LOGINPagi ini seperti hari hari biasanya, Arman sedang bersiap untuk berangkat kerja dan Nadia pun akan membantu putri nya bersiap sembari sarapan.
"Kamu masak apa sayang?" Tanya Arman yang kini duduk di meja makan. "Loh, kok cuma ada tempe goreng?" Tanya Arman dengan kesal. "Ya kamu mau nya apa mas? Yang penting kan ada makanan buat sarapan." Ujar Nia yang sudah terlihat jengah dengan tangan yang masih menyisir rambut putri nya. "Harus nya kamu beli nasi uduk atau nasi kuning kan bisa buat sarapan." Mendengar ucapan Arman, Nadia pun langsung meradang ingin sekali memukul nya. "Mas, kamu ngasih aku uang berapa? Beli nasi uduk 5 ribu buat kamu saja, terus aku sarapan apa? Bagaimana juga Mira?" Tanya Nadia dengan menatap tajam suami nya. "Belum lagi nanti makan siang dan malam kita bagaimana? Apa kita numpang makan aja kali ya di rumah ibu. Toh tiap bulan kamu ngasih uang ke ibu kan, bahkan lebih besar dari yang kamu kasih ke aku." Timpal Nadia yang berhasil membuat suami nya itu diam. "Makanya kalau mau makan enak ya jangan pelit!" Seru nya sambil berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air untuk Mira. "Mira pengen makan udang bu." Ujar gadis cilik itu dengan menatap bergantian ke arah ayah dan ibu nya. Sontak Adi pun mendengus kesal. Masih pagi mood nya sudah hancur karena perdebatan yang tak henti nya dengan Nadia, di tambah lagi kini putri nya minta di masakin udang. Boncos banget pagi ini. Dengan amat terpaksa, Arman pun membuka kembali dompet nya dan memberi uang lagi 20 ribu dengan menghela nafas berat. "Mas, udang aja seprempat sekarang 21 ribu loh!" Ketus Nia yang masih menodong kan tangan nya. "Alah kamu lagi meres aku kan! Mana ada udang kecil kecil harga segitu. Palingan kalau di makan nyelip di gigi!" Ujar Arman dengan memelotot kan mata nya, tak ada takut takut nya Nadia pun ikut memelotot kan mata nya. Dengan terpaksa Arman membuka kembali dompet nya. Nadia melirik sekilas isi dompet Arman. Mata nya membola saat melihat uang merah berjejer di dalam dompet itu. Kok dia punya uang sebanyak itu? Kata nya gak punya uang kemaren buat beliin pensil warna Mira. Awas aja kamu ya mas! Batin Nadia kesal karena telah di bohongi. "Itu lah yang merah aja satu, yang ijo ini ambil lagi aja." Seketika Arman pun menatap tajam Nadia. "Ngapain banyak banyak, beli seprempat aja kan cukup! Nanti di kasih kuah yang banyak biar bisa cukup untuk kita." Ujar Arman dengan melotot tajam. "Pelit banget buat anak sendiri!" Cibir Nadia dengan mencolek colek pundak anak nya. "Iya ayah pelit banget sama Mira. Kan Mira minta juga gak tiap hari." Ujar gadis itu dengan polos. Sontak Arman pun memberikan uang 100 ribu itu untuk hari ini. "Eitss, udah masuk kantong!" Seru Nadia saat Arman hendak mengambil uang 20 ribu yang tadi ia beri. "Loh, kan itu udah di kasih 100 ribu!" Ujar Arman yang merasa di bohongi. "Sayang ayo mau diantar ibu apa bareng ayah? Udah hampir telat ini!" Ujar Nadia yang membantu putri nya membawa ransel yang terlihat lebih besar ransel nya dari pada orang nya. "Sama ayah aja bu, ayo ayah!" Seru Namira dengan menarik tangan Arman. "Eh, bentar sayang. Nad ayo mana keburu telat ini." Ujar Arman yang masih berusaha meminta uang nya kembali. "Udah lah mas, sana berangkat." Usir Nadia dengan mendorong tubuh suami nya keluar rumah. "Bye sayang ibu mau nyuci baju dulu ya!!" Seru Nadia yang langsung menutup pintu depan. Sedangkan kini Arman makin terlihat kesal di buat nya. "Yes! Hari ini dapat 140 ribu!" Seru Nadia dengan senang, karena tadi pagi pagi sekali, Arman sudah menyiap kan uang di meja nakas kamar, kemudian anak nya meminta udang dan dapat lagi 120 ribu. Setelah mendengar suara motor saumi nya semakin menjauh dari pekarangan rumah, Nadia pun membuka kembali pintu depan dan menghampiri ibu ibu yang duduk di kursi bawah pohon rambutan itu sembari menunggu bang Mahmud lewat. "Ada apa nih senyum senyum gitu, abis menang lotre ya." Seru bu Tari, rumah nya di sebelah pas bu Leli. "Iya dong, dapet lumayan banyak nih!" Ujar Nadia sembari menunjuk kan uang selembar berwarna merah itu. "Elahh, tumben nih abis di puasin kali ya semalam!" Cibir mbak Indah menggoda. Nadia tak merasa risih dengan ucapan seperti itu. Karena sudah kenal dekat dan tau bagaimana para ibu ibu itu bercanda. "Gak lah, semalam pas tidur udah aku sirep pakai bulu ketek ku. Makanya langsung tobat dan insaf tu laki, hahaha." ibu ibu yang mendengar nya pun ikutan tertawa. "Sayur!!" "Sini bang, ngadem bawah rambutan!" Seru bu Leli memanggil bang Mahmud, dan benar saja bang Mahmud pun datang menghampiri segerombolah ibu ibu rumpi. "Rame banget bu pagi pagi, lagi ngomongin apa sih?" Tanya bang Mahmud, saking kencang nya tawa mereka, bang Mahmud yang tadi masih di dekat jembatan pun bisa mendengar nya. "Ini nih si Nadia abis menang lotre bang, dapet uang merah tuh!" Cibir bu Ratna dan mereka pun kembali tertawa, sedang kan bang Mahmud hanya menggeleng kan kepala saja. "Bang ada udang gak?" Tanya Nadia sembari mendekat ke gerobak. "Ada ini mbak masih seger, lihat aja tuh!" Ujar bang Mahmud sembari mengendik kan dagu nya. "Mau deh, berapa sekilo?" Tanya Nadia. "Tinggal setengah kilo aja ini mbak, mau gak? Saya kasih 50 aja deh!" Mendengar itu Nadia langsung mengangguk dan mengambil udang nya. "Enak nya di masak apa ya bu kalau udang? Aku udah lama banget gak masak kaya gini. Ya maklum lah ya orang kampung." Ujar Nadia cengengesa, tapi ibu ibu pun hanya tertawa dan menganggap nya hanya lelucon saja. "Asam manis aja Nad gak ribet." Jawab bu Leli. "Yaudah bang, sama perbumbuan ya kaya biasa." Dengan sigap bang Mahmud pun menyiap kan pesanan Nadia. "Ini mbak, semua jadi 75 ribu." Ujar bang Mahmud dan Nadai pun memberikan selembar uang merah. "Widihh, tumben tumbenan nih mbak. Ini asli kan?" Tanya bang Mahmud dengan mencium cium uang tersebut. "Jangan di ciumin gitu bang, abis di ketekin tadi ih." Canda Nadia yang membuat semua orang tertawa. Setelah selesai dengan perbelanjaan, ia pun langsung mengeksekusi udang tersebut sebelum nanti berangkat menjemput putri nya. "Lumayan lah ya, masih ada sisa 65 ribu. Bisa buat makan bakso nih nanti sama Mira." Gumam Nadia sembari membersih kan udang tersebut dengan air mengalir. Setelah membersih kan nya, ia tak langsung memasak nya. Karena siang ini ia akan makan di luar dengan putri nya, pikir nya nanti saja masak nya saat Arman hendak pulang. Kini Nadia sudah berada di sekolah Mira, dan tak lama bel pulang pun berbunyi. "Ibu sudah beli udang nya?" Tanya Mira pertama kali saat melihat ibu nya sudah menjemput. "Cih, malah udang yang di tanyain." Jawab Nadia dengan memberengut. "Iya dong, Mira pengen banget!!!" Ujar gadis kecil itu dengan manja. "Mira mau makan bakso gak?" Tanya Nadia dengan mengedip kan sebelah mata nya, dan Mira pun mengangguk saja. Bergegas Nadia mengayuh sepeda nya menuju bakso yang tak jauh dari sekolah putri nya. "Nad?" Sapa seseorang sesaat Nadia menurun kan putri nya dari boncengan.**** "Sayang, kamu udah lama nunggu?" Tanya Maya, kini ia sudah berada di sebuah cafe tempat dimana ia dan Viki janjian. "Oh enggak kok, aku juga baru sampai. Kamu pesen dulu aja sana, aku mau vanilla latte sama pasta ya, aku laper banget ini." Ujar Viki yang menyuruh Maya untuk memesan. "Lah tadi kenapa gak sekalian pesan kata nya laper?" Tanya Maya yang seperti nya mulai kesal, karena setiap kali bertemu pasti maya lah yang akan membayar semua pesanan mereka. "Aku lupa, tadi langsung duduk di spot ini karena bisa lihat view sunset nanti, kalau aku pesan ke sana takut nanti ditempatin orang lain." Tidak masuk akal sekali bukan alasan si mokondo? Tapi dengan bodoh nya Maya menuruti nya meski dengan perasaan yang sedikit dongkol. Mungkin karena Viki adalah pria idaman nya semenjak duduk di bangku SMP dulu, dan ia baru bisa mendapat kan hati nya sekarang ini. Jadi ia merasa tak keberatan meski harus menghemat u
****"Dasar waita sinting! Bisa bisa nya dia mempermalukan aku di depan banyak orang!" Gerutu bu Warni sembari berjalan memasuki rumah. Setelah perdebatan tadi dengan sang menantu dan di saksikan langsuung oleh para tetangga, kini bu Warni sudah pulang ke rumah nya sendiri dengan rasa malu. Malu karena menuduh dan menjelek jelek kan Nadia tanpa alasan yang jelas dan bukti yang kuat. Terlebih Arman tadi juga tak membelanya.Setelah menaik kan motor ke teras rumah, dengan santai Maya memasuki rumah dengan mata yang masih terfokus pada layar ponselnya."Lihat bu, ada yang memvideo ibu tadi saat ribut sama mbak Nadia dan memposting nya di story whatsapp!" Seru Maya dengan menunjuk kan video tersebut ke hadapan sang ibu."Huft, biarin aja biar orang orang tau kelakuan menantu durhaka itu! Sekalian aja biar mereka tahu siapa menantu ku itu! Kurang ajar, mulutnya pedas kayak sambal ulek!” Mendengar jawaban sang ibu Maya tersenyum miring.“Ya gimana, Bu. Itu kan menantu pilihan ibu sendiri. D
****"Ibu mertua mu memang udah gak waras ya Nad. Bisa bisa nya dia jelek jelekin menantunya sendiri di depan banyak orang!" Seru mbak Indah yang ikutan kesal, kini Nadia dan putri nya memilih ngungsi ke rumah mbak Indah dan seperti biasa mereka nongkrong di bawah pohon rambutan dengan di temani mendoan dan es teh jumbo yang barusan di beli mbak Indah. Nadia pun memilih untuk keluar rumah karena tak mau memperpanjang pertengkaran tadi dengan sang mertua."Huft,, aku juga gak ngerti mbak kenapa ibu bisa sebenci itu sama aku. Apa karena aku yatim piatu dan miskin kali ya jadi gak ada yang bisa ibu banggain dari aku." Ujar Nadia dengan tersenyum getir meratapi nasib nya.Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, tapi bagaimana pun juga, Nadia juga menginginkan kehidupan yang normal seperti orang orang yang ia temui selama ini."Sebenar nya aku juga capek mbak kalau ribut terus tiap ketemu sama ibu. Apalagi mas Arman, mana ada dia membela ku. Tadi saja dia malah membentak ku saat aku mena
****"Armann!!" Pekik bu Warni sembari memasuki rumah putra nya itu. Semua orang yang berada di rumah pun sontak langsung berjalan tergopoh gopoh ke ruang tamu karena teriakan itu."Ibu, kenapa? Ada apa bu?" Tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelah ibu nya itu."Ambil kan ibu segelas air!" Seru nya dengan nafas yang masih ngos ngosan. Sedangkan Nadia kini sedang berkumpul di spot favorit nya dengan para ibu ibu di bawah pohon rambutan."Pasti sebentar lagi bakal ada drama." Ujar Nadia dengan mendengus kesal."Lagian tumben ibu mertua mu datang pagi pagi gini?" Tanya bu Leli yang sedikit penasaran."Dia kaya jelangkung, tamu yang tak di undang dan tak pernah ku harap kan, huft." Ujar Nadia dengan nafas berat."Orang kalau udah bau tanah pasti gitu Nad, bakal nyebelin. Kaya almarhumah ibu ku dulu juga gitu, gak lama meninggal." Ujar mbak Indah yang membuat semua orang tertawa."Gak boleh doain yang jelek jelek mbak nanti balik ke kita loh, tapi kalau sama Tuhan di percepat ya gak pap
Pagi ini Nadia bangun sedikit terlambat dari biasa nya, karena hari ini adalah hari minggu. Mungkin ia juga merasa lelah setelah mengekori putri dan suami nya yang semalam berjalan kesana kemari melihat wahana dan permainan.Meski semalam ia tak mendapat apa apa, tetapi ia cukup senang melihat putri nya yang bisa tertawa bahagia meski hanya dengan hal hal kecil.Minggu pagi ini matahari bersinar lembut, udara terasa hangat tapi tidak menyengat, suara burung dari pohon depan rumah terdengar menenangkan. Nadia berdiri di dapur, menyiapkan sarapan nasi goreng dengan telur ceplok."Mira masih tidur mas?" Tanya Nadia dengan menata piring di meja makan sederhana."Hemm, sepertinya masih tidur." Jawab Arman yang masih fokus menonton TV.Bergegas Nadia berjalan ke kamar Namira, dan mata nya langsung tertuju pada tubuh mungil putri nya yang masih terlelap di bawah selimut. Nadia langsung masuk begitu saja, membuka jendela kayu dengan lebar dan menyibak kan gorden membiarkan matahari pagi memas
**** "Wahh, aku mau naik kora kora bu!" Seru gadis kecil itu. Kini mereka sudah berada di parkiran pasar malam, meski wajah Arman terlihat sangat masam, Nadia tak menghirau kan nya. Suara musik dari wahana komidi putar menggema di udara, bercampur dengan tawa anak anak dan aroma jagung bakar yang manis. Malam itu, langit tampak cerah. Bulan menggantung bulat di atas, seperti ikut menonton keramaian di pasar malam. "Serem ih, ibu gak berani naik yang lain aja ya!" Jawab Nadia yang memang takut untuk menaiki wahana tersebut. “Ibu, ayah, lihat! Itu ada balon yang bentuknya kelinci!” katanya sambil menunjuk ke arah penjual balon di dekat gerbang pasar malam. Arman tersenyum tipis melihat wajah riang anak nya. Meski kini pikiran nya sedang melayang layang membayangkan berapa nominal yang akan ia habis kan malam ini. Ia menggandeng tangan kecil Mira di sisi kanan, seadngkan Nadia hanya mengekori ke dua nya itu dari belakang. Mereka bertiga melangkah pelan masuk ke keramaian pasa







