Dhuaarrr!!! Bummm!!!
Suara ledakan dan dentuman yang begitu keras berhasil memekakkan telinga seluruh penumpang kapal pesiar "The Eye of Ocean".Kapal yang sedang melakukan pelayaran wisata dari Queenstown menuju ke New York ini rupanya mengalami kebakaran hebat.Semua penumpang dari masing-masing deck kian berhamburan tak tentu arah."Daddy …! Dad …! Mommy! Daddy! Mommy!" Matthew yang masih berusia tujuh tahun berteriak-teriak dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Berharap dengan begitu kedua orang tuanya bisa mendengar suaranya."Mommy! Daddy! Tolong Matthew! Matthew takut, Mommy! Daddy!" tak henti-hentinya Matthew berteriak meskipun suara polosnya teredam oleh hiruk-pikuk ribuan orang yang berlalu-lalang demi bisa menyelamatkan nyawanya sendiri.Asap tebal dan api yang menyambar-nyambar sudah menguasai sebagian besar kapal."Cepat minta sekoci! Kita harus bisa dapatkan sekoci supaya bisa selamat!"Matthew mendengar seruan orang-orang di sekelilingnya yang sudah dikuasai kepanikan."Tapi para petugas itu bilang sekoci di dalam kapal ini hanya tersedia 50 unit!" seru yang lainnya."Apa?! Kapal pesiar sebesar dan semegah ini hanya punya sekoci 50 unit? Yang benar saja! Kebakaran hebat sudah terlanjur terjadi, apinya sudah merambat ke segala arah! Kalau kita tidak segera mengambil sekoci, bisa-bisa kita semua habis dilalap lidah-lidah api ini!" tandas yang lainnya lagi dalam keadaan emosi dan panik.Di tengah atmosfer yang menegangkan ini tiba-tiba mereka merasakan sepatu yang mereka pakai mulai basah dan dengan segera mereka bisa menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa setiap lantai di kapal ini sudah digenangi dengan air laut."Sialan! Masalah apa lagi ini?!" seru pria berkumis yang berdiri tidak jauh dari tempat Matthew berada."Aaa …!! Mommy …! Daddy …! Matthew takut!" Matthew kian dikuasai ketakutan tatkala ia merasakan air laut yang menggenangi kapal mereka sudah semakin tinggi hingga sebatas betisnya."Cepat keluar! Ternyata kapal ini terbelah jadi dua! Ayo, keluar!" seru yang lain lagi saat melintasi kerumunan orang-orang itu.Mendengar celotehan di sekelilingnya membuat Matthew semakin panik. Anak kecil itu lantas berlari keluar deck untuk menemukan orang tuanya."Mommy! Daddy! Di mana kalian? Matthew takut! Matthew janji tidak akan pergi main tanpa izin lagi! Matthew janji tidak akan keluar kamar lagi tanpa Mommy dan Daddy!" sembari kaki kecilnya berlari, bibirnya terus meracau melontarkan barisan kata yang sarat akan penyesalan.Tapi langkah Matthew terhenti seketika di saat ia sampai di sebuah koridor, sepasang bola matanya melihat ada tiga orang pria dewasa berbadan sangat kekar sedang menyeret dan mengumpulkan semua anak kecil yang mereka temui."Sini, cepat!" ucap salah seorang dari mereka yang sedang menjambak rambut seorang anak perempuan berambut pirang dan menyeretnya ke sudut koridor."Aaa! Tolong! Tolong! Sakit, Paman!" suara teriakan dan tangisannya menggema cukup kencang. Tapi sayang, sudah tidak ada orang di sepanjang koridor ini karena mereka semua sudah keluar dari deck masing-masing."Diam di sini dan jangan berisik!" bentak pria kejam itu pada anak kecil yang sudah merasa terancam.Sepasang mata Matthew membulat seketika saat menyaksikan pemandangan kejam itu. Dan mirisnya semua pria berbadan kekar itu juga berbuat hal yang sama terhadap semua anak kecil yang sudah terpisah dari orang tua mereka.Dengan debar jantung yang kian menderu, Matthew membekap mulutnya sendiri kuat-kuat agar tidak menimbulkan suara. Ia segera berbalik arah dan berlari cepat.Ia memasuki sebuah ruang penyimpanan yang di dalamnya terdapat begitu banyak peti kemas.Dengan air mata yang sudah berlinang membasahi pipi tembemnya, Matthew berusaha menyembunyikan dirinya di antara peti-peti kemas itu."Hey! Kenapa kamu di sini? Ayo, keluar!"Suara seorang pria dewasa tiba-tiba mengagetkan Matthew, membuat anak itu sontak menoleh ke belakang untuk melihat siapa pemilik suara tadi."Hah! Ampun, Paman! Jangan menyakitiku! Ampun! Jangan bawa aku pergi, Paman! Jangan sakiti aku!" dengan cepat Matthew memohon-mohon kepada pria itu agar ia tidak disakiti."Hey, hey, tenanglah! Ada apa? Siapa yang ingin menyakitimu? Tidak ada! Tenanglah!" ucap pria berusia 26 tahun itu seraya mendekati Matthew yang masih berjongkok di dekat sudut peti kemas."Orang-orang dewasa itu menyakiti semua anak kecil, Paman! Aku tidak mau melihat mereka! Aku takut! Mereka mengerikan! Mereka jahat!" Matthew terus berucap sekalipun tangisannya membuat napasnya sesenggukan.Mendengar aduan Matthew, pria itu lantas menyempatkan dirinya untuk sedikit melongokkan kepalanya keluar ruangan. Sepasang netranya menelisik siapa yang ada di ujung koridor."Kita tidak bisa membuang anak-anak ini ke laut, orang-orang di luar sana pasti akan melihat apa yang kita lakukan!" kata salah satu dari ketiga pria beringas di ujung koridor."Sudah, habisi saja langsung! Mereka terlalu banyak kalau harus kita keluarkan satu-satu. Ini justru akan memakan waktu! Bisa-bisa malah kita yang ikut tenggelam di kapal ini kalau tidak segera menyelesaikan tugas dari bos besar!" yang lain memberikan usul."Bodoh! Mau kita habisi bagaimana? Kita tembak? Bos besar bilang jangan sampai meninggalkan luka dan jejak kriminal ke anak-anak itu!" tolak yang lain."Tapi kita sudah tidak punya waktu lagi! Kita …"Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!Kedua pria yang yang sedang beradu argumen itu tercengang seketika di saat salah satu teman mereka tiba-tiba sudah menghujani anak-anak itu dengan timah panas yang ia bawa.Suara teriakan dan tangisan anak-anak tadi lenyap begitu saja karena nyawa mereka sudah meregang."Hah! Kenapa kamu menembak mereka semua? Sudah ku bilang jangan … ""Ahh …! Buang-buang waktu! Bos tidak akan tahu! Lagi pula bangkai mereka juga akan tenggelam bersama bangkai kapal ini. Mayat mereka tidak akan ditemukan lagi. Ayo, cepat pergi!" sang pembunuh itu menginterupsi perkataan rekannya dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu.Kejadian ini mencengangkan pria yang sedang berada satu ruangan dengan Matthew. Ia sadar bahwa saat ini ia tidak mampu melawan ketiga penjahat itu seorang diri, apalagi dengan tangan kosong.Maka, ia memutuskan untuk kembali menghampiri Matthew."Hey, tidak apa-apa, mereka sudah pergi. Kita juga harus segera keluar dari sini, tidak lama lagi kapal ini akan tenggelam. Ayo, cepat!" ucap Pria itu pada Matthew.Tapi Matthew menggeleng dengan kuat, "Aku harus mencari orang tuaku, Paman! Mommy dan Daddy pasti mencariku, mereka pasti mengkhawatirkanku."Pria itu terdiam sesaat, ia sedang berpikir bagaimana cara untuk meluluhkan hati Matthew."Siapa namamu?" tanya pria itu."Matthew," jawab Matthew singkat."Oke, Matthew, aku Clark. Aku kapten kapal ini. Aku janji tidak akan menyakitimu. Aku akan membantumu keluar dari sini dan kita cari orang tuamu bersama-sama. Sepakat?" ucap pria di hadapan Matthew.Kali ini gantian Matthew yang berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk sebagai tanda sepakat."Good boy!" gumam Clark senang, "Sini kugendong biar lebih cepat sampai di luar!"Dengan napas terengah-engah Clark berlari seraya menggendong tubuh mungil Matthew. Meski genangan air sudah setinggi pahanya tapi ia berhasil membawa Matthew keluar ke serambi kapal.Suasana di serambi kapal masih tetap riuh di mana semua orang saling berebut untuk bisa mendapatkan sekoci."Tuan! Tuan! Tolong kami! Biarkan kami bergabung dengan kalian!" seru Clark pada seorang pria di dalam sekoci kecil."Maaf, Tuan! Sekoci ini sudah penuh dengan kami berlima!" seru pria itu seraya mendongak ke arah Clark yang masih di atas kapal."Ku mohon, Tuan! Aku hanya berdua dengan anak kecil ini. Selamatkan kami!" Clark tidak putus asa untuk terus memohon.Pria pendayung sekoci itu melihat ke sekitarnya. Di dalam sekoci ini berisi dirinya, dua wanita dewasa, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun dan seorang anak perempuan berusia 6 tahun."Oke, cepat kemari!" seru pria pendayung sekoci itu pada Clark.Dengan hati-hati Clark menaikkan Matthew ke dalam sekoci, lalu ia pun melompat menaiki sekoci yang kini berisikan total tujuh orang.Di lautan ini sudah terdapat ratusan mayat manusia yang meninggal akibat tak mampu menahan dinginnya samudra di malam hari."Paman, di mana orang tuaku?" tanya Matthew yang terus mencari keberadaan orang tuanya."Tunggu, ya. Nanti kita cari orang tuamu," hanya ini yang mampu diucapkan Clark demi bisa menenangkan Matthew walau hanya sesaat.Kilatan kekecewaan tersirat jelas pada raut wajah Matthew, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perkataan Clark.Saat Matthew mengalihkan arah tatapannya ke tengah lautan, ia terbelalak dan mulutnya menganga lebar."Mommy …! Daddy …! Mommy …!"Bersambung“What the hell!!” Bernard merasakan keanehan-keanehan saat berada di apartemen Norin. Bermula dari suara pecahan benda dari kamar sebelah, disusul dengan suara gaduh dari pantry. “Ada apa sebenarnya ini!?” Racau pria itu saat berbalik arah dari kamar ke pantry. “Ya Tuhan, bebaskan aku dari situasi mencekam ini, please!” desis Norin kesal. “Astaga, kenapa tempat sampah di pantry bisa jatuh berantakan?” pekik Bernard sambil menuju ke tempat sampah yang tergeletak di lantai. Norin, Sissy, dan semua orang yang bersembunyi di apartemen itu merasa tenggorokannya tercekat saat Bernard melangkah menuju pantry. “Tuan, biar saya yang periksa!” Sissy buru-buru menghentikan langkah Bernard. “Lebih baik Anda temani Nona Norin. Biar saya yang bereskan sampahnya.” Brak!! Pintu kamar terbuka, lalu tertutup dalam sekejap. “Astaga, maaf aku telah menjatuhkan lampu tidur!” pekik Nancy seraya keluar kamar. Dengan begitu, perhatian Bernard serta yang lain teralihkan ke arah Nancy. “Nancy? Are y
“Apa!?”Matthew dan yang lainnya tersentak mendengar informasi yang baru saja diucapkan Norin.“Astaga kita harus bagaimana!?” tanya Norin panik.“Cepat sembunyi!” celetuk William ikut panik.“Sissy, Nancy, cepat singkirkan semua gelas ini ke pantry. Jangan sampai Bernard melihatnya!” ucap Norin sedikit gemetar melihat belasan gelas dan botol wine yang tersaji di ruang tengah.Mendengar itu, Sissy dan Nancy bergerak cepat membereskan perkakas itu.“Semuanya masuk ke ruangan lain. Kosongkan kamar Norin!” ujar Matthew memimpin yang lain.“Hanya ada dua kamar di sini, sekarang ditempati Sissy dan Nancy selama mereka tinggal di sini,” tutur Norin menjelaskan.“Tidak apa-apa, sembunyi saja di sana, ayo!” Matthew bergerak menuju ke kamar Sissy dan Nancy, diikuti yang lain.“Norin, kau ke depan sekarang dan temui Bernard. Usahakan keberadaannya di sini tidak lama,” ujar Matthew kepada Norin.Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!Di luar, Bernard semakin tidak sabar menunggu pintu dibukakan un
Di kediaman mewah keluarga Gregorius, Draco, orang kepercayaan Vincent Gregorius, tanpa ragu mengetuk pintu ruang pribadi atasannya.“Masuk!” teriak Vincent dari dalam ruangan.“Permisi, Tuan! Ada kabar terkini dari para anak buah yang saya tugaskan untuk mengusut kasus kemarin,” ujar Draco tanpa ragu.“Sudah puluhan tahun kau bekerja denganku, Draco. Kau paham kan informasi seperti apa yang bisa aku terima?” balas Vincent memperingati.“Informasi ini sudah valid, Tuan. Mereka sudah menemukan siapa pelaku penembakan tempo hari.”Ucapan Draco berhasil memantik keingintahuan Vincent. “Siapa mereka? Siapa yang telah berani berurusan denganku?”“Masuklah, kalian!” seru Draco kepada anak buahnya yang masih menunggu di luar ruangan.BRAKKK!!!Seorang pria babak belur dengan kedua tangannya yang terborgol tiba-tiba jatuh tersungkur memasuki ruangan di mana ada Vincent serta Draco di dalamnya.“Bangun, Bodoh!” bentak salah satu anak buah Draco sambil menarik paksa tubuh pria itu agar berjalan
Mendengar fakta buruk tentang kebusukan perilaku Vincent Gregorius di masa lalu, telah sukses memupuk kebencian yang telah tertanam di dalam benak Matthew selama puluhan tahun.Ia mengepal geram membayangkan kelakuan biadab Vincent kala itu.Namun, satu notifikasi tanda pesan masuk telah mampu membuat pria yang tengah menginterogasi Orland Xef itu kehilangan konsentrasi.“Kita pulang sekarang!” titah Matthew kepada Aiden dan Bryan.“Siap, Tuan! Saya siapkan armada sekarang,” sahut Aiden yang lantas segera menghubungi pilot pribadi Matthew.Kedua anak buah Matthew berjalan mengikuti atasannya keluar.“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pekik Orland Xef yang sontak membuat langkah Matthew terhenti.Putra tunggal keluarga Anderson itu menoleh. “Kembali ke Queenstown dan bekerja untukku. Aku butuh bantuanmu untuk memberi Vincent terapi moral.”“Tapi … aku sedang melarikan diri darinya. Aku yakin cepat atau lambat, dia pasti tahu kalau akulah orang di balik kekacauan yang terjadi tempo ha
WELLINGTON, NEW ZEALAND“Siapa kalian!?”Seorang pria memekik terkejut karena tempat tinggalnya tiba-tiba didatangi oleh tamu tak diundang.Aiden menatap wajah pria itu lebih cermat, lalu mengangkat selembar potret wajah di tangannya hingga keduanya tampak sejajar.“Benar dia orangnya, Tuan,” ujar Aiden setelah memastikan bahwa mereka tidak salah orang.“Brengsek! Siapa kalian!? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang!?” Komplain sang pemilik kamar.“Seandainya kedatangan kami disambut dengan baik, kami tidak mungkin bersikap arogan semacam ini,” tutur Matthew tanpa sesal sedikit pun!CEO itu memberi kode kepada Bryan agar menutup serta mengunci pintu utama.Setelah mengangguk paham, Bryan melakukan perintah seperti yang diinginkan Matthew.“Jadi … ini tempat tinggal Anda sekarang, Tuan Orland Xef?” Tatapan Matthew tampak begitu tajam saat menuturkan pertanyaannya.“Ap-apa maksudmu!? Siapa kalian ini? Kenapa kemari!?” Orland Xef sampai terbata saat berucap. Ia memperhatikan Matthew
Hugo sama sekali tidak menyangka kalau El Jova berada di pihak musuh yang telah berhasil menewaskan pemimpinnya.“Apa maumu?” tanyanya kepada El Jova.“Jawab pertanyaan Matthew. Katakan yang sejujurnya. That’s it.”“Kau dan Tuan Zif sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain. Tapi kenapa kau berdiri di pihak lawan kami dan melakukan penyerangan?” ujar Hugo kesal.“Kelompokmu yang lebih dulu menyerang! Kenapa kalian melakukan penembakan di acara peresmian keluarga Vincent Gregorius?” tanya Matthew menginterupsi.“Ada urusan apa kau dengan keluarga Gregorius? Kami menyerang mereka, bukan kau!” hardik Hugo kepada Matthew.Plak!Tamparan keras kembali diberikan Matthew untuk tawanannya itu. “Kau melukai orang-orang tidak bersalah, Bodoh!”“Aku tidak tahu! Aku hanya melaksanakan perintah. Tuan Zif memberi perintah kepadaku, Max, dan juga George untuk melakukan penembakan beruntun itu!” teriak Hugo membela diri.“Untuk apa Zif memberi perintah itu?” sela El Jova penasaran. “Ap