LOGINVanka menjalani rutinitasnya seperti biasa. Bekerja sebagai dokter di Mediora Medika. Sedangkan Shankara menjaga putri mereka di rumah. Hari ini pasien masih seramai hari-hari sebelumnya.Sejak pagi Vanka sudah berganti beberapa pasien dengan keluhan yang hampir serupa seperti deman, maag, tekanan darah tidak stabil, hingga keluhan pusing yang tak kunjung reda dan sejenisnya.“Dok, pasien berikutnya,” ujar perawat yang membantu Vanka sambil membuka sedikit pintu ruang periksa.Vanka mengangguk tanpa menoleh. “Silakan.”Pintu terbuka. Suara ketukan sepatu terdengar jelas. Sepertinya perempuan. Vanka masih menunduk menulis sesuatu di berkas rekam medis ketika suara kursi ditarik perlahan terdengar.“Silakan duduk,” ucapnya masih belum mengangkat wajah. “Sebentar ya, Bu.”Hening sejenak.Lalu sebuah suara menjawab.“Saya mau periksa kondisi mental saya, Dok.”Vanka berhenti menulis. Suara itu tidak asing pagi dengannya. Ia mengangkat wajahnya. Dan detik berikutnya dunia seolah berhenti
Shankara memaklumi jika Anindia tidak akan mudah menerima berakhirnya hubungan mereka. Tapi tidak pernah ada di dalam prediksinya Anindia akan memfitnahnya sejauh itu.Shankara menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya Darmawan lurus-lurus, tanpa gentar dan tanpa emosi berlebihan. “Om, saya nggak pernah melakukan itu. Saya nggak pernah mengambil kehormatan Anindia.”“Itu kata kamu!” bentak Darmawan. “Anak saya sekarang dalam kondisi hancur. Batinnya sakit dan mentalnya terpuruk. Lalu sekarang dengan seenaknya kamu meninggalkan dia.”“Saya nggak pernah menyentuh Anindia melewati batas. Kami pacaran, iya. Tunangan, iya. Tapi saya tahu diri. Saya tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.”Chyntia, ibu Anindia, akhirnya bersuara dengan suara bergetar. “Kalau begitu kenapa anak saya bilang dia sudah tidak perawan?”"Saya nggak tahu, Tante. Anindia memang nggak mau putus dengan saya. Dan bisa jadi dia memfitnah saya karena itu.""Anak saya nggak serendah itu. Jangan asal bicara kamu!" Wa
"Gimana? Abang udah ngomong sama orang tua Anin?" tanya Vanka malam itu setelah mereka selesai makan."Udah. Tadi pagi.""Terus?" Vanka menatap Shankara penasaran."Mereka nggak bisa nerima. Sama kayak anaknya," jawab Shankara lelah."Jadi gimana?""Ya nggak gimana-gimana. Abang udah putus sama dia dan itu nggak akan berubah. Ya ... walau orang tuanya minta untuk bicara langsung sama Abang setelah mereka pulang ke Indonesia.""Terus Abang bakal menemui mereka?"tanya Vanka pelan, kali ini nadanya lebih hati-hati.Shankara terdiam beberapa detik. Tangannya meraih gelas air, meneguknya perlahan seolah butuh waktu untuk menata pikirannya. "Iya. Abang bakal temuin." "Abang yakin? Bukannya itu malah bikin masalah jadi makin panjang?""Bukan soal yakin atau nggak yakin, Van. Dulu orang tuanya yang ngenalin Anindia ke Abang. Jadi Abang balikin lagi anak mereka secara langsung.""Kalau mereka tetap nggak terima?" Vanka masih merasa ragu."Itu terserah mereka. Yang penting Abang udah nggak mau
Shankara menunggu panggilan tersambung. Sementara di depannya Ananta juga tengah menerima telepon. Pria itu berdiri lalu memberi isyarat pada Shankara bahwa dirinya harus pergi. Shankara memberi anggukan sebagai jawaban.Shankara baru ingat saat ini di Turki masih subuh akibat perbedaan waktu lebih lambat empat jam dari Indonesia. Ia pikir tidak sopan menelepon sesubuh ini. Saat ia berniat untuk membatalkannya, tiba-tiba terdengar jawaban dari ujung telepon."Halo." Suara Darmawan terdengar serak, jelas baru bangun. Ada jeda sepersekian detik sebelum Shankara membuka mulut, seolah ia sedang menimbang ulang apakah percakapan ini benar-benar harus terjadi sekarang."Halo, Om, maaf saya mengganggu menelepon Om pada jam segini," kata Shankara mengawali."Oh." Ada tarikan napas singkat. "Tidak apa-apa. Ada apa menelepon jam segini?"“Saya sebenarnya ragu untuk menelepon sekarang. Tapi saya merasa harus menyampaikannya pada Om secepat mungkin.”“Anindia baik-baik saja, kan?”“Anindia tidak
Setelah Anindia berlalu, Shankara terduduk sambil melepaskan napas panjang seolah baru saja melepaskan beban berat dari pundaknya.Tangannya yang besar menekuk wajahnya, menahan rasa yang bercampur baur. Ada rasa lega karena akhirnya ia bisa kembali mengendalikan situasi, tapi juga sedikit terguncang melihat betapa rapuhnya Anindia ketika harus menghadapi kenyataan."Ngapain dia ke sini?" tanya Ananta yang duduk di hadapannya."Kemarin gue putusin tapi dia masih nggak terima. Mana pake percobaan bunuh diri." Suara Shankara terdengar berat. “Percobaan bunuh diri?” ulang Ananta.“Yup. Dia mecahin vas bunga terus nyayat tangannya pake itu. Dia teriak-teriak, nangis, nggak mau dengar apa pun. Gue mau bawa dia ke rumah sakit tapi dia nggak mau.""Lukanya parah?" tanya Ananta menanggapi."Lukanya nggak parah, tapi sikapnya … itu yang bikin capek. Akhirnya gue obatin sendiri. Setelah capek nangis-nangis dan ketawa kayak orang gila dia ketiduran. Baru gue bisa pulang."Ananta menghela napas
Ucapan putrinya tentu saja membuat Shankara tercengang. "Tante Anin?" Shankara mengulangi seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar."Iya, Pa. Di depan." Lengkara menunjuk ke arah pintu dengan wajah sedikit tegang, berbeda dari ekspresi cerianya sejak tadi.Tidak ada dalam pikiran Shankara bahwa Anindia akan datang ke rumahnya setelah kejadian kemarin. Pagi-pagi pula. Bayangan kejadian malam itu berkelebat cepat di kepalanya. Teriakan, tangisan, darah, dan kegigihan Anindia yang membuatnya tidak nyaman. “Lengkara masuk ke kamar dulu ya,” katanya setenang mungkin sambil berjongkok di hadapan putrinya. “Papa mau bicara sebentar.”Lengkara mengangguk patuh tanpa banyak bertanya lalu berjalan perlahan menuju kamarnya. Shankara memastikan pintu kamar tertutup sebelum melangkah ke arah depan.Anindia sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Perempuan itu tampak kacau. Wajahnya pucat, rambutnya tidak disisir. Dan yang paling jelas adalah matanya yang merah dan bengkak pertanda







