggalkan pria di hadapannya.

Tapi saat hendak melewati Bernard, pria itu justru mencekal pergelangan tangan Norin dan menariknya kembali, hingga Norin pun sedikit terpelanting jatuh ke dalam dekapan sang CEO.

"Jangan berani pergi saat aku belum selesai bicara, Norin!" bisik Bernard dengan begitu geram, tepat di samping telinga Norin.

"Lepas! Aku mau keluar!" pinta Norin kesal.

"Nggak!" tolak Bernard tanpa ragu.

"Lepaskan aku, Bernard! Kau menyakiti tanganku!" teriak Norin seraya terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Bernard.

Tetapi gadis cantik itu tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk melawan.

"Aku menjadikanmu milikku bukan untuk melawanku seperti ini, Norin! Tapi agar kau menjadi milikku seorang! Hanya seorang!" emosi yang terus memuncak membuat Bernard tak kuasa mengendalikan dirinya.

Ia kembali menginvasi tubuh Norin. Ditariknya wajah cantik itu dan mulai melumat bibir tipis di hadapannya.

Bernard menggunakan kedua tangannya untuk menangkup wajah lembut sang asisten pribadinya.

Norin terus meronta-ronta, berusaha untuk melepaskan diri dari Bernard. Tetapi lagi-lagi gagal. Upaya Norin untuk bisa terlepas dari cengkraman Bernard layaknya seperti usaha menjaring angin, sia-sia!

Bahkan kini Bernard sempat mengangkat tubuh ramping Norin dan mendudukkannya di atas meja kerja hingga membuat rok span yang dipakai Norin tersingkap begitu saja.

Kedua tangan kekar Bernard masing-masing bekerja dengan sempurna, mengunci tangan Norin di balik tubuh gadis itu.

Kini bukan hanya bibir Norin yang menjadi sasaran Bernard.

Pria itu juga mendaratkan ciuman-ciumannya menyusuri leher jenjang gadis cantik yang berhasil mencuri hatinya itu.

"Bernard! Stop it!"

Norin terus berusaha melepaskan diri dari Bernard, tapi tetap saja ia gagal.

"Please, Bernard! Berhenti! Jangan seperti ini!" pinta Norin lagi, dan tentu saja Bernard tetap mengabaikannya.

CEO posesif itu terus menghujani tubuh Norin dengan ciumannya yang tercipta atas dasar ego dan kemarahan.

"Bern-,"

Lagi dan lagi … Norin gagal menyelesaikan kalimatnya karena Bernard kembali menginvasi bibirnya dengan ciuman.

Norin juga merasakan ikatan rambutnya sudah tidak lagi rapi seperti sedia kala.

Sudah jangan ditanya lagi sekacau apa penampilan Norin saat ini. Sudah pasti sangat kacau dan berantakan karena ulah Bernard.

Kini, sembari bibir dan lidahnya terus menguasai bibir Norin, Bernard memanfaatkan tangan kanannya untuk menyusuri setiap lekuk tubuh gadis itu. Sedangkan tangan kirinya tetap mengunci kedua tangan Norin di balik pinggang sang gadis.

Napas keduanya pun saling menderu, debar di dada mereka juga seakan saling berpacu satu sama lain.

Hingga …

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan pada pintu.

Deg!

Jantung Norin yang sedari tadi berpacu dengan hebat, kini seakan terasa berhenti seketika!

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status