로그인Bagaimanapun juga, Rian sudah memastikan bahwa mereka memang bersama. Dia hanya terlalu kesal sehingga bersikeras ingin Raisa mengakuinya sendiri, meskipun itu semua hanya semacam penenang saja."Sial!" Dia mengumpat, "Mana mungkin Bravi bisa secepat itu?"Kali ini giliran Raisa yang terdiam. "Dia ngapain?"Rian menatapnya dengan tajam, menggigit bibirnya. "Jadi, Bravi nggak bilang! Sudah kuduga, dia itu bajingan licik!"Raisa berkata, "Memangnya dia pernah bilang apa?"Rian menjawab, "Aku nggak akan tutupi apa-apa lagi, Kak. Waktu pertama kali ketemu Bravi, dia langsung bilang mau jadi suamimu! Kira-kira sebulan yang lalu, dia juga bicara serius, bahkan pamer kalau dia itu calon yang paling berkualitas. Dia bilang akan berusaha buat dapat persetujuanku. Dari pertama ketemu, orang itu sudah menunjukkan niatnya!""Kak, Bravi itu licik, dia sudah mengincarmu dari dulu. Kenapa dia mau investasi di perusahaanku? Apa beneran cuma karena game-ku? Yah, game-ku memang bagus, tapi kenapa dia s
Raisa selalu mengira Rian akan tahu kalau tiba-tiba datang ke rumahnya. Dia tidak menyangka akan bertemu dengannya di depan rumah Stevi, dan semua perkataan Rian tadi pasti sudah didengar Stevi, apalagi terjadi di depan rumahnya, jadi tidak bisa langsung menjelaskan, lebih baik pergi dulu. Apakah Stevi akan curiga, itu adalah urusan Bravi.Tapi sampai sekarang, Stevi sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan. Raisa tidak menyangka akan berhasil, bahkan dengan mudah menipu mata tajam Stevi.Tentu saja, tinggal bersama memberikan bukti yang meyakinkan, tetapi interaksi langsung juga ujian tersendiri. Dengan hasil yang bagus, Raisa tidak berniat menghentikan upayanya di tengah jalan.Lagi pula, dia hanya perlu mempertahankan akting dengan Bravi saat Stevi hadir. Setelah Stevi pergi, dirinya dan Bravi akan langsung kembali ke hubungan biasa seperti teman serumah.Oleh karena itu, Raisa sedang memikirkan cara menjelaskan hal ini kepada Rian. Keputusan awal adalah tidak memberitahunya dulu
Rian terakhir kali bertemu Bravi saat di rumah Raisa, saat itu Bravi datang seenaknya makan di rumah kakaknya, tapi dia punya mata, jelas tidak ada apa-apa antara keduanya.Tetapi sekarang, dia tidak yakin lagi!Rian langsung turun dari mobil, berjalan cepat mendekati Raisa dan mencengkeram pergelangan tangannya. Genggaman itu memperlihatkan cincin di jari manis kirinya, cincin yang sama yang dia lihat di jari Bravi.Sebuah guntur bergema di kepala Rian, lagi-lagi perasaan pengkhianatan Raisa kembali menyapu dirinya. Dia bahkan tidak bisa mengumpulkan tenaga untuk meluapkan amarahnya, hanya menatap Raisa dengan tajam. "Kak, kau pilih, ikut dia atau ikut aku!"Tatapannya seperti anak serigala, ganas dan lapar, ini ekspresi orang yang benar-benar marah.Bravi melirik sekilas hanya untuk dibentak oleh Rian, "Diam kau!"Bravi tertegun.Ledakan emosi pemuda itu membuatnya mirip seperti anak serigala."Aku bicara sama kakakku, kau nggak usah ikut campur." Rian tidak peduli dengan status Brav
Raisa mengangguk. "Benar. Rasa familiar itu membuat kita merasa aman." Dia menguap. "Kalau gitu, tunggu sebentar lagi ya, aku mau mandi dan bersiap-siap.""Oke." Bravi menatapnya sambil mengangguk, lalu melihatnya pergi. Tadi malam dia hampir tidak bisa tidur sama sekali.Pakaian yang diminta Stevi kepada pelayan adalah gaya klasik yang cocok untuk segala usia. Raisa memilih setelan putih, menggantinya di kamar mandi setelah mandi.Tentu saja, dia tidak lupa mengganti pakaian dalam yang sudah dicuci. Membuang yang dipakai semalam secara langsung terasa tidak sopan, jadi Raisa hanya mencucinya sebentar dan menggantungnya di kamar mandi.Bravi jarang menginap. Begitu pelayan menemukan barang-barang itu, mereka bisa membuangnya atau menyimpannya, yang penting tidak membiarkan pakaian kotor di tempat itu. Stevi juga menyediakan kosmetik. Raisa hanya menggunakan produk perawatan kulit, tanpa riasan. Setelan putih itu menonjolkan kulitnya yang cerah dan sehat, tidur nyenyak semalam memang m
Bravi menatap matanya dengan tajam, kata-kata yang dia ucapkan dengan hati-hati disambut dengan keheningan dari Raisa.Setelah beberapa detik menunggu, dia kembali menarik diri, bermain aman sambil menekankan, "Maksudku, sebagai teman."Raisa menjawab dengan cepat, "Untuk saat ini belum bisa, Bravi."Bravi tampak kecewa, namun di balik itu tersembunyi kekuatan dan ambisi. "Kalau gitu, aku akan berusaha lebih keras."Raisa tersenyum tipis, mengerutkan alisnya.Bravi mengambil ponselnya. "Aku masih ada pekerjaan, kalau kau capek, tidur saja di tempat tidur."Raisa mengangguk.Dia juga merasa lega.Karena ini adalah rumah Stevi, jika Bravi pergi keluar, kemungkinan akan ditanyai. Jadi dia tetap di ruangan itu. Kamar tidur memiliki sofa kecil, jadi Bravi melewati area ruang tamu dan menuju kamar tidur.Pada dasarnya mereka berada di ruang yang berbeda, tidak bisa saling melihat.Suasana ambigu tadi pun terpecah oleh percakapan sederhana, kini masing-masing sibuk dengan urusan sendiri, Rais
Raisa segera menarik tangannya. "Rambutmu sudah kering. Sepertinya aku kelamaan di dalam ya."Bravi hanya menatapnya."Tonton film sebentar, terus tidur." Raisa duduk di sampingnya, menjaga jarak sekitar satu meter di antara mereka.Cahaya ruang tamu sangat lembut, cocok untuk membuat orang mengantuk.Tidur adalah topik yang sangat sensitif malam ini.Secara logika, karena Raisa dan Bravi hanya berpura-pura menjadi pasangan tanpa perasaan romantis, berbagi kamar untuk satu malam seharusnya sudah diperhitungkan saat mereka setuju untuk berpura-pura. Mereka bisa membicarakannya secara terbuka.Namun, suasana aneh menggantung di udara, membuat Raisa tidak bisa membicarakan topik tersebut.Karena siapa pun yang memulai, rasanya seperti tidak bisa bernapas, suasana yang sangat aneh.Raisa merasakan sensasi itu berulang kali, lalu terlambat menyadari… bahwa suasana ini seharusnya disebut ambigu.Raisa tertegun.Ambigu?Kenapa jadi ambigu?Dalam hati, Raisa merasa bisa bersikap santai. Namun







