Share

5. POV gaida : aku ingin tahu

Aku sama sekali tidak curiga padanya, aku percaya bahwa Miranda adalah gadis yang baik, dia sopan dan tahu diri. Sejak bergaul dengannya aku jadi merasa punya teman yang benar-benar mengerti perasaanku, aku sering mengajaknya curhat dan dia merupakan pendengar yang baik, ia selalu memberiku solusi dan bisa membuatku terhibur.

Suatu hari kuajak ia ke rumah, tadinya ia menolak dengan alasan sibuk, tapi karena aku mengundangnya dengan cara mendesaknya maka dia tidak punya pilihan lain.

Pertama kali masuk ke rumahku wanita itu tercengang melihat interior rumah, baru di masuk saja kami sudah disambut dengan foyer dan meja konsole marmer italy, ada cermin estetik di bagian, lalu menuju ke tengah, ada tangga kembar menuju lantai, sebelah kanan ruang tamu dan sebelah kiri ruang keluarga dengan smart tv ukuran jumbo. Di bagian void ada lampu gantung dengan desain mewah dan meja bundar dengan vas rangkaian bunga Peony berukuran besar.

Dia tercengang menatap rumahku.

"Kenapa aku suka desain rumahmu Mbak artistik dan sangat estetik. Tapi sayang tidak ada foto keluarga," ujarnya tertawa kecil.

"Aku aku memajang foto keluarga di lantai 2 karena menurutku itu tidak harus diperlihatkan kepada semua orang yang datang."

"Hmm, prinsipmu bagus. Seorang wanita memang hanya pantas memamerkan diri di hadapan suaminya," jawabnya. Tapi beberapa saat kemudian ia seolah menyadari perkataannya sendiri yang jomplang dengan isu bahwa ia seorang penggoda suami orang. Wanita itu tersenyum gugup dan nampak gelisah menyembunyikan perasaannya sendiri. Iya menundukkan pandangan dan meremas jemarinya sementara aku hanya tersenyum dan berusaha menenangkannya.

"Santai aja, aku orang yang terbuka. Aku sudah bilang anggaplah aku seperti kakakmu dan rumah ini anggaplah seperti rumahmu sendiri."

"Iya, Mbak."

Aku sendiri tak terlalu ambil pusing, selama ia tidak berhubungan dengan suamiku maka aku tidak berhak mencampuri kehidupan pribadinya.

"

"Hai Tante ..." Anak-anakku yang baru pulang sekolah menyapa Miranda yang kuperkenalkan kepada mereka.

Ivanka dan Nora yang ini duduk di kelas 4 SD sementara Zain dan Malik duduk di kelas 2 SD. Dua pasang kembar kebanggaanku itu, mereka terdidik untuk bersikap sopan dan ramah terhadap tamu.

"Hai, senang bertemu kalian, namaku Miranda, Aku adalah sahabat Ibu kalian."

"Senang berjumpa Anda tante," jawab Ivanka anak sulungku yang cantik.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk dia akrab bersama anak-anakku, wanita yang memang berprofesi di bidang seni itu langsung mengajari anak-anakku untuk melukis dan mendesain. Pun anak-anak sangat menyukainya, mereka antusias menggambar dan mengobrol ria dengan Miranda. Aku sendiri ke dapur dan menyiapkan buah tanpa firasat apa apa.

Kring ... Ponselku berdering saat aku sedang memotong apel. Biasanya menjelang jam 03.00 sore seperti ini Suamiku akan pulang dari kantornya. Kebetulan aku meminta asisten untuk masak lebih banyak karena aku ingin memperkenalkan Mas Alfian dengan Miranda lewat makan siang bersama, siapa tahu mereka bisa bekerja sama.

Bukan tanpa alasan Aku sendiri sudah melihat hasil kerja miranda di mana itu sangat relate dengan pekerjaan suamiku. Jika dia menarik mirandakan perusahaan dan timnya, mungkin itu akan menambah nilai suamiku sehingga ia bisa dipromosikan.

"Sayang kau masak apa?" Suamiku selalu menanyakan hal itu sebagai kebiasaannya dia memang terbiasa dengan hidangan rumah dan jarang sekali makan di luar.

"Aku masak semur ayam dan sup. Juga pecel dan sambal hati bumbu pedas."

"Ah aku benar-benar lapar mendengarnya tapi sayang Aku tidak bisa pulang sekarang karena aku ada rapat dadakan dengan pihak departement store yang akan bekerjasama dengan kami."

"Oh, kalau begitu tidak apa-apa, Mas. Sejujurnya aku ingin memperkenalkanmu dengan desainer interior yang aku bicarakan kemarin, dia berbakat sekali, dia datang ke rumah dan kini sedang menggambar dengan anak-anak."

"Oh, ya, sayang sekali aku tidak bisa menemuinya. Kurasa idemu untuk mempekerjakan seorang desain interior di perusahaan jasa pembangunan akan menguntungkan. Dengan demikian kami bisa membuka departemen baru di mana itu akan semakin menambah pendapatan perusahaan kami. Aku juga akan mencari orang-orang yang sama seperti kandidat yang kau calonkan."

"Sayang sekali kalian tidak bisa bertemu hari ini ya..."

"Iya," jawabnya pelan. "Boleh tahu nama desainer itu?"

"Miranda Valencia."

"Oh ... be-benarkah!" Mendadak suamiku terdengar ragu dan gugup.

"Kenapa Mas? Kau mengenalnya?"

"Ti-tidak, a-aku baru pertama kali mengenalnya. Ka-kalau begitu aku tutup telponnya ya." Mendadak suamiku jadi gagap dan sepertinya ia terkejut sekali.

"Ya sayang, hati-hati di perjalanan pulang ya."

"Ya."

Kututup telepon lalu melanjutkan pekerjaanku. Di saat bersamaan Miranda datang dan terlihat membawa palet cat air ke dapur.

"Aku ingin mencuci palet ini."

"Letakkan saja di situ biar asisten yang mencucinya tanganmu bisa kotor," ujarku.

"Ah, tidak apa apa," jawabnya sambil menuju wastafel dan menyalakan keran.

"Aku senang dengan anak anak Mbak, aku nyaman saat berada di sekitar mereka. aku juga bermimpi suatu saat bisa menikah dan memiliki banyak anak sepertimu," ujarnya.

"Aaamiin, Semoga apa yang kau harapkan bisa terjadi."

"Sebenarnya aku ingin jujur juga...."

"Apa itu?" Aku langsung menghentikan aktivitasku mengupas buah.

"Sebenarnya rumor itu benar adanya, Aku sedang menjalin hubungan dengan pria beristri," jawabnya dengan ekspresi sedih. Sontak aku terkejut dan pisau terlepas dari tanganku. Aku tercengang mendengar pengakuannya tapi tidak pantaslah aku untuk menghakiminya karena aku sendiri tidak tahu Apa latar belakang yang menyebabkan semua itu terjadi.

"Ekm, begitu ya...."

"Aku tahu setelah ini Mbak akan membenciku ... Tapi ada beban tersendiri ketika aku tidak jujur padamu, padahal dari sekian banyak orang di kota ini satu-satunya orang yang mengajakku berteman dan peduli padaku, hanya kamu Mbak." Dia mulai bercerita sambil meremas tangannya.

"... Aku tidak ingin menyembunyikan apapun agar Mbak tahu persis dengan siapa Mbak berteman. Kalau Mbak memang tidak mau bergaul denganku lagi, aku akan pergi sekarang," ujarnya dengan air mata menetes.

"Situasinya sulit sekali ya..." Aku juga jadi canggung sendiri mendengar penuturan Miranda.

"Aku berusaha untuk tidak terjebak dengan hubungan itu, tapi semakin ingin menjauh semakin gila rasanya diri ini. Aku berusaha melupakannya tapi semakin berusaha, aku semakin depresi. Andai bisa memilih dengan mudah, aku lebih baik mati saja daripada terjebak dengan perasaan seperti ini," ujarnya dengan air mata yang begitu memilukan.

Aku jadi iba tapi di sisi lain aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan dengan dirinya. Mau marah tapi aku tidak berhak, kalau aku mengakhiri pertemanan dengannya, hanya karena ia punya hubungan pribadi seperti itu, rasanya itu sama sekali tidak etis.

Bagaimana ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status