MasukSetelah mengatakan maksud dan tujuan nya, mbak Indah langsung mengajak Nadia dan Namia masuk. Sebenar nya ia tak enak hati, karena setiap ada masalah atau dia membutuh kan sesuatu pasti lari nya ke Mbak Indah.
"Ya udah ayo masuk Nad, kaya sama siapa aja sih. Mau ngerjain PR yang menggambar itu kan?" Tanya mbak Indah yang langsung masuk ke dalam rumah, kemudian kembali dengan membawaw pensil warna milik anak nya, Bayu. Bayu Kini sudah berusia 8 tahun, hanya berbeda 3 tahun saja dengan Namira. Terkadang mereka pun juga sering main bersama. Jadi tak ada rasa canggung antara Namira dan Bayu. "Ini, jangan sungkan sungkan gitu. Kalau butuh apa apa bilang aja kalau ada pasti aku bantu." Ujar mbak Indah dengan memberikan pensil warna yang diikat dengan karet. Mungkin karena sudah lama dan tempat nya juga sudah hilang, makanya sama mbak Indah di ikat menggunakan karet, supaya tak berceceran. "Huft, capek ngomong sama orang pelit kaya dia mbak. Masa untuk anak sendiri dia juga pelit gitu." Ujar Nadia dengan menghela nafas kasar. "Ya mau gimana lagi Nad, kan dia laki laki pilihan mu." Ujar mbak Indah yang mengingat kan. Dulu sebelum Nadia menikah, dia memang wanita yang paling cantik di desa nya. Orang tua nya memang bukan orang asli sini. Terlebih lagi ibu Nadia, seperti ada keturunan belanda nya, karena tubuh nya yang tinggi semampai, dengan rambut panjang ke emasan dan kulit nya yang putih bersih. Dan kecantikan itu menurun ke Nadia, putri tunggal mereka. Nadia di gadang gadang sebagai kembang desa. Karena paras nya yang indah dan cantik natural. Entah mata nya tertutup kabut atau batu alam, dia lebih memilih menikah dengan Arman dari pada dengan seorang dokter muda yang dari kota. "Kamu udah gak berkabar sama dokter itu Nad?" Tanya mbak Indah tiba tiba. "Dokter yang mana mbak?" Tanya Nadia sedikit ragu. "His, yang itu loh, yang ngedeketin kamu dulu itu." Nadia mengendik kan bahu nya acuh, "Enggak mbak, setelah dia pergi dari kampung sini, aku sudah tak tau kabar dia bagaimana." Ujar Nadia dengan menyandar kan tubuh nya ke senderan kursi. "Lagian, udah bener bener di deketin dokter, malah milih Arman yang sama sama dari kampung, mana pelit lagi." Cibir mbak Indah, Nadia hanya menghela nafas kasar. "Andai waktu itu aku nunda kehamilan, mungkin aku akan lebih mudah buat ninggalin mas Arman, mbak." Ujar Nadia yang menatap sendu ke arah putri nya yang kini berada di ruang tengah bersama Bayu. "Ya sudah Nad, mau gimana lagi. Emang buruk nasib mu, gausa nyesel." Nadia hanya mengangguk saja mendengar ucapan mbak Indah. Seketika ia teringat wajah tampan dokter muda itu. Setiap hendak berangkat ke puskesmas,pasti ia akan mampir ke rumah nya dengan membawakan sarapan untuk nya dan sang ibu. Aku sempat menaruh perasaan kepada nya, tetapi aku minder karena hanya lulusan SMA dan gadis kampung. Yang sangat bertolak belakang sekali dengan dokter itu. "Mbak aku pengen jualan deh, tapi jualan apa ya?" Tanya Nadia tiba tiba. "Jajanan anak sekolah aja Naad, pasti laku tuh. Nanti titipin aja di kantin." "Niat nya juga gitu sih mbak, tapi modal nya ini bikin pusing." Seru Nadia dengan mendesah kasar. Setelah menyelesai kan PR, Namira pun mengajak ibu nya pulang. Karena jam sudah menunjuk kan pukul 8 malam. Biasa nya jam 9 Namira sudah harus tidur. "Makasih ya mbak In, nanti aku pikirin lagi deh saran nya tadi." Ucap Nadia kemudian berpamit dan melangkah menjauh dari rumah mbak Indah. "Kluyuran aja malem malem gini!" Pekik Bu Warni, ibu mertua Nadia. "Astaga, ini baru dari rumah mbak Indah bu ngerjaiin PR nya Mira." Seru Nadia dengan ketus. "Lihat itu Man, istri mu berani sama ibu!" Ujar Bu Warni mengadu. "Sayang gosok gigi dulu ya terus tidur udah malem." Ujar Nadia dengan lembut kepada putri nya. "Siap Bu!" Seru nya kemudian berjalan cepat menuju kamar mandi yang letak nya terpisah dan berada di belakang rumah. "Loh loh, ibu ke sini kangen sama cucu ibu!" Pekik bu Warni saat mendengar menantu nya itu menyuruh putri nya untuk tidur. "Ini sudah malam bu, besok kan Namira sekolah." Ujar Nadia menghirau kan ibu mertua nya yang ngomel ngomel. Bu Warni memang sering datang ke rumah nya. Bukan hanya berkunjung, terkadang ia datang dengan anak bungsu nya, Vira yang kini masih kelas 2 SMA. Mereka sering datang saat pagi untuk ikut sarapan di sana. Bukan Nadia pelit dan tak mengijin kan mereka makan di sana, tetapi dengan uang belanja 20 ribu sehari, mana cukup untuk mereka semua. Sedang kan yang di minta selalu yang enak enak. "Alasan aja kamu, bilang aja ibu gak boleh kektemu cucu ibu kan!" Bentak bu Warni yang terlihat sangat kesal. Sedang kan Arman, pria itu hanya diam saja melihat ibu nya mencak mencak memarahi Nadia. "Gak usah teriak teriak gitu bu, nanti Namira dengar!" pekik Nadia yang tak kalah kesal kemudian berlalu ke belakang menyusul anak nya. "Lihat Man, makin berani aja itu istri mu! Bisa bisa nya dia teriak sama ibu." "Sudah lah bu, gak usah bikin keributan, ini sudah malam juga. Ayo aku antar pulang saja bu." Ajak Arman yang sangat pusing jika ibu nya dan sang istri bertemu, pasti akan seperti ini. Makanya Arman memilih tinggal terpisah seperti ini meski dengan keadaan rumah yang sederhana. "Kamu kok malah belain istri mu sih dan malah ngusir ibu?" "Bukan ngusir bu, kan besok siang bisa kan main nya sama Mira. Nadia benar ini sudah malam dan Mira harus tidur." Ujar Arman menjelas kan dengan mendengus kesal. "Halah! Istri mu itu gak pernah ngajak Mira ke rumah ibu kalau bukan ibu yang nyuruh! Kan ibu juga kangen sama cucu ibu. Ibu juga pengen kayak ibu ibu lain yang bisa main tiap hari sama cucu nya!" Pekik bu Warni yang mulai tantrum. Dengan terpaksa Arman pun sedikit menarik ibu nya itu sebelum anak nya nanti mendengar celotehan tak penting dari nenek nya. Ia tak mau jika nanti putri nya itu menuruni sifat nenek nya yang kasar dan suka berbuat seenak nya sendiri. "Astaga Arman, kualat kamu nanti ya berani sama ibu! Ingat Surga mu itu ada di telapak kaki ibu, bukan istri mu!" Dengan kesal tetapi harus tetap sabar, Arman mulai menenang kan diri nya. "Bu, besok Arman akan minta Nadia membawa Mira ke rumah ibu sepulang sekolah ya." Ujar Arman dengan lemut dan bu Warni pun hanya mengangguk. Kemudian Arman mengantar kan ibu nya pulang. "Huft, syukurlah sudah pulang." "Ibu ngomong apa?" Tanya Namira dengan mendongak ke arah ibu nya, samar samar gadis kecil itu mendengar gumaman nya. Nadia yang kaget itu hanya tersenyum dan menggeleng.**** "Sayang, kamu udah lama nunggu?" Tanya Maya, kini ia sudah berada di sebuah cafe tempat dimana ia dan Viki janjian. "Oh enggak kok, aku juga baru sampai. Kamu pesen dulu aja sana, aku mau vanilla latte sama pasta ya, aku laper banget ini." Ujar Viki yang menyuruh Maya untuk memesan. "Lah tadi kenapa gak sekalian pesan kata nya laper?" Tanya Maya yang seperti nya mulai kesal, karena setiap kali bertemu pasti maya lah yang akan membayar semua pesanan mereka. "Aku lupa, tadi langsung duduk di spot ini karena bisa lihat view sunset nanti, kalau aku pesan ke sana takut nanti ditempatin orang lain." Tidak masuk akal sekali bukan alasan si mokondo? Tapi dengan bodoh nya Maya menuruti nya meski dengan perasaan yang sedikit dongkol. Mungkin karena Viki adalah pria idaman nya semenjak duduk di bangku SMP dulu, dan ia baru bisa mendapat kan hati nya sekarang ini. Jadi ia merasa tak keberatan meski harus menghemat u
****"Dasar waita sinting! Bisa bisa nya dia mempermalukan aku di depan banyak orang!" Gerutu bu Warni sembari berjalan memasuki rumah. Setelah perdebatan tadi dengan sang menantu dan di saksikan langsuung oleh para tetangga, kini bu Warni sudah pulang ke rumah nya sendiri dengan rasa malu. Malu karena menuduh dan menjelek jelek kan Nadia tanpa alasan yang jelas dan bukti yang kuat. Terlebih Arman tadi juga tak membelanya.Setelah menaik kan motor ke teras rumah, dengan santai Maya memasuki rumah dengan mata yang masih terfokus pada layar ponselnya."Lihat bu, ada yang memvideo ibu tadi saat ribut sama mbak Nadia dan memposting nya di story whatsapp!" Seru Maya dengan menunjuk kan video tersebut ke hadapan sang ibu."Huft, biarin aja biar orang orang tau kelakuan menantu durhaka itu! Sekalian aja biar mereka tahu siapa menantu ku itu! Kurang ajar, mulutnya pedas kayak sambal ulek!” Mendengar jawaban sang ibu Maya tersenyum miring.“Ya gimana, Bu. Itu kan menantu pilihan ibu sendiri. D
****"Ibu mertua mu memang udah gak waras ya Nad. Bisa bisa nya dia jelek jelekin menantunya sendiri di depan banyak orang!" Seru mbak Indah yang ikutan kesal, kini Nadia dan putri nya memilih ngungsi ke rumah mbak Indah dan seperti biasa mereka nongkrong di bawah pohon rambutan dengan di temani mendoan dan es teh jumbo yang barusan di beli mbak Indah. Nadia pun memilih untuk keluar rumah karena tak mau memperpanjang pertengkaran tadi dengan sang mertua."Huft,, aku juga gak ngerti mbak kenapa ibu bisa sebenci itu sama aku. Apa karena aku yatim piatu dan miskin kali ya jadi gak ada yang bisa ibu banggain dari aku." Ujar Nadia dengan tersenyum getir meratapi nasib nya.Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, tapi bagaimana pun juga, Nadia juga menginginkan kehidupan yang normal seperti orang orang yang ia temui selama ini."Sebenar nya aku juga capek mbak kalau ribut terus tiap ketemu sama ibu. Apalagi mas Arman, mana ada dia membela ku. Tadi saja dia malah membentak ku saat aku mena
****"Armann!!" Pekik bu Warni sembari memasuki rumah putra nya itu. Semua orang yang berada di rumah pun sontak langsung berjalan tergopoh gopoh ke ruang tamu karena teriakan itu."Ibu, kenapa? Ada apa bu?" Tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelah ibu nya itu."Ambil kan ibu segelas air!" Seru nya dengan nafas yang masih ngos ngosan. Sedangkan Nadia kini sedang berkumpul di spot favorit nya dengan para ibu ibu di bawah pohon rambutan."Pasti sebentar lagi bakal ada drama." Ujar Nadia dengan mendengus kesal."Lagian tumben ibu mertua mu datang pagi pagi gini?" Tanya bu Leli yang sedikit penasaran."Dia kaya jelangkung, tamu yang tak di undang dan tak pernah ku harap kan, huft." Ujar Nadia dengan nafas berat."Orang kalau udah bau tanah pasti gitu Nad, bakal nyebelin. Kaya almarhumah ibu ku dulu juga gitu, gak lama meninggal." Ujar mbak Indah yang membuat semua orang tertawa."Gak boleh doain yang jelek jelek mbak nanti balik ke kita loh, tapi kalau sama Tuhan di percepat ya gak pap
Pagi ini Nadia bangun sedikit terlambat dari biasa nya, karena hari ini adalah hari minggu. Mungkin ia juga merasa lelah setelah mengekori putri dan suami nya yang semalam berjalan kesana kemari melihat wahana dan permainan.Meski semalam ia tak mendapat apa apa, tetapi ia cukup senang melihat putri nya yang bisa tertawa bahagia meski hanya dengan hal hal kecil.Minggu pagi ini matahari bersinar lembut, udara terasa hangat tapi tidak menyengat, suara burung dari pohon depan rumah terdengar menenangkan. Nadia berdiri di dapur, menyiapkan sarapan nasi goreng dengan telur ceplok."Mira masih tidur mas?" Tanya Nadia dengan menata piring di meja makan sederhana."Hemm, sepertinya masih tidur." Jawab Arman yang masih fokus menonton TV.Bergegas Nadia berjalan ke kamar Namira, dan mata nya langsung tertuju pada tubuh mungil putri nya yang masih terlelap di bawah selimut. Nadia langsung masuk begitu saja, membuka jendela kayu dengan lebar dan menyibak kan gorden membiarkan matahari pagi memas
**** "Wahh, aku mau naik kora kora bu!" Seru gadis kecil itu. Kini mereka sudah berada di parkiran pasar malam, meski wajah Arman terlihat sangat masam, Nadia tak menghirau kan nya. Suara musik dari wahana komidi putar menggema di udara, bercampur dengan tawa anak anak dan aroma jagung bakar yang manis. Malam itu, langit tampak cerah. Bulan menggantung bulat di atas, seperti ikut menonton keramaian di pasar malam. "Serem ih, ibu gak berani naik yang lain aja ya!" Jawab Nadia yang memang takut untuk menaiki wahana tersebut. “Ibu, ayah, lihat! Itu ada balon yang bentuknya kelinci!” katanya sambil menunjuk ke arah penjual balon di dekat gerbang pasar malam. Arman tersenyum tipis melihat wajah riang anak nya. Meski kini pikiran nya sedang melayang layang membayangkan berapa nominal yang akan ia habis kan malam ini. Ia menggandeng tangan kecil Mira di sisi kanan, seadngkan Nadia hanya mengekori ke dua nya itu dari belakang. Mereka bertiga melangkah pelan masuk ke keramaian pasa







